Halaman

Jumat, 08 Januari 2010

PI-IPM-Titin

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Di Indonesia pergesaran paradigma terjadi sejalan dengan berkembangnya pemikiran pembangunan di dunia, dimana paradigam baru pembangunan manusia, mulai muncul menjadi isu strategis dalam pembangunan nasional. Paradigma ini mengangkat “Indeks Pembangunan Manusia (IPM)” menjadi salah satu pengukur keberhasilan (outcome) pembangunan. IPM, yang untuk pertama kalinya termuat dan dilaporkan UNDP dalam Human Development Report pada tahun 1990, telah memicu perdebatan terutama mengenai pemilihan indikator dan cara mengukurnya. Dengan indeks tersebut, posisi masing-masing negara dapat diperbandingkan, yang spontan menimbulkan rasa senang bagi negara yang kebetulan memiliki IPM tinggi, dan sebaliknya.
Di Indonesia ketika pada tahun 1996 diumumkan angka IPM versi BPS untuk perbandingan antar propinsi 1990-1993, tak luput dari munculnya “Reaksi” bernada “Protes” terutama propinsi di Jawa, yang dilaporkan kualitas hidup manusianya relatif “rendah” sebagaimana tercermin dalam angka IPM propinsi, padahal selama ini merasa telah berhasil memacu pesat pertumbuhan ekonominya. Bagaimana indeks dibuat untuk menghasilkan peringkat. Adanya peringkat lama pertumbuhan ekonomi GNP/GDP yang muncul pada dekade 60-an, mewarnai pemikiran kita dalam mengukur keberhasilan pembangunan. GDP/GNP memang merupakan ukuran makro ekonomi yang masih dipakai oleh banyak negara, meskipun ukuran tersebut belum menggambarkan keadaan sebenarnya, terutama gambaran kualitas manusianya.
Pembangunan manusia, terutama menurut UNDP, adalah proses memperoleh pilihan-pilihan penduduk (people’s choice). Dari sekian banyak pilihan, ada tiga pilihan yang dianggap penting yaitu sehat dan berumur panjang, berpendidikan dan akses ke sumber daya yang didapat memenuhi standar hidup layak. Pilihan lain yang mungkin dianggap mendukung tiga pilihan diatas adalah kebebasan politik, hak azazi manusia, dan penghormatan hak pribadi (personal selfresfect). Untuk tahun 2001 ini Bappenas bekerjasama dengan UNDP mengembangkan sebuah wacana baru dengan mencoba mengukur nilai keberhasilan pembangunan manusia dihubungkan dengan manusia. 
Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan rakyat menikmati umur panjang, sehat, dan menjalankan kehidupan yang produktif. Hal ini nampaknya sederhana. Tetapi seringkali terlupakan oleh kesibukan jangka pendek untuk mengumpulkan harta dan uang. (UNDP: Human Development Report 2000)
Menurut UNDP (1990:1), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk mempebesar pilihan-pilihan bagi manusia (“a process of enlarging people’s choices”). Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus pembangunan suatu negara adalah penduduk karena penduduk adalah kekayaan nyata suatu negara. Konsep atau definisi pembangunan manusia tersebut pada dasarnya mencakup dimensi pembangunan yang sangat luas. Definisi ini lebih luas dari definisi pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konsep pembangunan manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sudut manusianya, bukan hanya dari pertumbuhan ekonominya. Sebagaimana dikutip dari UNDP (1995:118), sejumlah premis penting dalam pembangunan manusia diantaranya adalah:
- Pembangunan harus mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian;
- Pembangunan dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan manusia harus terpusat pada penduduk secara keseluruhan, dan bukan hanya pada aspek ekonomi saja;
- Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan (kapabilitas) manusia tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan kemampuan manusia tersebut secara optimal;
- Pembangunan manusia didukung empat pilar pokok, yaitu: produktifitas, pemerataan, kesinambungan, dan pemberdayaan; dan
- Pembangunan manusia menjadi dasar dalam penentuan tujuan pembangunan dan dalam menganalisis pilihan-pilihan untuk mencapainya.
Untuk itu diperlukan suatu indikator komposit yang dapat menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara berkelanjutan. IPM adalah suatu indikator pembangunan manusia yang diperkenalkan UNDP pada tahun 1990. Pada dasarnya IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak (decent lving). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah angka melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas; dan hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan pada Purchasing Power Parity (paritas daya beli dalam rupiah).

1.2 Permasalahan
Dari latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Indeks Pembangunan Manusia (IPM)?
2. Komponen apa saja yang termasuk ke dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM)?
3. Bagaimana perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)?
4. Bagaimana kondisi IPM di Indonesia?
5. Bagaimana perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antar provinsi di Indonesia?
6. Bagaimana perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara Indonesia dengan Negara lain di dunia?






BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori
2.1.1 Konsep Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. 
Pembangunan manusia adalah upaya yang dilakukan untuk memperluas peluang penduduk agar mencapai hidup layak. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel India, Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom Pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics dan sejak itu dipakai oleh program pembangunan PBB pada laporan HDI tahunannya. Digambarkan sebagai "pengukuran vulgar" oleh Amartya Sen karena batasannya, indeks ini lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya sekedar pendapatan perkapita yang selama ini digunakan, dan indeks ini juga berguna sebagai jembatan bagi peneliti yang serius untuk mengetahui hal-hal yang lebih terinci dalam membuat laporan pembangunan manusianya.
HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia:
• hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran
• Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, dan atas/ gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
• standard kehidupan yang layak diukur dengan GDP per kapita gross domestic product / produk domestik bruto dalam paritas kekuatan beli/ purchasing power parity dalam Dollar AS

Dalam rangka pembangunan manusia, Indonesia perlu lebih banyak berinvestasi tidak hanya sekedar untuk memenuhi hak-hak dasar warganya tetapi juga untuk meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi dan menjamin kelangsungan demokrasi dalam jangka panjang. Investasi ini memang tergolong besar, namun sebenarnya dapat terjangkau.
Sebelum krisis, Indonesia cukup sukses dalam memenuhi sejumlah hak-hak dasar menterjemahkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi ke dalam pembangunan manusia yang cepat dan merata. Namun demikian, keberhasilan ini sebagian besar dibiayai melalui belanja masyarakat, bukan belanja pemerintah. Dalam bidang kesehatan misalnya, pemerintah hanya membiayai 20 persen anggaran, kurang dari separuh angka rata-rata di negara Asia Timur dan Pasifik. Karena manfaat belanja masyarakat cenderung lebih dirasakan oleh kelompok kaya, maka hal ini berdampak pada ketimpangan yang serius. Contohnya, angka kematian bayi di kalangan keluarga miskin, tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan kalangan keluarga kaya (Laporan Pembangunan Manusia Indonesia, 2004). Cerminan kualitas sumberdaya manusia Indonesia dapat tergambar dalam indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di suatu daerah.
Pembangunan manusia harus dipandang sebagai upaya untuk mengisi dan melengkapi upaya-upaya dalam pencapaian tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Pembangunan manusia merupakan suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan warga negara, yaitu pilihan untuk hidup sehat dan berumur panjang, berilmu pengetahuan, memiliki akses terhadap sumberdaya agar hidup layak, dan dapat turut berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya, yang meliputi kebebasan politik, hak asasi, dan harga diri.
Konsensus nasional untuk peningkatan pembangunan manusia Indonesia telah dilakukan melalui Kongres Nasional Pembangunan Manusia Indonesia yang dilaksanakan pada bulan November 2006. Kongres tersebut telah menghasilkan dokumen permufakatan pembangunan manusia Indonesia menuju Indoneisa yang lebih sejahtera, adil, dan makmur, piagam pembangunan manusia Indonesia, dan rencana aksi nasional pembangunan manusia Indonesia 2006.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks komposit yang digunakan untuk mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga hal mendasar pembangunan manusia, yaitu: lama hidup, yang diukur dengan angka harapan hidup ketika lahir; pendidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas; dan standar hidupyang diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan menjadi paritas daya beli. Nilai indeks ini berkisar antara 0 -100. 
IPM ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa hal sebagai berikut:
• Untuk mengalihkan fokus perhatian para pengambil keputusan, media, dan organisasi non pemerintah dari penggunaan statistik ekonomi biasa, agar lebih menekankan pada pencapaian manusia. IPM diciptakan untuk menegaskan bahwa manusia dan segenap kemampuannya seharusnya menjadi kriteria utama untuk menilai pembangunan sebuah negara, bukannya pertumbuhan ekonomi.
• Untuk mempertanyakan pilihan-pilihan kebijakan suatu negara: bagaimana dua negara yang tingkat pendapatan per kapitanya sama dapat memiliki IPM yang berbeda. Contohnya, tingkat pendapatan per kapita antara Pakistan dan Vietnam hampir sama, namun harapan hidup dan angka melek huruf antara keduanya sangat berbedaa, sehingga Vietnam memperoleh nilai IPM yang jauh lebih tinggi daripada Pakistan. Perbedaan yang kontras ini memicu perdebatan mengenai kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan dan kesehatan, dan mempertanyakan mengapa yang dicapai oleh satu negara tidak dapat dikejar oleh negara lainnya.
• Untuk memperlihatkan perbedaan di antara negara-negara, di antara provinsi-provinsi (atau negara bagian), di antara gender, kesukuan dan kelompok sosial-ekonomi lainnya. Dengan memperlihatkan disparitas atau kesenjangan di antara kelompok-kelompok tersebut, maka akan lahir berbagai debat dan diskusi di berbagai negara untuk mencari sumber masalah dan solusinya.
IPM ini mengukur pencapaian keseluruhan dari suatu daerah/negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu lamanya hidup, pengetahuan dan suatu standar hidup yang layak. Ketiganya diukur dengan angka harapan hidup, pencapaian pendidikan, dan pendapatan per kapita yang telah disesuaikan menjadi paritas daya beli. IPM adalah suatu ringkasan dan bukan ukuran komprehensif dari pembangunan manusia.

2.1.2 Komponen-Komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Untuk meningkatkan efektivitas pembangunan manusia penggunaan data statistik baik perencanaan, pemantauan maupun evaluasi tidak dapat dihindari. Dalam melaksanakan tugasnya BPS menyelenggarakan berbagai sensus dan survey diantaranya adalah Sensus Penduduk (SP), Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS), Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), Survey angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dan Survey Demografi dan kesehatan Indonesia.(SDKI). 
Dari hasil survey tersebut dapat diturunkan berbagai indikator kependudukan dan kesejahteraan masyarakat. Indikator ini dapat digunakan untuk melihat kemajuan pembangunan yang telah dicapai. Selain itu hasil survey perlu dianalisis atau diinterpretasikan agar mudah digunakan dalam perencanaan atau pengambilan keputusan.
Indikator komposit pembangunan manusia adalah alat ukur yang dapat digunakan untuk melihat pencapaian pembangunan manusia secara antar wilayah dan antar waktu. . Indeks pembangunan manusia (IPM) merupakan alat ukur yang dapat menunjukan presentase pencapaian dalam pembangunan manusia dengan memperhatikan tiga faktor yaitu kelangsungan hidup, pengetahuan dan daya beli.
Indikator yang digunakan serta kondisi terburuk dan kondisi ideal dari setiap faktor adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Indikator IPM
Faktor Komponen Kondisi
  Ideal Terburuk
Kelangsungan Hidup Angka Harapan Hidup (thn) 85,5 25,0

Pengetahuan Angka Melek Huruf (%) 100,0 0,0
 Rata-rata lama sekolah (thn) 15 0
Daya Beli Konsumsi riil perkapita 732.720,0 300.000,0

Dengan 3 ukuran pembangunan ini dan menerapkan suatu formula yang kompleks terhadap data 160 negara pada tahun 1990, rangking HDI semua Negara dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) Negara dengan pembangunan manusia yang rendah (low human development) bila nilai HDI berkisar antara 0,0 hingga 0,50; (2) Negara dengan pembangunan manusia yang menengah (medium human development) bila nilai HDI berkisar antara 0,51 hingga 0,79; dan (3) Negara dengan pembangunan manusia yang tinggi (high human development) bila nilai HDI berkisar antara 0,80 hingga 1,0. Negara dengan nilai HDI di bawah 0,51 hingga 0,79 berarti mulai memperhatikan pembangunan manusiannya; Negara dengan nialai HDI lebih dari 0,8 berarti amat memperhatikan pembangunan manusianya. Perlu dicatat bahwa HDI mengukur tingkat pembangunan manusia secara relatif, bukan absolute. Selain itu, HDI memfokuskan pada tujuan akhir pembangunan (usia panjang, pengetahuan, dan pilihan material) dan tidak sekedar alat pembangunan (hanya GNP per kapita).  
Lembaga United Nations Development Programme (UNDP) telah mempublikasikan laporan pembangunan sumber daya manusia (Human Deveopment Report 1993) dalam ukuran kuantitatif yang disebut Human Development Index (HDI). Meskipun HDI merupakan alat ukur pembangunan SDM yang dirumuskan secara konstan, diakui tidak akan pernah menangkap gambaran pembangunan SDM secara sempurna. Dengan kata lain, konsep pembangunan SDM lebih luas pengertiannya dari pada pengukuran HDI. Lepas dari dari kelemahan tersebut, HDI dapat dipakai sebagai pedoaman untuk mengetahui kualitas penduduk/sumber daya manusia suatu Negara. Terdapat tiga dimensi dalam pengukuran HDI pertama, longevy atau kemampuan manusia untuk hidup lebih panjang dan hidup secara sehat; kedua, educational attainment atau kemampuan manusia untuk memperoleh, ilmu pengetahuan, berkomunikasi dan berpartisipasi dalam kehidupan kelompok sosial tertentu, ketiga, sucsess to resource atau terpenuhinya standar hidup yang layak. Adapun indikator yang dipilih untuk mengukur tiga dimensi tersebut aedalah sebagai berikut (UNDP, Human Development Report 1993, p.105-106):
 Longevity, diukur dengan variabel harapan hidup saat lahir atau life expectancy at birth dan angka kematian bayi perseribu penduduk atau infant mortality rate;
 Educational achievement, diukur dengan dua indicator, yakni melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas (adult literacy rate) dan tahun rata-rata bersekolah bagi penduduk 25 tahun ke atas (the mean years of schooling);
 Access to resource, dapat diukur secara makro melalui PDB real per kapita dengan terminology purchasing power parity dalam dolar AS dan dapat dilengkapi dengan tingkat angkatan kerja. 
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen yang mempengaruhi IPM antara lain:
1. Derajat kesehatan dan panjangnya umur yang terbaca dari angka harapan hidup (Life Expectancy rate), parameter kesehatan dengan indikator angka harapan hidup, mengukur keadaan sehat dan berumur panjang.
2. Pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf rata-rata lamanya sekolah, parameter pendidikan dngan inidikator angka melek huruf dan lamanya sekolah, mengukur manusia yang cerdas, kreatif, terampil, terdidik, dan bertaqwa.
3. Pendapatan yang diukur dengan daya beli masyarakat (purchasing power parity), Parameter pendapatan dengan indikator daya beli masyarakat, mengukur manusia yang mandiri dan memiliki akses untuk layak.
IPM yang dikembangkan dalam skala internasional tersebut, dengan demikian tidak salah bila digunakan untuk dapat membandingkan kualitas hidup antar tempat dan antar waktu. Di Indonesia, indeks tersebut telah dikembangkan dalam skala propinsi sehingga memungkinkan kita melihat perbandigan IPM antar propinsi.
2.1.2.1 Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang harus di penuhi. Hal ini karena kesehatan dapat menjadi indikator kualitas hidup seseorang. Seorang manusia yang sehat biasanya akan lebih produktif dan mampu berfikir dengan baik, sehingga ia dapat menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Sayangnya di negera kita kesehatan seolah hanya menjadi sesuatu ”barang mewah” yang hanya bisa dimiliki oleh orang kaya yang berpendapatan tinggi. 
Masyarakat kita yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan, sangat rentan terhadap penyakit, hal ini tentu menunjukkan bahwa kualitas kesehatan masyarkat kita masih sangat rendah, dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia. Bagi masyarakat miskin, akses untuk memperoleh fasilitas kesehatanpun masih sangat minim dan sulit, mereka terjebak pada birokrasi yang rumit, sehingga masyarakat yang memerlukan pertolonganpun akhirnya hanya menjadi ”korban”, mereka harus meregang nyawa karena tidak mampu berobat ke rumah sakit, karena tidak ada biaya.
Untuk mengukur tingkat kesehatan masyarakat, maka data yang digunakan biasanya dengan menghitung Angka Harapan Hidup maupun Indeks Peluang Hidup.
Angka Harapan Hidup
Angka Harapan Hidup (AHH) adalah rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Angka harapan hidup dihitung menggunakan pendekatan tidak langsung (indirect estimation). Ada dua jenis data yang digunakan dalam perhitungan angka harapan hidup yaitu anak lahir hidup (ALH) dan anak masih hidup (AMH).  
Besarnya nilai minimum dan maksimum merupakan nilai besaran yang telah disepakati oleh semua negara (175 negara di dunia). Pada komponen angka harapan hidup, angka tertinggi sebagai batas atas perhitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. Angka ini diambil dari standar UNDP.
Tabel 2 Nilai Maksimum dan Minimum dari setiap Komponen IPM
Komponen IPM Max Min Keterangan
1. Angka harapan hidup 85 25 Standar UNDP
2. Angka Melek huruf 100 0 Standar UNDP
3. Rata-rata Lama Sekolah 15 0 
4. Daya Beli 732,720 300,000 (1996)
360,000 (1999,2002) UNDP menggunakan PDB Riil disesuaikan
Keterangan : a) Perkiraan maksimum pada akhir PJP II tahun 2018
b) Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru
2.1.2.2 Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Melakukan investasi pendidikan akan memberikan hasil yang sangat besar karena pembangunan tidak hanya mengandalkan sumber daya alam saja tetapi harus didukung oleh sumber daya manusia yang handal. Pendidikan dapat pula dilihat sebagai investasi sumberdaya manusia dan hasilnya akan diperoleh beberapa tahun kemudian (Tjiptoherijanto P, 1996). 
Secara nasional kebijakan di bidang pendidikan sebenarnya telah meningkatkan pendidikan angkatan kerja hampir di semua wilayah, khususnya terlihat pada tingkat pendidikan menengah (SLTP keatas). Kualitas sarana dan prasarana pendidikan cukup meningkat, namun kebanyakan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu, terutama di ibukota provinsi. Sedang sekolah-sekolah kejuruan serta pelatihan-pelatihan BLK yang sesuai dengan potensi lokal dirasa masih kurang. Dalam perspektif geografis, ada ketimpangan fasilitas dan akses pendidikan di daerah perkotaan dan daerah pedesaan (terutama daerah terpencil), yang mengakibatkan pencapaian pendidikan angkatan kerja diperkotaan lebih tinggi daripada pedesaan.  
Faktor-faktor yang berpengaruh di bidang pendidikan antara lain adalah isu keterbatasan dan pemerataan sarana dan prasarana (sekolah, peralatan, buku dan guru). Di samping itu pertumbuhan ekonomi yang rendah, sangat berpengaruh terhadap kecukupan tenaga pengajar dan kesejahteraan guru yang akan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Kendala geografis dan faktor sosial yang ada di Indonesia juga berpengaruh terhadap pelaksanaan wajib belajar 9 tahun.
Tingkat Pendidikan 
Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan dua indikator yaitu rata-rata lama sekolah (mean years schoolling) dan angka melek huruf. Rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Sedangkan angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Proses pengitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-masing diberikan bobot. Rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga dan angka melek huruf diberi bobot dua per tiga.
Untuk penghitungan indeks pendidikan, dua batasan dipakai sesuai kesepakatan beberapa negara. Batas maksimum untuk melek huruf adalah 100, Sedangkan batas minimum adalah 0. Hal ini menggambarkan kondisi 100% atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai 0 mencerminkan kondisi sebaliknya. Sementara batas minimum untuk rata-rata lama sekolah adalah 15 tahun dan batas minimum sebesar 0 tahun. Batas maksimum 15 tahun mengindikasikan tingkat pendidikan maksimum setara lulus sekolah menengah atas.  
2.1.2.3 Ekonomi
Aspek ekonomi diukur melalui standar hidup layak. Standar hidup layak adalah kualitas menggambarkan kualitas hidup manusia. Dalam cakupan lebih luas standar hidup layak menggambarkan tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi. United Nations Development Programs (UNDP) mengukur standar hidup layak menggunakan produk domestik bruto riil yang disesuaikan, sedangkan Badan Pusat Statistika (BPS) menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil. 
Penghitungan indeks daya beli dilakukan berdasarkan 27 komoditas kebutuhan pokok. 
Table 3 Komoditi Kebutuhan Pokok sebagai Dasar Perhitungan Daya Beli (PPP) 
Komoditi Unit Proporsi dari total konsumsi (%)
1. Beras lokal Kg 7,25
2. Tepung terigu Kg 0,10
3. Singkong Kg O,22
4. Tuna Kg 0,50
5. Teri Ons 0,32
6. Daging sapi Kg 0,78
7. Ayam Kg 0,65
8. Telur Butir 1,48
9.Susu kental manis 3,97 gram 0,48
10. Bayam Kg 0,30
11.Kacang panjang Kg 3,32
12. kacang tanah Kg 0,22
13. pepaya Kg 0,18
15. kelapa Butir 0,56
17. Gula Ons 1,61
18. kopi Ons 0,60
19. garam Ons 0,15
20. merica Ons 0,13
21. mie instan 80 gram 0,79
22.Rokok kretek 10 batang 2,86
23. Listrik Kwh 2,06
24. Air minum M3 0,46
25. Bensin Liter 1,02
26.minyak tanah Liter 1,74
27. Sewa Rumah Unit 11,56
Total 37,52

Batas maksimum dan minimum perhitungan daya beli digunakan seperti terlihat di tabel 2.2. Batas maksimum daya beli adalah sebesar Rp. 732.720,- sementara sampai dengan tahun 1996 batas minimum adalah Rp 300.000,- Pada tahun 2002 dengan mengikuti kondisi pasca krisis ekonomi batas minimum perhitungan PPP diubah dan disepakati menjadi Rp 360.000,-
2.1.3 Perhitungan Indeks Pembanguna Manusia (IPM)
Upaya yang paling ambisius dan terbaru dalam menganalisis perbandingan status pembangunan social ekonomi baik di NSB maupun Negara maju telah dilakukan oleh UNDP (United Nation Development Program) secara sistematis dan komprehensif. UNDP menerbitkan seri tahunan dalam publikasi berjudul Human Development Index (HDI). Seperti halnya PQLI, HDI mencoba merangking semua Negara dalam skala 0 (sebagai tingkatan pembangunan manusia yang terendah) hingga 1 (pembangunan manusia yang tertinggi) berdasarkan atas 3 tujuan atau produk pembangunan, yaitu: (1) usia panjang yang diukur dengan tingkat harapan baru; (2) pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang dari jumlah orang dewasa yang dapat membaca (diberi bobot dua pertiga) dalam rata-rata tahun sekolah (diberi bobot sepertiga); dan (3) penghasilan yang diukur dengan pendapatan per kapita riil yang telah disesuaikan, yaitu disesuaikan menurut daya beli mata uang masing-masing Negara dan asumsi menurunnya utilitas marginal penghailan dengan cepat. 
Indeks tiga komponen HDI dapat dihitung dengan membandingkan perbedaan antara nilai indikator dan penentu nilai minimumnya dengan perbedaan antara penentu indicator maksimum dan minimum, atau secara singkat dapat dituliskan sebagai berikut (UNSFIR, 2000)


di mana:
Xi : Indikator komponen pembangunan manusia ke-i, i= 1,2,3
Xmin : Nilai minimum Xi 
Xmaks : Nilai Maksimum Xi 
Kisaran antara nilai minimum dan maksimum untuk indikator yang tercakup sebagai komponen HDI adalah (UNSFIR, 2000):
 Harapan hidup kelahiran : 25 – 85 (Standar UNDP)
 Tingkat melek hiruf : 0 – 100 (Standar UNDP)
 Rata-rata lama sekolah : 0 – 15 (Standar UNDP)
 Konsumsi per kapita yang disesuaikan : 300.000 – 732.720













Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia
 
Sumber : Buku Panduan Kongres Nasional Pembangunan Manusia Indonesia, Menko Kesra dan TKPK, 2006

Tahapan Perhitungan IPM akan nampak sbb:
Beberapa tahapan dalam penghitungan IPM dapat dijelaskan sebagai berikut :
 Tahap pertama penghitungan IPM adalah menghitung indeks masing-masing komponen IPM (Indeks Harapan Hidup = X1, Pengetahuan = X2 dan Standar Hidup Layak = X3)


dimana :
Xi : Indikator komponen pembangunan manusia ke-i, i= 1,2,3
Xmin : Nilai minimum Xi 
Xmaks : Nilai Maksimum Xi

Tabel 4. Nilai Maksimum dan Nilai Minimum Indikator Komponen IPM
Komponen IPM Mak Min Keterangan
Harapan hidup 85 25 Sesuai standar global (UNDP)
Melek huruf 100 0 Sesuai standar global (UNDP)
Lama sekolah 15 0 Combined gross enrolemnt ratio
Daya beli 737.720 300.000 (96)
360.000 (99) PDB riil per kapita yg disesuaikan 
Sumber: Manual teknis Operasional Pengembangan dan Pemanfaatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam Perencanaan Pembangunan Manusia (BPS, Bappenas, UNDP)

 Tahapan kedua perhitungan IPM adalah menghitung rata-rata sederhana dari masing-masing indeks Xi dengan rumus:


dimana :
X1 = Indeks Angka Harapan Hidup
X2 = 2/3(Indeks Melek Huruf) + 1/3(Indeks Rata-rata Lama Sekolah)
X3 = Indeks Konsumsi perkapita yang disesuaikan
 Tahap ketiga adalah menghitung Reduksi Shortfall, yang digunakan untuk mengukur kecepatan perkembangan nilai IPM dalam suatu kurun waktu tertentu.


dimana:
IPMt = IPM pada tahun t
IPMt+n = IPM pada tahun t+n
IPM ideal = 100
Contoh Perhitungan IPM
 Angka harapan hidup 67,6 thn 
 Angka melek huruf 93,1%
 Rata2 lama sekolah 7,2 thn 
 Pengeluaran perkapita 562.800 (Rp)
 Indeks harapan hidup = (67,6-25) / (85-25) = 71%
 Indeks melek huruf = (93,1-10) / (100-0) =93%
 Indeks lama sekolah = (7,2-0) / (15-0) =48%
 Indeks pendidikan = (2/3 x 93) + (1/3 x 48) = 78%
 Indeks pendapatan = (562.800 – 360.000) / (732.720 – 360.000) = 47%
IPM = 1/3 (71 + 78 + 47) = 65,3 

Kategori Peringkat Pembangunan Manusia
Konsep Pembangunan Manusia yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menetapkan peringkat kinerja pembangunan manusia pada skala 0,0 –100,0 dengan kategori sebagai berikut :
o Tinggi : IPM lebih dari 80,0
o Menengah Atas : IPM antara 66,0 –79,9
o Menengah Bawah : IPM antara 50,0 –65,9
o Rendah : IPM kurang dari 50,00

Ukuran Perkembangan IPM 
Pencapaian pembangunan manusia dapat dilihat dari tiga segi yaitu :
• Terjadi kenaikan IPM secara nilai absolut yang diukur dengan nilai positif dari reduksi shortfall tahunan. Prosedur penghitungan shortfall IPM (=r) dapat dirumuskan sebagai berikut :
r = IPM t+n – IPMt x 100
  100-IPMt
Dimana : IPMt =IPM pada Tahun t
  IPM t+n = IPM pada tahun t+n
  IPM ideal = 100
• Meningkatnya status pembangunan manusia dilihat berdasarkan IPM, yang berdasarkan klasifikasi status pembangunan manusia yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
Nilai IPM Status Pembangunan Manusia
< 50
50 < IPM < 60
60 < IPM < 80
≥ 80 Rendah
Menengah Bawah
Menengah Atas
Tinggi

• Membuat peringkat berdasarkan IPM yang dapat menunjukan secara relative positif kinerja pembangunan suatu wilayah terhadap wilayah lain. 

Kritik Terhadap Perhitungan IPM (Journal Erick Neumayer, The Human development index and sustainability — a constructive proposal: 2001)

Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Erick Neumayer, terdapat beberapa pernyataan yang mengkritik tentang perhitungan IPM. Menurut jurnal tersebut komponen IPM yang terdiri dari angka harapan hidup, pengetahuan/pendidikan, dan daya beli belumlah cukup untuk menjadi indicator perhitungan IPM. Ia menyatakan bahwa komponen GDP/PDB perlu untuk dimasukkan ke dalam perhiungan. Jika tidak maka akan akan di dapat hasil yang berbeda jauh ketika dua Negara dibandingkan IPM. Contoh perbandingan PDB Negara Amerika dengan Uruguay, dimana PDB Amerika diketahui sebesar US $ 26.977 dan Uruguay adalah $ 20.123, perbedaan ini sebesar $ 210, dengan IPM sebagai berikut IPM Amerika yaitu 0,939 dan Uruguay yaitu 0,817. Dan untuk peringkatnya jika hanya IPM yang dibandingkan maka Amerika berada diatas Uruguay, tetapi jika perhitungannya IPM dan PDB digabungkan maka peringkat Uruguay berada di atas Amerika.

2.2 Temuan Empirik dan Pembahasannya 
2.2.1 Kondisi IPM di Indonesia
Secara umum pembangunan manusia di Indonesia selama periode 1996-2007 mengalami peningkatan. Pengecualian terjadi pada periode 1996-1999 dimana terjadi penurunan capaian pembangunan manusia. Hal ini tidak terlepas dengan situasi perekonomian negara yang memburuk saat itu sebagai dampak dari krisis ekonomi di Indonesia. Setahun sebelum krisis atau pada 1996, IPM Indonesia mencapai angka 67,7. Angka ini lebih tinggi dibandingkan IPM di beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Cambodia dan Myanmar. Namun sejak krisis ekonomi pertengahan tahun 1997, IPM Indonesia bergerak turun menjadi 64,3 pada tahun 1999. Hal ini menyebabkan posisi Indonesia turun ke peringkat 110 dari 1177 negara dimana sebelumnya Indonesia berada pada peringkat ke 99 dari 177 negara (UNDP,2004).
Berdasarkan laporan United Nations development Programs (UNDP), peringkat IPM Indonesia pada tahun 2004 meningkat lagi urutan ke 108 dari 177 negara. Urutan ini masih lebih baik dibandingkan 5 negara ASEAN lain seperti Vietnam (109), Cambodia (129), Myanmar (130), Laos (133), dan Timor Timur (142). Tetapi urutan ini berada di bawah 5 negara ASEAN lainnya seperti Singapore (25), Brunai Darussalam (34), Malaysia (61), Thailand (74) dan Philipina (84). Dengan demikian, kualitas hidup manusia Indonesia yang tercermin dalam angka IPM masih belum menggembirakan dibandingkan penduduk di wilayah ASEAN.
Perkembangan IPM menunjukkan peningkatan capaian IPM seiring dengan membaiknya perekonomian negara. Pada tahun 1996 capaian IPM Indonesia sebesar 67,7. Pada tahun 1999 capaian IPM secara perlahan bergerak naik mencapai 65,8. Namun kenaikan ini belum mampu melampaui IPM Indonesia tahun 1996 yang mencapai 66,7. Pada tahun 2007 capaian IPM naik mencapai 70,6.
Grafik 1
Perkembangan IPM tahun 1996-2007
 
Sumber : diolah khusus dari tabel lampiran BPS

Perkembangan angka IPM selama periode 2006-2007 dapat terjadi karena adanya perubahan satu atau lebih komponen IPM dalam periode tersebut. Perubahan yang dimaksud dapat berupa peningkatan atau penurunan besaran persen/rate dari komponen IPM angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran riil per kapita. Adapun peubahan dari masing-masing komponen ini sangat ditentukan oleh beberapa faktor. 
Selama periode 2006-2007 IPM menunjukkan peningkatan. Hal ini tidak terlepas dari kinerja pemerintah yang terus menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini tercermin dari peningkatan komponen IPM seperti indikator harapan hidup, melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran riil per kapita. Peningkatan komponen IPM nasional selama tahun 2006-2007 secara berurutan dari yang tertinggi adalah sebagai berikut : rata-rata lama sekolah naik sebesar 1,37 persen poin, angka melek huruf meningkat sebesar 0,61 persen poin sementara angka harapan hidup dan pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan masing-masing sebesar 0,56 persen poin dan sebesar 0,21 persen poin.
Empiris data berkala IPM di Indonesia yang ada selama ini mengenai angka harapan hidup (AHH) menunjukkan bahwa kenaikan angka harapan hidup tidak melebihi dari satu tahun dalam satu periode (jangka waktu) satu tahun. Hal ini berarti bahwa kondisi angka kematian bayi di Indonesia termasuk kategori Hardrock, artinya dalam jangka waktu satu tahun, penurunan IMR yang tajam sulit terjadi, yang ada adalah penurunan angka kematian bayi yang gradual mengarah lambat. Namun demikian, kalau menyimak sumber UNDP mengenai HDI antar negara, terlihat ada beberapa negara, kenaikan AHH dalam jangka waktu setahun melebihi dari satu tahun. Perbedaan informasi ini memang memerlukan kajian khusus dan menuntut kehati-hatian dalam mengintrepretasikan komponen AHH untuk pengambilan keputusan. 
Sementara itu, rata-rata lama sekolah tergantung dari partisipasi sekolah untuk semua kelompok umur. Dari keempat komponen IPM, yang paling memungkinkan untuk mempercepat laju IPM adalah meningkatkan daya beli penduduk. 
Diketahui, IPM dibentuk oleh empat komponen; yaitu harapan hidup, melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran riil per kapita. Terkait dengan ini, menarik untuk diketahui seberapa besar setiap komponen berkontribusi terhadap besaran angka IPM. Informasi ini sangat diperlukan untuk menetapkan prioritas program pembangunan. Untuk mengetahui besarnya kontribusi setiap komponen IPM terhadap besaran angka IPM digunakan teknik regresi yang diperoleh dari koefisien determinasi (R2). Berdasarkan hasil regresi data IPM tahun 2007 diperoleh komponen IPM yang mempunyai kontribusi besar adalah rata-rata lama sekolah, yakni sebesar 71 persen per tahun, berikutnya melek huruf 64 persen per tahun. Adapun harapan hidup dan pengeluaran riil per kapita masing-masing sebesar 48 persen per tahun dan 40 persen per tahun.








Grafik 2
Komposisi IPM 2006-2007
 


2.2.2 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Antar Provinsi di Indonesia
2.2.2.1 Kesehatan
Angka Harapan Hidup
Pada tahun 1996 sebelum krisis, AHH penduduk telah mencapai 64,4 tahun. AHH ini masih lebih abik dibandingkan dengan AHH laos PDR, Cambodia dan Myanmar. Namun, dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti malaysia, Filipina dan Thailand, AHH Indonesia masih tertinggal. Perkembangan selanjutnya, meski mengalami krisis ekonomi sejak pertengahan 1997, AHH Indonesia pada tahun 1999 meningkat sebesar 1,8 tahun sehingga menjadi 66,2 tahun. Namun, pada tahun 2002 AHH tidak menunjukkan peningkatan. Tiga tahun kemudian pada tahun 2005 AHH mulai menunjukkan kenaikan menjadi 68,1 tahun. Selanjutnya selama dua tahun berturut-turut AHH Indonesia naik menjadi 68,5 pada tahun 2006 dan 68,7 pada tahun 2007.

Tabel 5
angka harapan hidup tahun 1996-2007
Tahun Angka harapan hidup
1996 64,4
1999 66,2
2002 66,2
2005 68,1
2006 68,5
2007 68,7


Grafik 3
Perkembangan angka harapan hidup
 
Angka harapan hidup tahun 2007 di tingkat provinsi relatif bervariasi antara 61,20 sampai 73,10 tahun dimana Yogyakarta mempunyai angka harapan hidup tertinggi. DKI Jakarta sebagai ibukita negara menempati urutan kedua tertinggi dengan angka harapan hidup sebesar 72,80 tahun. Berikutnya adalah angka harapan hidup di Sulawesi Utara yang mencapai 72,0 tahun. Disisi lain angka harapan hidup di Nusa Tenggara Barat merupakan yang terendah. Sementara itu urutan terendah kedua adalah Kalimantan Selatan dengan angka harapan hidup sebesar 62,6 tahun, kemudian Banten di urutan ketiga terendah dengan angka harapan hidup sebesar 64,5 tahun. Namun demikian, secara umum angka harapan hidup penduduk seluruh provinsi berada diatas 61 tahun.

Tabel 6 
Angka Harapan Hidup dan Peringkatnya menurut Provinsi, Tahun 2006-2007
Provinsi AHH Peringkat
 2006 2007 2006 2007
Nanggroe Aceh Darussalam 68,3 68,4 19* 19
Sumatera Utara 68,9 69,1 12* 12
Sumatera Barat 68,5 68,8 17* 16*
Riau 70,8 71,0 4 4
Jambi 68,5 68,6 17* 17
Sumatera Selatan 68,8 69,0 10* 13
Bengkulu 68,9 69,2 12* 11
Lampung 68,5 68,8 17* 16*
Kep.Bangka Belitung 68,3 68,5 19* 18
Kep.Riau 69,6 69,6 9 9
DKI.Jakarta 72,6 72,8 2 2
Jawa Barat 67,4 67,6 22 22*
Jawa Tengah 70,8 70,9 6* 6*
DI Yogyakarta 73,0 73,1 1 1
Jawa Timur 68,6 68,9 14 14
Banten 64,3 64,5 31 31
Bali 70,5 70,6 8 8*
Nusa Tenggara Barat 60,9 61,2 33 33
Nusa Tenggara Timur 66,5 66,7 26 26
Kalimantan Barat 66,0 66,1 27 27
Kalimantan tengah 70,8 70,9 6* 6*
Kalimantan selatan 62,4 62,6 32 32
Kalimantan Timur 70,4 70,6 7 8*
Sulawesi Utara 71,8 72,0 3 3
Sulawesi Tengah 65,6 65,9 29* 29*
Sulawesi Selatan 69,2 69,4 10* 10
Sulawesi Tenggara 67,0 67,2 24* 24*
Gorontalo 65,6 65,9 29* 29*
Sulawesi Barat 67,0 67,2 24* 24*
Maluku 66,6 66,8 25 25
Maluku Utara 64,8 65,1 30 30
Papua Barat 67,3 67,6 21 22*
Papua 67,6 67,9 20 20
Indonesia 68,5 68,7  
Ket: * = peringkat sama

2.2.2.2 Pendidikan
Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah
Perkembangan Angka Melek Huruf (AMH) selama periode 1996-2007 menunjukkan adanya peningkatan dengan kecepatan yang melambat. Peningkatan yang cukup cepat terjadi pada periode 1996-1999, yaitu sebesar 2,9 persen poin. Pada tahun 1996 angka melek huruf baru sebesar 85,5 persen sedangkan pada tahun 1999 telah mencapai 88,4. Meski pada periode tersebut terjadi krisis, tampaknya perkembangan AMH tidak berpengaruh.
Perkembangan AMH pada periode berikutnya menunjukkan perlambatan kecepatan. Pada periode 1999-2002 AMH hanya meningkat sebesar 1,1 persen poin sedangkan pada periode 2002-2005 meningkat menjadi 1,4 persen poin. Namun, pada periode 2005-2006 perkembangan AMH mulai menurun menjadi 0,6 persen poin dan bahkan pada periode 2006-2007 hanya sebesar 0,4 persen poin (lihat gambar 3.5)
Secara umum peningkatan kemampuan baca tulis penduduk usia 15 tahun ke atas selama periode 1996-2007 cukup menggembirakan, meski masih jauh tertinggal dibandingkan dengan beberapa Negara ASEAN kecuali laos PDR dan Kamboja.
Tabel 7
Angka Melek Huruf Tahun 1996-2007
Tahun Angka melek huruf
1996 85,5
1999 88,4
2002 89,5
2005 90,9
2006 91,5
2007 91,9
Sumber : Laporan IPM tahun 2006-2007

Grafik 4
Perkembangan angka melek huruf
 
sumber : BPS, statistik pendidikan 2008

Indikator pendidikan lainnya yang merupakan komponen IPM adalah rata-rata lama sekolah. Selama periode 1996-2007, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang relatif lambat. Rata-rata lama sekolah naik dari 6,3 tahun pada tahun 1996 menjadi 7,5 tahun pada tahu 2007. Hal ini berarti tingkat pendidikan penduduk Indonesia meningkat dari setara dengan lulus tingkat Sekolah Dasar pada tahun 1996, menjadi setara dengan kelas satu sekolah tingkat menengah pada tahun 2007. Selama sebelas tahun kenaikan rata-rata lama sekolah hanya sebesar 1,2 tahun atau kurang dari 0,2 poin per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah bagi pemerintah untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah penduduk.
Berdasarkan capaian rata-rata lama sekolah dikaitkan dengan target yang diusulkan UNDP, maka rata-rata pendidikan penduduk di Indonesia relatif tertinggal. Masih perlu kerja keras untuk mengejar ketertinggalan sampai batas minimal pendidikan yang diusulkan UNDP. Komitmen pemerintah dan kesadaran masyarakat akan pentingnya bersekolah perlu terus digalakkan dan disosialisasikan agar dalam jangka panjang terwujud SDM yang berkualitas.

Tabel 8
Angka Rata-rata Lama Sekolah Tahun 1996-2007
Tahun Angka rata-rata lama sekolah
1996 6,3
1999 6,7
2002 7,1
2005 7,3
2006 7,4
2007 7,5
Sumber : BPS, statistik pendidikan 2008

Grafik 5
Perkembangan rata-rata lama sekolah 1996-2007
 

Tabel 9
Rata-rata lama sekolah dan peringkat tahun 2006-2007

Provinsi Rata-rata Lama Sekolah Peringkat Provinsi
 2006 2007 2006 2007
Nanggroe Aceh Darussalam 8,5 8,5 7* 9
Sumatera Utara 8,6 8,6 4* 5*
Sumatera Barat 8 8,18 12* 11
Riau 8,4 8,4 9* 10
Jambi 7,6 7,63 16* 18
Sumatera Selatan 7,6 7,6 16* 19*
Bengkulu 8 8 12* 13*
Lampung 7,3 7,3 22 23
Kep.Bangka Belitung 6,9 7,18 25* 25
Kep.Riau 8,4 8,94 9* 2
DKI.Jakarta 10,8 10,8 1 1
Jawa Barat 7,5 7,5 20 21
Jawa Tengah 6,8 6,8 27* 28
DI Yogyakarta 8,5 8,59 7* 8
Jawa Timur 6,9 6,9 25* 27
Banten 8,1 8,1 11 12
Bali 7,55 7,6 19 19*
Nusa Tenggara Barat 6,7 6,7 39* 29*
Nusa Tenggara Timur 6,4 6,42 31 33
Kalimantan Barat 6,7 6,7 29* 29*
Kalimantan tengah 8 8 12* 13*
Kalimantan selatan 7,4 4,4 21 22
Kalimantan Timur 8,8 8,8 2* 3*
Sulawesi Utara 8,8 8,8 2* 3*
Sulawesi Tengah 7,68 7,73 15 15
Sulawesi Selatan 7,17 7,23 24 24
Sulawesi Tenggara 7,6 7,71 16* 16
Gorontalo 6,8 6,91 27* 26
Sulawesi Barat 6,28 6,51 33 32
Maluku 8,6 8,6 4* 5*
Maluku Utara 8,6 8,6 6 5*
Papua Barat 7,2 7,65 23 17
Papua 6,3 6,52 32 31
Indonesia 7,4 7,47  
 Sumber : BPS, statistik pendidikan, 2008
Ditingkat provinsi, DKI Jakarta memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi dibandingkan provinsi lainnya yaitu sebesar 10,8 tahun. Tertinggi kedua adalah provinsi Kepulauan Riau sebesar 8,94 tahun. Berikutnya Provinsi Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara masing-masing 8,8 tahun. Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan kota pelajar hanya berada di urutan 8 dengan rata-rata sekolah 8,6 tahun. Sedangkan NTT, Sulawesi Barat dan Papua, masing-masing diurutan terendah pertama, kedua dan ketiga dengan rata-rata lama sekolah masing-masing sebesar 6,42 tahun; 6,51 tahun dan 6,52 tahun.

Grafik 6
Grafik perkembangan jumlah sekolah menurut jenjang pendidikan 
tahun 2003/2004 – 2005/2006.
 
Sumber : Departemen Pendidikan Nasional

Grafik di atas dapat disimpulkan bahwa selama kurun waktu 2003-2006 jumlah sekolah secara keseluruhan pada jenjang pendidikan mengalami peningkatan. Dari grafik sarana tersebut juga dapat membuktikan bahwa ternyata aspek pendidikan di Indonesia adalah meningkat dari tahun ke tahun.

2.2.2.3 Ekonomi 
Daya Beli
Daya beli merupakan kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya untuk barang dan jasa. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh harga-harga riil antar wilayah karena nilai tukar yang digunakan dapat menurunkan atau menaikkan nilai daya beli. Dengan demikian kemampuan daya beli masyarakat antar satu wilayah dengan wilayah lain berbeda. Perbedaan kemampuan daya beli masyarakat antar wilayah masih belum terbanding, untuk itu perlu dibuat standarisasi. Misalnya, satu rupiah di satu wilayah memiliki daya beli yang sama dengan satu rupiah di Jakarta. Dengan standarisasi ini perbedaan kemampuan daya beli masyarakat antar wilayah dapat dibandingkan.

Tabel 10
Angka Daya Beli Penduduk 1996-2007
Tahun Angka daya beli
1996 587,4
1999 578,8
2002 591,2
2005 619,9
2006 621,3
2007 624,4
Sumber : BPS, Laporan IPM 2006-2007

Grafik 7
Perkembangan daya beli penduduk tahun 1996-2007
 
  sumber : BPS, Laporan IPM Indonesia 2006-2007

Kemampuan daya beli masyarakat sebagaimana ditunjukkan 3.7 tampak terus meningkat kecuali pada tahun 1999. Peningkatan daya beli masyarakat terlihat sejak tahun 2002 hingga tahun 2007 meski dari kenaikan nominalnya tidak besar. Secara umum, kemampuan daya beli masyarakat selama tahun 1996-2007 terus meningkat, kecuali pada tahun 1999 dimana daya beli menurun.
Penurunan daya beli erat kaitannya dengan kondisi perekonomian yang menburuk sebagai dampak dari krisis ekonomi. Selanjutnya, setelah tahun 2002 daya beli masyarakat berangsur-angsur membaik, terutama pada periode 2002-2005 yang mengalami kenaikkan yang cukup besar. Namun pada periode berikutnya 2005-2006 kemampuan daya beli masyarakat tampak berjalan lambat dari 619,9 menjadi 621,3. Kemudian periode 2006-2007 naik menjadi 624,4 ribu.
Grafik di atas menunjukkan perkembangan daya beli masyarakat selama periode 1996-2007 ketika krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 melanda Indonesia. Penurunan daya beli terlihat sebagaimana gambar 3.7 yang menunjukkan bahwa pada tahun 1999 daya beli masyarakat turun menjadi Rp. 578,8 ribu dari Rp. 587,4 ribu tahun 1996. Kemudian, sejalan dengan semakin membaiknya perekonomian Negara, secara perlahan daya beli masyarakat meningkat hingga mencapai Rp. 624,4 ribu pada tahu 2007. 
Tabel 11
Daya beli dan peringkat provinsi di Indonesia
Provinsi Daya Beli Peringkat Provinsi
 2006 2007 2006 2007
Nanggroe Aceh Darussalam 589,47 600,95 31 29
Sumatera Utara 621,39 624,12 13 14
Sumatera Barat 622,49 625,93 10 9
Riau 625,00 634,11 5 2
Jambi 621,74 622,99 12 16
Sumatera Selatan 615,30 617,59 22 23
Bengkulu 618,69 620,29 19 20
Lampung 607,05 610,09 26 26
Kep.Bangka Belitung 630,23 631,75 2 4
Kep.Riau 625,54 631,94 4 3
DKI.Jakarta 619,88 620,78 17 19
Jawa Barat 621,11 623,64 14 15
Jawa Tengah 621,75 628,53 11 7
DI Yogyakarta 638,77 639,88 1 1
Jawa Timur 625,96 630,71 3 5
Banten 619,99 621,00 16 18
Bali 620,16 624,90 15 12
Nusa Tenggara Barat 623,90 630,48 7 6
Nusa Tenggara Timur 591,20 594,28 30 30
Kalimantan Barat 613,92 617,90 23 22
Kalimantan tengah 624,40 625,79 6 13
Kalimantan selatan 623,79 625,80 8 10
Kalimantan Timur 623,57 628,10 9 8
Sulawesi Utara 616,88 619,39 21 21
Sulawesi Tengah 613,20 616,98 24 24
Sulawesi Selatan 618,33 615,23 20 11
Sulawesi Tenggara 601,00 604,96 27 27
Gorontalo 608,65 615,94 25 25
Sulawesi Barat 619,43 622,90 18 17
Maluku 599,28 601,26 28 28
Maluku Utara 592,08 593,88 29 31
Papua Barat 588,04 592,07 33 33
Papua 589,30 593,42 32 32
Indonesia 621,30 624,37  
Sumber : laporan IPM Indonesia 2006-2007

Angka IPM Provinsi Jawa Barat
Secara garis besar, ulasan di bawah melihat protet pencapaian IPM menurut kabupaten/kota sepanjang eriode 2003-2005 berdasarkan indikator-indikator penunjangnya. Selama tiga tahun kebelakang provinsi Jawa Barat mengalami kemajuan dalam program pencapaian pembangunan manusianya. Kemajuan pencapaian pembangunan manusia tersebut terkait dengan kemajuan pembanganunan manusia yang terjadi di hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat. Kondisi ini terlihat dari IPM kabupaten/kta yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Meski menigkat, kecepatannya tidak sama antar kabupaten/kota, sehingga hanya ada beberapa kabupaten/kota saja yang angka IPM bisa mencapai bahkan melebihi angka IPM Jawa Barat. 
 Pada tahun 2005, dari 25 kabupaten/kota di Jawa Barat 13 kabupaten/kota memiliki angka IPM di atas angka IPM Jawa Barat. Empat diantaranya adalah wilayah yang masih mewakili daerah perdesaan yaitu Ciamis (71,08), Sumedang (71,40), Purwakarta (69,52), dan Bekasi (74,13). Sedangkan 10 wilayah sisanya adalah daerah yang notabene merupakan daerah perkotaan yaitu kota Bogor (79,94), Sukabumi (74,58), Bandung (77,42), Cirebon (72,52), Bekasi (75,48), Depok (77,81), Cimahi (75,16), Tasikmalaya (71,62), dan Bnajar (71,73). Dari ketiga belas wilayah tersebut, peringkat IPM tertinggi ada di Kota Depok dan Kota Bandung. Keduanya sangat dimungkinkan memberi kontribusi terbesar karena kedudukan kedua kota yang sangat strategis.
 Kota Depok merupakan daerah Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Di dalamnya terdapat berbagai sarana dan prasarana penunjang kehidupan masyarakat, seperti sarana informasi, komunikasi, pendidikan, kesehatan, maupun rekreasi yang tersebar merata dalam lingkup wilayah 906,55 km2. Posisi Depok sebagai daerah penyokong Ibu Kota meneyebabkan laju perekonomian Depok tidak berbeda jauh dengan Ibu Kota Jakarta.
 Kondidi ini membawa penduduk Kota Depok memiliki tingkat penghasilan yang cukup tinggi, sehingga tingkat daya belinya pun menjadi tinggi pula. Kondisi yang sama juga terjadi di Kota Bandung yang berkedudukan sebagai Ibu Kota provinsi Jawa Barat. Daerah seluas 168,06 km2 ini menyediakan ratusan lembaga-lembaga pendidikan, sarana kesehatan, hingga fasilitas penunjang informasi dan komunikasi dengan tujuan memberikan pelayanan semaksimal mungkin bagi masyarakat untuk menikmati akses akses yang ada. Sebagai Ibu Kota Provinsi dapat dipastikan roda perekonomian berpusat di daerah ini, dengan tingkat penghasilan yang cukup tinggi menybabkan tingkat daya beli masyarakatnya pun cukup tinggi dibandingkan wilayah Kabupaten/ Kota yang lain di Jawa Barat. 
 Penentuan peringkat IPM memang tidak hanya diukur oleh komponen daya beli saja. Masih ada dua komponen penunjang lain yang ikut berperan dalam menentukan tingkat pencapaian pembangunan manusia di tiap Kabupaten/ Kota. Kedua komponen tersebut yaitu komponen kesehatan dan pendidikan yang juga mempengaruhi pencapaian pembangunan di Kota Depok dan Bandung. Berikut diberikan sedikit gambaran mengenai.

Data perkembangan Ipm Kabupaten/ Kota di Indonesia (Terlampir)

Dalam konteks pembangunan daerah, IPM ditetapkan sebagai salah satu ukuran utama yang akan dicantumkan dalam pola dasar pembangunan daerah yang akan datang. Hal ini merupakan langkah penting karena IPM menduduki salah satu posisi penting dalam manajemen pembangunan daerah, oleh karena pelaksanaan pembangunan secara luas juga meliputi unsur perencanaan manusia lainnya akan menjadi kunci bagi terlaksananya perencanaan pembangunan yang terarah.
Kedudukan dan peran IPM dalam manajemen pembangunan akan lebih terlihat kalau dilengkapi dengan suatu data set yang berisikan indikator yang relevan dengan IPM dan disusun sebagai suatu sistem data basis pembangunan manusia. Sistem data basis tersebut merupakan sumber data utama dalam identifikasi lebih lanjut yang dilakukan untuk mengenal lebih dalam permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan upaya dan hasil-hasil serta dampak pembangunan manusia.
Identifikasi tersebut dibuat dalam suatu analisis situasi pembangunan manusia yang mengkaji berbagai kendala dalam implementasi program pembangunan pada periode sebelumnya dan potesi yang dimiliki suatu wilayah untuk dimasukkan sebagai masukan dalam perencanaan pembangunan daerah periode yang akan datang.
Proses ini merupakan kajian yang dapat menghasilakan rekomendasi bagi aplikasi kebijakan pembangunan yang paing sesuai dengan kebutuhan masyarakat. dengan pemanfaatan demikian, maka IPM merupakan alat advokasi kepada para pengambil keputusan perumusan kebijakan tentang langkah-langkah pada masa mendatang yang perlu dilakukan
Pertimbangan lain yang memanfaatkan IPM dalam perencanaan pembangunan daerah adalah bahwa sebagai alat ukur pemantauan status pembangunan manusia, IPM sangat sensitif terhadap perubahan yang sedang terjadi. Dalam krisis ekonomi yang sedang dialami Indonesia saat ini, dapat ditunjukkan bahwa nilai IPM turun sebagai akibat menurutnya tingkat pendapatan yang disebabkan oleh krisis tersebut.
Strategi Pembangunan manusia tidak saja harus terlihat pada strategis pembangunan secara umum, seperti Pola Dasar Pembangunan Daerah. lebih dari itu strategi ini harus dilihat pada anggaran pembangunan yang akan diimplementasikan. Anggaran pembangunan harus menunjukkan keberpihakan kepada sektor-sektor yang secara khusus menyentuh pembangunan manusia tersebut. Jika kita perhatikan rangkaian uraian di halaman depan maka dapat terlihat bahwa pembangunan manusia tersebut bertumpu pada tiga hal yaitu pendapatan pendidikan dan kesehatan inilah yang menjadi dasar perhitungan IPM ini.
Hal ini tidak berarti bahwa sektor-sektor permbangunan yang lain harus ditinggalkan. Sama sekali bukan ini yang dimaksudkan strategi pembangunan manusia. Yang dimaksudkan oleh strategi pembangunan, yaitu seluruh anggaran pemerintah yang tersedia digunakan sedemikian rupa untuk peningkatan taraf hidup manusia.
Pembangunan infrastruktur adalah sesuatu yang penting dalam pembangunan. Dalam paradigma pembangunan manusia, infrastruktur ini sedemikian rupa harus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia itu sendiri.
Keberpihakan anggaran kepada sektor-sektor yang secara langsung meningkatkan status pembangunanan manusia menjadi sesuatu yang penting hal ini tentu saja memerlukan suatu political will baik oleh pemerintah pusat maupun dimasa yang akan datang akan menjadi lebih penting lagi. Dengan adanya otonomi daerah, pemeritnah daerah mempunyai kewenangan lebih dalam memegangi kendali pembangunan daerah. Oleh karena itu pemahaman yang baik oleh pemerintah daerah mengenai paradigma pembangunan manusia ini mutlak diperlukan. 
Menurut informasi yang diperoleh dari data statistic UNDP tahun 2009, mencatat bahwa IPM Indonesia menduduki urutan ke-111 dalam indeks pembangunan manusia di dunia (182 negara). Dari tahun 1999-2005 DKI Jakarta selalu menduduki peringkat pertama untuk tingkat Indeks Pembangunan Manusianya. Sedangkan papua berada di urutan paling terendah di antara 33 Provinsi di Indonesia yaitu dengan nilai 62,1. Lalu provinsi mana yang berada di tengah-tengah urutan indeks pembangunan manusia di Indonesia? Jawabnya adalah Provinsi Bali di urutan ke-15 (69,8), Provinsi Jawa Tengah di urutan 16 (69,8), berada dan Provinsi Maluku di urutan 17 (69,2). Sebenarnya, Indonesia mengalami kemajuan dalam indeks pembangunan manusia, yaitu beranjak dari angka 67,3 di tahun 1980, 81,5 di tahun 2000, hingga mencapai 92,0 di tahun terakhir survey yaitu tahun 2009 dengan data hingga tahun 2007.
Mengapa Provinsi DKI Jakarta berada pada urutan pertama? DKI Jakarta berada pada urutan pertama karena tingkat harapan hidup penduduk DKI memang yang tertinggi, yaitu 71,1 tahun. Jadi bayi yang lahir dan hidup di Jakarta kemungkinan akan dapat berumur lebih panjang dibanding bayi dari provinsi lain, yaitu sampai 71,1 tahun. Hal ini dimungkinkan karena mutu lingkungan fisik di DKI Jakarta telah mendukung kesehatan dan kehidupan, disamping adanya kenyataan bahwa tingkat pendidikan orang-orang Jakarta rata-rata lebih tinggi. Angka melek huruf di DKI Jakarta mencapai 97,8, artinya hanya 2,2 persen yang buta huruf. 

Indeks Pembangunan Manusia Antar-Provinsi di Indonesia.
(Terlampir)

Kesenjangan Antar-Provinsi
Mengamati perbedaan angka-angka IPM dari berbagai provinsi, ternyata kesenjangan antar-provinsi tidak terlampau jauh. IPM maksimum dicapai oleh Jakarta (76,1), dan IPM hampir terendah dicapai oleh Irian Jaya (62,1). Ketimpangan yang tajam terjadi apabila angka maksimum berlipat mendekati 2 atau 3 kali dari angka minimum. Disamping kesenjangan antar-provinsi yang tidak terlalu mencolok, kecenderungannya juga semakin mendekat antara IPM satu provinsi dengan provinsi yang lain. Dilihat dari angka IPM antar-provinsi, pemerataan pembangunan manusia semakin mendekat. Tampaknya orang desa sekarang juga sudah banyak yang pakai sepeda motor, punya rumah tembok, dan menikmati listrik PLN, punya radio dan televisi.
Kebijakan pemerintah
Setiap kabupaten dan daerah otonom dapat mempergunakan data tentang IPM ini guna merancang pembangunan di daerahnya. Perincian IPM ini merupakan Petunjuk Kinerja Utama (Key Performance Indicator) yang harus dicapai dalam missi dan visinya. Misalnya, menurunkan tingkat kematian bayi dari 28 orang perseribu menjadi 20 orang perseribu dalam 5 tahun. Sudah banyak hal yang dapat dikerjakan untuk mencapai hal ini. Dengan demikian, maka visi dan misi daerah tidak dirumuskan secara muluk-muluk, dan rakyat dapat segera menilai, apakah sasaran yang dicanangkan tercapai 100 persen ataukah hanya slogan politik belaka.
Ada empat unsur kunci dari paradigma pembangunan manusia, menurut buku Menuju Konsensus Baru, yaitu: (1) Produktifitas, (2) Pemerataan, (3) Keberlanjutan, dan (4) Pemberdayaan. Tampaknya unsur pemerataan telah diabaikan, atau secara politis malah tidak disukai oleh pembuat kebijakan publik. 

Peran Millenium Development Goals 
Demi meningkatkan pembangunan manusia, pada tahun 1995 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Copenhagen melakukan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) dan telah mengeluarkan rekomendasi dan kesepakatan prinsip-prinsip utama di bidang pembangunan manusia yang ditandatangani oleh 117 Presiden dan Kepala Pemerintahan, termasuk Presiden Republik Indonesia. Selanjutnya pada September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB mengadakan KTT Milenium yang bersepakat untuk mengadopsi deklarasi milenium. Deklarasi itu berdasarkan pendekatan yang inklusif, dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. Dalam konteks inilah negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs).
Sejumlah negara berkomitmen untuk mentargetkan sebelum tahun 2015 cita-cita yang tertuang dalam MDG sudah dapat tercapai meliputi delapan target pencapaian, yaitu: (a) menghapuskan kemiskinan; (b) pendidikan dasar untuk semua; (c) kesetaraan dan keadilan gender serta pemberdayaan perempuan; (d) menurunkan angka kematian bayi; (e) memperbaiki kesehatan ibu; (f) mencegah HIV-AIDS, malaria dan penyakit lainnya; (g) lingkungan berkelanjutan dan; (h) membangun jaringan kemitraan global. Landasan tersebut menjadikan Pemerintah Indonesia dalam pembangunan manusia mengeluarkan Undang-Undang berkaitan dengan pengesahan Konvenan Interasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Namun pencapaian pembangunan manusia di Indonesia masih harus terus ditingkatkan agar tidak kalah bersaing dengan Filiphina (peringkat 102), Thailand (81) dan Malaysia (63).

Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan 
Demi Pencapaian MDGs dan Peningkatan Pembangunan Manusia di Indonesia
Untuk mencapai tujuan tersebut, TARGETMDGs menyasar empat isu strategis yaitu: pendataan, pemantauan, advokasi dan kampanye serta isu strategis dukungan untuk inisiatif lokal – terutama mendorong pelaksanaan perencanaan, penganggaran dan pemantauan berbasis kemiskinan. Program ini dilaksanakan secara bersama antara Badan Pusat Statistik (Pendataan), Bappenas (Pemantauan), UNDP dan Jaringan Masyarakat Sipil untuk MDGs (Advokasi dan Kampanye) serta ETMDGs juga didukung oleh beberapa organisasi multilateral dan bilateral serta sektor swasta. Program ini secara resmi dimulai pada awal 2007 dan akan berakhir pada 2011. Terdapat tiga provinsi yang menjadi focus utama pelaksanaan program, yaitu: Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Bukan tanpa sebab apabila penanggulangan kemiskinan dan kelaparan menjadi tujuan pertama yang ingin dicapai oleh Tujuan Pembangunan Millennium (Millennium Development Goals/ MDGs). Pada tahun 1990, diperkirakan lebih dari 1.25 Milyar orang didunia berada dalam, kemiskinan ekstrim atau mereka hidup dengan kurang ari 1 $ per-hari. Di Negara yang sedang bekembang, pada saat itu lebih dari 19% penduduknya hidup berada di bawah kemiskinan ekstrim, sedangkan di Sub-Sahara Afrika, proporsinya hampir 1 dari 2 orang (lebih dari 41%). Maju ke tahun 2004, setelah krisis moneter melanda banyak negara berkembang termasuk Indonesia, ternyata banyak Negara yang mampu menurunkan tingkat kemiskinan ekstrim. Hanya kawasan sub-sahara Afrika saja yang proporsi penduduk dalam kemiskinan ekstrim meningkat. Sebaliknya, Indonesia dalam periode tersebut telah berhasil mengurangi hingga lebih dari setengahnya pada periode yang sama. Setiap tujuh detik, seorang anak usia di bawah 10 tahun, mati kelaparan. Sementara itu, sekitar 826 juta manusia secara permanen, menderita kekurangan gizi yang parah (Jean Ziegler,2006). Di negeri ini, mencuatnya sederatan kasus kematian karena kelaparan serta kasus-kasus kurang gizi dan busung lapar di beberapa kawasan, selain menggugat nurani kemanusiaan kita, juga amat mencengangkan. Betapa tidak. Para penderita, dikabarkan juga berasal dari kawasan yang (pernah) dijuluki lumbung padi atau produk pertanian lainnya. Pembangunan pertanian sebagai sektor penyerap tenaga kerja terbanyak, nampaknya telah cukup lama dikorbankan oleh kebijakan-kebijakan tarif. Termasuk, penyunatan subsidi dan impor produk pertanian yang berdampak menyengsarakan petani dan memperburuk pembangunan pertanian itu sendiri. Sumber pertumbuhan, lebih bertumpu pada sektor konsumtif dan padat modal. Tak heran, bahwa kalau dulu setiap pertambahan pertumbuhan satu persen, bisa membuka 300.000 sampai 400.000 lapangan kerja, kini hanya mampu menampung 178.000 lapangan kerja. Mereka yang jatuh miskin pun, tidak sulit ditebak, semakin bertambah. Dengan menggunakan ukuran Bank Dunia, jumlah mereka yang miskin karena berpenghasilan di bawah dua dolar AS per hari, mencapai angka fantastis 135 juta jiwa. Padahal, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pangan di Roma 10 tahun lalu, semua negara peserta termasuk Indonesia, bertekad mengurangi angka kelaparan global dari 840 menjadi separuhnya pada 2015. Namun, sesuai data FAO 2005, jumlah mereka yang kelaparan malah naik menjadi 825 juta jiwa. Menurut lembaga bentukan PBB, meski terjadi proses deras urbanisasi 80 persen penduduk dunia masih mukim di perdesaan. Sementara nyaris separuh dari mereka yang mengalami rawan pangan dan kelaparan berasal dari keluarga petani gurem. Duapertiga petani gurem, tergolong “marginalized” karena memiliki lahan tandus, terisolasi letaknya serta tanpa pengamanan hak atas tanah dan tanpa akses pada kredit. Penyebab lainnya adalah buruknya infrastruktur dan ketergantungan pada pedagang antara. Sementara itu, sekitar 30 persen bernasib lebih buruk karena tidak memiliki lahan pertanian dan bekerja sebagai buruh tani, nelayan musiman dan menggantungkan hidup pada hasil hutan (Armin Paasch, 2006). Pemenuhan hak atas makanan, harus dimulai dari berbagai kelompok tadi. Kenyataannya, sejak dekade terakhir mereka semakin tergusur. Perubahan struktural berupa komersialisasi sumber daya produktif seperti lahan, air dan bibit serta anjloknya harga produk pertanian dan liberalisasi asismetris perdagangan pertanian, telah memperburuk kondisi mereka. Marginalisasi tergambarkan pula dalam besaran bantuan pembangunan dalam bidang ini yang menurun dratis dari 25 juta menjadi 12 juta dolar AS dalam kurun waktu 1986 hingga 2000 (Windfuhr, 2005). Menjawab kritik lembaga independen, beberapa negara kaya beralasan bahwa berkurangnya pendanaan kerjasama pembangunan multilateral sebagai salah satu dampak positif efisiensi. Secara teoritis, alasan tersebut mungkin saja benar. Namun, anyak yang meragukan inisiatif multilateral terkait aksesibilitas atas tanah (landreform), misalnya, seperti yang diusulkan Bank Dunia akan membawa dampak positif bagi mereka yang lapar. Aksesibilitas atas tanah adalah “bahasa” ekonomipolitik baru di mana salah satu kata kuncinya adalah property rights. Penggunaan istilah aksesibilitas mengingatkan kita pada Amartya Sen dan asumsinyanya tentang entitlement, yaitu tak seorang pun harus lapar, karena di dunia ini tersedia makanan berkecukupan. Mereka yang lapar hanya karena tidak memiliki akses untuk memproduksi makanan. Usai Perang Dunia II, tiga Negara Asia yang melakukan landreform dengan cukup berhasil adalah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.
Akan tetapi, banyak yang akan berargumen bahwa indikator kemiskinan ekstrim bukan merupakan media ukur yang paling sesuai untuk Indonesia dan Negara-negara lain di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Memang benar. Bahkan menggunakan ukuran kemiskinan nasional, proporsi penduduk miskin semenjak awal tahun 2000-an masih berada pada kisaran 18.2% hingga 16.6%  dengan kecenderungan menurun secara gradual. Persoalannya adalah, jumlah masyarakat yang hamper miskin. Garis kemiskinan nasional 2007 nilainya hampir setara dengan sekitar US $ 1.6. Dengan angka tersebut, lebih dari 37 juta penduduk Indonesia termasuk dalam katagori penduduk miskin. Bagaimana dengan yang hampir miskin? apabila kita gunakan asumsikan masyarakat yang hampir miskin adalah mereka yang hidup dengan lebih dari US $ 1.6 dan kurang dari US $ 2 per hari, maka jumlah penduduk Indonesia yang berada dalam kisaran ini adalah lebih dari 100 juta orang. 

Kemiskinan di daerah: Agregasi dan Disagregasi
Kembali ke Indonesia, memang kemiskinan ekstrim bukan menjadi masalah utama. Apabila alat ukur kemiskinan khas Indonesia yang digunakan, maka pencapaiannya memang tidak sefantastis pengurangan kemiskinan ekstrim, tetapi kecenderungannya masih relatif positif. Krisis ekonomi di akhir 1990-an memang membawa dampak yang besar bagi kemiskinan di Indonesia. Utamanya karena jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 1998 naik hingga hampir 50% dari jumlah tahun 1996. Peningkatan terbesar terjadi di perkotaan, karena jumlah penduduk miskin di perkotaan dalam periode tersebut meningkat lebih dari 80%. Padahal, dalam periode yang sama, jumlahnya di perdesaan hanya naik sebesar 30%. Saat ini (tahun 2007) proporsinya mencapai 16.6%, tetapi ada anggapan bahwa dibalik angka ini sebetulnya terdapat fakta kesenjangan antar provinisi yang cukup besar. Marilah kita lihat bersama faktanya. 
Meskipun perlahan-lahan, ternyata secara umum, provinsi-provinsi yang termasuk paling miskin di Indonesia cenderung mampu mengurangi kemiskinan daerah lebih cepat dibandingkan provinsi lain. Beberapa provinsi seperti Maluku, Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Timur, termasuk provinsi yang paling besar proporsi penduduk miskinnya, bahkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan lebih cepat dibandingkan provinsi yang lain. Akan tetapi, selama periode 2002 - 2007, provinsi yang paling cepat menurunkan proporsi penduduk miskin adalah Provinsi Gorontalo. Bagaimana dengan provinsi lain? Hampir setengah dari seluruh provinsi yang ada ternyata mampu menurunkan proporsi penduduk miskin hingga lebih dari 2% dalam periode 5 tahun saja. Lain halnya dengan beberapa provinsi yang memiliki proporsi penduduk miskin paling sedikit. Provinsi-provinsi ini justru menunjukkan kinerja penanggulangan kemiskinan yang negatif. Provinsi DKI Jakarta yang merupakan provinsi yang memiliki proporsi penduduk miskin paling sedikit, ternyata kecenderungan proporsinya malah meningkat semenjak 2004.
Mencermati paparan di atas, memang terdapat indikasi kuat bahwasanya meskipun terdapat kecenderungan positif dalam penanggulangan kemiskinan, tetapi ternyata implikasinya belum seperti yang diharapkan. Proporsi penduduk yang hamper miskin masih cukup tinggi, dan apabila terjadi sedikit 'gejolak', maka dengan sangat mudah mereka akan kembali menjadi miskin. Yang kedua adalah bahwa tidak dapat dipungkiri, kesenjangan dan disagregasi kemiskinan memang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, cukup banyak kemajuan berarti yang dicapai, terutama selama periode 2002 hingga 2007. Penguatan Inisiatif Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) di Indonesia ... provinsi-provinsi yang termasuk paling miskin di Indonesia cenderung mampu mengurangi kemiskinan daerah lebih cepat dibandingkan provinsi lain. Seharusnya, focus utama pembangunan adalah manusia. Meski, paling tidak h hingga tahun 80-an, pemikiran konvensional menempatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara sebagai tujuan akhir. Pemikiran ini, mulai dipertanyakan secara serius seiring dengan munculnya konsep Pembangunan Manusia sebagai kerangka kerja alternatif untuk pembangunan, buah karya peraih PenghargaanNobel Amartya Sen, dan ahli ekonomi Pakistan, Mahboob-ul-Haq. Berbeda dengan ukuran konvensional yang secara murni menggunakan ukuran ekonomi seperti Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product atau GDP), kerangka kerja Pembangunan Manusia memperluas definisinya menjadi 'kualitas hidup', Sebagai subyek pembangunan, masyarakat tidak sekedar dilihat sebagai "input" untuk pembangunan. Orang miskin, bukan sekedar penerima pasif bantuan pembangunan dari pemerintah. Mereka dipandang sebagai subyek (utama), sekaligus penerima manfaat pembangunan. Konsep ini adalah tentang masyarakat, bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan dan kemampuan mereka untuk hidup lama, sehat, berpengetahuan, dan kreatif. Pembangunan Manusia tersusun dari pertumbuhan ekonomi yang adil, berkelanjutan, memenuhi hak asasi manusia (HAM), partisipatif, menjamin keamanan serta kebebasan politik. Sejak 1990, saat UNDP menerbitkan Laporan Pembangunan Manusia yang pertama, konsep ini telah menjadi alat yang berpengaruh dalam meningkatkan kesadaran umum dalam menentukan kebijakan pembangunan. Banyak negara telah mengadopsi paradigma Pembangunan. Manusia untuk memformulasikan berbagai kebijakan dan program nasional. Setiap tahun laporan Pembangunan Manusia memberikan peringkat mutakhir berbagai Negara yang diukur berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini merupakan kombinasi berbagai pencapaian pembangunan berupa harapan hidup, tingkat pendidikan, dan pendapatan.
Hingga krisis moneter, Indonesia menikmati tingkat pertumbuhan yang mengesankan yang memungkinkan dilakukannya langkah-langkah besar dalam meningkatkan pelayanan publik untuk warga negaranya serta mengurangi kemiskinan. Walaupun kemajuan akhir-akhir ini tidak sebaik sebelumnya, secara keseluruhan Indonesia telah cukup baik dalam hal IPM. Perlu dicatat bahwa IPM mencerminkan berbagai pencapaian selama periode tertentu. Dalam kurun waktu sejak kemerdekaan, Indonesia bisa diperdebatkan sebagai pemain terbaik di Asia Tenggara. Sebagai ilustrasi, mari kita bandingkan Indonesia yang berada pada peringkat 107 (Laporan Pembangunan Manusia 2007/2008) dengan dua dari tetangganya yang terdekat dan lebih maju  Malaysia dan Singapura yang berada di peringkat yangjauh di atas Indonesia. Dari 1975 hingga 2005, Indonesia berhasil menambahkan rata-rata 25 poin pada IPM-nya, sementara Singapura dan Malaysia masing-masing menambahkan secara kasar 20 poin pada nilai mereka selama periode yang sama. Masyarakat dapat berargumen bahwa pada 1975 Indonesia masih jauh tertinggal dari Singapura dan Malaysia dan sebagai hasilnya kemajuan dalam IPM pada tiga decade terakhir terlihat lebih “mengesankan” arena Indonesia harus mengejar ketertinggalan yang cukup besar.

Kondisi Pembangunan Manusia di Indonesia
Penguatan Inisiatif Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) di Indonesia
Sampai tahap tertentu hal ini mungkin benar, tetapi bahkan jika kita bandingkan Indonesia dengan China dan India (keduanya menikmati tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi), hasil keseluruhan IPM Indonesia masih lebih baik. Nampaknya hanya Oman (33 poin) yang pencapaiannya lebih baik dari Indonesia selama periode ini. Pencapaian Indonesia untuk GDP maupun indeks harapan hidup cukup rendah sementara indeks pendidikannya hampir pada level yang sama dengan Malaysia yang berada di peringkat 63 pada keseluruhan IPM. Yang sangat menarik, ada sejumlah negara yang memiliki peringkat IPM lebih tinggi yang memiliki tingkat GDP per kapita yang rendah, tetapi peringkat mereka terdorong oleh nilai yang baik pada pendidikan dan kesehatan. Tidaklah mengejutkan, banyak dari negara ini memiliki jaringan yang luas pada sistem jaringan sosial, dengan memberikan sejumlah besar pelayanan sosial pada masyarakatnya. Kuba berada sangat jauh di atas yang lain jika kita membandingkan skor IPM total tanpa indeks GDP. Negara-negara lain yang cukup baik dalam hal ini termasuk Armenia, Ekuador, dan Georgia. Kecuali Tanzania, sangat sedikit negara yang dalam laporan ini dikelompokkan dalam “Pembangunan Manusia Rendah” menunjukkan skor IPM yang sangat positif tanpa GDP. Namun Botswana yang dimasukkan dalam daftar negara "Pembangunan manusia Menengah" merupakan kasus yang menarik. Peringkat Indeks DP-nya sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari Malaysia, tetapi dalam daftar berada di peringkat 124.
Alasan utama karena tingkat harapan hidup yang rendah. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lambat akibat krisis moneter mengakibatkan Indonesia tidak dapat bergerak naik dengan cepat pada tangga Pembangunan Manusia. emua indeks IPM memiliki bobot setara, dan secara rumit saling terkait satu dengan lainnya. Sehinggaperbaikan pada salah satu secara otomatis mengarahkan perbaikan pada dimensi lain. Dalam jangka pendek mengatasi persoalan kemiskinan mungkin merupakan alat yang efektif dalam mempercepat peningkatan kualitas Pembangunan Manusia di negara ini. Tidak seperti masa lalu, usaha kedepan harus memperhitungkan desentralisasi di Indonesia untuk memastikan bahwa kabupaten dan provinsi yang saat ini masih tertinggal, dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Yang lebih penting model pertumbuhan harus cukup inklusif sehingga benar-benar memperbanyak pilihan ekonomi kaum miskin. Negara ini secara keseluruhan harus bertumbuh, dan bukan semata-mata hanya untuk pertumbuhan, tetapi untuk menjadikan pertumbuhan sebagai alat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Fokus pengkajian pemberdayaan penduduk miskin, dilandasi kerangka konseptual dan metodologi pengukuran kemiskinan yang menyatakan tidak lagi melihat orang miskin sebagai orang yang serba tidak memiliki, melainkan orang yang memiliki potensi  sekecil apapun potensinya  yang dapat digunakan dalam mengatasi kemiskinannya. Strategi pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: mikro (pemberdayaan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention), mezzo (pemberdayaan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. pendidikan dan pelatihan), makro (strategi sistem besar karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas).  

2.2.3 Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara Indonesia dengan Negara lain di Dunia

Pemerintah Indonesia sebetulnya telah berkomitmen dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) telah mensyaratkan dipenuhinya 10 hak dasar manusia dalam upaya memberantas kemiskinan. Pemerintah Indonesia telah menyetujui Millenium Development Goals (MDG) yang membahas berbagai aspek fundamental dalam pembangunan manusia yang telah dicanangkan oleh PBB di awal milenium baru. Indonesia juga telah mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Internasional Pembangunan Manusia yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di Copenhagen tahun 1995. KTT itu telah mengeluarkan 10 rekomendasi dan kesepakatan prinsip-prinsip utama di bidang pembangunan manusia yang ditandatangani oleh 117 Presiden dan Kepala Pemerintahan termasuk Presiden Republik Indonesia. Indonesia pun baru-baru ini telah mengeluarkan dua Undang-Undang berkaitan dengan pengesahan Konvenan Interasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Namun pencapaian pembangunan manusia di Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Filipina. Dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report 2005) yang terbaru, Indonesia berada pada tingkat menengah Pembangunan Manusia Global (Medium Human Development), dengan peringkat ke-111 dari 182 negara.
Kemajuan pembangunan manusia dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi dan juga peningkatan pembelanjaan pemerintah untuk pelayanan publik. Selama ini Indonesia banyak tergantung dengan pertumbuhan ekonomi, yang telah meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengeluarkan biaya kesehatan dan pendidikan. Sementara pemerintah hanya mengeluarkan anggaran yang relatif kecil untuk pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan serta ketertiban masyarakat. Ditambah dengan beban keuangan negara akhir-akhir ini, seperti pembayaran hutang, naiknya harga minyak dunia Laporan Pembangunan Manusia Indonesia telah menghitung biaya untuk memenuhi hak-hak dasar pembangunan manusia ini, dan ternyata tidak terlalu tinggi. Sebagai proporsi dari PDB diperlukan tambahan dalam belanja publik untuk sektor sosial sebesar antara 3% sampai sekitar 6% dari PDB yang akan membuat pengeluaran sosial publik Indonesia menjadi sejajar dengan Malaysia, Thailand dan Filipina.
Tujuan akhir dari pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam arti luas (kesejahteraan lahir mapun bathin). Kesejahteraan lahir akan terkait dengan tingkat kehidupan baik yang menyangkut ekonomi maupun strata sosial, sementara kesejahteraan bathin akan berkaitan dengan believe system yang ada pada dirinya. Bagaimana manusia memahami dirinya (self understanding), menerima dirinya (self acceptance) serta bagaimana cara dia mengaktualisasikan dirinya (self actualization) sehingga merasa puas (satisfaction). Hal ini senada dengan ajaran Islam yang membagi kehidupan manusia meliputi “Alam arwah, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat”. Manusia sejahtera secara bathin bila “konsep dirinya merasa puas serta memahami tugas dan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi”. Sebagai khalifah mempunyai tugas memelihara bumi ini agar tidak terjadi kerusakan, dan fungsinya untuk menjaga keseimbangan alam melalui akal dan pikitran serta nuraninya (qolbu), sehingga alam berfungsi sebagaimana mestinya. 
Demi kelangsungan hidupnya manusia selalu berupaya memenuhi kebutuhan diri serta mengatasi tantangan dan hambatan lingkungan alam dan sosialnya. Untuk itu selalu berupaya melakukan penciptaan-penciptaan (kreativitas) yang mengkristal menjadi kebudayaan. Pembangunan pada intinya merupakan penciptaan-penciptaan dalam memenuhi tuntutan hidup dan mengatasi tantangan lingkungan alam dan sosial. Seperti penciptaan kegiatan lapangan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi, penciptaan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan daya nalar dan kreativitas agar terjadi akulturasi kebudayaan yang tetap mempertahankan nilai-nilai yang telah berkembang. 
Pada saat ini, indikator keberhasilan pembangunan terdiri atas bagaimana tingkat pengembangan sumber daya manusia (Indeks Pembangunan Manusia/ human development index/HDI), tingkat pencapaian ekonomi dan tingkat keseimbangan alam (ekosistem). Ketiga aspek tersebut memiliki keterkaitan dan ketergantungan (interrelasi dan interdependensi). Indeks Pembangunan Manusia merupakan indeks dari angka harapan hidup (AHH), angka Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), Angka Melek Hurup (AMH), dan kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity/PPP). Sementara tingkat pencapaian ekonomi meliputi Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE), inflasi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dengan sembilan lapangan usahanya (pertanian-peternakan-kehutanan-perikanan, pertambanagn-penggalian, industri pengolahan, listrik-gas-air bersih, bangunan, perdagangan-hotel-restran, penganggkutan-komunikasi, keuangan-persewaan-jasa perusahaan-dan jasa-jasa lainnya. Keseimbangan alam dan lingkungan berkaitan dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP), pelestarian lingkungan hidup (hewani-hayati), serta tingkat kerusakan dan pencemaran lingkungan (polusi udara, air, tanah) yang secara nyata berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat. 
Terkait dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), ada tiga bidang yang terkait didalamnya yaitu bidang pendidikan, kaitan dengan capaian Angka Melerek Hurup (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), bidang kesehatan kaitan dengan Angka Harapan Hidup (AHH) dan bidang ekonomi kaitan dengan kemampuan daya beli masyarakat (PPP). Walaupun AMH dan RLS belum menggambarkan kualitas pendidikan secara menyeluruh, tapi itulah yang disepakati dunia internasional sebagai indikator, dalam hal ini yaitu UNDP. Permasalahan dan tugas kita adalah bagaimana kita merancang pembangunan agar indikator tersebut dapat diraih dengan penekanan pada kualitas pendidikan. Inti dari proses pendidikan adalah tansfer of knowledge and transfer of value. Selain memenuhi standar tersebut, maka kita perlu memikirkan bagaimana proses pendidikan berjalan dengan pemerataan kesempatan menuju indikator RLS, kita pikirkan juga bagaimana kualitas proses dalam melakukan tansfer of knowledge dan transfer of value-nya serta muatan nilai-nilai seperti apa yang disampaikan sehingga pada gilirannya dapat membentuk kualitas warga belajar/peserta didik yang disatu sisi dapat mencerminkan budaya masyarakat setempat secara komunal, tetapi juga dapat mencerminkan komunitas modern yang senapas dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi internasional.
Untuk itu, mungkin fokus kita akan diarahkan kepada: (1) Pemerataan kesempatan belajar (dengan segala pola dan bentuknya), (2) kualitas proses belajar yang syarat nilai-nilai (value), (3) Kualitas hasil dengan orientasi pada pembentukan sikap dan kebiasaan (habbit and attitude), yang pada gilirannya akan membentuk manusia yang berkarakter.
 Dalam penangannya tentu tidak berdiri sendiri melainkan dikolaborasikan dengan sistem lain diantaranya dengan peningkatan pendapatan (ekonomi), memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, dengan peningkatan derajat kesehatan, serta membuka diri dengan sistem kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dikarenakan ketiga aspek tersebut di atas, memiliki interrelasi dan interdependensi, maka dalam perkembangannya harus seiring dan sejalan. Agar kondisi tersebut dapat dicapai maka perlu suatu kreativitas (melalui nalar, wawasan, pengetahuan, nurani, keyakinan-keimanan) sehingga melahirkan budaya baru dalam masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai dan falsafah kehidupan. 
Laporan Pembangunan Manusia United Nations Development Programme (UNDP) Tahun 2009 yang diluncurkan di Jakarta, Senin (5/10), menyebutkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia naik tipis dari 0,728 tahun 2007 menjadi 0,734 pada 2009. 
IPM yang dibuat dengan mengacu data-data pembangunan manusia tahun 2007 itu menempatkan Indonesia pada ranking ke 111 dari 182 negara yang terdata. Rizal Malik, Team Leader of Governance Unit UNDP menyatakan bahwa IPM Indonesia angkanya masih lebih rendah dibandingkan dengan IPM Negara tetangga. Artinya, meskipun pemerintah sudah berusaha namun usahanya belum sebesar negara-negara tetangga karena IPM mereka naik bermakna. Ia menjelaskan, pengukuran IPM mengacu pada tiga dimensi pembangunan manusia yakni kehidupan yang panjang dan sehat, kesempatan menikmati pendidikan dan hidup dengan standar yang layak antara lain diukur dari daya beli dan pendapatan.
Peningkatan IPM tak bermakna yang membuat Indonesia berada di bawah negara-negara tetangga di kawasan Asia, menurut Rizal, antara lain terjadi karena investasi pemerintah dalam pembangunan kesehatan dan pendidikan masih rendah. 
Rizal juga menyatakan bahwa anggaran pemerintah lebih banyak dialokasikan untuk menggaji pegawai. Porsi untuk pembangunan kesehatan dan pendidikan masih rendah. Anggaran pendidikan yang baru-baru ini dinaikkan menjadi 20 persen pun alokasinya saya yakin lebih untuk gaji pegawai. Hal itu membuat capaian target pembangunan kesehatan dan pendidikan yang dilihat dari peningkatan angka harapan hidup, angka melek huruf dan akses ke sarana pendidikan tidak sesuai harapan sehingga ranking IPM Indonesia masih berada di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia (66), Singapura (23), Filipina 9105), Thailand (87) dan bahkan Sri Lanka (102). 












BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
• IPM merupakan indikator penting yang dapat digunakan untuk melihat upaya dan kinerja program pembangunan secara menyeluruh di suatu wilayah. Dalam hal ini IPM dianggap sebagai gambaran dari hasil program pembangunan yang telah dilakukan beberapa tahun sebelumnya. Demikian juga kemajuan program pembangunan dalam suatu periode dapat diukur dan ditunjukkan oleh besaran IPM pada awal dan akhir periode tersebut. IPM merupakan ukuran untuk melihat dampak kinerja pembangunan wilayah yang mempunyai dimensi yang sangat luas, karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan hidup, intelelektualitas dan standar hidup layak.
• HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia:
- hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran
- Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar , menengah , atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
- standard kehidupan yang layak diukur dengan GDP per kapita gross domestic product / produk domestik bruto dalam paritas kekuatan beli purchasing power parity dalam Dollar AS
• Indeks tiga komponen HDI dapat dihitung dengan membandingkan perbedaan antara nilai indikator dan penentu nilai minimumnya dengan perbedaan antara penentu indicator maksimum dan minimum, atau secara singkat dapat dituliskan sebagai berikut (UNSFIR, 2000)


di mana:
Xi : Indikator komponen pembangunan manusia ke-i, i= 1,2,3
Xmin : Nilai minimum Xi 
Xmaks : Nilai Maksimum Xi 
• Menurut informasi yang diperoleh dari data statistic UNDP tahun 2009, mencatat bahwa IPM Indonesia menduduki urutan ke-111 dalam indeks pembangunan manusia di dunia (182 negara). Dari tahun 1999-2005 DKI Jakarta selalu menduduki peringkat pertama untuk tingkat Indeks Pembangunan Manusianya. Sedangkan papua berada di urutan paling terendah di antara 33 Provinsi di Indonesia yaitu dengan nilai 62,1. Lalu provinsi mana yang berada di tengah-tengah urutan indeks pembangunan manusia di Indonesia? Jawabnya adalah Provinsi Bali di urutan ke-15 (69,8), Provinsi Jawa Tengah di urutan 16 (69,8), berada dan Provinsi Maluku di urutan 17 (69,2). Sebenarnya, Indonesia mengalami kemajuan dalam indeks pembangunan manusia, yaitu beranjak dari angka 67,3 di tahun 1980, 81,5 di tahun 2000, hingga mencapai 92,0 di tahun terakhir survey yaitu tahun 2009 dengan data hingga tahun 2007.
• Laporan Pembangunan Manusia United Nations Development Programme (UNDP) Tahun 2009 yang diluncurkan di Jakarta, Senin (5/10), menyebutkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia naik tipis dari 0,728 tahun 2007 menjadi 0,734 pada 2009. 
IPM yang dibuat dengan mengacu data-data pembangunan manusia tahun 2007 itu menempatkan Indonesia pada ranking ke 111 dari 182 negara yang terdata. IPM Indonesia angkanya masih lebih rendah dibandingkan dengan IPM Negara tetangga. Artinya, meskipun pemerintah sudah berusaha namun usahanya belum sebesar negara-negara tetangga karena IPM mereka naik bermakna. Pengukuran IPM mengacu pada tiga dimensi pembangunan manusia yakni kehidupan yang panjang dan sehat, kesempatan menikmati pendidikan dan hidup dengan standar yang layak antara lain diukur dari daya beli dan pendapatan.


3.2 Saran
Untuk mencapai Indeks Pembangunan Manusia dengan kategori maju tentunya perlu upaya keras dari berbagai pihak baik itu pemerintah, LSM maupun masyarakat itu sendiri. Dalam melaksanakan berbagai program pembangunan di daerah tentunya harus tepat sasaran dan tepat waktu. Dan yang terpenting adalah apakah dana APBD sudah dapat disalurkan dengan tepat untuk mendukung program-program yang pada akhirnya akan mengarah kepada peningkatan sumber daya manusia, seperti peningkatan derajat pendidikan, derajat kesehatan masyarakat dan kemampuan ekonomi masyarakat.
Seperti telah dibahas sebelumnya, manfaat IPM sangat terbatas, khususnya pada tahapan pemantauan. Pemantauan dimaksud semestinya juga dapat dilakukan dalam kerangka akuntabilitas publik yang mengevaluasi kinerja pernerintah wilayah sebagai peyelenggara pemerintah wilayah. Bidang kehidupan yang perlu dipantau meliputi aspek kehidupan masyarakat, baik yang berkaitan dengan individu dalam hal kelangsungan hidup secara individu (kebutuhan dasar, kesehatan dan KB), tumbuh kembang (pendidikan, gizi), partisipasi (ketenagakerjaan, politik), perlindungan (kesejahteraan sosial, hukum dan ketertiban), kemiskinan maupun yang berkaitan dengan wilayah seperti kependudukan dan pertumbuhan ekonomi.
Untuk mengetahui pada bidang/sektor pembangunan mana pencapaian pembangunan manusia relatif tinggi atau relatif rendah (mendapat hambatan), beberapa faktor mendasar, faktor tidak langsung dan faktor langsung yang mempengaruhi tingkat pencapaian tersebut perlu diidentifikasi. Faktor-faktor tersebut merupakan determinan pencapaian pembangunan manusia di suatu wilayah.
 Dalam bidang pendidikan, untuk lebih meningkatkan partisipasi masyarakat, selain jalur pendidikan formal jalur pendidikan non formal juga harus lebih ditingkatkan. Program pendidihan dasar 9 tahun yang telah bergulir harus betul-batul didukung oleh semua lapisan masyarakat. Program pendidikan luar sekolah seperti kejar paket A dan kejar paket B perlu lebih dikembangkan hingga ke setiap pelosok. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan mutu tenaga pendidik di setiap jenjang pendidikan. Peningkatan mutu tenaga pendidik bukan hanya dari segi kualitas tetapi juga dari kuantitas, sehingga tenaga pendidik yang berkualitas dapat tersebar merata di setiap pelosok
 Dalam bidang kesehatan, tantangan yang terberat adalah bagaimana meningkatan angka harapan hidup masyarakat. Hal Ini tentunya ahan berbasil bila pemerintah mampu menekan angka kematian bayi dan angka kematian ibu yang menjadi salah satu faktor menurunnya derajat kesehatan masyarakat. Adanya peningkatan sarana dan prasarana kesehatan baik dari segi kuantitas maupun segi kualitas akan sangat membantu masyarakat dalam. mendapakan pelayanan. Disamping itu kebiasaan hidup masyarakat yang semakin baik akan sangat berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat.
 Dalam bidang ekonomi, selain adanya peningkatan pendapatan perkapita masyarakat, juga harus ditunjang oleh adanya pemerataan pendapatan masyarakat sehingga bukan hanya masyarakat perkotaan saja yang dapat menikmati hasil-hasil pembangunan tetapi juga masyarkat pedesaan . Selain itu perlu juga adanya pemantauan terhadap laju inflasi untuk mengontrol kestabilan harga-harga karena inflasi yang tinggi akan sangat mempengaruhi terhadap daya beli masyakat.

 
DAFTAR PUSTAKA

BPS.2008.Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007.Jakarta : BPS
BPS. 2007. Indeks Pembangunan Manusia 2005-2006. Jakarta:BPS 
BPS.2007. Statistik Pendidikan, statistical yearbook of education 2006. Jakarta:BPS 
BPS. 2008. Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007. Jakarta:BPS 
BPS. 2008. Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2008. Jakarta: BPS
BPS. 2008. Statistik Indonesia, statistical yearbook of Indonesia. Jakarta :BPS
Triyanto, Suseno Widodo. 1996. Ekonomi Indonesia, Fakta Dan Tantangan Dalam Era Liberalisasi. Yogyakarta: Kanisius
Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan Teori, Masalah Dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Hamonangan Ritonga.(2008). Pemanfaatan IPM dalam Pembangunan Daerah.[online].tersedia:http://bps.papua.go.id/yapen/index.php?option=com_content&view=article&id=15:ipm&catid=31:sosial&Itemid=46
Eric Neumayer.( Received 31 January 2001; received in revised form 26 April 2001; accepted 1 May 2001). The human development index and sustainability — a
constructive proposal
______Pembangunan Manusia. [online]. tersedia:epserv.unila.ac.id/.../Pembangunan%20manusia.ppt
______Indeks pembangunan Manusia. [online]. tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Pembangunan_Manusia
______(2009). Rumus Untuk Menghitung IPM (Indeks Pembangunan Manusia). [online]. tersedia:http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/08/rumus-untuk-menghitung-ipm-indeks.html
Listianto. [online]. tersedia:http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=26645
Soni Sumarsono dan. Sahat Marulitua. (2008). Index Pembangunan Manusia Dan Pemanfaatannya Dalam Pembangunan Daerah.[online].tersedia: http://sawungjati.wordpress.com/2008/06/03/sap-ipm-indeks-pemb-manusia/
Syamsiah Badruddin.(2009). Teori dan Indikator Pembangunan.[online].tersedia: http://profsyamsiah.wordpress.com/2009/03/19/pengertian-pembangunan/
Listianto.(2009). Analisis Ekonomi Indeks Pembangunan Manusia di Dalam Negeri Indonesia. [online].tersedia: http://www.pelita.or.id/baca.php?id=26645
______(2009). Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Naik. [online]. tersedia:http://www.mediaindonesia.com/read/2009/10/10/98674/92/14/Indeks-Pembangunan-Manusia-Indonesia-Naik
______(2008).[online].tersedia:http://www.targetmdgs.org/download/MDGsNEWS_1.1_lowres.pdf





Tidak ada komentar: