BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalau berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati & menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan & menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia dianugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah & memilih mana yang baik & mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik.
Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok & lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik & sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.
Saat ini banyak orang yang memiliki paradigma yang keliru tentang arti kepemimpinan. Mereka melihat pemimpin adalah sebuah kedudukan atau sebuah posisi semata sehingga banyak orang yang mengejar untuk menjadi seorang pemimpin dengan menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuan tersebut. Akibatnya, pemimpin yang dihasilkan dengan cara-cara seperti itu akan selalu menggunakan kekuasaannya untuk mengarahkan, memperalat, bahkan menguasai orang lain agar orang lain mengikutinya. Hal ini bisa melahirkan pemimpin yang tidak dicintai, tidak disegani, tidak ditaati dan bahkan dibenci.
Gelombang Perubahan yang terus menerus melanda hampir semua sisi kehidupan, pada akhirnya berkembang menjadi perubahan yang berlangsung abadi (Perpectual Change) memaksa semua pihak atau organisasi untuk selalu siap menerima, memahami, mengatisipasi mengelola dan menyesuaikan diri pada perubahan itu sendiri serta harus selalu siap untuk melakukan perubahan.
Di dalam situasi seperti ini, tantangan dan tuntutan yang dihadapi organisasi menjadi semakin berat dan kompleks. Peran dari pemimpin (leader) serta faktor kepemimpinan (leadership) di dalam organisasi dirasakan semakin penting. Pengelolaan sebuah organisasi dan badan usaha tidak lagi dilakukan dengan hanya didasarkan pada keharusan untuk dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari semua sumber daya yang dimiliki, tetapi juga didasarkan pada keharusan untuk menjaga kesinambungan pelaksanaan kegiatan, memenangkan persaingan serta mempertahankan keberadaan organisasi yang kesemuanya memerlukan kehadiran dan peranan seorang leader.
Demikianlah, Leadership dan Leader kemudian memperoleh perhatian yang sangat besar serta menjadi objek kajian yang terus menerus dikembangkan. Semua pihak berlomba-lomba mencari untuk menemukan formula yang tepat dan cara terbaik untuk menjadi leader yang baik dan leadership yang andal.
Semua kajian dan bahasan tentang leadership dan semangat untuk meningkatkan kualitas leadership selama ini biasanya selalu dilihat dari satu sisi atau satu sudut pandang, yakni sisi atau sudut pandang leader. Selama ini seolah-olah terdapat sebuah pemahaman bahwa hanya leader yang harus membuat para follower menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Padahal, pada kenyataannya banyak sekali kasus dan situasi yang memberikan gambaran betapa penting peran dari para follower untuk keberhasilan kepemimpinan sebuah organisasi.
Banyak kita jumpai dalam kehidupan organisasi sehari-hari adanya kenyataan bahwa keberhasilan seorang leader ditentukan tidak hanya oleh keunggulan leadershipnya, tetapi juga oleh kualitas followership yang tinggi dari para follower-nya.
Pada beberapa kasus, dijumpai bahwa efektivitas dan kualitas leadership seorang leader dapat meningkat dan berkembang dengan bantuan dan dukungan dari penerapan followership yang berkualitas dari para follower-nya.
Sebagaimana seorang leader, peranan para follower dalam organisasi sebenarnya bukan hanya sebagai pekerja atau salah satu sumber daya (resources) yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, tetapi para follower memiliki kesejajaran dengan leader sebagai individu. Oleh karenanya, kedudukan, wewenang, tanggumg jawab, potensi dan semua kemampuan yang ada pada mereka harus dapat dimanfaatkan bagi organisasi lebih hanya sekedar dalam bentuk bekerja dan melaksanakan fungsi kekaryaannya.
Disamping potensi untuk berkarya, potensi yang ada pada setiap diri individu follower dalam wujud karsa, daya cipta, dan cita rasapun seluruhnya harus disumbangkan untuk kepentingan organisasi. Dengan demikian keberhasilan sebuah organisasi tidak hanya tergantung pada peran dan keberhasilan seorang leader, tetapi juga pada peran dan keberhasiolan para follower.
Potensi dan kemampuan follower dengan followership-nya yang berkualitas akan menjadi sangat bermanfaat dan menjadi kunci sukses organisasi apabila dapat terjalin baik dengan leadership yang ada pada leader. Tingkat keberhasilan seseorang sangat ditentukan pada seberapa tinggi tingkat kepemimpinannya. Tingkat kepemimpinan seseorang juga menentukan seberapa besar dan seberapa jauh tingkat pengaruhnya.
1.2 Tujuan
a) Mengetahui perbedaan kepemimpinan dan manajemen
b) Mengetahui teori-teori kepemimpinan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Kepemimpinan
Apa kepemimpinan itu?
Kepemimpinan dan manajemen adalah dua istilah yang sering dikacaukan. Perbedaan diantara keduanya, yaitu menurut John Kotter dari Harvard Business School berpendapat bahwa manajemen berkaitan dengan penanganan kerumitan. Manajemen yang baik menghasilkan tatanan dan konsistensi dengan menyusun rencana-rencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat, dan memantau hasil melalui perbandingan dengan rencana. Kepemimpinan, sebaliknya, menyangkut penanganan perubahan. Para pemimpin menetapkan arah dengan menyusun satu visi masa depan; keudian mereka menyatukan orang-orang dengan mengkomunikasikan visi ini dan mengilhami mereka agar mampu mengatasi rintangan-rintangan.
Robert House dari Wharton School pada University of Pennsylvania pada dasarnya setuju ketika dia mengatakan bahwa manajer menggunakan wewenang inheren dalam peringkat formal terencana untuk memperoleh kepatuhan dari para anggota organisasi. Manajemen atau pengorganisasian terdiri dari implementasi visi dan strategi yang disajikan oleh pemimpin, koordinasi dan pembentukan staf organisasi, dan penanganan masalah harian.
Meski Kotter dan House memberikan definisi berbeda tentang kedua istilah tersebut, baik peneliti maupun para manajer yang berpraktik sering tidak mengenali perbedaan tersebut. Oleh karena itu, kita perlu manyajikan kepemimpinan ke dalam cara yang dapat menangkap bagaimana kepemimpinan digunakan dalam teori dan praktik.
Definisi dari kepemimpinan itu sendiri adalah sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Karena posisi manajemen muncul bersama sejumlah tingkat dan wewenang yang dirancang secara formal, seseorang dapat menjalankan peran kepemimpinan semata-mata karena kedudukannya dalam organisasi itu. Tetapi tidak semua pemimpin itu manajer dan sebaliknya tidak semua manajer itu pemimpin. Hanya karena organisasi memberikan kepada manajernya hak formal tertentu tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan mampu secara efektif.
Pemimpin akan lebih jelas jika dibandingkan dengan manajer. Manajer mempunyai kemampuan pengelolaan yang baik. Manajer adalah seseorang yang bekerja melalui orang lain dengan mengoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka guna mencapai sasaran organisasi. Pemimpin sering diasosiasikan dengan orang yang mempunyai karisma tinggi, dan dapat menggerakkan orang lain dengan karismanya.
Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau pun jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya. Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang.
Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
Kepemimpinan menyangkut penanganan perubahan. Para pemimpin menetapkan arah dengan menyusun satu visi masa depan; kemudian mereka menyatukan orang-orang dengan mengkomunikasikan visi ini dan mengilhami mereka agar mampu mengatasi rintangan-rintangan.
Kita mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Sumber pengaruh ini dapat bersifat formal, seperti yang disajikan oleh kepemilikan peringkat manajerial dalam organisasi. Kita menjumpai bahwa kepemimpinan yang tidak mengandung unsur sanksi-yakni, kemampuan untuk mempengaruhi yang timbul di luar struktur formal organisasi itu-sering mempunyai arti penting yang sama atau lebih penting daripada pengaruh formal. Dengan kata lain, pemimpin dapat muncul dari dalam kelompok sekaligus melalui pengangkatan formal untuk memimpin kelompok.
Organisasi membutuhkan kepemimpinan dan manajemen yang kuat untuk meraih efektifitas yang optimal. Dalam dunia yang dinamis dewasa ini, kita membutuhkan pemimpin untuk menantang statusquo, menciptakan visi tentang masa depan, dan memberikan inspirasi kepada para anggota organisasi agar bersedia mencapai visi itu.
Jenis dan Macam Gaya Kepemimpinan
1. Gaya Kepemimpinan Otoriter/Authoritarian
Adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh si pemimpin yang otoriter tersebut, sedangkan para bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan.
2. Gaya Kepemimpinan Demokratis/Democratic
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya.
3. Gaya Kepemimpinan Bebas/Laissez Faire
Pemimpin jenis ini hanya terlibat delam kuantitas yang kecil di mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi.
2.2 Teori-teori Kepemimpinan
Kajian mengenai kepemimpinan termasuk kajian yang multi dimensi, aneka teori telah dihasilkan dari kajian ini. Teori yang paling tua adalah The Trait Theory atau yang biasa disebut Teori Pembawaan. Teori ini berkembang pada tahun 1940-an dengan memusatkan pada karakteristik pribadi seorang pemimpin, meliputi : bakat-bakat pembawaan, ciri-ciri pemimpin, faktor fisik, kepribadian, kecerdasan, dan ketrampilan berkomunikasi. Tetapi pada akhirnya teori ini ditinggalkan, karena tidak banyak ciri konklusif yang dapat membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin.
2.2.1 Teori Ciri Kepribadian
Dalam diri manusia terdiri dari perpaduan dua unsur yang saling melengkapi dan harmonis dalam membentuk dirinya dan kepribadiannya. Kepribadian manusia dapat dipahami secara akurat dan terwujud dalam bentuknya yang hakiki manakala esensi manusia yang terdiri dari perpaduan dua unsur tesebut diperhatikan secara sempurna.
Media telah lama menjadi penganut teori-teori ciri kepemimpinan, yang membedakan pemimpin dari non-pemimpin dengan berfokus pada ciri dan karakteristik pribadi. Media mengidentifikasi orang seperti Margaret Thatcher, Nelson Mandela dari Afrika Selatan, CEO Virgin Group Richard Branson, salah satu pendiri Apple Steve Jobs, mantan waliko New York Rudolph Giuliani, dan pemimpin American Express Ken Chenault sebagai pemimpin, dan kemudian menggambarkan mereka dalam istilah-istilah seperti karismatik, antusias dan pemeberani. Media ternyata tidak sendirian. Pencarian atribut kepribadian, sosial, fisik, atau intelektual yang akan mampu menggambarkan pemimpin dan membedakan mereka dari bukan pemimpin itu kembali ke dasawarsa 1930-an.
Enam karakter yang cenderung membedakan pemimpin dari bukan pemimpin adalah ambisi dan semangat, hasrat untuk memimpin, kejujuran, dan integritas, kepercayaan diri, kecerdasan, dan pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan. Teori-teori ciri kepemimpinan adalah teori-teori yang mengkaji ciri-ciri dan karakteristik pribadi yang membedakan pemimpin dan bukan pemimpin. Pendekatan ciri kepribadian memiliki keterbatasan diantaranya:
Pertama, tidak terdapat ciri-ciri universal yang memperkirakan kepemimpinan dalam semua situasi. Namun ciri-ciri tampak memperkirakan kepemimpinan dalam situasi-situasi yang selektif.
Kedua, ciri-ciri memperkirakan perilaku lebih dalam situasi yang “lemah” daripada dalam situasi yang “kuat”. Situasi kuat adalah situasi dimana terdapat norma-norma perilaku yang kuat, rangsangan yang kuat untuk jenis-jenis perilaku yang spesifik , dan harapan yang jelas, seperti terhadap perilaku mana yang diberikan imbalan dan perilaku mana yang dihukum. Situasi kuat semacam itu menciptakan lebih sedikit peluang bagi pemimpin untuk mengekspresikan kecenderungan disposisi inheren mereka. Karena organisasi-organisasi yang sangat formal dan organisasi-organisasi dengan budaya kuat cocok dengan dengan gambaran tentang situasi yang kuat, kekuatan ciri-ciri memperkirakan kepemimpinan dalam banyak organisasi barangkali terbatas.
Ketiga, bukti tidak jelas dalam memisahkan penyebab dari akibat. Misalnya, apakah kepercayaan diri menciptakan kepemimpinan, atau keberhasilan sebagai pemimpin membangun kepercayaan diri?. Akhirnya, ciri-ciri melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam memperkirakan penampilan kepemimpinan daripada dalam membedakan secara aktual antara pemimpin yang efektif dan tidak efektif. Fakta bahwa individu memperlihatkan ciri-ciri dan yang lain menganggap orang itu sebagai pemimpin tidak selalu berarti bahwa pemimpin itu berhasil membuat kelompoknya mencapai sasaran-sasarannya.
Setiap teori memiliki keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan dari teori-teori kepribadian adalah usaha-usaha untuk merumuskan atau mengungkapkan aspek-aspek penting tingkah laku manusia dan keberhasilan usaha-usaha ini harus dinilai terutama dari seberapa efektif teori-teori itu berhasil merangsang penelitian telah dipaparkan di atas, sedangkan kelemahannya ialah teori kepribadian tidak akan mampu memberi gambaran yang komplit dan lengkap mengenai kepribadian dengan seluruh ciri-cirinya yang khas dan unik, karena hanya dapat mengekspresikan dalam bentuk-bentuk skematis dan tipologis, dengan melihat adanya persamaan-persamaan pokok yang ada pada manusia.
2.2.2 Teori-teori Perilaku
Teori ini lebih terfokus kepada tindakan-tindakan yang dilakukan pemimpin daripada memperhatikan atribut yang melekat pada diri seorang pemimpin. Dari teori inilah lahirnya konsep tentang Managerial Grid oleh Robert Blake dan Hane Mouton. Dengan Managerial Grid mereka mencoba menjelaskan bahwa ada satu gaya kepemimpinan yang terbaik sebagai hasil kombinasi dua faktor, produksi dan orang, yaitu Manajemen Grid. Manajemen Grid merupakan satu dari empat gaya kepemimpinan yang lain, yaitu: Manajemen Tim, Manajemen Tengah jalan, Manajemen yang kurang, dan Manajemen Tugas.
Pada masa berikutnya teori di atas dianggap tidak lagi relevan dengan sikon zaman. Timbullah pendekatan Situational Theory yang dikemukakan oleh Harsey dan Blanchard. Mereka mengatakan bahwa pembawaan yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah berbeda-beda, tergantung dari situasi yang sedang dihadapi. Pendekatan ini menjadi trend pada tahun 1950-an.
Teori perilaku kepemimpinan adalah teori-teori yang mengemukakan bahwa perilaku khusus membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Pendekatan perilaku terhadap kepemimpinan itu akan mempunyai implikasi yang sangat berbeda dari implikasi pendekatan ciri. Jika penelitian ciri berhasil. Maka hal itu akan memberikan dasar untuk memilih orang yang “tepat” untuk melanjutkan posisi formal dalam kelompok dan organisasi yang menuntut kepemimpinan. Sebaliknya, seandainya penelitian perilaku memunculkan determinan perilaku penting dari kepemimpinan, maka kita dapat melatih orang-orang untuk menjadi pemimpin.
Perbedaan antara teori ciri dan teori perilaku, dalam penerapan, terletak pada asumsi yang mendasari. Seandainya teori itu sahih, maka kepemimpinan pada dasarnya dibawa sejak lahir: anda dapat mempunyai ciri itu atau tidak. Dipihak lain, seandainya terdapat perilaku spesifik yang menjadi ciri khas pemimpin, maka kita dapat mengajarkan kepemimpinan.dan kita dapat memperoleh pasokan pemimpin efektif dalam jumlah tidak terhingga.
Teori perilaku sudah cukup berhasil dalam mengidentifikasi hubungan yang konsisten antara pola perilaku kepemimpinan dan kinerja kelompok. Yang tampaknya hilang adalah pertimbangan atas faktor-faktor situasi yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan.
Teori yg mengemukakan bahwa Perilaku Spesifik membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Implikasinya adalah orang dapat dilatih untuk menjadi pemimpin. Terdapat 4 Teori perilaku, yaitu :
Penelitian Universitas Negeri Ohio
Berusaha mengidentifikasi dimensi-dimensi independen dari perilaku pemimpin. Dari 1000 dimensi, akhirnya disempitkan menjadi 2 Kategori Utama yang secara hakiki menjelaskan perilaku kepemimpinan yang digambarkan oleh bawahan, yaitu :
a. Struktur Prakarsa
Tingkat dimana pemimpin berkemungkinan mendefinisikan dan menstruktur peranannya dan peran para anak buahnya dalam mengupayakan pencapaian sasaran. Biasanya berupa standar kinerja yang pasti, penugasan-penugasan, dan deadlines.
b. Pertimbangan
Tingkat dimana pemimpin berkemungkinan memiliki hubungan pekerjaan yang dicirikan dengan rasa saling percaya, penghormatan terhadap gagasan bawahan, dan menghargai perasaan mereka.
Ia menunjukkan kepedulian akan kenyamanan, kesejahteraan, status, dan kepuasan pengikut-pengikutnya. Pemimpin yang tinggi dalam pertimbangan dapat digambarkan sebagai seorang yang membantu bawahan dalam menyelesaikan masalah pribadi, ramah dan dapat didekati, memperlakukan semua bawahan dengan adil.
Dengan kedua variabel tersebut terdiri dari tinggi dan rendah, disusun matriks dengan empat kuadran. Gaya kepemimpinan dengan konsiderasi tinggi menghasilkan kepuasan kerja yang tinggi, dan merupakan gaya kepemimpinan yang efektif, meskipun situasi juga mempengaruhi gaya yang efektif.
Kesimpulannya, penelitian Ohio mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan ini membawa hasil yang positif, tetapi cukup banyak pengecualian yang dijumpai menunjukkan bahwa faktor-faktor situasi perlu dipadukan ke dalam teori itu.
Penelitian Universias Michigan
Dua variabel yang dipakai dalam penelitian ini (oleh Rensis Likert), yaitu:
• Pemimpin berorientasi pada produksi, yakni pemimpin yang menekankan pada aspek-aspek teknis atau tugas atas pekerjaan tertentu.
• Pemimpin berorientasi pada karyawan, yakni pemimpin yang menekankan pada hubungan antar manusia; memberikan perhatian pribadi terhadap kebutuhan karyawan dan menerima perbedaan individual diantara para anggota.
Dia kemudian mengembangkan empat gaya kepemimpinan, yang dinamakan Sistem 1,2,3 dan 4. Sistem 4 merupakan gaya kepemimpinan yang paling partisipatif, sedangkan sistem 1 merupakan gaya kepemimpinan yang paling otoriter, sedangkan sistem 2 dan 3 berada diantara keduanya.
Kesimpulan yang didapatkan oleh para peneliti Michigan sangat menitikberatkan pada pemimpin dengan perilaku berorientasi-karyawan. Pemimpin yang berorientasi-karyawan dikaitkan dengan peningkatan produktivitas kelompok dan kepuasan kerja. Pemimpin yang berorientasi-produksi cenderung dikaitkan dengan penurunan produktivitas kelompok dan kepuasan kerja.
Kisi-kisi Manajerial
Merupakan suatu Matriks 9 X 9 yang membagankan 81 Gaya Kepemimpinan yang berlainan. Robert Blake dan Jane Mouton mengembangkan kisi-kisi manajerial dengan dua sumbu yaitu perhatian pada orang dan perhatian pada produksi. Perhatian pada orang dan produksi yang tinggi bersimbol (9,9), sedangkan perhatian pada oran dan produksi yang rendah diberi simbol (1,1). Simbol (1,9),(9,1), (5,5) merupakan simbol diantara keduanya. Gaya kepemimpinan (9,9) merupakan gaya kepemimpinan yang paling efektif.
Dua dimensi tsb pda Kisi Manjerial adalah :
a) Kepedulian akan Orang
b) Kepedulian akan Produksi
Penelitian Skandinavia
Para peneliti di Finlandia dan Swedia telah menilai-ulag apakah hanya terdpat dua dimensi yang menyangkut hakikat perilaku kepemimpinan. Premis dasar mereka adalah bahwa dalam dunia yang berubah, pemimpin yang efektif akan menampakan perilaku yang berorientasi-pengembangan. Mereka adalah para pemimpin yang menghargai eksperimentasi, mencari gagasan baru, serta membuat dan mengimplementasikan perubahan.
Para peneliti Skandinavia ini mengkaji data Universitas Negeri Ohio yang asli. Mereka menemukan bahwa para peneliti Ohio memasukan butir-butir pengembangan seperti “mendorong cara-cara baru untuk menyelesaikan sesuatu”, “menciptakan pendekatan baru terhadap masalah”, dan “mendorong anggota untuk memulai kegiatan baru”. Namun kadang butir-butir ini pada saat itu tidak banyak menjelaskan kepemimpinan yang efektif. Mungkin, menurut para peneliti Skandinavia itu, karena pengembangan gagasan baru dan implementasi perubahan tidak penting pada waktu itu. Sehingga para peneliti Skandinavia tersebut melakukan hal baru untuk meneliti apakah terdapat dimensi ketiga-orientasi pengembangan-yang terkait dengan efektivitas pemimpin.
Dalam suatu dunia yang berubah, pemimpin yang efektif akan adalah pemimpin yang berorientasi pengembangan (sebagai Dimensi Ketiga). Mereka adalah para pemimpin yang menghargai eksperimentasi, mengusahakan gagasan baru, dan menimbulkan serta melaksanakan perubahan.
2.2.3 Teori Kontinjensi
Kepemimpinan situasional adalah kepemimpinan yang didasarkan atas hubungan saling mempengaruhi antara;
1. Tingkat bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin (perilaku tugas)
2. Tingkat dukungan sosioemosional yang disajikan pemimpin (perilaku hubungan)
3. Tingkat kesiapan yang diperlihatkan bawahan dalam melaksanakan tugas, fungsi atau tujuan tertentu (kematangan bawahan).
Untuk lebih mengerti secara mendalam tentang Kepemimpinan Situasional, perlu bagi kita mempertemukan antara Gaya Kepemimpinan dengan Kematangan Pengikut karena pada saat kita berusaha mempengaruhi orang lain, tugas kita adalah:
1. Mendiagnosa tingkat kesiapan bawahan dalam tugas-tugas tertentu.
2. Menunjukkan gaya kepemimpinan yang tepat untuk situasi tersebut.
Terdapat 4 gaya kepemimpinan yaitu:
1) Memberitahukan, Menunjukkan, Memimpin, Menetapkan (Telling-Directing).
Gaya tepat apabila kita dihadapkan dengan tugas yang rumit dan staf kita belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut. Atau apabila anda berada di bawah tekanan waktu penyelesaian. Kita menjelaskan apa yang perlu dan apa yang harus dikerjakan. Dalam situasi demikian, biasanya terjadi over-communicating (penjelasan berlebihan yang dapat menimbulkan kebingungan dan pembuangan waktu). Dalam proses pengambilan keputusan, pemimpin memberikan aturan –aturan dan proses yang detil kepada bawahan. Pelaksanaan di lapangan harus menyesuaikan dengan detil yang sudah dikerjakan.
2) Menjual, Menjelaskan, Memperjelas, Membujuk (Selling-Coaching)
Pemimpin tidak hanya memberikan detil proses dan aturan kepada bawahan tapi juga menjelaskan mengapa sebuah keputusan itu diambil, mendukung proses perkembangannya, dan juga menerima barbagai masukan dari bawahan. Gaya yang tepat apabila staf kita telah lebih termotivasi dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Disini kita perlu memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengerti tentang tugasnya, dengan meluangkan waktu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan mereka.
3) Mengikutsertakan, memberi semangat, kerja sama (Participating-Supporting)
Sebuah gaya dimana pemimpin memfasiliasi dan membantu upaya bawahannya dalam melakukan tugas. Dalam hal ini, pemimpin tidak memberikan arahan secara detail, tetapi tanggung jawab dan proses pengambilan keputusan dibagi bersama dengan bawahan. Gaya ini akan berhasil apabila karyawan telah mengenal teknik – teknik yang dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan anda. Dalam hal ini kita perlumeluangkan waktu untuk berbincang – bincang, untuk lebih melibatkan mereka dalam penganbilan keputusan kerja, serta mendengarkan saran – saran mereka mengenai peningkatan kinerja.
4) Mendelegasikan, Pengamatan, Mengawasi, Penyelesaian (Delegating)
Sebuah gaya dimana seorang pemimpin mendelegasikan seluruh wewenang dan tanggung jawabnya kepada bawahan. Gaya Delegating akan berjalan baik apabila staf kita sepenuhnya telah paham dan efisien dalm pekerjaan, sehingga kita dapat melepas mereka menjalankan tugas atau pekerjaan itu atas kemampuan dan inisiatifnya sendiri.
Keempat gaya ini tentu saja mempunyai kelemahan dan kelebihan, serta sangat tergantung dari lingkungan di mana seorang pemimpin berada, dan juga kesiapan dari bawahannya. Maka kemudian timbul apa yang disebut sebagai ”situational leadership”. Situational leadership mengindikasikan bagaimana seorang pemimpin harus menyesuaikan keadaan dari orang-orang yang dipimpinnya.
Ditengah-tengah dinamika organisasi (yang antara lain diindikasikan oleh adanya perilaku staf/individu yang berbeda-beda), maka untuk mencapai efektivitas organisasi, penerapan keempat gaya kepemimpinan diatas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Inilah yang dimaksud dengan situasional lesdership,sebagaimana telah disinggung di atas. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus yakni :
• Kemampuan analitis (analytical skills) yakni kemampuan untuk menilai tingkat pengalaman dan motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
• Kemampuan untuk fleksibel (flexibility atau adaptability skills) yaitu kemampuan untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa terhadap situasi.
• Kemampuan berkomunikasi (communication skills) yakni kemampuan untuk menjelaskan kepada bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang kita terapkan.
Ketiga kemampuan di atas sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, sebab seorang pemimpin harus dapat melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision making) (Gordon, 1996 : 314-315).
Peran pertama meliputi :
Peran Figurehead → Sebagai simbol dari organisasi
Leader → Berinteraksi dengan bawahan, memotivasi dan mengembangkannya
Liaison → Menjalin suatu hubungan kerja dan menangkap informasi untuk kepentingan organisasi.
Sedangkan peran kedua terdiri dari 3 peran juga yakni :
Monitior → Memimpin rapat dengan bawahan, mengawasi publikasi perusahaan, atau berpartisipasi dalam suatu kepanitiaan.
Disseminator → Menyampaikan informasi, nilai – nilai baru dan fakta kepada bawahan.
Spokeman →Juru bicara atau memberikan informasi kepada orang – orang di luar organisasinya.
Peran ketiga terdiri dari 4 peran yaitu :
Enterpreneur → Mendesain perubahan dan pengembangan dalam organisasi.
Disturbance Handler → Mampu mengatasi masalah terutama ketika organisasi sedang dalam keadaan menurun.
Resources Allocator → Mengawasi alokasi sumber daya manusia, materi, uang dan waktu dengan melakukan penjadwalan, memprogram tugas – tugas bawahan, dan mengesahkan setiap keputusan.
Negotiator → Melakukan perundingan dan tawar – menawar.
Dalam perspektif yang lebih sederhana, Morgan ( 1996 : 156 ) mengemukakan 3 macam peran pemimpin yang disebut dengan 3A, yakni :
Alighting → Menyalakan semangat pekerja dengan tujuan individunya.
Aligning → Menggabungkan tujuan individu dengan tujuan organisasi sehingga setiap orang menuju ke arah yang sama.
Allowing → Memberikan keleluasaan kepada pekerja untuk menantang dan mengubah cara kerja mereka.
Jika saja Indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Maka jika ingin menjadi pemimpin yang baik jangan pikirkan orang lain, pikirkanlah diri sendiri dulu. Tidak akan bisa mengubah orang lain dengan efektif sebelum merubah diri sendiri. Bangunan akan bagus, kokoh, megah, karena ada pondasinya. Maka sibuk memikirkan membangun umat, membangun masyarakat, merubah dunia akan menjadi omong kosong jika tidak diawali dengan diri sendiri. Merubah orang lain tanpa merubah diri sendiri adalah mimpi mengendalikan orang lain tanpa mengendalikan diri.
Hubungan antara gaya kepemimpinan dan efektivitas memberi kesan bahwa pada kondisi a, gaya x akan memadai sedangkan gaya y akan lebih cocok untuk kondisi b, dan gaya z untuk kondisi c. tetapi apa sebenarnya kondisi a, b, c, dan seterusnya itu? Satu hal yang harus dikatakan adalah bahwa efektivitas kepemimpinan tergantung pada situasi dan hal lain yang mampu mengisolasi kondisi-kondisi situasi itu. Beberapa pendekatan untuk memisahkan variabel situasi kunci terbukti lebih berhasil daripada pendekatan yang lain, diantaranya:
Model Fiedler
Dikembangkan oleh: Fred Fiedler
Model kepemimpinan Fiedler mengemukakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada penyesuaian yang tepat antara gaya pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahan dan tingkat dimana situasi tertentu memberikan kendali dan pengaruh ke pemimpin itu.
• Mengidentifikasi Gaya Pemimpin
Menggunakan Kuesioner Mitra Kerja paling dihindari (least preffered co-worker- LPC)
Yakni suatu instrumen yang mengklaim untuk mengukur apakah seseorang berorientasi tugas atau hubungan. Kuesioner LPC berisi 16 kata sifat yg berlawanan dengan sakala penilaian 1 – 8.
LPC Tinggi = Berorientasi Hubungan
LPC rendah = Berorientasi Tugas
Fiedler berpendapat bahwa gaya kepemimpinan merupakan pembawaan lahir seseorang yg bersifat tetap (tidak dapat berubah)
• Mendefinisikan Situasi
Fiedler mengidentifikasi tiga dimensi kontinjensi yang menurutnya mendefinisikan faktor situasi utama yang menentukan efektivitas kepemimpinan, diantaranya:
1) Hubungan pemimpin-anggota: tingkat keyakinan, kepercayaan, dan hormat bawahan terhadap pemimpin mereka.
2) Struktur tugas: tingkat pemroseduran penugasan pekerjaan (yakni terstruktur atau tidak terstruktur).
3) Kekuasaan jabatan: tingkat pengaruh yang dimiliki pemimpin terhadap variabel kekuasaan seperti mempekerjakan, memecat, mendisiplinkan, mempromosikan, dan menaikkan gaji.
Langkah berikutnya yakni dengan mengevaluasi situasi dalam ketiga variabel kontinjensi itu. Fiedler mengatakan bahwa semakin baik hubungan pemimpin-anggota, semakin terstruktur pekerjaan itu, dan semakin kuat kekuasaan posisi, semakin banyak kendali atau pengaruh yang dimiliki pemimpin itu.
Makin baik hubungan pemimpin anggota, makin terstruktur pekerjaan, & makin kuat kekuasaan jabatan, maka makin banyak kendali atau pengaruh yg dimiliki pemimpin . Terdapat 8 Kemungkinan Model Situasi atau Kategori yang berlainan dimana seorang pemimpin ditempatkan yakni:
SITUASI I II III IV V VI VII VIII
Hub Pimp – Anggota Baik Baik Baik Baik Tidak baik Tidak baik Tidak baik Tidak baik
Struktur Tugas Tinggi Tinggi Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Rendah
Kekuasaan Posisi Kuat Lemah Kuat Lemah Kuat Lemah Kuat Lemah
• Menyesuaikan pemimpin dengan situasi
Fiedler menyimpulkan bahwa para pemimpin berorientasi tugas cenderung memiliki kinerja lebih baik dalam situasi yang sangat mendukung bagi mereka dan dalam situasi-situasi yang sangat tidak mendukung. Contoh, dua cara memperbaiki efektivitas pemimpin diantaranya:
1) Mengganti pemimpin itu agar dapat menyesuaikan dengan situasi,
2) Akan berupa perubahan situasi agar cocok dengan pemimpin itu. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan restrukturisasi tugas atau meningkatkan/menurunkan kekuasaan pemimpin dalam mengendalikan faktor-faktor seperti kenaikan gaji, promosi, dan tindakan pendisiplinan
• Evaluasi
Contoh evaluasi dilakukan terhadap masalah mengenai LPC seperti logika yang mendasari LPC tidaklah dipahami dengan baik dan banyak penelitian menunjukkan bahwa skor LPC para responden tidak stabil. Juga, variabel kontinjensi bersifat rumit dan sukar dinilai oleh para praktisi. Sering sulit dalam praktik untuk menentukan seberapa baik hubungan pemimpin-anggota, seberapa terstruktur tugas yang ada, dan seberapa besar kekuasaan jabatan yang dimiliki pemimpin.
• Teori sumberdaya kognitif
Yakni teori kepemimpinan yang menyatakan bahwa stress secara negatif mempengaruhi situasi dan bahwa intelegensia dan pengalaman dapat mengikis pengaruh stress yang dialami pemimpin.
Hakikatnya bahwa stress merupakan musuh rasionalitas. Sulit bagi para pemimpin (atau siapa saja yang mengatasi masalah itu) untuk berfikir secara logis dan analitis ketika mereka berada dalam stress. Fiedler dan Garcia menemukan bahwa kemampuan intelektual pemimpin itu berkorelasi positif dengan kinerja dalam stres rendah tetapi berkorelasi negatif dengan kinerja dalam stres tinggi. Dan, sebaliknya, pengalaman pemimpin berkorelasi negatif dengan kinerja dalam stres rendah tetapi positif dalam stres tinggi.
Kesimpulan : tingkatan stres dalam situasilah yang menentukan apakah intelegensia dan pengalaman individu akan berkontribusi pada kinerja kepemimpinan.
Teori sumberdaya kognitif mengembangkan badan penelitian yang kokoh. Artinya, dalam situasi stres yang tinggi, individu-individu yang cerdas berkinerja lebih buruk dalam peran kepemimpinan dibanding mitra mereka yang kurang cerdas. Ketika stres rendah, individu yang berpenglaman berkinerja lebih buruk daripada orang yang kurang berpengalaman.
Teori situasional Hersey dan Blanchard
Yaitu teori kontijensi yang berfokus pada kesiapan pengikut. Arti kesiapan disini merujuk ke sejauh mana orang mempunyai kemampuan dan kesediaan untuk menyelesaikan tugas tertentu. Dengan menggunakan dua sumbu perilaku kerja (memberikan pengarahan kerja) dan perilaku hubungan (memberikan dukungan kerja), disusun matriks dengan empat kuadran. Gaya kepemimpinan yang efektif tergantung kesiapan karyawan, dalam hal ini akan bergerak dari situasi 1,2,3 dan 4, dimana
Situasi 1 adalah perilaku kerja tinggi dan perilaku hubungan yang rendah
Situasi 2 adalah perilaku kerja tinggi dan perilaku hubungan yang tinggi
Situasi 3 adalah perilaku kerja rendah dan perilaku hubungan tinggi
Situasi 4 adalah perilaku kerja rendah dan perilaku hubungan yang rendah
Menurut Hersey, Blanchard dan Natemeyer ada hubungan yang jelas antara level kematangan orang-orang dan atau kelompok dengan jenis sumber kuasa yang memiliki kemungkinan paling tinggi untuk menimbulkan kepatuhan pada orang-orang tersebut. Kepemimpinan situational memandang kematangan sebagai kemampuan dan kemauan orang-orang atau kelompok untuk memikul tanggungjawab mengarahkan perilaku mereka sendiri dalam situasi tertentu. Maka, perlu ditekankan kembali bahwa kematangan merupakan konsep yang berkaitan dengan tugas tertentu dan bergantung pada hal-hal yang ingin dicapai pemimpin.
Menurut Paul Hersey dan Ken. Blanchard, seorang pemimpin harus memahami kematangan bawahannya sehingga dia akan tidak salah dalam menerapkan gaya kepemimpinan. Tingkat kematangan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kematangan M1 (Tidak mampu dan tidak ingin) maka gaya kepemimpinan yang diterapkan pemimpin untuk memimpin bawahan seperti ini adalah Gaya Telling (G1), yaitu dengan memberitahukan, menunjukkan, mengistruksikan secara spesifik.
2. Tingkat kematangan M2 (tidak mampu tetapi mau), untuk menghadapi bawahan seperti ini maka gaya yang diterapkan adalah Gaya Selling/Coaching, yaitu dengan Menjual, Menjelaskan, Memperjelas, Membujuk.
3. Tingkat kematangan M3 (mampu tetapi tidak mau/ragu-ragu) maka gaya pemimpin yang tepat untuk bawahan seperti ini adalah Gaya Partisipatif, yaitu Saling bertukar Ide & beri kesempatan untuk mengambil keputusan.
4. Tingkat kematangan M4 (Mampu dan Mau) maka gaya kepemimpinan yang tepat adalah Delegating, mendelegasikan tugas dan wewenang dengan menerapkan system control yang baik.
Bagaimana cara kita memimpin haruslah dipengaruhi oleh kematangan orang yang kita pimpin supaya tenaga kepemimpinan kita efektif dan juga pencapaian hasil optimal.
Tidak banyak orang yang lahir sebagai pemimpin. Pemimpin lebih banyak ada dan handal karena dilatihkan. Artinya untuk menjadi pemimpin yang baik haruslah mengalami trial and error dalam menerapkan gaya kepemimpinan.
Pemimpin tidak akan pernah ada tanpa bawahan dan bawahan juga tidak akan ada tanpa pemimpin. Kedua komponen dalam organisasi ini merupakan sinergi dalam perusahaan dalam rangka mencapai tujuan. Paul Hersey dan Ken Blanchard telah mencoba melepar idenya tentang kepemimpinan situasional yang sangat praktis untuk diterapkan oleh pemimpin apa saja. Tentu masih banyak teori kepemimpinan lain yang baik untuk dipelajari. Dari Hersey dan Blanchard, orang tahu kalau untuk menjadi pemimpin tidaklah cukup hanya pintar dari segi kognitif saja tetapi lebih dari itu juga harus matang secara emosional. Pemimpin harus mengetahui atau mengenal bawahan, entah itu kematangan kecakapannya ataupun kemauan/kesediaannya.
Dengan mengenal type bawahan (kematangan dan kesediaan) maka seorang pemimpin akan dapat memakai gaya kepemimpinan yang sesuai. Sayangnya jaman sekarang banyak pemimpin yang suka main kuasa saja tanpa mempedulikan bawahan. Kalaupun mempedulikan bawahan itupun karena ada motif tertentu seperti nepotisme.
Teori Pertukaran Pemimpin Anggota
Atau disebut juga Leader Member Exchange-LMX yaitu para pemimpin menciptakan kelompok dalam dan kelompok luar, dan bawahan dengan status kelompok dalam akan berkinerja lebih tinggi, memiliki tingkat pengunduran diri lebih rendah, dan tingkat kepuasan kerja lebih tinggi.
Penelitian untuk menguji teori LMX pada umumnya bersifat mendukung. Lebih spesifik, teori dan penelitian yang mengelilinginya memberikan bukti yang substantif bahwa para pemimpin memang membeda-bedakan bawahan; bahwa pengikut dengan status kelompok dalam akan memiliki kinerja lebih tinggi, keinginan pengunduran diri lebih rendah, kepuasan yang lebih besar terhadap atasan mereka, dan kepuasan keseluruhan yang lebih besar dibanding dengan kelompok luar.
Teori Jalur-Sasaran (part-goal theory)
Dikembangkan oleh : Robert House
Teori ini merupakan model kontijensi kepemimpinan yang meringkas unsur-unsur utama dari penelitian kepemimpinan Ohio mengenai struktur awal dan pertimbangan sertabteori pengharapan pada motivasi.
Hakikatnya teori jalur-sasaran adalah bahwa tugas pemimpin adalah mendampingi pengikut dalam meraih sasaran mereka dan memberikan pengarahan dan atau dukungan yang perlu untuk menjamin sasaran mereka selaras dengansasaran keseluruhan kelompok atau organisasi
House mengidentifikasi empat perilaku kepemimpinan, diantaranya:
1) Pemimpin direktif
Memberi kesempatan pengikutnya mengetahui apa yang diharapkan dari mereka, menjadwalkan pekerjaan yang akan dilakukan, memberikan pedoman yang spesifik mengenai cara menyelesaikan tugas.
2) Pemimpin suportif
Ramah dan menunjukkan perhatian akan kebutuhan para pengikut.
3) Pemimpin partisipatif
Berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran mereka sebelum mengambil keputusan.
4) Pemimpin berorientasi prestasi
Menetapkan serangkaian sasaran yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi pada tingkat tertnggi mereka.
Bukti penelitian umumnya mendukung logika yang mendasari teori jalur sasaran. Artinya, terdapat kecenderungan bahwa kinerja dan kepuasan karyawan terpengaruh secara positif bila pemimpin itu mengimbangi hal-hal yang kurang dalam diri karyawan atau dalam situasi kerja. Tetapi, pemimpin yang menghabiskan waktu untuk menjelaskan tugas-tugas bila tugas itu sudah jelas atau bila karyawan itu mempunyai kemampuan dan pengalaman untuk menanganinya tanpa gangguan, kemungkinan besar akan tidak efektif karena karyawan itu akan melihat perilaku direktif semacam itu sebagai berlebihan atau bahkan menghina.
Model partisipasi-pemimpin
Dikembangkan oleh : Victor Vroom dan Philip Yetton
Teori yang menghubungkan perilaku kepemimpinan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Atau teori kepemimpinan yang memberikan serangkaian aturan untuk menentukan bentuk dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi-situasi berbeda.
Model Vroom dan Yetton bersifat normatif-model yang memberikan seperangkaturutan aturan yang seharusnya diikuti dalam rangka menentukan ragam dan banyaknya partisipasi yang diinginkan dalam pengambilan keputusan, sebagaimana ditentukan oleh jenis situasi berlainan. Model ini merupakan pohon keputusan rumit yang merangkum tujuh kontinjensi (yang relevansinya dapat diidentifikasi dengan membuat pilihan “ya” dan “tidak”) dan lima gaya kepemimpinan alternatif. Tetapi Vroom dan arthur Jago menghasilkan revisi atas model ini sehingga memperluas variabel kontinjensi menjadi 12
Variabel-variabel Kontinjensi dalam Model Partsipasi-Pemimpin
1) Pentingnya keputusan
2) Pentingnya pencapaian komitmen pengikut terhadap keputusan
3) Apakah pemimpin memiliki informasi yang cukup sehingga mampu membuat keputusan yang baik
4) Seberapa baik struktur masalah yang ada
5) Apakah keputusan otokratik akan mendapatkan komitmen pengikut
6) Apakah pengikut “mempercayai” sasaran organisasi
7) Apakah terdapat kemungkinan konflik diantara para pengikut terhadap alternatif-alternatif solusi
8) Apakah para pengikut mempunyai informasi yang cukup sehingga mampu membuat keputusan yang baik
9) Keterbatasan-keterbatasan waktu pemimpin yang mugkin membatasi keterlibatan pengikut
10) Apakah biaya untuk menyatukan para anggota yang secara geografis tersebar itu layak
11) Pentingnya pemimpin meminimalkan waktu yang diperlukan untuk membuat keputusan
12) Pentingnya penggunaan partisipasi sebagi alat untuk membangun keterampilan keputusan pengikut
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepemimpinan memainkan bagian sentral dalam memahami perilaku kelompok, karena pemimpinlah yang biasanya memberikan pengarahan menuju pencapaian sasaran. Oleh karena itu, kemampuan memperkirakan yang lebih akurat akan bermanfaat bernilai dalam memperbaiki kinerja kelompok.
Pencarian awal atas seperangkat ciri kepemimpinan universal telah gagal. Paling-paling kita dapat mengatakan bahwa para individu yang berambisi; memiliki energi tinggi, keinginan untuk memimpin, kepercayaan diri, intelegensia; mengetahui pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan; dianggap jujur dan dapat dipercaya; serta luwes lebih mungkin berhasil sebagai pemimpin daripada individu-individu tanpa sifat-sifat ini.
Sumbangan besar dari pendekatan perilaku adalah mempersempit kepemimpinan menjadi gaya yang berorientasi-tugas dan berorientasi-orang. Namun tidak ada satu gaya yang efektifdalam semua situasi.
Terobosan besar dalam pemahaman kita akan kepemimpinan muncul ketika kita mengakui kebutuhan untuk mengembangkan teori kontinjensi yang mencakup faktor-faktor situasi. Sekarang ini, bukti menunjukkan variabel-variabel situasi yang relevan akan mencakup struktur tugas atas pekerjaan; tingkat stres situasi; tingkat dukungan kelompok; intelegensi dan pengalaman pemimpin; dan karakteeristik pengikut seperti kepribadian, pengalaman, kemampuan, dan motivasi.
Kata pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras memperbaiki dirinya sebelum sibuk memperbaiki orang lain.
Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
3.2 Saran
Sangat diperlukan sekali jiwa kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa kepemimpinan itu perlu selalu dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin diri sendiri.
Jika saja Indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.
DAFTAR PUSTAKA
Stephen P. Robbins. 2006. Perilaku Organisai Edisi Kesepuluh. PT Indeks
http://emperordeva.wordpress.com/about/makalah-tentang-kepemimpinan/
http://id.wikipedia.org
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/1.model%20kepemimpinan%20efektif~manuati%20dewi~kol.pdf
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalau berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati & menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan & menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia dianugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah & memilih mana yang baik & mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik.
Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok & lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik & sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.
Saat ini banyak orang yang memiliki paradigma yang keliru tentang arti kepemimpinan. Mereka melihat pemimpin adalah sebuah kedudukan atau sebuah posisi semata sehingga banyak orang yang mengejar untuk menjadi seorang pemimpin dengan menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuan tersebut. Akibatnya, pemimpin yang dihasilkan dengan cara-cara seperti itu akan selalu menggunakan kekuasaannya untuk mengarahkan, memperalat, bahkan menguasai orang lain agar orang lain mengikutinya. Hal ini bisa melahirkan pemimpin yang tidak dicintai, tidak disegani, tidak ditaati dan bahkan dibenci.
Gelombang Perubahan yang terus menerus melanda hampir semua sisi kehidupan, pada akhirnya berkembang menjadi perubahan yang berlangsung abadi (Perpectual Change) memaksa semua pihak atau organisasi untuk selalu siap menerima, memahami, mengatisipasi mengelola dan menyesuaikan diri pada perubahan itu sendiri serta harus selalu siap untuk melakukan perubahan.
Di dalam situasi seperti ini, tantangan dan tuntutan yang dihadapi organisasi menjadi semakin berat dan kompleks. Peran dari pemimpin (leader) serta faktor kepemimpinan (leadership) di dalam organisasi dirasakan semakin penting. Pengelolaan sebuah organisasi dan badan usaha tidak lagi dilakukan dengan hanya didasarkan pada keharusan untuk dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari semua sumber daya yang dimiliki, tetapi juga didasarkan pada keharusan untuk menjaga kesinambungan pelaksanaan kegiatan, memenangkan persaingan serta mempertahankan keberadaan organisasi yang kesemuanya memerlukan kehadiran dan peranan seorang leader.
Demikianlah, Leadership dan Leader kemudian memperoleh perhatian yang sangat besar serta menjadi objek kajian yang terus menerus dikembangkan. Semua pihak berlomba-lomba mencari untuk menemukan formula yang tepat dan cara terbaik untuk menjadi leader yang baik dan leadership yang andal.
Semua kajian dan bahasan tentang leadership dan semangat untuk meningkatkan kualitas leadership selama ini biasanya selalu dilihat dari satu sisi atau satu sudut pandang, yakni sisi atau sudut pandang leader. Selama ini seolah-olah terdapat sebuah pemahaman bahwa hanya leader yang harus membuat para follower menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Padahal, pada kenyataannya banyak sekali kasus dan situasi yang memberikan gambaran betapa penting peran dari para follower untuk keberhasilan kepemimpinan sebuah organisasi.
Banyak kita jumpai dalam kehidupan organisasi sehari-hari adanya kenyataan bahwa keberhasilan seorang leader ditentukan tidak hanya oleh keunggulan leadershipnya, tetapi juga oleh kualitas followership yang tinggi dari para follower-nya.
Pada beberapa kasus, dijumpai bahwa efektivitas dan kualitas leadership seorang leader dapat meningkat dan berkembang dengan bantuan dan dukungan dari penerapan followership yang berkualitas dari para follower-nya.
Sebagaimana seorang leader, peranan para follower dalam organisasi sebenarnya bukan hanya sebagai pekerja atau salah satu sumber daya (resources) yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, tetapi para follower memiliki kesejajaran dengan leader sebagai individu. Oleh karenanya, kedudukan, wewenang, tanggumg jawab, potensi dan semua kemampuan yang ada pada mereka harus dapat dimanfaatkan bagi organisasi lebih hanya sekedar dalam bentuk bekerja dan melaksanakan fungsi kekaryaannya.
Disamping potensi untuk berkarya, potensi yang ada pada setiap diri individu follower dalam wujud karsa, daya cipta, dan cita rasapun seluruhnya harus disumbangkan untuk kepentingan organisasi. Dengan demikian keberhasilan sebuah organisasi tidak hanya tergantung pada peran dan keberhasilan seorang leader, tetapi juga pada peran dan keberhasiolan para follower.
Potensi dan kemampuan follower dengan followership-nya yang berkualitas akan menjadi sangat bermanfaat dan menjadi kunci sukses organisasi apabila dapat terjalin baik dengan leadership yang ada pada leader. Tingkat keberhasilan seseorang sangat ditentukan pada seberapa tinggi tingkat kepemimpinannya. Tingkat kepemimpinan seseorang juga menentukan seberapa besar dan seberapa jauh tingkat pengaruhnya.
1.2 Tujuan
a) Mengetahui perbedaan kepemimpinan dan manajemen
b) Mengetahui teori-teori kepemimpinan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Kepemimpinan
Apa kepemimpinan itu?
Kepemimpinan dan manajemen adalah dua istilah yang sering dikacaukan. Perbedaan diantara keduanya, yaitu menurut John Kotter dari Harvard Business School berpendapat bahwa manajemen berkaitan dengan penanganan kerumitan. Manajemen yang baik menghasilkan tatanan dan konsistensi dengan menyusun rencana-rencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat, dan memantau hasil melalui perbandingan dengan rencana. Kepemimpinan, sebaliknya, menyangkut penanganan perubahan. Para pemimpin menetapkan arah dengan menyusun satu visi masa depan; keudian mereka menyatukan orang-orang dengan mengkomunikasikan visi ini dan mengilhami mereka agar mampu mengatasi rintangan-rintangan.
Robert House dari Wharton School pada University of Pennsylvania pada dasarnya setuju ketika dia mengatakan bahwa manajer menggunakan wewenang inheren dalam peringkat formal terencana untuk memperoleh kepatuhan dari para anggota organisasi. Manajemen atau pengorganisasian terdiri dari implementasi visi dan strategi yang disajikan oleh pemimpin, koordinasi dan pembentukan staf organisasi, dan penanganan masalah harian.
Meski Kotter dan House memberikan definisi berbeda tentang kedua istilah tersebut, baik peneliti maupun para manajer yang berpraktik sering tidak mengenali perbedaan tersebut. Oleh karena itu, kita perlu manyajikan kepemimpinan ke dalam cara yang dapat menangkap bagaimana kepemimpinan digunakan dalam teori dan praktik.
Definisi dari kepemimpinan itu sendiri adalah sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Karena posisi manajemen muncul bersama sejumlah tingkat dan wewenang yang dirancang secara formal, seseorang dapat menjalankan peran kepemimpinan semata-mata karena kedudukannya dalam organisasi itu. Tetapi tidak semua pemimpin itu manajer dan sebaliknya tidak semua manajer itu pemimpin. Hanya karena organisasi memberikan kepada manajernya hak formal tertentu tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan mampu secara efektif.
Pemimpin akan lebih jelas jika dibandingkan dengan manajer. Manajer mempunyai kemampuan pengelolaan yang baik. Manajer adalah seseorang yang bekerja melalui orang lain dengan mengoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka guna mencapai sasaran organisasi. Pemimpin sering diasosiasikan dengan orang yang mempunyai karisma tinggi, dan dapat menggerakkan orang lain dengan karismanya.
Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau pun jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya. Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang.
Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
Kepemimpinan menyangkut penanganan perubahan. Para pemimpin menetapkan arah dengan menyusun satu visi masa depan; kemudian mereka menyatukan orang-orang dengan mengkomunikasikan visi ini dan mengilhami mereka agar mampu mengatasi rintangan-rintangan.
Kita mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Sumber pengaruh ini dapat bersifat formal, seperti yang disajikan oleh kepemilikan peringkat manajerial dalam organisasi. Kita menjumpai bahwa kepemimpinan yang tidak mengandung unsur sanksi-yakni, kemampuan untuk mempengaruhi yang timbul di luar struktur formal organisasi itu-sering mempunyai arti penting yang sama atau lebih penting daripada pengaruh formal. Dengan kata lain, pemimpin dapat muncul dari dalam kelompok sekaligus melalui pengangkatan formal untuk memimpin kelompok.
Organisasi membutuhkan kepemimpinan dan manajemen yang kuat untuk meraih efektifitas yang optimal. Dalam dunia yang dinamis dewasa ini, kita membutuhkan pemimpin untuk menantang statusquo, menciptakan visi tentang masa depan, dan memberikan inspirasi kepada para anggota organisasi agar bersedia mencapai visi itu.
Jenis dan Macam Gaya Kepemimpinan
1. Gaya Kepemimpinan Otoriter/Authoritarian
Adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh si pemimpin yang otoriter tersebut, sedangkan para bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan.
2. Gaya Kepemimpinan Demokratis/Democratic
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya.
3. Gaya Kepemimpinan Bebas/Laissez Faire
Pemimpin jenis ini hanya terlibat delam kuantitas yang kecil di mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi.
2.2 Teori-teori Kepemimpinan
Kajian mengenai kepemimpinan termasuk kajian yang multi dimensi, aneka teori telah dihasilkan dari kajian ini. Teori yang paling tua adalah The Trait Theory atau yang biasa disebut Teori Pembawaan. Teori ini berkembang pada tahun 1940-an dengan memusatkan pada karakteristik pribadi seorang pemimpin, meliputi : bakat-bakat pembawaan, ciri-ciri pemimpin, faktor fisik, kepribadian, kecerdasan, dan ketrampilan berkomunikasi. Tetapi pada akhirnya teori ini ditinggalkan, karena tidak banyak ciri konklusif yang dapat membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin.
2.2.1 Teori Ciri Kepribadian
Dalam diri manusia terdiri dari perpaduan dua unsur yang saling melengkapi dan harmonis dalam membentuk dirinya dan kepribadiannya. Kepribadian manusia dapat dipahami secara akurat dan terwujud dalam bentuknya yang hakiki manakala esensi manusia yang terdiri dari perpaduan dua unsur tesebut diperhatikan secara sempurna.
Media telah lama menjadi penganut teori-teori ciri kepemimpinan, yang membedakan pemimpin dari non-pemimpin dengan berfokus pada ciri dan karakteristik pribadi. Media mengidentifikasi orang seperti Margaret Thatcher, Nelson Mandela dari Afrika Selatan, CEO Virgin Group Richard Branson, salah satu pendiri Apple Steve Jobs, mantan waliko New York Rudolph Giuliani, dan pemimpin American Express Ken Chenault sebagai pemimpin, dan kemudian menggambarkan mereka dalam istilah-istilah seperti karismatik, antusias dan pemeberani. Media ternyata tidak sendirian. Pencarian atribut kepribadian, sosial, fisik, atau intelektual yang akan mampu menggambarkan pemimpin dan membedakan mereka dari bukan pemimpin itu kembali ke dasawarsa 1930-an.
Enam karakter yang cenderung membedakan pemimpin dari bukan pemimpin adalah ambisi dan semangat, hasrat untuk memimpin, kejujuran, dan integritas, kepercayaan diri, kecerdasan, dan pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan. Teori-teori ciri kepemimpinan adalah teori-teori yang mengkaji ciri-ciri dan karakteristik pribadi yang membedakan pemimpin dan bukan pemimpin. Pendekatan ciri kepribadian memiliki keterbatasan diantaranya:
Pertama, tidak terdapat ciri-ciri universal yang memperkirakan kepemimpinan dalam semua situasi. Namun ciri-ciri tampak memperkirakan kepemimpinan dalam situasi-situasi yang selektif.
Kedua, ciri-ciri memperkirakan perilaku lebih dalam situasi yang “lemah” daripada dalam situasi yang “kuat”. Situasi kuat adalah situasi dimana terdapat norma-norma perilaku yang kuat, rangsangan yang kuat untuk jenis-jenis perilaku yang spesifik , dan harapan yang jelas, seperti terhadap perilaku mana yang diberikan imbalan dan perilaku mana yang dihukum. Situasi kuat semacam itu menciptakan lebih sedikit peluang bagi pemimpin untuk mengekspresikan kecenderungan disposisi inheren mereka. Karena organisasi-organisasi yang sangat formal dan organisasi-organisasi dengan budaya kuat cocok dengan dengan gambaran tentang situasi yang kuat, kekuatan ciri-ciri memperkirakan kepemimpinan dalam banyak organisasi barangkali terbatas.
Ketiga, bukti tidak jelas dalam memisahkan penyebab dari akibat. Misalnya, apakah kepercayaan diri menciptakan kepemimpinan, atau keberhasilan sebagai pemimpin membangun kepercayaan diri?. Akhirnya, ciri-ciri melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam memperkirakan penampilan kepemimpinan daripada dalam membedakan secara aktual antara pemimpin yang efektif dan tidak efektif. Fakta bahwa individu memperlihatkan ciri-ciri dan yang lain menganggap orang itu sebagai pemimpin tidak selalu berarti bahwa pemimpin itu berhasil membuat kelompoknya mencapai sasaran-sasarannya.
Setiap teori memiliki keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan dari teori-teori kepribadian adalah usaha-usaha untuk merumuskan atau mengungkapkan aspek-aspek penting tingkah laku manusia dan keberhasilan usaha-usaha ini harus dinilai terutama dari seberapa efektif teori-teori itu berhasil merangsang penelitian telah dipaparkan di atas, sedangkan kelemahannya ialah teori kepribadian tidak akan mampu memberi gambaran yang komplit dan lengkap mengenai kepribadian dengan seluruh ciri-cirinya yang khas dan unik, karena hanya dapat mengekspresikan dalam bentuk-bentuk skematis dan tipologis, dengan melihat adanya persamaan-persamaan pokok yang ada pada manusia.
2.2.2 Teori-teori Perilaku
Teori ini lebih terfokus kepada tindakan-tindakan yang dilakukan pemimpin daripada memperhatikan atribut yang melekat pada diri seorang pemimpin. Dari teori inilah lahirnya konsep tentang Managerial Grid oleh Robert Blake dan Hane Mouton. Dengan Managerial Grid mereka mencoba menjelaskan bahwa ada satu gaya kepemimpinan yang terbaik sebagai hasil kombinasi dua faktor, produksi dan orang, yaitu Manajemen Grid. Manajemen Grid merupakan satu dari empat gaya kepemimpinan yang lain, yaitu: Manajemen Tim, Manajemen Tengah jalan, Manajemen yang kurang, dan Manajemen Tugas.
Pada masa berikutnya teori di atas dianggap tidak lagi relevan dengan sikon zaman. Timbullah pendekatan Situational Theory yang dikemukakan oleh Harsey dan Blanchard. Mereka mengatakan bahwa pembawaan yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah berbeda-beda, tergantung dari situasi yang sedang dihadapi. Pendekatan ini menjadi trend pada tahun 1950-an.
Teori perilaku kepemimpinan adalah teori-teori yang mengemukakan bahwa perilaku khusus membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Pendekatan perilaku terhadap kepemimpinan itu akan mempunyai implikasi yang sangat berbeda dari implikasi pendekatan ciri. Jika penelitian ciri berhasil. Maka hal itu akan memberikan dasar untuk memilih orang yang “tepat” untuk melanjutkan posisi formal dalam kelompok dan organisasi yang menuntut kepemimpinan. Sebaliknya, seandainya penelitian perilaku memunculkan determinan perilaku penting dari kepemimpinan, maka kita dapat melatih orang-orang untuk menjadi pemimpin.
Perbedaan antara teori ciri dan teori perilaku, dalam penerapan, terletak pada asumsi yang mendasari. Seandainya teori itu sahih, maka kepemimpinan pada dasarnya dibawa sejak lahir: anda dapat mempunyai ciri itu atau tidak. Dipihak lain, seandainya terdapat perilaku spesifik yang menjadi ciri khas pemimpin, maka kita dapat mengajarkan kepemimpinan.dan kita dapat memperoleh pasokan pemimpin efektif dalam jumlah tidak terhingga.
Teori perilaku sudah cukup berhasil dalam mengidentifikasi hubungan yang konsisten antara pola perilaku kepemimpinan dan kinerja kelompok. Yang tampaknya hilang adalah pertimbangan atas faktor-faktor situasi yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan.
Teori yg mengemukakan bahwa Perilaku Spesifik membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Implikasinya adalah orang dapat dilatih untuk menjadi pemimpin. Terdapat 4 Teori perilaku, yaitu :
Penelitian Universitas Negeri Ohio
Berusaha mengidentifikasi dimensi-dimensi independen dari perilaku pemimpin. Dari 1000 dimensi, akhirnya disempitkan menjadi 2 Kategori Utama yang secara hakiki menjelaskan perilaku kepemimpinan yang digambarkan oleh bawahan, yaitu :
a. Struktur Prakarsa
Tingkat dimana pemimpin berkemungkinan mendefinisikan dan menstruktur peranannya dan peran para anak buahnya dalam mengupayakan pencapaian sasaran. Biasanya berupa standar kinerja yang pasti, penugasan-penugasan, dan deadlines.
b. Pertimbangan
Tingkat dimana pemimpin berkemungkinan memiliki hubungan pekerjaan yang dicirikan dengan rasa saling percaya, penghormatan terhadap gagasan bawahan, dan menghargai perasaan mereka.
Ia menunjukkan kepedulian akan kenyamanan, kesejahteraan, status, dan kepuasan pengikut-pengikutnya. Pemimpin yang tinggi dalam pertimbangan dapat digambarkan sebagai seorang yang membantu bawahan dalam menyelesaikan masalah pribadi, ramah dan dapat didekati, memperlakukan semua bawahan dengan adil.
Dengan kedua variabel tersebut terdiri dari tinggi dan rendah, disusun matriks dengan empat kuadran. Gaya kepemimpinan dengan konsiderasi tinggi menghasilkan kepuasan kerja yang tinggi, dan merupakan gaya kepemimpinan yang efektif, meskipun situasi juga mempengaruhi gaya yang efektif.
Kesimpulannya, penelitian Ohio mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan ini membawa hasil yang positif, tetapi cukup banyak pengecualian yang dijumpai menunjukkan bahwa faktor-faktor situasi perlu dipadukan ke dalam teori itu.
Penelitian Universias Michigan
Dua variabel yang dipakai dalam penelitian ini (oleh Rensis Likert), yaitu:
• Pemimpin berorientasi pada produksi, yakni pemimpin yang menekankan pada aspek-aspek teknis atau tugas atas pekerjaan tertentu.
• Pemimpin berorientasi pada karyawan, yakni pemimpin yang menekankan pada hubungan antar manusia; memberikan perhatian pribadi terhadap kebutuhan karyawan dan menerima perbedaan individual diantara para anggota.
Dia kemudian mengembangkan empat gaya kepemimpinan, yang dinamakan Sistem 1,2,3 dan 4. Sistem 4 merupakan gaya kepemimpinan yang paling partisipatif, sedangkan sistem 1 merupakan gaya kepemimpinan yang paling otoriter, sedangkan sistem 2 dan 3 berada diantara keduanya.
Kesimpulan yang didapatkan oleh para peneliti Michigan sangat menitikberatkan pada pemimpin dengan perilaku berorientasi-karyawan. Pemimpin yang berorientasi-karyawan dikaitkan dengan peningkatan produktivitas kelompok dan kepuasan kerja. Pemimpin yang berorientasi-produksi cenderung dikaitkan dengan penurunan produktivitas kelompok dan kepuasan kerja.
Kisi-kisi Manajerial
Merupakan suatu Matriks 9 X 9 yang membagankan 81 Gaya Kepemimpinan yang berlainan. Robert Blake dan Jane Mouton mengembangkan kisi-kisi manajerial dengan dua sumbu yaitu perhatian pada orang dan perhatian pada produksi. Perhatian pada orang dan produksi yang tinggi bersimbol (9,9), sedangkan perhatian pada oran dan produksi yang rendah diberi simbol (1,1). Simbol (1,9),(9,1), (5,5) merupakan simbol diantara keduanya. Gaya kepemimpinan (9,9) merupakan gaya kepemimpinan yang paling efektif.
Dua dimensi tsb pda Kisi Manjerial adalah :
a) Kepedulian akan Orang
b) Kepedulian akan Produksi
Penelitian Skandinavia
Para peneliti di Finlandia dan Swedia telah menilai-ulag apakah hanya terdpat dua dimensi yang menyangkut hakikat perilaku kepemimpinan. Premis dasar mereka adalah bahwa dalam dunia yang berubah, pemimpin yang efektif akan menampakan perilaku yang berorientasi-pengembangan. Mereka adalah para pemimpin yang menghargai eksperimentasi, mencari gagasan baru, serta membuat dan mengimplementasikan perubahan.
Para peneliti Skandinavia ini mengkaji data Universitas Negeri Ohio yang asli. Mereka menemukan bahwa para peneliti Ohio memasukan butir-butir pengembangan seperti “mendorong cara-cara baru untuk menyelesaikan sesuatu”, “menciptakan pendekatan baru terhadap masalah”, dan “mendorong anggota untuk memulai kegiatan baru”. Namun kadang butir-butir ini pada saat itu tidak banyak menjelaskan kepemimpinan yang efektif. Mungkin, menurut para peneliti Skandinavia itu, karena pengembangan gagasan baru dan implementasi perubahan tidak penting pada waktu itu. Sehingga para peneliti Skandinavia tersebut melakukan hal baru untuk meneliti apakah terdapat dimensi ketiga-orientasi pengembangan-yang terkait dengan efektivitas pemimpin.
Dalam suatu dunia yang berubah, pemimpin yang efektif akan adalah pemimpin yang berorientasi pengembangan (sebagai Dimensi Ketiga). Mereka adalah para pemimpin yang menghargai eksperimentasi, mengusahakan gagasan baru, dan menimbulkan serta melaksanakan perubahan.
2.2.3 Teori Kontinjensi
Kepemimpinan situasional adalah kepemimpinan yang didasarkan atas hubungan saling mempengaruhi antara;
1. Tingkat bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin (perilaku tugas)
2. Tingkat dukungan sosioemosional yang disajikan pemimpin (perilaku hubungan)
3. Tingkat kesiapan yang diperlihatkan bawahan dalam melaksanakan tugas, fungsi atau tujuan tertentu (kematangan bawahan).
Untuk lebih mengerti secara mendalam tentang Kepemimpinan Situasional, perlu bagi kita mempertemukan antara Gaya Kepemimpinan dengan Kematangan Pengikut karena pada saat kita berusaha mempengaruhi orang lain, tugas kita adalah:
1. Mendiagnosa tingkat kesiapan bawahan dalam tugas-tugas tertentu.
2. Menunjukkan gaya kepemimpinan yang tepat untuk situasi tersebut.
Terdapat 4 gaya kepemimpinan yaitu:
1) Memberitahukan, Menunjukkan, Memimpin, Menetapkan (Telling-Directing).
Gaya tepat apabila kita dihadapkan dengan tugas yang rumit dan staf kita belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut. Atau apabila anda berada di bawah tekanan waktu penyelesaian. Kita menjelaskan apa yang perlu dan apa yang harus dikerjakan. Dalam situasi demikian, biasanya terjadi over-communicating (penjelasan berlebihan yang dapat menimbulkan kebingungan dan pembuangan waktu). Dalam proses pengambilan keputusan, pemimpin memberikan aturan –aturan dan proses yang detil kepada bawahan. Pelaksanaan di lapangan harus menyesuaikan dengan detil yang sudah dikerjakan.
2) Menjual, Menjelaskan, Memperjelas, Membujuk (Selling-Coaching)
Pemimpin tidak hanya memberikan detil proses dan aturan kepada bawahan tapi juga menjelaskan mengapa sebuah keputusan itu diambil, mendukung proses perkembangannya, dan juga menerima barbagai masukan dari bawahan. Gaya yang tepat apabila staf kita telah lebih termotivasi dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Disini kita perlu memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengerti tentang tugasnya, dengan meluangkan waktu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan mereka.
3) Mengikutsertakan, memberi semangat, kerja sama (Participating-Supporting)
Sebuah gaya dimana pemimpin memfasiliasi dan membantu upaya bawahannya dalam melakukan tugas. Dalam hal ini, pemimpin tidak memberikan arahan secara detail, tetapi tanggung jawab dan proses pengambilan keputusan dibagi bersama dengan bawahan. Gaya ini akan berhasil apabila karyawan telah mengenal teknik – teknik yang dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan anda. Dalam hal ini kita perlumeluangkan waktu untuk berbincang – bincang, untuk lebih melibatkan mereka dalam penganbilan keputusan kerja, serta mendengarkan saran – saran mereka mengenai peningkatan kinerja.
4) Mendelegasikan, Pengamatan, Mengawasi, Penyelesaian (Delegating)
Sebuah gaya dimana seorang pemimpin mendelegasikan seluruh wewenang dan tanggung jawabnya kepada bawahan. Gaya Delegating akan berjalan baik apabila staf kita sepenuhnya telah paham dan efisien dalm pekerjaan, sehingga kita dapat melepas mereka menjalankan tugas atau pekerjaan itu atas kemampuan dan inisiatifnya sendiri.
Keempat gaya ini tentu saja mempunyai kelemahan dan kelebihan, serta sangat tergantung dari lingkungan di mana seorang pemimpin berada, dan juga kesiapan dari bawahannya. Maka kemudian timbul apa yang disebut sebagai ”situational leadership”. Situational leadership mengindikasikan bagaimana seorang pemimpin harus menyesuaikan keadaan dari orang-orang yang dipimpinnya.
Ditengah-tengah dinamika organisasi (yang antara lain diindikasikan oleh adanya perilaku staf/individu yang berbeda-beda), maka untuk mencapai efektivitas organisasi, penerapan keempat gaya kepemimpinan diatas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Inilah yang dimaksud dengan situasional lesdership,sebagaimana telah disinggung di atas. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus yakni :
• Kemampuan analitis (analytical skills) yakni kemampuan untuk menilai tingkat pengalaman dan motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
• Kemampuan untuk fleksibel (flexibility atau adaptability skills) yaitu kemampuan untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa terhadap situasi.
• Kemampuan berkomunikasi (communication skills) yakni kemampuan untuk menjelaskan kepada bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang kita terapkan.
Ketiga kemampuan di atas sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, sebab seorang pemimpin harus dapat melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision making) (Gordon, 1996 : 314-315).
Peran pertama meliputi :
Peran Figurehead → Sebagai simbol dari organisasi
Leader → Berinteraksi dengan bawahan, memotivasi dan mengembangkannya
Liaison → Menjalin suatu hubungan kerja dan menangkap informasi untuk kepentingan organisasi.
Sedangkan peran kedua terdiri dari 3 peran juga yakni :
Monitior → Memimpin rapat dengan bawahan, mengawasi publikasi perusahaan, atau berpartisipasi dalam suatu kepanitiaan.
Disseminator → Menyampaikan informasi, nilai – nilai baru dan fakta kepada bawahan.
Spokeman →Juru bicara atau memberikan informasi kepada orang – orang di luar organisasinya.
Peran ketiga terdiri dari 4 peran yaitu :
Enterpreneur → Mendesain perubahan dan pengembangan dalam organisasi.
Disturbance Handler → Mampu mengatasi masalah terutama ketika organisasi sedang dalam keadaan menurun.
Resources Allocator → Mengawasi alokasi sumber daya manusia, materi, uang dan waktu dengan melakukan penjadwalan, memprogram tugas – tugas bawahan, dan mengesahkan setiap keputusan.
Negotiator → Melakukan perundingan dan tawar – menawar.
Dalam perspektif yang lebih sederhana, Morgan ( 1996 : 156 ) mengemukakan 3 macam peran pemimpin yang disebut dengan 3A, yakni :
Alighting → Menyalakan semangat pekerja dengan tujuan individunya.
Aligning → Menggabungkan tujuan individu dengan tujuan organisasi sehingga setiap orang menuju ke arah yang sama.
Allowing → Memberikan keleluasaan kepada pekerja untuk menantang dan mengubah cara kerja mereka.
Jika saja Indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Maka jika ingin menjadi pemimpin yang baik jangan pikirkan orang lain, pikirkanlah diri sendiri dulu. Tidak akan bisa mengubah orang lain dengan efektif sebelum merubah diri sendiri. Bangunan akan bagus, kokoh, megah, karena ada pondasinya. Maka sibuk memikirkan membangun umat, membangun masyarakat, merubah dunia akan menjadi omong kosong jika tidak diawali dengan diri sendiri. Merubah orang lain tanpa merubah diri sendiri adalah mimpi mengendalikan orang lain tanpa mengendalikan diri.
Hubungan antara gaya kepemimpinan dan efektivitas memberi kesan bahwa pada kondisi a, gaya x akan memadai sedangkan gaya y akan lebih cocok untuk kondisi b, dan gaya z untuk kondisi c. tetapi apa sebenarnya kondisi a, b, c, dan seterusnya itu? Satu hal yang harus dikatakan adalah bahwa efektivitas kepemimpinan tergantung pada situasi dan hal lain yang mampu mengisolasi kondisi-kondisi situasi itu. Beberapa pendekatan untuk memisahkan variabel situasi kunci terbukti lebih berhasil daripada pendekatan yang lain, diantaranya:
Model Fiedler
Dikembangkan oleh: Fred Fiedler
Model kepemimpinan Fiedler mengemukakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada penyesuaian yang tepat antara gaya pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahan dan tingkat dimana situasi tertentu memberikan kendali dan pengaruh ke pemimpin itu.
• Mengidentifikasi Gaya Pemimpin
Menggunakan Kuesioner Mitra Kerja paling dihindari (least preffered co-worker- LPC)
Yakni suatu instrumen yang mengklaim untuk mengukur apakah seseorang berorientasi tugas atau hubungan. Kuesioner LPC berisi 16 kata sifat yg berlawanan dengan sakala penilaian 1 – 8.
LPC Tinggi = Berorientasi Hubungan
LPC rendah = Berorientasi Tugas
Fiedler berpendapat bahwa gaya kepemimpinan merupakan pembawaan lahir seseorang yg bersifat tetap (tidak dapat berubah)
• Mendefinisikan Situasi
Fiedler mengidentifikasi tiga dimensi kontinjensi yang menurutnya mendefinisikan faktor situasi utama yang menentukan efektivitas kepemimpinan, diantaranya:
1) Hubungan pemimpin-anggota: tingkat keyakinan, kepercayaan, dan hormat bawahan terhadap pemimpin mereka.
2) Struktur tugas: tingkat pemroseduran penugasan pekerjaan (yakni terstruktur atau tidak terstruktur).
3) Kekuasaan jabatan: tingkat pengaruh yang dimiliki pemimpin terhadap variabel kekuasaan seperti mempekerjakan, memecat, mendisiplinkan, mempromosikan, dan menaikkan gaji.
Langkah berikutnya yakni dengan mengevaluasi situasi dalam ketiga variabel kontinjensi itu. Fiedler mengatakan bahwa semakin baik hubungan pemimpin-anggota, semakin terstruktur pekerjaan itu, dan semakin kuat kekuasaan posisi, semakin banyak kendali atau pengaruh yang dimiliki pemimpin itu.
Makin baik hubungan pemimpin anggota, makin terstruktur pekerjaan, & makin kuat kekuasaan jabatan, maka makin banyak kendali atau pengaruh yg dimiliki pemimpin . Terdapat 8 Kemungkinan Model Situasi atau Kategori yang berlainan dimana seorang pemimpin ditempatkan yakni:
SITUASI I II III IV V VI VII VIII
Hub Pimp – Anggota Baik Baik Baik Baik Tidak baik Tidak baik Tidak baik Tidak baik
Struktur Tugas Tinggi Tinggi Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Rendah
Kekuasaan Posisi Kuat Lemah Kuat Lemah Kuat Lemah Kuat Lemah
• Menyesuaikan pemimpin dengan situasi
Fiedler menyimpulkan bahwa para pemimpin berorientasi tugas cenderung memiliki kinerja lebih baik dalam situasi yang sangat mendukung bagi mereka dan dalam situasi-situasi yang sangat tidak mendukung. Contoh, dua cara memperbaiki efektivitas pemimpin diantaranya:
1) Mengganti pemimpin itu agar dapat menyesuaikan dengan situasi,
2) Akan berupa perubahan situasi agar cocok dengan pemimpin itu. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan restrukturisasi tugas atau meningkatkan/menurunkan kekuasaan pemimpin dalam mengendalikan faktor-faktor seperti kenaikan gaji, promosi, dan tindakan pendisiplinan
• Evaluasi
Contoh evaluasi dilakukan terhadap masalah mengenai LPC seperti logika yang mendasari LPC tidaklah dipahami dengan baik dan banyak penelitian menunjukkan bahwa skor LPC para responden tidak stabil. Juga, variabel kontinjensi bersifat rumit dan sukar dinilai oleh para praktisi. Sering sulit dalam praktik untuk menentukan seberapa baik hubungan pemimpin-anggota, seberapa terstruktur tugas yang ada, dan seberapa besar kekuasaan jabatan yang dimiliki pemimpin.
• Teori sumberdaya kognitif
Yakni teori kepemimpinan yang menyatakan bahwa stress secara negatif mempengaruhi situasi dan bahwa intelegensia dan pengalaman dapat mengikis pengaruh stress yang dialami pemimpin.
Hakikatnya bahwa stress merupakan musuh rasionalitas. Sulit bagi para pemimpin (atau siapa saja yang mengatasi masalah itu) untuk berfikir secara logis dan analitis ketika mereka berada dalam stress. Fiedler dan Garcia menemukan bahwa kemampuan intelektual pemimpin itu berkorelasi positif dengan kinerja dalam stres rendah tetapi berkorelasi negatif dengan kinerja dalam stres tinggi. Dan, sebaliknya, pengalaman pemimpin berkorelasi negatif dengan kinerja dalam stres rendah tetapi positif dalam stres tinggi.
Kesimpulan : tingkatan stres dalam situasilah yang menentukan apakah intelegensia dan pengalaman individu akan berkontribusi pada kinerja kepemimpinan.
Teori sumberdaya kognitif mengembangkan badan penelitian yang kokoh. Artinya, dalam situasi stres yang tinggi, individu-individu yang cerdas berkinerja lebih buruk dalam peran kepemimpinan dibanding mitra mereka yang kurang cerdas. Ketika stres rendah, individu yang berpenglaman berkinerja lebih buruk daripada orang yang kurang berpengalaman.
Teori situasional Hersey dan Blanchard
Yaitu teori kontijensi yang berfokus pada kesiapan pengikut. Arti kesiapan disini merujuk ke sejauh mana orang mempunyai kemampuan dan kesediaan untuk menyelesaikan tugas tertentu. Dengan menggunakan dua sumbu perilaku kerja (memberikan pengarahan kerja) dan perilaku hubungan (memberikan dukungan kerja), disusun matriks dengan empat kuadran. Gaya kepemimpinan yang efektif tergantung kesiapan karyawan, dalam hal ini akan bergerak dari situasi 1,2,3 dan 4, dimana
Situasi 1 adalah perilaku kerja tinggi dan perilaku hubungan yang rendah
Situasi 2 adalah perilaku kerja tinggi dan perilaku hubungan yang tinggi
Situasi 3 adalah perilaku kerja rendah dan perilaku hubungan tinggi
Situasi 4 adalah perilaku kerja rendah dan perilaku hubungan yang rendah
Menurut Hersey, Blanchard dan Natemeyer ada hubungan yang jelas antara level kematangan orang-orang dan atau kelompok dengan jenis sumber kuasa yang memiliki kemungkinan paling tinggi untuk menimbulkan kepatuhan pada orang-orang tersebut. Kepemimpinan situational memandang kematangan sebagai kemampuan dan kemauan orang-orang atau kelompok untuk memikul tanggungjawab mengarahkan perilaku mereka sendiri dalam situasi tertentu. Maka, perlu ditekankan kembali bahwa kematangan merupakan konsep yang berkaitan dengan tugas tertentu dan bergantung pada hal-hal yang ingin dicapai pemimpin.
Menurut Paul Hersey dan Ken. Blanchard, seorang pemimpin harus memahami kematangan bawahannya sehingga dia akan tidak salah dalam menerapkan gaya kepemimpinan. Tingkat kematangan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kematangan M1 (Tidak mampu dan tidak ingin) maka gaya kepemimpinan yang diterapkan pemimpin untuk memimpin bawahan seperti ini adalah Gaya Telling (G1), yaitu dengan memberitahukan, menunjukkan, mengistruksikan secara spesifik.
2. Tingkat kematangan M2 (tidak mampu tetapi mau), untuk menghadapi bawahan seperti ini maka gaya yang diterapkan adalah Gaya Selling/Coaching, yaitu dengan Menjual, Menjelaskan, Memperjelas, Membujuk.
3. Tingkat kematangan M3 (mampu tetapi tidak mau/ragu-ragu) maka gaya pemimpin yang tepat untuk bawahan seperti ini adalah Gaya Partisipatif, yaitu Saling bertukar Ide & beri kesempatan untuk mengambil keputusan.
4. Tingkat kematangan M4 (Mampu dan Mau) maka gaya kepemimpinan yang tepat adalah Delegating, mendelegasikan tugas dan wewenang dengan menerapkan system control yang baik.
Bagaimana cara kita memimpin haruslah dipengaruhi oleh kematangan orang yang kita pimpin supaya tenaga kepemimpinan kita efektif dan juga pencapaian hasil optimal.
Tidak banyak orang yang lahir sebagai pemimpin. Pemimpin lebih banyak ada dan handal karena dilatihkan. Artinya untuk menjadi pemimpin yang baik haruslah mengalami trial and error dalam menerapkan gaya kepemimpinan.
Pemimpin tidak akan pernah ada tanpa bawahan dan bawahan juga tidak akan ada tanpa pemimpin. Kedua komponen dalam organisasi ini merupakan sinergi dalam perusahaan dalam rangka mencapai tujuan. Paul Hersey dan Ken Blanchard telah mencoba melepar idenya tentang kepemimpinan situasional yang sangat praktis untuk diterapkan oleh pemimpin apa saja. Tentu masih banyak teori kepemimpinan lain yang baik untuk dipelajari. Dari Hersey dan Blanchard, orang tahu kalau untuk menjadi pemimpin tidaklah cukup hanya pintar dari segi kognitif saja tetapi lebih dari itu juga harus matang secara emosional. Pemimpin harus mengetahui atau mengenal bawahan, entah itu kematangan kecakapannya ataupun kemauan/kesediaannya.
Dengan mengenal type bawahan (kematangan dan kesediaan) maka seorang pemimpin akan dapat memakai gaya kepemimpinan yang sesuai. Sayangnya jaman sekarang banyak pemimpin yang suka main kuasa saja tanpa mempedulikan bawahan. Kalaupun mempedulikan bawahan itupun karena ada motif tertentu seperti nepotisme.
Teori Pertukaran Pemimpin Anggota
Atau disebut juga Leader Member Exchange-LMX yaitu para pemimpin menciptakan kelompok dalam dan kelompok luar, dan bawahan dengan status kelompok dalam akan berkinerja lebih tinggi, memiliki tingkat pengunduran diri lebih rendah, dan tingkat kepuasan kerja lebih tinggi.
Penelitian untuk menguji teori LMX pada umumnya bersifat mendukung. Lebih spesifik, teori dan penelitian yang mengelilinginya memberikan bukti yang substantif bahwa para pemimpin memang membeda-bedakan bawahan; bahwa pengikut dengan status kelompok dalam akan memiliki kinerja lebih tinggi, keinginan pengunduran diri lebih rendah, kepuasan yang lebih besar terhadap atasan mereka, dan kepuasan keseluruhan yang lebih besar dibanding dengan kelompok luar.
Teori Jalur-Sasaran (part-goal theory)
Dikembangkan oleh : Robert House
Teori ini merupakan model kontijensi kepemimpinan yang meringkas unsur-unsur utama dari penelitian kepemimpinan Ohio mengenai struktur awal dan pertimbangan sertabteori pengharapan pada motivasi.
Hakikatnya teori jalur-sasaran adalah bahwa tugas pemimpin adalah mendampingi pengikut dalam meraih sasaran mereka dan memberikan pengarahan dan atau dukungan yang perlu untuk menjamin sasaran mereka selaras dengansasaran keseluruhan kelompok atau organisasi
House mengidentifikasi empat perilaku kepemimpinan, diantaranya:
1) Pemimpin direktif
Memberi kesempatan pengikutnya mengetahui apa yang diharapkan dari mereka, menjadwalkan pekerjaan yang akan dilakukan, memberikan pedoman yang spesifik mengenai cara menyelesaikan tugas.
2) Pemimpin suportif
Ramah dan menunjukkan perhatian akan kebutuhan para pengikut.
3) Pemimpin partisipatif
Berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran mereka sebelum mengambil keputusan.
4) Pemimpin berorientasi prestasi
Menetapkan serangkaian sasaran yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi pada tingkat tertnggi mereka.
Bukti penelitian umumnya mendukung logika yang mendasari teori jalur sasaran. Artinya, terdapat kecenderungan bahwa kinerja dan kepuasan karyawan terpengaruh secara positif bila pemimpin itu mengimbangi hal-hal yang kurang dalam diri karyawan atau dalam situasi kerja. Tetapi, pemimpin yang menghabiskan waktu untuk menjelaskan tugas-tugas bila tugas itu sudah jelas atau bila karyawan itu mempunyai kemampuan dan pengalaman untuk menanganinya tanpa gangguan, kemungkinan besar akan tidak efektif karena karyawan itu akan melihat perilaku direktif semacam itu sebagai berlebihan atau bahkan menghina.
Model partisipasi-pemimpin
Dikembangkan oleh : Victor Vroom dan Philip Yetton
Teori yang menghubungkan perilaku kepemimpinan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Atau teori kepemimpinan yang memberikan serangkaian aturan untuk menentukan bentuk dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi-situasi berbeda.
Model Vroom dan Yetton bersifat normatif-model yang memberikan seperangkaturutan aturan yang seharusnya diikuti dalam rangka menentukan ragam dan banyaknya partisipasi yang diinginkan dalam pengambilan keputusan, sebagaimana ditentukan oleh jenis situasi berlainan. Model ini merupakan pohon keputusan rumit yang merangkum tujuh kontinjensi (yang relevansinya dapat diidentifikasi dengan membuat pilihan “ya” dan “tidak”) dan lima gaya kepemimpinan alternatif. Tetapi Vroom dan arthur Jago menghasilkan revisi atas model ini sehingga memperluas variabel kontinjensi menjadi 12
Variabel-variabel Kontinjensi dalam Model Partsipasi-Pemimpin
1) Pentingnya keputusan
2) Pentingnya pencapaian komitmen pengikut terhadap keputusan
3) Apakah pemimpin memiliki informasi yang cukup sehingga mampu membuat keputusan yang baik
4) Seberapa baik struktur masalah yang ada
5) Apakah keputusan otokratik akan mendapatkan komitmen pengikut
6) Apakah pengikut “mempercayai” sasaran organisasi
7) Apakah terdapat kemungkinan konflik diantara para pengikut terhadap alternatif-alternatif solusi
8) Apakah para pengikut mempunyai informasi yang cukup sehingga mampu membuat keputusan yang baik
9) Keterbatasan-keterbatasan waktu pemimpin yang mugkin membatasi keterlibatan pengikut
10) Apakah biaya untuk menyatukan para anggota yang secara geografis tersebar itu layak
11) Pentingnya pemimpin meminimalkan waktu yang diperlukan untuk membuat keputusan
12) Pentingnya penggunaan partisipasi sebagi alat untuk membangun keterampilan keputusan pengikut
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepemimpinan memainkan bagian sentral dalam memahami perilaku kelompok, karena pemimpinlah yang biasanya memberikan pengarahan menuju pencapaian sasaran. Oleh karena itu, kemampuan memperkirakan yang lebih akurat akan bermanfaat bernilai dalam memperbaiki kinerja kelompok.
Pencarian awal atas seperangkat ciri kepemimpinan universal telah gagal. Paling-paling kita dapat mengatakan bahwa para individu yang berambisi; memiliki energi tinggi, keinginan untuk memimpin, kepercayaan diri, intelegensia; mengetahui pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan; dianggap jujur dan dapat dipercaya; serta luwes lebih mungkin berhasil sebagai pemimpin daripada individu-individu tanpa sifat-sifat ini.
Sumbangan besar dari pendekatan perilaku adalah mempersempit kepemimpinan menjadi gaya yang berorientasi-tugas dan berorientasi-orang. Namun tidak ada satu gaya yang efektifdalam semua situasi.
Terobosan besar dalam pemahaman kita akan kepemimpinan muncul ketika kita mengakui kebutuhan untuk mengembangkan teori kontinjensi yang mencakup faktor-faktor situasi. Sekarang ini, bukti menunjukkan variabel-variabel situasi yang relevan akan mencakup struktur tugas atas pekerjaan; tingkat stres situasi; tingkat dukungan kelompok; intelegensi dan pengalaman pemimpin; dan karakteeristik pengikut seperti kepribadian, pengalaman, kemampuan, dan motivasi.
Kata pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras memperbaiki dirinya sebelum sibuk memperbaiki orang lain.
Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
3.2 Saran
Sangat diperlukan sekali jiwa kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa kepemimpinan itu perlu selalu dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin diri sendiri.
Jika saja Indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.
DAFTAR PUSTAKA
Stephen P. Robbins. 2006. Perilaku Organisai Edisi Kesepuluh. PT Indeks
http://emperordeva.wordpress.com/about/makalah-tentang-kepemimpinan/
http://id.wikipedia.org
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/1.model%20kepemimpinan%20efektif~manuati%20dewi~kol.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar