BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudera Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang tujuannya ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah dan ada juga yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi). Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tidak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang singgah.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang Baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Akan tetapi penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan dengan sistem barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional yang hanya mengandalkan perkiraan harga pertukaran suatu barang dengan barang lain. Oleh sebab itu, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan sebab kegiatan perdagangan banyak difokuskan di kawasan laut yang merupakan pelabuhan dagang yang sering disinggahi para pedagang dari berbagai negara. Namun dapat dikatakan secara keseluruhan hingga saat ini di Indonesia, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian sebab wilayah Indonesia berpotensi besar dalam kedua hal itu seperti tersedianya lahan untuk pengembangan areal pertanian dengan masyarakatnya yang mayoritas petani, kemudian perniagaan atau perdagangan yang sangat memungkinkan bagi bangsa Indonesia yang memiliki sejarah sebagai kawasan pelabuhan dagang dan mayoritas beragama Islam dengan anjuran Rasulullah yang juga seorang pedagang.
Masa kejayaan kerajaan-kerajaan di Indonesia memang menjadi bagian terpenting dalam sejarah perekonomian Indonesia yang ada saat ini karena dengan adanya praktek perniagaan saat itu dari mulai sistem barter sampai dengan mengenal mata uang sebagai alat tukar, telah mengenalkan kita pada sebuah perkembangan perekonomian. Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam tersebut, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, Orde lama, Orde Baru, dan masa reformasi.
1.2 Permasalahan
Untuk memberikan arah dan tujuan yang jelas tentang masalah yang akan dibahas, maka penyusun merumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan perekonomian Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan?
2. Bagaimana perkembangan perekonomian Indonesia pada masa Orde lama?
3. Bagaimana perkembangan perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru?
4. Bagaimana perkembangan perekonomian Indonesia pada masa Transisi?
5. Bagaimana perkembangan perekonomian Indonesia pada masa Reformasi?
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah perkembangan perekonomian Indonesia dibagi ke dalam 5 masa, yaitu :
a. Masa sebelum kemerdekaan atau masa penjajahan (1600-1945)
b. Masa Orde Lama (1945-1966)
c. Masa Orde Baru (1966-1998)
d. Masa Transisi (1998-1999)
e. Masa Reformasi (1998-sekarang)
Dalam perkembangannya, perekonomian Indonesia mengalami pasang surut dan berbagai peristiwa penting. Indonesia telah memperoleh banyak pengalaman politik dan ekonomi. Peralihan dari masa ke masa, iklim politik yang memanas, kondisi ekonomi yang bergejolak, hingga upaya mengisi kemerdekaan. Gambaran utuh mengenai hal tersebut disajikan secara kronologis-historis. Hal ini mengingat bahwa apa yang berlangsung saat ini tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa serta pengalaman-pengalaman sebelumnya.
2.1 Perkembangan Perekonomian Indonesia Pada Masa Sebelum Kemerdekaan (1600-1945)
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena kekuasaannya telah diduduki oleh Belanda. Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, telah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang diberlakukan mereka di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu). Masa-masa tersebut yakni sebagai berikut :
2.1.1 Pendudukan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC 1602-1799)
Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda pada tanggal 22 Januari 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman di Banten. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), yaitu sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Kongsi dagang Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, antara lain meliputi :
1. Hak monopoli perdagangan.
2. Hak mencetak dan mengeluarkan uang sendiri.
3. Hak mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat.
4. Hak mengadakan perang dengan negara lain.
5. Hak menjalankan kekuasaan kehakiman.
6. Hak memungut pajak.
7. Hak memiliki angkatan perang dan mendirikan benteng sendiri.
8. Hak mengadakan pemerintahan sendiri.
9. hak sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia.
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai penguasa Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC. Kenyataannya, sejak tahun 1602, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan pelayaran Hongi (membawa para saudagar Belanda mencari tempat-tempat penghasil rempah-rempah) dan hak extirpatie (mengurangi hasil produksi perekebunan rempah-rempah agar keadaan di pasaran tidak terlalu melimpah).
Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia. Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negeri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan eksistensi dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang hanya 1.050 metrik ton.
Berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi, selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi pembanding yang seimbang, ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran hingga tahun 1870-an.
Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC hingga 136 juta Gulden lebih, yang antara lain disebabkan oleh :
a. Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama Perang Diponegoro yang berlangsung pada tahun 1825-1830.
b. Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
c. Korupsi yang dilakukan para pegawai VOC sendiri.
d. Pembagian dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas dalam keadaan defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek) yang didirikan oleh Perancis pada tanggal 4 Februari 1803. Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau sehingga Napoleon Bonaparte membubarkan Republik Bataaf tahun 1806. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa. Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda. (Asep Lukman : 1999, 51)
2.1.2 Pendudukan Perancis (1808-1811)
Bersamaan dengan kehancuran VOC di Indonesia, daratan Eropa berkecamuk dengan perang Revolusioner Perancis yang berlangsung tahun 1792-1802. belanda berhasil diduduki oleh Perancis pada tahun 1795. Raja William V berhasil meloloskan diri dan berlindung pada Inggris, dengan jaminan Belanda akan menyerahkan kekuasaannya di Indonesia.
Pemerintahan Perancis yang merasa dirinya telah menguasai Belanda bertindak tegas. Ia menggabungkan wilayah Belanda ke dalam wilayah kekuasaan negara Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte. Untuk mempertahankan wilayahnya, Perancis mengirimkan Gubernur Jenderal Deandels, dengan tujuan untuk mempertahankan Indonesia dari serangan Inggris, mengatur pemerintahan di Indonesia, memperbaiki keadaan perekonomian, dan membangun kembali armada angkatan laut Belanda yang hancur.
Setibanya di Indonesia tanggal 1 Januari 1808, Deandels mengadakan tindakan-tindakan sebagai berikut:
a. Menjalankan pemerintahan diktator.
b. Perdagangan budak belian.
c. Menjalankan kerja rodi (membuka jalan sepanjang 1000 km dari Anyer ke Panarukan).
d. Mencampuri urusan pengangkatan kepala daerah dan upacara keraton.
e. Menurunkan tahta Sultan Banten yang dianggap gagal membangun pelabuhan di Ujung Kulon.
Tindakan-tindakan Deandels mendatangkan kebencian dari rakyat Indonesia. Sehingga Napoleon Bonaparte memanggil Deandels pulang ke Perancis dan digantikan oleh Gubernur Jenderal Janssens tahun 1811. Janssens banyak menemukan hambatan dan raja-raja di Pulau Jawa banyak yang memberontak. Disamping itu serangan armada angkatan laut Inggris ke Batavia menyebabkan Janssens semakin sulit. Akhirnya September 1811 Janssens menyerah kepada Inggris di daerah Tuntang. (Asep Lukman : 1999, 55)
2.1.3 Pendudukan Inggris (1811-1816)
Pada tanggal 18 September 1811 kekuasaan Indonesia jatuh ke tangan Inggris dengan pimpinan Gubernur Jenderal Raffles. Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah.
Dalam menjalankan kekuasaannya di Pulau Jawa, Raffles menyusun rencana-rencana sebagai berikut :
a. Menghapuskan sistem kerja paksa (rodi) kecuali daerah Priangan dan Jawa Tengah.
b. Menghapuskan pelayaran Hongi dan segala jenis tindak pemaksaan di Maluku.
c. Melarang perbudakan.
d. Menghapus segala bentuk penyerahan wajib dan penyerahan hasil bumi.
e. Melaksanakan sistem pajak bumi (landrete steelsel).
f. Membagi pulau Jawa dalam 16 keresidenan.
g. Mengurangi kekuasaan para bupati.
h. Menerapkan sistem pengadilan dengan sistem juri.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang hanya seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
1. Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak.
2. Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
3. Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tidak mau mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.
2.1.4 Masa Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang permintaannya potensial di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk tanaman selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dan lain-lain. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tetapi sangat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah Belanda untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah tersebut. Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang diterima dan dimasukkan ke dalam gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai lebih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
2.1.5 Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Dengan berakhirnya politik tanam paksa di Indonesia, imperialisme modern mulai masuk ke Indonesia. Indonesia dijadikan pengambilan bekal hidup, bahan mentah untuk industri, pemasaran hasil industri, dan penanaman modal asing. Sejak tahun 1870, Belanda melaksanakan Politik Pintu Terbuka. Akibatnya berdatanganlah bangsa-bangsa diluar Belanda seperti Inggris, Belgia, Perancis, Amerika Serikat, China, Jepang dan lainnya.Politik Pintu Terbuka dibentuk karena adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang Baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada :
a. Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah.
b. Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
c. Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan secara layak. (J.Sukardi : 2004, 48)
2.1.6 Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer bersama Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara India-Belanda datang ke Kalijati dan dimulai perundingan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan pihak Tentara Jepang yang dipimpin langsung oleh Letnan Jenderal Imamura. Imamura menyatakan, bahwa Belanda harus menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Letnan Jenderal ter Poorten, mewakili Gubernur Jenderal menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Dengan demikian secara de facto dan de jure, seluruh wilayah bekas Hindia-Belanda sejak itu berada di bawah kekuasaan dan administrasi Jepang. Hari itu juga, tanggal 9 Maret Jenderal Hein ter Poorten memerintahkan kepada seluruh tentara India Belanda untuk juga menyerahkan diri kepada balatentara Kekaisaran Jepang.
Pada mulanya, propaganda Jepang terdengar seperti perbaikan dibandingkan dengan pemerintahan Belanda. Setelah itu, pasukan-pasukan Jepang mulai mencuri makanan dan menangkapi orang untuk dijadikan pekerja paksa, sehingga pandangan bangsa Indonesia terhadap mereka mulai berbalik. Dari semua yang telah dilakukan, Militer Jepang membuat tiga kesalahan besar terhadap bangsa Indonesia:
1. Kerja paksa: banyak laki-laki Indonesia diambil dari tengah keluarga mereka dan dikirim hingga ke Burma untuk melakukan pekerjaan pembangunan dan banyak pekerjaan berat lainnya dalam kondisi-kondisi yang sangat buruk. Ribuan orang mati atau hilang. Jepang menahan banyak warga sipil Belanda di kamp-kamp tahanan dalam kondisi-kondisi yang sangat buruk, dan memperlakukan tahanan perang militer di Indonesia dalam keadaan yang buruk pula.
2. Pengambilan paksa: tentara-tentara Jepang dengan paksa mengambil makanan, pakaian dan berbagai pasokan lainnya dari keluarga-keluarga Indonesia, tanpa memberikan ganti rugi. Hal ini menyebabkan kelaparan dan penderitaan semasa perang.
3. Perbudakan paksa terhadap perempuan: banyak perempuan Indonesia yang dijadikan "wanita penghibur " bagi tentara-tentara Jepang.
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Walaupun hanya 3 tahun menjajah di Indonesia, namun bagi rakyat Indonesia keberadaan Jepang yang menguras banyak kekayaan Indonesia, sangat membuat mereka menderita. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. Seperti ini lah sistem sosialis ala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
Para pejuang melihat penderitaan bangsa Indonesia yang sangat tersiksa oleh militer Jepang, kemudian pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta diculik( peristiwa Rengasdengklok) oleh para pemuda pejuang. Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Jenderal Moichiro Yamamoto dan bermalam di kediaman Laksamana Muda Maeda Tadashi. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan. Mengetahui bahwa proklamasi tanpa pertumbahan darah telah tidak mungkin lagi, Soekarno, Hatta dan anggota PPKI lainnya malam itu juga rapat dan menyiapkan teks Proklamasi yang kemudian dibacakan pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.Dengan demikian berakhir pula masa pendudukan Jepang di Indonesia. (Syamsudin Haris : http://wikipedia.org/110909/papers)
2.2 Perkembangan Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Lama (1945-1966)
2.2.1. Kehidupan Ekonomi Indonesia Awal Kemerdekaan
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan memberikan sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Pada awal berdirinya RI, keadaan ekonomi sangat memprihatinkan. Hal itu disebabkan oleh beredarnya mata uang Jepang yang tidak terkendali. Kas negara kosong, pajak dan bea masuk lainnya sangat berkurang, sedangkan pengeluaran semakin bertambah. Keadaan tersebut semakin parah karena pemerintah RI menetapkan tiga mata uang sekaligus, yaitu mata uang yang dicetak oleh De Javasche Bank, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang pada masa pendudukan Jepang. Dengan memdaratnya tentara Sekutu di kota-kota besar dan berhasil menguasai bank-bank serta blokade ekonomi dari Belanda, menyebabkan laju inflasi yang sangat tinggi.
Pada tanggal 6 Maret 1946 Panglima Serikat mengumumkan berlakunya mata uang NICA (Netherland Indies Civil Adminintration) di daerah-daerah yang diduduki tentara Serikat sebagai ganti mata uang Jepang. Perdana Menteri Syahrir memprotes tindakan itu dan menuduh pihak Serikat melanggar persetujuan bahwa kedua belah pihak tidak akan mengeluarkan mata uang Baru sebelum situasi mantap. Pemerintah RI menolak penggunaan mata uang NICA dan menyetakan bukan sebagaia lata pembayaran yang sah di wilayah RI. Pada bulan Oktober 1946 pemerintah RI mengeluarkan uang kertas yang disebut Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) berdasarkan undang-undang Nomor 17 tahun 1946 tanteng ORI tertanggal 1 Oktober 1946. Kemudian dengan undang-undang nomor 19 tahun 1946 tanggal 25 Oktober 1946 diatur penikaran uang rupiah yang berlaku di Indonesia pada waktu itu yaitu :
a. Lima puluh rupiah uang Jepang disamakan dengan satu rupiah ORI
b. Di luar Jawa dan Madura, seratus rupiah uang Jepang ditukar dengan satu rupiah ORI.
Hal itu dimakdudkan untuk menggantikan mata uang jepang yang telah merosot nilainya. Kurs mata uang Jepang dengan ORI adalah satu per seribu, artinya setiap seribu rupiah mata uang Jepang ditikar dengan satu rupiah ORI. Untuk sememtara waktu pemerintah mengizinkan setiap keluarga memiliki Rp. 300,- saja dan bagi yang tidak berkeluarga Rp. 100,-
Tindakan pemerintah selanjutnya yang tujuannya untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi dan keuangan adalah membentuk Bank Negara Indonesia. Bank Negara Indonesia dibentuk secara resmi tanggal 1 November 1946, semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh margono Djojohadikusumo yang bertugas untuk mengetur nilai tukar ORI dengan valuta asing yang beredar di Indonesia.. Sebelum berdirinya bank Negara Indonesia, pemerintah telah merintis pembentukan Bank Rakyat Indonesia, yang semula Shomin Ginko.
Usaha-usaha lain yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, diantaranya Program Pinjaman Nasional yang dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. Kemudian upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan diplomasi ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi Ekonomi yang diadakan Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi lahan perkebunan. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) pada tanggal 19 Januari 1947. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) tahun 1948 mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif. Namun usaha-usaha ini tidak membuat keadaan makin membaik.
Keadaan ekonomi Indonesia saat itu semakin parah dengan pelaksanaan perang gerilya untuk mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) dan gangguan-gangguan keamanan dari bangsa sendiri, misalnya munculnya pemberontakan PKI Madiun, Pemberontakan APRA, Pemberontakan Andi Azis, Pemberontakan RMS, serta Pemberontakan DI/TII.
Pada 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia Belanda secara sepihak, meskipun Belanda tidak bisa menerimanya. Untuk menindaklanjuti pembubaran Uni Indonesia Belanda, pada 3 Mei 1956, Presiden Soekarno menendatangani Undang-undang Pembatalan KMB. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. (Tulus Tambunan : 2006, 27)
2.2.2 Masa Demokrasi Liberal – Nasionalisasi di Bidang Ekonomi (1950-1959)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada kekuatan pasar dan pemrintah dilarang ikut campur terlalu banyak. Padahal kondisi para pengusaha pribumi masih lemah dan belum dapat bersaing dengan pengusaha nonpribumi terutama Cina.
Pemerintah menyadari bahwa RI mewarisi ekonomi yang kacau dari pemerintah pendudukan Jepang. Keadaan itu diperparah lagi oleh adanya berbagai gangguan keamanan dan pemberontakan di berbagai daerah. Itulah sebabnya pemerintah berupaya melakukan perbaikan ekonomi dengan melakukan berbagai kebijaksanaan ekonomi. Diantaranya sebagai berikut :
a. Rencana I.J. Kasimo
Pada waktu itu Kasimo menjabat sebagai Menteri Persediaan Makanan Rakyat, yang pada bulan Februari 1946 pemerintah berusaha merancang memecahkan masalah ekonomi dengan menyelenggarakan konferensi ekonomi. Yang menjadi bahan pembicaraan adalah meningkatkan produksi dan distribusi bahan makanan, masalah sandang, serta status administrasi perkebunan milik asing. Konferensi menghasilkan konsepsi untuk menghapus sistem autarki lokal warisan Jepang secara berangsur-angsur dan menggantikan dengan sistem sentralisasi Bahan Makanan Rakyat yang kemudian menjadi Badan Persediaan dan Pembagian Bahan makanan (PPBM). Semua perkebunan akan diawasi oleh pemerintah agar produksi meningkat.
Di samping itu pemerintah membentuk Badan Perencana Ekonomi. Usaha itu dikenal dengan Plan Kasimo yang berisi anjuran untuk memperbanyak kebun bibit padi unggul dan pencegahan penyembelihan hewan pertanian, serta usaha menanami tanah-tanah yang kosong terutama di Sumatera Timur. Dianjurkan juga untuk melaksanakan transmigrasi 20 juta penduduk Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 10 sampai 15 tahun.
b. Gunting Syafruddin
Kabinet Hatta merupakan satu-satunya kebinet dalam sejatah politik Indonesia yang dipimpin oleh seorang pakar ekonomi profesional. Kendati konsentrasi utama dari kabinet singkat ini adalh penyatuan politis wilayah-wilayah Indonesia ke dalam negara kesatuan Indonesia Serikat, namun perhatiannya terhadap masalah-masalah ekonomi cukup besar.
Tindakan paling penting yang dilakukan kabinet ini adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang secara serempak dan pemotongan yang beredar pada bulan Maret 1950. Pemotongan mata uang ini melibatkan pengguntingan menjadi separuh atas semua uang kertas keluaran De Javasche Bank.
Pada saat itu pemerintah mengalami defisit 5,1 miliar rupiah. Pada tanggal 19 Maret 1950 Menteri Keuangan Syafruddin, berdasarkan SK Menteri Nomor PU 1 19 Maret 1950, mengambil tindakan pemotongan uang. Tindakan itu dilakukan dengan cara mengubah nilai uang Rp 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Tindakan pemerintah itu dikenal dengan sebutan Gunting Syafruddin. Tindakan itu dapat mengurangi jumlah uang beredar. Akibatnya pemerintah RI mendapat kepercayaan pemerintah Belanda. RI mendapat pinjaman uang sebesar Rp200 juta dari pemerintah Belanda.
c. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng (Benteng Group)
Usaha mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah maka pemerintah RI pada kabinet Natsir telah merintis usaha menumbuhkan industrialisasi yang dikenal dengan rencana Sumitro. Sasaran rencana itu dipusatkan pada pembangunan industri dasar, seperti pabrik semen, percetakan, pabrik karung, dan pemintalan. Kebijaksanaan itu diikuti dengan perbaikan prasarana, liberalisasi pertanian, dan penanaman modal asing. Dr. Sumitro Joyohadikusumo yang menjabat sebagai menteri perdagangan, berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus segera ditumbuhkan menjadai kelas pengusaha. Para pengusaha Indonesia yang umumnya bermodal lemah, diberi kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam membangun ekonomi nasional. Mereka harus dibimbing dan diberi bantuan kredit karena pemerintah menyadari bahwa pada umumnya mereka tidak mempunyai cukup modal. Dengan usaha secara bertahap, pengusaha akan berkembang maju. Tujuannya adalah mengubah struktur kolonial ke struktur ekonomi nasional. Program Sumitro itu dikenal dengan nama Gerakan Benteng atau Benteng Group.
Selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia mendapat program benteng. Namun usaha tersebut tidak mencapai sasaran, karena pengusaha-pengusaha Indonesia ternyata lamban untuk menjadi dewasa. Bahkan ada yang menyalahgunakan bantuan tersebut. Kegagalan program itu disebabkan pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha nonpribumi, dalam rangka pelaksanaan ekonomi liberal. Faktor lain berasal dari mentalitas pengusaha kita yang cenderung pada pola konsumtif, sehingga berekinginan cepat mendapat keuntungan yang besar dan menikmati hidup mewah.
d. Nasionalisasi Bank dan Sistem Ali Baba
Bersamaan dengan meningkatnya rasa nasionalisme, pada akhir tahun 1951 pemerintah RI melaksanakan nasionalisasi De Javashe Bank menjadi Bank Indonesia. Dengan tujuan menaikkan pendapatan, pemerintah menurunkan biaya ekspor dan melakukan penghematan secara drastis. Pada tahun 1952 defisit negara telah meningkat menjadi 3 miliar rupiah. Selama itu anggaran belanja diajukan ke DPR dan disetujui.
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamijoyo I Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisurya memprakarsai sistem ekonomi Baru, yang dikenal dengan sistem Ali Baba. Sistem itu ditujukan untuk memejukan pengusaha pribumi. Ali menggambarkan pengusaha pribumi, sedang Baba menggambarkan pengusaha nonpribumi, khususnya Tionghoa. Sistem tersebut dimaksudkan agar pengusaha pribumi maupun non pribumi bekerja sama untuk memajukan ekonomi Indonesia. Pemerintah menyediakan bantuan berupa kredit melalui bank. Namun ternyata bahwa dengan sistem itu juga mengalami kegagalan. Pengusaha nonpribumi lebih berpengalaman daripada pengusaha pribumi untuk memperoleh bantuan kredit. Waktu itu Indonesia melaksanakan sistem liberal sehingga persaingan bebas lebih diutamakan. Dalam persaingan bebas tersebut ternyata pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dengan pengusaha nonpribumi.
Sementara itu pemerintah masih terus dilanda defisit. Upaya mencari jalan keluar untuk mengatasi defisit tersebut, pemerintah cenderung untuk mencetak uang secara terus menerus, yang berarti inflasi akan meningkat terus. Pada tahun 1953 pemerintah di bawah kabinet Ali Sastroamijoyo mengalami defisit sebesar 7,6 miliar rupiah. Defisit meningkat dari tahun ke tahun.
e. Pengambilalihan Perusahaan Belanda
Setelah melakukan kebijaksanaan ekonomi yang belum juga membawa hasil nyata, pemerintah pun tetap meneruskan usaha untuk perbaikan ekonomi. Langkah yang diambil pemerintah ialah dengan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda yang berjumlah kurang dari 700 buah, setelah terjadi pemogokan buruh secara menyeluruh pada perusahaan Belanda. Hal itu dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23 Tahun 1958 pada bulan Desember. Sebagai akibat dari kebijaksanaan tersebut adalah dipindahkannya pusat lelang tembakau Indonesia dari Amsterdam, Belanda ke Bremen, Jerman.
Dilihat dari aspek politiknya, selama periode Orde Lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat demokrasi, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa sistem politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional. Tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur kabinet tidak lebih dari 1 tahun saja. Waktu yang sangat pendek disertai dengan banyaknya keributan internal di dalam kabinet tentu tidak memberi kesempatan maupun waktu yang tenang bagi pemerintah yang berkuasa untuk memikirkan bersama masalah-masalah sosial dan ekonomi yang ada pada saat itu, apalagi menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya. (Feith dalam Tulus Tambunan : 2006, 32).
Selama periode 1950-an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal seperti pertambangan , distribusi, transportasi, dan bank, yang memiliki kontribusi lebih besar dari pada sektor informal terhadap output nasional (PDB) didomonasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang mayoritas berorientasi ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing relatif lebih padat kapital dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didomonasi oleh pengusaha pribumi, dan perusahaan-perusahaan asing pada umumnya berlokasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Pertumbuhan ekonomi pun belum menunjukkan peningkatan yang signifikan karena masih dalam tahap awal setelah kemerdekaan. (Tulus Tambunan: 2006, 32).
Berikut adalah tabel pendapatan dan belanja pemerintah dan pertumbuhan ekonomi Indonesia :
Tabel 1
Pendapatan dan Belanja Pemerintah, pada Tahun 1955 – 1965, dalam Jutaan Rupiah Baru (Emisi 1966)
(1)
Tahun (2)
Pendapatan (3)
Belanja (4)
Selisih
(2) – (3) (5)
Rasio (4)
Terhadap (2)
1955 14 16 -2 14%
1956 18 21 -3 17%
1957 21 26 -5 24%
1958 23 35 -12 52%
1959 30 44 -14 47%
1960 50 58 -8 16%
1961 62 88 -26 42%
1962 75 122 -47 60%
1963 162 330 -168 104%
1964 283 681 -398 141%
1965 923 2.526 -1.603 174%
Rata-rata 151 359 -208 137%
Sumber : Mohtar Mas’oed hal 218 (dalam Dumairy : 1996, 25).
Tabel 2
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (1951-1957)
Tahun Indeks
(1951=100) % Perubahan Tahun Indeks
(1951=100) % Perubahan
1951 100,0 - 1959 149,1 -1,9
1952 103,8 3,8 1960 146,8 -1,5
1953 126,8 22,1 1961 149,4 1,7
1954 128,6 1,4 1962 145,3 -2,7
1955 133,4 3,7 1963 141,4 -2,7
1956 136,4 2,2 1964 144,7 2,4
1957 144,4 5,8 1965 145,5 0,5
1958 152,0 5,3 1966 146,4 0,6
*)1951-1957 diukur dengan Pendapatan Nasional Bruto dan 1958-1966 diukur dengan Produk Domestik Bruto.
Sumber (Tulus Tambunan: 2006, 19)
2.2.3 Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit untuk menghindari bahaya yang disebabkan oleh kegiatan partai-partai politik, maka pengumuman istirahat Konstituante diikuti dengan larangan-larangan melakukan segala bentuk kegiatan partai politik. Isi dekrit tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pembubaran Konstituante
2. Berlakunya kembali UUD 1945
3. Tidak berlakunya UUDS 1950
Sebagai dampak dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme atau sosialis (segala hal diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a) Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000 dibekukan.
b) Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada tahun 1961-1962 harga barang-barang naik sampai 400%.
c) Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah Baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah Baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini menyebabkan meningkatnya angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
Keadaan ekonomi Indonesia terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang tinggi pada dekade 1950-an.
Tabel 3
Perkembangan Inflasi dan Jumlah Uang Beredar (1955-1966)
Tahun Indeks Harga (1954=100) Jumlah Uang Beredar (juta Rupiah)
1955 135 12,20
1956 133 13,40
1957 206 18,90
1958 243 29,40
1959 275 34,90
1960 330 47,90
1961 644 67,60
1962 1.648 135,90
1963 3.770 263,40
1964 8.870 675,10
1965 61.400 2.582,00
1966 152.200 5.593,40
Sumber : Arndt: 1994( dalam Tulus Tambunan: 2009, 21)
Tabel 4
Saldo APBN: 1955-1965 (juta rupiah)
Tahun Pendapatan Pengeluaran Saldo
1955 14 16 -2
1956 18 21 -3
1957 21 26 -5
1958 23 35 -12
1959 30 44 -14
1960 50 58 -8
1961 62 88 -26
1962 75 122 -47
1963 162 330 -168
1964 283 681 -398
1965 923 2.526 -1.603
Sumber: Mas’oed :1989 (dalam Tulus Tambunan: 2009, 20)
Selain kondisi politik dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa Orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan akan faktor-faktor produksi seperti sumber daya manusia, dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan dan keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri) teknologi, dan kemampuan pemerintah untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Pemerintah Indonesia memberikan prioritas utama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri dan rekonstruksi. Akan tetapi akibat keterbatasan faktor-faktor diatas dan kekacauan politik nasional pada masa itu akhirnya pembangunan tidak pernah terlaksana dengan baik.
Pada akhir September 1965 ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi perubahan politik yang drastis di dalam negeri, selanjutnya juga merubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa Orde lama yakni dari pemikiran sosialis ke semi kapitalis. Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut Undang-undang 1945 Pasal 33 menganut suatu sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideologi Pancasila. (Tulus Tambunan: 2006, 33)
Perencanaan, strategi, dan kebijaksanaan pembangunan ekonomi pada masa orde lama:
Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia Strategi Pembangunan Ekonomi Kebijaksanaan yang mendukung dan menghambat tercapainya tujuan ekonomi
1. Periode 1945 - 1950
a. Perencanaan Hatta (1947)
b. Rencana Kasino : Plan Produksi Tiga Tahun RI 1948 – 1950
c. Rencana Kesejahteraan Istimewa 1950 – 1951
Catatan :
1. Periode 1945 – 1950 pada dasarnya masih merupakan periode revolusi yaitu : dalam situasi mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
2. Periode 1945 – 1950 Indonesia memberlakukan 2 Undang-undang Dasar :
a. UUD 1945
b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat Desember 1949 Agustus 1950
Landasan : Pasal 33 UUD 1945
Strategi : Meningkatkan kemakmuran masyarakat dengan cara :
1. Memperbaharui tenaga produktif.
2. Jalan industrialisasi dengan tetap mendasarkan diri sebagai negara agraris.
Mendukung:
1. Kebutuhan negara lain akan produk Indonesia masih tinggi, khususnya barang-barang pertanian sebagai bahan baku industri.
2. Barang sintesis belum dominatif.
3. Fluktuasi harga barang ekspor di Indonesia sewaktu mengalami kenaikan.
4. Pinjaman luar negeri, baik modal asing, merupakan pinjaman yang dianjurkan.
Menghambat:
1. Perekonomian Indonesia belum stabil sebagai akibat masa peralihan dari perekonomian penjajahan (Belanda dan Jepang) ke perekonomian kemerdekaan.
2. Inflasi yang diakibatkan oleh tindakan Belanda yang tetap menginginkan Indonesia sebagai negara jajahannya dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
3. Sangat tergantung pada fluktuasi tingkat harga.
4. Kabinet silih berganti sebagai akibat situasi politik yang belum stabil (agresi Belanda tahun 1947 dan 1948) sehingga tidak ada kebijaksanaan ekonomi yang berkesinambungan.
5. Dana sangat terbatas.
6. Rencana itu sendiri belum / tidak dijabarkan dalam langkah-langkah yang konkret misalnya dalam bentuk alokasi dana.
7. Perhatian pemerintahan masih ditekankan pada mempertahankan kemerdekaan dari serangan / agresi luar.
8. Rencana itu belum mempunyai dasar politis.
1.
2. Periode 1951 - 1955
Perencanaan urgensi perekonomian (1951) diusulkan oleh Sumitro Djojohadikusumo.
Catatan :
1. Periode 1951 – 1955 merupakan periode pemantapan kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia telah diakui secara Internasional tetapi Irian Barat masih belum diserahkan oleh Belanda.
2. Pada periode ini Indonesia memberlakukan UUD sementara dari 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 yang pada dasarnya menggambarkan rapuhnya persatuan diantara bangsa Indonesia sendiri.
3. Rencana Pembangunan Ekonomi ini hanya mencakupi waktu 1951 – 1952.
4. Dari 1952 – 1955 tidak ada rencana pembangunan ekonomi yang disusun oleh pemerintah.
Landasan : Tidak dirumuskan secara eksplisit.
Strategi : Peningkatan kemakmuran masyarakat dengan cara :
1. Mendorong berkembangnya industri-industri kecil.
2. Menggiatkan kemajuan badan-badan kooperasi dan memperkuat organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan untuk usaha perniagaan kecil dan menengah.
3. Mendorong berkembangnya industri berat yang akan menjadi unsur-unsur penyokong yang memudahkan dan memperkuat kemajuan perindustrian dalam negeri di daerah-daerah.
4. Peranan pemerintah diharapkan dominan dalam pelaksanaan rencana ini.
Mendukung :
Perang Korea tahun 1951 yang mengakibatkan penerimaan Indonesia meningkat sehingga relatif ada dana (Korea – boom).
Menghambat :
1. Inflasi yang tidak bisa lagi dikendalikan sebagai akibat defisit anggaran yang semakin meningkat.
2. Penggunaan surplus perdagangan yang tidak terarah.
3. Kebijaksanaan keuangan yang tidak mendorong berkembangnya investasi.
4. Kabinet masih silih berganti yang mengakibatkan tidak adanya rencana / program yang berkesinambungan .
5. Sifat rencana sangat pendek (hanya 2 tahun dan tidak mempunyai dasar politis (tidak ada persetujuan DPR).
3. Periode 1956 - 1960
Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (RTLP) 1956 – 1960.
Catatan :
1. Dalam periode ini kabinet masih tetap silih berganti.
2. Sengketa Irian Barat yang semakin meningkat yang mengakibatkan dinasionalisasikannya perusahaan-perusahaan Belanda.
3. Perkembangan politik dalam negeri semakin panas yang mengakibatkan perkonomian Indonesia berkembang ke arah yang tidak menentu.
Landasan : Secara eksplisit tidak dirumuskan.
Strategi : Meningkatkan pendapatan masyarakat dengan alokasi dana tahunan sebagai berikut :
1. Untuk pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan ..... 13%.
2. Untuk pengairan dan proyek-proyek multi purpose....25%.
3. Untuk alat-alat perhubungan….25%.
4. Pertambangan dan industri….25%.
5. Urusan social (pengajaran, kesehatan, perumahan dan sebagainya)….12%.
Mendukung :
Secara politis Rancangan Undang-undang tentang RLTP ini disetujui oleh DPR.
Menghambat :
1. Dalam pelaksanaan, ternyata garis-garis besar rencana itu perlu dirubah, baik dalam target maupun pembiayaan.
2. Rencana yang disusun tidak / kurang memperhatikan potensi yang ada.
3. Inflasi yang semakin tidak terkendali sebagai akibat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang semakin besar.
4. Pendapatan pemerintah dari ekspor sangat menurun sebagai akibat dari resesi ekonomi yang dialami Amerika Serikat dan Eropa Barat selama akhir 1957 dan permulaan 1958.
5. Terjadinya gangguan keamanan dalam negeri sebagai manifestasi ketegangan antara Pusat dan Daerah. Dengan perkataan lain stabilitas politik tidak ada.
6. Kemampuan administratif untuk menjamin pelaksanaan rencana masih sangat rendah.
4. Periode 1961 – 1965
Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) 1961 – 1965.
Catatan :
1. Periode ini diwarnai oleh perkembangan politik yang semakin panas (pembebasan Irian Barat, anti Malaysia dan juga konflik antar partai politik)
2. Rencana ini terpaksa dihentikan di tengah jalan sebagai akibat adanya pemberontakan PKI tahun 1965 (aksi G.30.S).
Landasan : Manifesto politik no. 1/1960 dan Deklarasi ekonomi 1963.
Strategi : Meningkatkan kemakmuran masyarakat dengan asas Ekonomi terpimpin
Mendukung :
Ada niat untuk membangun dengan suatu rencana yang jelas yang juga diikuti dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu.
Menghambat :
1. Rencana ini tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi yang lazim dianut, antara lain tidak mempertimbangkan dana untuk membiayainya.
2. Defisit Anggaran yang semakin meningakatkan hyper inflasi tahun 1965 (650% tahun) telah merusak sendi-sendi perekonomian secara menyeluruh.
3. Peraturan yang ada tidak dilaksanakan secara konsisten.
4. Stabilitas politik tidak ada, bahkan terjadi pemberontakan PKI tahun 1965.
5. Tenaga pendukung (administrasi) yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan rencana masih sangat lemah bahkan semakin diperlemah karena adanya inflasi yang tidak yang tidak terkendali.
6. Rencana ini pada dasarnya hanya untuk mendinginkan situasi politik yang panas.
5. Periode 1966 – 1969
Periode Stabilisasi Ekonomi 1966 – 1969
Catatan :
1. Dengan pemberontakan PKI tahun 1965, Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana praktis tidak berlaku lagi.
2. Setelah pemberontakan PKI (G.30.S) ditumpas, lahir Orde Baru.
3. Undang-undang Perbankan tahun 1968 diberlakukan.
4. Kebijaksanaan 3 Oktober 1966 yang mengambil langkah-langkah di bidang keuangan negara, moneter dan perdagangan yang berkisar pada :
- Penertiban keuangan negara yang serba sulit
- Pengaturan kembali urusan moneter dan dunia perbankan.
- Memberikan kebebasan kepada dunia perdagangan yang terbelenggu oleh sistem jatah yang tidak wajar dan terbeku oleh peraturan berbelit-belit yang mematikan inisiatif masyarakat.
Kebijaksanaan ini intinya bertujuan membendung inflasi.
Landasan : TAP MPRS no.XXIII/MPRS/1966 yang juga merupakan Garis-garis Besar Haluan Negara yang pertama.
Strategi : Meningkatkan kemakmuran masyarakat (GNP) dengan memperbaharui kebijaksanaan dalam bidang ekonomi keuangan dan pembangunan dengan cara:
1. Penilaian kembali dari semua landasan-landasn kebijaksanaan ekonomi, keuangan dan pembangunan agar diperoleh keseimbangan yang tepat antara upaya yang diusahakan dan tujuan yang hendak dicapai.
2. Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
3. Stabilisasi dan rehabilisasi yang mencakup : (jangka pendek)
- Pengendalian inlfasi.
- Pencukupan kebutuhan pangan.
- Rehabilisasi prasarana ekonomi.
- Peningkatan kegiatan ekspor.
- Pencukupan kebutuhan sandang.
4. Pembangunan yang terencana dan konsisten. (jangka panjang) yang skala prioritasnya adalah :
- Bidang pertanian.
- Bidang prasarana.
- Bidang industri.
Mendukung :
1. Program ini landasi ketetapam MPRS sehingga mempunyai nilai politis.
2. Dalam rencana ini dirumuskan secara tajam adanya skala prioritas nasional yaitu bidang ekonomi.
3. Skala prioritas dalam bidang ekonomijuga menegaskan adanya patokan utama yaitu dilaksanakannya proyek-proyek yang menghasilkan barang dan jasa yang sangat diperlukan bagi keperluan rakyat banyak.
4. Dalam operasionalnya, dibedakan dengan jelas antar program stabilisasi dan rehabilitasi dengan program pembangunan.
5. Dibedakannya antara pembangunan jangka pendek dan jangka panjang dalam pembangunan ekonomi.
6. Diberlakukannya kebijaksanaan dalam bidang ekonomi yang konsisten disertai dengan penertiban keuangan pemerintah melalui kebijaksanaan APBN yang seimbang.
Kebijaksanaan dalam bidang ekonomi tersebut adalah :
a. Peraturan-peraturan 3 Oktober 1968.
b. Peraturan bulan Pebruari 1967.
c. Peraturan 28 Juli 1967.
7. Kehidupan politik yang relatif stabil.
Menghambat :
1. Harga barang-barang ekspor Indonesia di pasaran internasional menurun, dan jug merosotnya hasil produksi barang-barang ekspor, menurunnya mutu, kekurangan bahan-bahan baku / penolong serta peralatannya, keadaan infrastruktur yang menghambat jalannya ekspor.
2. Aspek administrasi yang belum menunjang.
3. Mulai dikembangkannya secara relatif cepat.
4. Peranan sektor pertanian yang masih tinggi.
Sumber : P.C. Suroso : 1997, 126
2.2.4. Berakhirnya Masa Pemerintahan Soekarno
Tak ada yang menyangka sebelumnya, bahwa kekuasaan dapat terguling oleh sebuah keputusan ekonomi. Bermula dari dikeluarkannya, Panpres No. 27 berisi pengaturan kembali nilai mata uang Rupiah. Panpres itu diumumkan Presiden Soekarno pada 13 Desember 1965. Panpres yang pada dasarnya merupakan inisiatif sejumlah menteri yang terkoordinasi di Cipanas itu, mendevaluasi rupiah dari kurs Rp 1000,- (lama) menjadi Rp 1,- (baru). Ini tindakan yang terpaksa diambil karena dibidang kebijakan fiskal, uang yang beredar sudah meningkat 5 kali antara 1964 dan 1965 menjadi Rp 2.982 miliar.
Tentu saja keputusan itu mengejutkan. Apalagi keadaan sosial
ekonomi tengah mengalami penurunan drastis akibat aksi
konfrontasi dengan Malaysia, dan upaya merebut kembali Irian
Barat. Harga sandang-pangan sekonyong-konyong membumbung tinggi.
Sementara orang harus hidup dalam berbagai slogan.
Menyusul kemudian, Menteri Negara Urusan Minyak dan Gas
Bumi, Mayjen dr Ibnu Sutowo, lewat SK tertanggal 3 Januari 1966
menaikkan harga minyak bumi dan bahan bakar. Harga bensin naik 4
kali lipat dari 250 uang lama menjadi Rp 1,- uang baru. Minyak
tanah dari Rp 150,- menjadi Rp400,- yang lama. Akibatnya harga
sarana angkutan ikut naik. Tarif kereta api meningkat 500%.
Barang-barang secara otomatis mengalami kenaikan.
Situasi politik pasca G30-S/PKI masih menyisakan
ketidakpastian. Orang-orang yang anti PKI masih panas, tapi
Presiden Soekarno masih terlalu kuat untuk dilawan. Pihak yang
anti Soekarno - dimotori sekelompok perwira AD dan intelektual
berbasis di kampus; yangjuga bersimpati kepada PSI - melihat
situasi telah dimatangkan sendiri oleh Soekarno. Telah tiba
saatnya untuk bergerak.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang dibentuk tak
berapa lama setelah peristiwa G 30 S dengan dorongan Menteri
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Prof. dr. Sjarif
Thajib, segera beraksi. Pada 6 Januari 1966, KAMI mengeluarkan
pernyataan yang mendesak pemerintah agar segera meninjau semua
keputusan menyangkut harga dan tarif. Namun Pemerintah lewat
Waperdam III Chairul Saleh tetap bergeming. Situasi semakin
panas.
Tanggal 10 Januari, KAMI mulai bikin aksi turun ke jalan. Di
kampus UI Salemba, seusai Kolonel Sarwo Edhie membacakan
sambutan, dibacakan resolusi yang dikenal sebagai resolusi
Tritura. Isi lengkap Resolusi Tritura sebagai berikut:
1. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya;
2. Pembersihan semua alat-alat revolusi termasuk lembaga-lembaga negara dari yang teratas hingga yang terbawah dari unsur/oknum kontrev, kaum profiteur, intrik, dan vested interest.
3. Mengadakan penataan kembali kehidupan mental, politik, ekonomi, sosial, dan budaya berdasarkan prinsip Gotong Royong melalui dialog langsung antara BPR Bung Karno dengan semua alat revolusi lainnya yang telah membuktikan kesetiaan, kemampuan, dan baktinya dalam menghadapi Nekolim, maupun prolog, fakta, epilog Gestapu.
Tak berapa lama muncullah aksi penggembosan ban mobil, penempelan poster dan gelombang demonstrasi. Pasukan elit Resimen
Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), terang-terangan mendukung
KAMI. spekulasi yang melihat Tritura sebagai bagian skenario penjatuhan Presiden Soekarno. Apalagi dalam demo pagi 11 Maret 1966 di depan istana, para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI jelas dilindungi sejumlah prajurit tanpa atribut. Hanya dalam beberapa minggu kemudian isu mulai mengarah kepada pusat kekuatan yaitu Badan Permusyawaratan Rakyat (BPR).
Penyebab lain berakhirnya Pemerintahan Orde Lama selain adanya Tritura juga ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tanggal 11 Maret 1966, kepada Letnan Jenderal Soeharto. Sebenarnya Supersemar hingga saat ini masih dalam kontroversi. Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor. Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu menendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam. Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai surat Supersemar itu tiba. Presiden Soekarno juga merasa bahwa dominasi AD dapat mengancam kekuasaannya, sehingga Presiden mendukung PKI dalam berkonflik dengan AD. Pada akhirnya, munculnya Soeharto sebagai kekuatan baru dalam AD menjadi tokoh yang mampu menumpas G 30 S dan menghancurkan PKI yang merupakan pendukung politik Soekarno.
Wewenang Soeharto sebagai Pengemban SP 11 Maret
selanjutnya meningkat setelah MPRS yang didominasi AD bersidang menghasilkan Ketetapan yang menimbulkan dualisme kepemimpinan secara de jure. Ketetapan MPRS diantaranya dalam hal pembentukan Kabinet Ampera yaitu Presiden bersama-sama Pengemban SP 11 Maret diberi wewenang membentuk kabinet. Kenyataannya, Soeharto yang merupakan ketua presidium kabinet selanjutnya memimpin kabinet dan menguasai jalannya pemerintahan.
Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap. Selain G-30-S/PKI dan Supersemar, Tritura juga merupakan sebab berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama). (Ulul Albab : http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/sejarah/article/view/751)
2.3 Perkembangan Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
2.3.1 Kehidupan Ekonomi
Pengertian Orde Baru adalah susunan atau tatanan perikehidupan rakyat, bangsa dan negara terhadap pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Pemerintahan Orde Baru muncul menggantikan pemerintahan sebelumnya yaitu Orde lama dibawa pimpinan Ir.Soekarno. Dasar pemerintahan Orde Baru adalah Supersemar yaitu surat perintah dari presiden Soekarno tanggal 11 Maret 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto atas nama presiden untuk mengambil tindakan guna terjaminnya keamanan dan ketertiban pemerintah. Tepatnya sejak Supersemar dikeluarkan Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru.
Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh Indonesia dari ideologi Komunis. Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial dan politik serta rehabilitasi ekonomi dalam negeri. Sasaran kebijakan tersebut untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan lima tahun (repelita) secara bertahap dengan target-target yang sangat dihargai oleh negara-negara Barat.
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi seperti rendahnya kesempatan kerja dan besarnya defisit neraca pembayaran. Dengan kepercayaan yang penuh, pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor-sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang besar, dengan sumber dana yang terbatas pada saat itu dirasa sangat sulit untuk memperhatikan pertumbuhan dan pemerataan pada waktu yang bersamaan.
Perencanaan, strategi, dan kebijaksanaan pembangunan ekonomi pada masa orde baru:
Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia Strategi Pembangunan Ekonomi Kebijaksanaan yang mendukung dan menghambat tercapainya tujuan ekonomi
1. Periode 1969/1970-1973/1974 Repelita I
a. Dalam repelita I sasaran utama yang ingin dicapai adalah meningkatkan produksi nasional dengan tetap mempertahankan stabilisasi.
b. Kebijaksanaan industri dilakukan sebagai industri pengganti barang-barang impor (yang perlu diproteksi ) Yang pada dasarnya merupakan benih ekonomi biaya tinggi.
c. Untuk mengatasi kekurangan dana pemerintah memberlakukan kebijaksanaan pinjaman luar negeri dan mengundang modal asing.
Kebijaksanaan ekonomi yang menonjol dalam Pelita I adalah:
7. Peraturan pemerintah no 16 tanggal 17 April 1970
8. Pada tanggal 23 Agustus 1971 pemerintah 23 Agustus 1971 pemerintah mengubah kurs rupiah dari Rp 378,- menjadi Rp 415,- untuk US $ 1.
Pertumbuhan Ekonomi:
1969/70-1970/71:
1970/71-1971/72:
1972/73-1973/74:
1972/73-1973/74:
1973/74-1974/75:
rata-rata : 6,5 % per tahun
Landasan: TAP MPRS XXIII/MPRS/1966
Strategi:
Meningkatkan GNP dan tetap menjaga stabilasasi ekonomi, serta pada saat yang bersamaan meningkatkan investasi disektor yang diprioritaskan (pertanian, prasarana, industri). Sasarannya adalah perombakan struktural perekonomian indonesia.
Mendukung:
1. Tingkat inflasi sudah dapat dikendalikan dan disiplin penggunaan keuangan pemerintah semakin mantap yang nampak dalam penyusuran dan pelaksanaan APBN. Dengan perkataan lain perekononomian nasional sudah semakin stabil.
5. Pemberlakuan kebijaksanaan baru pemerintah di bidang perdagangan, ekspor-impor dan devisa yang dituangkan dalam peraturan pemerintahan RI no 16 tahun 1970.
3. Dialokasikannya dana dalam APBN untuk pembangunan daerah pada umumnya.
6. APBN tetap diperthankan seimbang
7. PMDN dan PMA yang meningkat
8. Situasi politik yang semakin stabil
9. Repelita memiliki dasa politis yang kuat yaitu berpedoman pada TAP MPR
10. Segi administrasi dan kelembagaan yang mulai berkembang (berfungsi)
Menghambat:
1. Dalam perkonomian yang semakin yang semakin terbuka Indonesia semakin dipengaruhi oleh fluktuasi perekonomian internasional
2. Daya beli masyarakat indonesia yang masih rendah, kurang mendukung berkembangnya industrialisasi, khususnya industri pengganti barang-barang impor
3. Semakin dirasakannya perbedaan/kesenjangan pendapatan antar golongan dan juga antar daerah, karena investasi yang dilakukan ternyata padat modal dan terpusat di daerah-daerah tertentu (khusunya kota-kota besar: Jakarta, Surabaya).
4. Krisis Moneter Internasional.
5. Pengawasan pembangunan yang masih lemah.
1.
2. Periode 1974/1975-1978/1979 Repelita II
Catatan:
1.Pada periode ini harga bumi meningkat pesat sehingga meningkatkan dana pembangunan
2.Devaluasi rupiah tanggal 15 nopember 1978, dari Rp 415,-/US$ 1,- menjadi Rp 625,-/US$ 1,-
3.Target pertumbuhan yang ingin dicapai 7,5%
4.Mulai dikembangkan pembanguanan yang berwawasan ruang dengan membentuk wilayah-wilayah pembangunan
5.Krisis pertamina : ketidakmampuan pertamina melunasi utang jangka pendeknya.
6.Krisis beras akibat kemarau panjang
Landasan: GBHN 1973
Strategi: meninggalkan GNP dengan sasaran:
1. Tersedianya pangan dan sandang yang serba cukup dengan mutu yang bertambah baik dan terbeli oleh masyarakat.
2. Tersedianya bahan-bahan perumahan dan fasilitas lain yang diperlukan, terutama untuk rakyat banyak.
3. Keadaan prasarana yang makin meluas dan sempurna.
4. Kesejahteraan rakyat yang lebih baik dan lebih merata.
5. Memperluas kesempatan kerja.
Mendukung :
1. Stabilitas ekonomi tetap dapat dipertahankan yaitu dengan tetap mempertahankan APBN yang seimbang.
2. Harga minyak bumi yang meningkat pesat.
3. Situasi politik yang relatif stabil.
Menghambat :
1. Peranan pemerintah yang semakin dominan menghambat partisipasi masyarakat.
2. Perekonomian Internasional yang mulia dihinggapi krisis yang mengakibatkan menurunnya penerimaan ekspor di luar minyak. Di pihak lain kebutuhan devisa untuk impor meningkat.
3. Periode 1979/1980- 1983/1984 Repelita III
1. Repelita III memberikan perhatian yang lebih mendalam pada peningkatan kesejahteraan dan perluasan kesempatan kerja, peningkatan laju pembangunan di daerah-daerah tertentu, peningkatan kemampuan yang lebih cepat dari golongan ekonomi lemah, pembinaan koperasi, peningkatan produksi pangan dan kebutuhan pokok lainnya, transmigrasi, perumahan, perluasan fasilitas pendidikan, perawatan kesehatan dan berbagai maslah sosial lainnya.
2. Target pertumbuhan yang akan dicapai 6.5%
3. Deregulasi perbankan 1 Juni 1983 mulai diberlakukan. Selama itu masalah ”deregulasi” dan ”debirokratisasi” muncul secara menyolok.
4. Mulai 1 Januari 1984 diberlakukan undang-undang pajak yang baru.
5. Indonesia mulai mendapat swasembada beras.
6. Devaluasi rupiah tanggal 31 Maret 1983 dari Rp 625,- menjadi Rp 970,- per US# 1,-
7. Pemberlakuan keputusan Presiden no.10/1980 tentang sentralisasi pengadaan barang keperluan pemerintah.
8. Inpres no 5/1984
Landasan :
1. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945
2. TAP MPR no. IV/MPR/1978 (GBHN)
3. TAP MPR no.VIII/MPR/1978
4. Keputusan Presiden T.I no.59/M Tahun 1978
Strategi :
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5% dengan berlandaskan pada Trilogi Pembangunan yang meliputi :
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Asas pemerataan sangat tajam dalam Repelita III yaitu dengan dituangkannya 8 (delapan) jalur pemerataan.
Mendukung :
1. Sasaran yang ingin dicapai diikuti oleh kebijaksanaan pada bidangnya yang konsisten.
2. Tingkat inflasi dapat dikendalikan.
3. Situasi ekonomi pada umumnya sudah lebih baik sehingga memungkinkan pertumbuhan, khususnya sektor informal.
Menghambat :
1. Gejala ekonomi dunia yang belum juga mereda.
2. Harga minyak bumi yang mulai mengendor sehingga penerimaan pemerintah.
1.
4. Periode 1984/1985- 1988/1989 Repelita IV
Catatan :
1. Sasaran pertumbuhan dalam Repelita IV adalah 5%.
2. Dalam bidang politik diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi sosial poltik serta organisasi kemasyarakatan lainnya demi kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Deregulasi dan debirokratisasi merupakan kebijakan yang menyolok dalam kurun waktu Repelita IV.
4. Diumumkannya devalusai pada 12 September 1986 yang diikuti dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan devaluasi.
5. Pemberlakuan Inpres no.4/1985 tanggal 4 April 1985 tentang penggunaan SGS sebagai upaya meniadakan biaya tinggi.
6. Pengaktifan kembali penggunaan instrumen moneter berupa fasilitas diskonto utang, sertifikat Bank Indonesia, surat berharga pasar uang.
7. APBN 1986/1987 volumenya secara absolut menurun dari APBN tahun sebelumnya.
8. Rephasing investasi-investasi besar.
9. Pemberlakuan Paket 6 Mei 1986 untuk meningkatkan daya kompetisi ekspor non-migas dan menarik penanaman modal.
10. Pemberlakuan keputusan 25 Oktober 1986 dan 15 Januari 1987 yang pada dasarnya untuk sebagian meniadakan adanya importir tertunjuk.
11. Pembayaran utang luar negeri melalui DSR.
12. Pemberlakuan kebijaksanaan 25 Oktober 1986 dan 15 Januari 1987.
13. Terjadi ”mini krisis” pada September 1984 dan pembelian devisa Desember 1986; yang terakhir ini diatasi dengan ”gebrakan Sumarlin”.
Landasan :
1. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945.
2. TAP MPR no. II/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
3. TAP MPR no. II/1983 tentang pelimpahan tugas dan wewenang kepada Presiden/Mandataris MPR dalam rangka pensuksesan dan pengamanan pembangunan nasional.
4. Keputusan Presiden no.7/1979 tentang Repelita III.
5. Keputusan Presiden no.45/M tahun 1983 tentang pembentukan kabinet pembangunan IV.
Strategi:
Peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan sasaran diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun ringan yang akan terus dikembangkan dalam Repelita selanjutnya.
Sejalan dengan itu pembangunan dalam bidang politik, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain-lain akan semakin ditingkatkan sepadan dan agar saling menunjang dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh pembangunan di bidang ekonomi.
Mendukung :
1. Ekspor barang non-migas dapat meningkat bahkan pada tahun terakhir Repelita IV telah dapat melampaui nilai ekspor minyak bumi.
2. Penerimaan dalam negeri meningkat khususnya setelah diberlakukannya undang-undang Perpajakan 1 Januari 1984.
3. Dilanjutkan dan dikembangkannya pemberian kredit investasi kecil (KIK), kredit modal kerja permanen (KMKP), kredit candak kulah (KCK).
4. Tetap dipertahankannya APBN yang seimbang, inflasi tetap dapat terkendali.
5. Kegiatan investasi tetap berjalan.
Menghambat :
1. Sumber penerimaan dari minyak bumi menurun sangat tajam.
2. Proteksi yang diberlakukan oleh negara-negara maju, khususnya di Amerika Serikat yang merupakan pasar barang ekspor Indonesia terbesar.
3. Perekonomian Internasional yang masih belum menentu.
4. Menurunnya nilai dolar terhadap mata uang asing lainnya sehingga melipat gandakan utang Indonesia.
Sumber : P.C. Suroso : 1997, 130
Sejak masa Orde Lama hingga berakhirnya masa Orde Baru dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami dua orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda, yakni ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada zaman regim Soekarno ke ekonomi terbuka berorientasi kapitalis pada masa pemerintahan Soeharto. Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat kinerja ekonomi nasional pada masa pemerintahan Orde Baru menjadi jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan Orde Lama.
Terdapat beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu sebagai berikut:
1. Kemauan politik yang kuat.
Presiden Soeharto memiliki kemauan politik yang kuat untuk membangun ekonomi Indonesia. Pada masa Orde Lama, karena Indonesia baru saja merdeka, emosi nasionalisme baik dari pemerintah maupun kalangan masyarakat masih sangat tinggi, dan yang ingin ditonjolkan pertama pada kelompok negara-negara Barat adalah ”kebesaran bangsa” dalam bentuk kekuatan militer dan pembangunan proyek-proyek mercusuar.
2. Stabilitas politik dan ekonomi.
Pemerintahan Orde Baru berhasil dengan baik menekan tingkat inflasi dari sekitar 500% pada tahun 1966 menjadi hanya sekedar 5% hingga 10% pada awal dekade 1970-an. Pemerintahan Orde Baru juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok-kelompok masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan sosial adalah jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
3. Sumber daya manusia yang lebih baik.
Dengan sumber daya manusia yang semakin baik, pemerintahan Orde Baru memiliki kemampuan untuk menyusun program dan strategi pembangunan dengan kebijakan-kebijakan yang terkait serta mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
4. Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke barat.
Pemerintahan Orde Baru menerapkan sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke barat. Hal ini sangat membantu, khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, penanaman modal asing serta transfer teknologi dan ilmu pengetahuan.
5. Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik.
Kondisi ekonomi dan politik dunia pada era Orde Baru, khususnya setelah perang Vietnam berakhir atau lebih lagi setelah perang dingin berakhir, jauh lebih baik daripada semasa Orde Lama. (Tulus Tambunan : 2006, 39)
Selama sekitar dua belas tahun (1976-1988) rezim Soeharto mencapai keberhasilan yang luar biasa dalam perekonomian sehingga berhasil swasembada pangan. Jika melihat sejarah dan fakta-fakta yang ada, keberhasilan tersebut karena:
Pertama, prestasi Soeharto diuntungkan dari perang yang terjadi antara Irak dan Iran tahun 1979 sehingga mengakibatkan harga minyak naik. Karena pada tahun 1981, Indonesia merupakan penghasil gas alam cair terbesar di dunia. Sehingga Indonesia mengalami keuntungan dari situasi tersebut.
Kedua, keberhasilan Soeharto pada tahun 1965-1975, karena Indonesia masih mendapatkan dukungan dari negara donor seperti IMF melalui hutang. Sehingga perekonomian Soeharto yang berhasil melakukan swasembada pangan dengan disadari oleh kita semua bahwa pembangunan ekonomi tersebut didanani oleh hutang dari Dana Moneter Internasional. Total utang luar negeri mencapai US$ 20.994 juta pada tahun 1988. Secara berurutan, masing-masing total utang mewakili 29.2, 52.2 dan 64.1% PDB atau merupakan 18.1, 37.3, dan 40.2% rasio pembayaran utang (debt service ratio).
Ketiga, keberhasilan Soeharto dalam menekan inflasi yang dalam dekade itu, tingkat inflasi hanya berkisar antara 10 sampai 20% diuntungkan karena Soeharto berhasil menanggulangi krisis yang melilit Pertamina. Pemerintah mempertahankan perusahaan Krakatau Steel milik Pertamina dan pengembangan pulau Batam, meskipun hanya dalam skala yang lebih kecil. Caltex dan Stanvac dituntut untuk menerima pengurangan keuntungan. Hal ini menghilangkan begitu banyak likuiditas sehingga mengendalikan tekanan inflasi akibat kenaikan harga minyak.
Kondisi ekonomi yang membaik menyebabkan PDB dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia meningkat pada masa tersebut. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5
PDB dan Laju Pertumbuhannya per Tahun : 1969-1990
Tahun PDB (triliun)* Laju Pertumbuhan
Harga Berlaku Harga Konstan Harga Berlaku Harga Konstan
1969 2,7 4,8
1970 3,2 5,2 19,1 7,5
1971 3,7 5,6 13,4 7,0
1972 4,6 6,1 24,3 9,4
1973 6,8 6,8 48,0 11,3
1974 10,7 7,3 58,6 7,6
1975 12,6 7,6 18,1 5,0
1976 15,5 8,2 22,3 6,9
1977 19,0 8,9 23,1 8,9
1978 22,8 9,6 19,5 7,7
1979 32,0 10,2 40,8 6,3
1980 45,5 11,2 41,9 9,9
1981 54,0 12,1 18,9 7,9
1982 59,6 12,3 10,4 2,2
1983 77,6 12,8/77,6** 30,2 4,2
1984 89,9 83,0 15,8 7,0
1985 97,0 85,1 7,9 2,5
1986 102,7 90,1 5,9 5,9
1987 124,8 94,5 21,6 4,9
1988 142,0 99,9 13,8 5,8
1989 162,6 104,5 14,5 7,5
1990 188,5 112,4 15,9 7,2
Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN 1991/1992 dan 1995/96 (dalam Tulus Tambunan : 2009, 25)
Tabel 6
Produk Nasional Bruto dan Laju Pertumbuhan Ekonomi 1971-1976
atas Dasar Harga yang Berlaku (Dalam Milyar Rupiah)
dan atas Harga Konstan 1973
Tahun Produk Nasional Bruto atas Dasar Harga LPE (%) atas Dasar Harga yang Berlaku Produk Nasional Bruto, atas Dasar Harga Konstan LPE (%) atas Dasar Harga Konstan 73
1971 3.605 - 5.465 -
1972 4.405 18 5.896 7,8
1973 6.508 48 6.506 103
1974 10.201 57 6.900 6,0
1975 12.087 18 7.271 5,4
1976 15.035 24 7.790 7,1
Sumber : Nota Keuangan Negara 78/79, Hlm.27-28 disingkat dan diolah kembali (dalam Soeharsono Sagir : 2009,104)
Akan tetapi, hal-hal positif yang dibicarakan di atas tidak mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru tanpa cacat. Kebijakan-kebijakan ekonomi selama Orde Baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi tinggi, dan fundamental ekonomi yang rapuh terlihat pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Hal ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan 1997.
Bencana terbesar lengsernya Soeharto dan kroni-kroninya adalah diakibatkan perekonomian semu yang dibangun dari hutang dan hutang tersebut banyak dikorupsi oleh mereka sehingga defisit anggaran pun tidak bisa ditutupi. Jadi dibalik keberhasilan mereka merupakan keberhasilan yang semu. Sehingga saat ini rakyat yang harus menanggung semua beban hutang tersebut dengan membayar pajak dan penghilangan subsidi. Keberhasilan semu ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 7
Defisit Anggaran Belanja Pembangunan selama Pelita I dan II
(dalam milyar Rupiah)
Tahun Anggaran Belanja Pembangunan Tabungan Pemerintah Defisit Belanja Pembangunan Prosentasi Kemampuan d.n Persentase b.l.n
69/70 118,2 27,2 91,0 23 77
70/71 169,6 56,2 120,4 29 71
71/72 195,9 78,9 135,5 40 60
72/73 298,2 152,5 157,8 51 49
73/74 450,9 254,4 203,9 56 44
74/75 961,8 737,6 232,0 77 23
75/76 1.397,7 909,3 491,6 65 35
76/77 2.054,5 1.276,2 783,8 62 38
77/78*) 2.167,9 1.404,8 763,1 65 35
78/79*) 2.454,7 1.598,4 856,3 65 35
*) angka APBN
**) angka RAPBN.
Sumber : Nota Keuangan Negara 1978/1979, hlm. 168-169; diolah kembali (dalam Tulus Tambunan: 2006, 30)
2.3.2 Krisis Ekonomi Moneter 1997/1998
Presiden Soeharto (1981) menyatakan, bahwa generasi yang akan datang tidak akan memikul beban utang luar negeri. Hal ini dikarenakan, utang luar negeri telah berhasil meningkatkan aset nasional. Tujuh BUMN saja dari investasi pembangunan telah berhasil mecapai aset senilai US$ 235 miliar, dibanding dengan nilai utang luar negeri sebesar US$ 135 miliar. Dengan kata lain, dengan menjual 3 atau 4 BUMN, maka utang luar negeri sudah lunas terbayar, sehingga tidak usah menunggu utang jatuh tempo 20-30 tahun yang akan datang. (Soeharsono Sagir : 2006)
Apa yang dinyatakan Presiden Soeharto, jelas merupakan pernyataan yang tidak tepat. Karena menjual aset sama saja menuju kebangkrutan ekonomi dan karena, pada prinsipnya, utang luar negeri harus dibayar dari hasil pembangunan, bukan dengan menjual aset. Selain itu, BUMN adalah ”babon” dan jika babon dijual, maka hal tersebut sama saja dengan hilangnya sumber penghasilan atau telur yang akan dijual.
Kondisi penjualan aset BUMN telah terjadi sejak defisit anggaran belanja negarakita tidak lagi mampu dibiayai utang luar negeri, sedangkan di lain pihak utang jatuh tempo mendesak wajib dibayar. Terjadilah proses privatisasi BUMN dan aset BLBI untuk menutup defisit APBN, sejak krisis ekonomi melanda negara kita (1997).
Dalam kasus ekonomi makro Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan (1967-1997) utang luar negeri (soft loan) dibukukan sebagai bantuan luar negeri alias hibah dan dimasukkan sebagai pos penerimaan pembangunan, agar ”berimbang” dengan pos belanja pembangunan. Oleh karena dianggap sebagai penerimaan hibah, maka sama sekali tidak ada kesadaran untuk membayar kembali utang di saat jatuh tempo.
Penyebab krisis moneter yang kemudian menjadi krisis ekonomi atau kriris kepercayaan kepada pemerintah adalah lemahnya fundamental ekonomi makro. Kelemahan tersebut jika dibiarkan berlarut akan menjadi sumber kerawanan ketahanan ekonomi nasional, karena krisis moneter dalam arti sempit yaitu kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, tetapi sudah mengarah pada distorsi pasar, kenaikan harga yang tidak masuk akal, sembako menghilang, pengangguran meningkat dan mengarah krisis kepercayaan kepada pemerintah. Apalagi dalam upaya keluar dari krisis, pemerintah menunnjukkan karagu-raguan : mengikuti petunjuk letter of intent IMF, menerapkan Sistem Dewan Mata Uang, IMF plus ataukah meninggalkan keragu-raguan ini disebabkan oleh anggapan reformasi ekonmi IMF sebagai ekonomi liberal yang bertentangan dengan jiwa UUD 45 khususnya Pasal 33.
Sayangnya, pada tanggal 21 Maret 1998, diputuskan untuk membatalkan opsi sistem Dewan Mata Uang. Pembatalan tersebut dikarenakan tidak adanya dukungan IMF atas penerapan CBS dan tidak mencukupinya cadangan devisa. Karena IMF tidak mendukung penerapan CBS, tanpa reformasi ekonomi terlebih dahulu sedangkan tanpa dukungan dana IMF, cadangan devisa tidak mencukupi, maka tanggal 21 Maret 1998, diputuskan CBS batal.
Dari kenyataan tadi, maka jelas kiranya bahwa Kebijakan Ekonomi Orde Baru (1967-1997) telah gagal memanfaatkan utang luar negeri sebagai sumber belanja pembangunan. Utang luar negeri menjadi tidak terkendali sehingga pada akhirnya sejak tahun 1998 pemerintah kita, mulai dari masa kepemimpinan Habibie, Gus Dur, Megawati sampai SBY dihadapkan pada kondidi ”debt trap” alias terperangkap utang luar negeri. Gali lubang tutup lubang, mampu membayar utang jatuh tempo, dengan catatan untuk membangun diperlukan utang Baru ditambah dengan melakukan penjualan aset nasional.
Kondisi pasca-Krisis Moneter 1997, sampai saat ini belum pulih kembali karena pada dasarnya ekonomi makro Indonesia belum mampu bangkit untuk mencapai kondisi ekonomi fundamental yang kuat dan sehat. Kondisi tersebut dapat dilihat dari indikator makro sebagai berikut :
1. Defisit APBN tidak lagi terbatas pada defisit belanja pembangunan, tetapi sudah mencapai defisit untuk belanja rutin. Artinya penerimaan begara dari sumber dalam negeri (fiskal) tidak mencukupi untuk belanja rutin atau artinya tabungan pemerintah menunjukkan angka minus (defisit) akibat dampak besarnya bebean belanja rutin untuk : membayar angsuran pokok utang luar negeri jatuh tempo, utang dalam negeri (BLBI), dan subsidi BBM.
2. Defisit APBN berdampak pada kondisi pemerintah yang nyaris ”default” tidak mampu memenuhi kewajiban utang luar negeri jatuh tempo (Debt Service).
3. Debt Service Ratio (DSR) – nisbah antara kewajiban utang jatuh tempo (debt service) terhadap total ekspor – masi tetap disekitar 40 %, kondisi rawan, aman jika DSR <>50 miliar US$, 2007) masih tetap rawan terhadap capital flight, karena cadangan devisa lebih banyak ditunjang oleh arus modal masuk dari utang dan PMA, bukan hasil ekspor > impor.
8. Kondisi sektor moneter bank belum sehat dan prudent. Bank masih menunjukkan kelebihan likuiditas rata-rata masih dibawah 80% (artinya > 20% dana nganggur). Angka kredit masih macet di sekitar 5 %. Dan alokasi kredit untuk kelompok UMKM masih belum signifikan untuk memicu kesempatan kerja dan sektor riil.
Delapan indikator yang disebut di atas menunjukkan bahwa fundamental ekonomi makro Indonesia masih lemah, belum sepenuhnya mencapai target pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh : perluasan kesempatan kerja, perkembangan harga nilai tukar yang stabil, penggalakan ekspor yang berhasil mendorong pemasaran komoditi ekspor. Juga didukung oleh sektor perbankan – moneter yang telah benar-benar berfungsi sebagai lembaga intermediasi yang sehat, yang mampu menarik dana masyarakat untuk kemudian disalurkan dalam bentuk kredit dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dilihat dari indikator makroekonomi, fundamental ekonomi Indonesia bisa dikatakan kuat hanya jika dilihar dari kriteria pertumbuhan ekonomi. Sedangkan jika dilihat dari indikator / kriteria lainnya, maka akan terlihat kelemahan mendasar ekonomi makro. Kelemahan tersebut tercermin dalam:
1. Tidak adanya korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi tinggi dengan perluasan kesempatan kerja ; distribusi pendapatan tidak merata, kesenjangan sosial antara yang kaya/pemilik aset ekonomi dengan yang miskin/tidak memiliki aset selain sebagai jumlah tenaga kerja yang makin meningkat dan potensial menjadi barisan penganggur. Pertumbuhan ekonomi tinggi tidak merata antarsektor (1991-1996) sektor pertanian tumbuh rata-rata jauh di bawah sektor industri (1:4) demikian pula terhadap sektor jasa (1:3) telah berdampak kesenjangan sosial antarsektor. Laju pertumbuhan ekonomi tinggi (rata-rata=7,5% / tahun) tidak didukung oleh perluasan kesempatan kerja, pengangguran meningkat.
2. Pertumbuhan ekonomi dipacu oleh saving gap (investasi lebih besar dari tabungan) yang mungkin melebar, baik dari kredit bank dalam negeri maupun kredit luar negeri untuk sektor swasta. Sedangkan di sektor pemerintah/publik, pembangunan yang dibiayai dari utang/ bantuan luar negeri semakin meningkat. Kredit sektor swasta berjangka pendek yang dipergunakan untuk pembiayaan jangka panjang khususnya pembangunan properties, resort, rumah mewah, kota satelit yang padat devisa/impor sehingga akan tidak terbayar/ default jika nilai tukar rupiah terus merosot. Akumulasi utang resmi/ pemerintah selama tiga dasawarsa mencapai US$ 63,462 miliar dan utang swasta US$ 73,92 miliar, dengan tptal jumlah US$ 137,424 miliar dan jatuh tempo sebesar US$20,7 miliar (1998/1999), merupakan beban yang sulit terbayar/ kemungkinan default tanpa bantuan dana siaga IMF (US$ 43 miliar, kesepakatan IMF-RI 15 Januari 1998).
3. Perkembangan harga/inflasi dan nilai tukar yang tidak stabil; inflasi terus berkembang dan depresiasi rupiah terhadap valas terus berlangsung. Angka inflasi 1997 mencapai 11,05% dan diperkirakan mencapai 20% (1998) pada tingkat pertumbuhan ekonomi 0%. Nilai tukar rupiah terhadap US $ merosot drastis, dari Rp 2.360/1 US$ (1996), Rp 6.000/1 US$ (1997), Rp 9.000/1 US$ (Maret 1998).
4. Posisi Neraca PEmbayaran yang tidak sehat; deficit neraca berjalan berlangsung dengan angka yang makin besar; cadangan devisa diperoleh dari bentuan/ utang luar negeri, utang komersial/ swasta dan PMA. Revisi neraca pembayaran IMF_RI 1998/1999 diharapkan dapat mencapai surplus Neraca Berjalan US$ 2,267 miliar. Akan tetapi, walaupun diimbangi dengan utang pemerintah/ APBN US$ 9,051 miliar, kondisi ini masih tetap menunjukkan kerawanan, karena lalu lintas modal swasta minus US$ 5,607 miliar dan utang jatuh tempo US$ 20,721 miliar disbanding total ekspor US$ 60,589 miliar. SItuasi ini berdampak pada DSR (nisbah utang jatuh tempo terhadap ekspor)=34,2%.
5. Manajemen utang yang tiak terkontrol, baik utang pemerintah kepada pihak luar negeri maupun utang swasta di dalam negeri (kredit macet perbankan) dan utang luar negeri swasta (utang jangka pendek untuk pembiayaan proyek jangka panjang). Jika untuk menutup deficit APBN 1967, pemerintah hanya membutuhkan dana US$ 200 juta, maka untuk tahun anggaran 1998/1999, kebutuhan devisa/CGI mencapai US$ 9,051 miliar; utang swasta meningkat cepat terkendali sejak tahun 1994, sehingga akumulasinya mencapai US$ 73,962 miliar (1997).
6. Kebijaksanaan ekonomi tidak dilaksanakan oleh aparat birokrasi yang bersih dari kolusi, korupsi, nepotisme, sindikasi dan konspirasi. Sehingga timbul monopoli, kartel dan konglomerat yang menguasai mata rantai proses produksi dari hulu ke hilir dan ekonomi biaya tinggi.
Enam kelemahan tersebut harus ditanggulangi melalui REFORMASI EKONOMI TOTAL bukan hanya reformasi perbankan dengan digantinya Bank Indonesia sebgai Bank Sentral melalui paket CBS (Currency Board System) atau Dewan Mata Uang.
Sebenarnya apa yang terjadi tanggal 11 Juli 1997, dapat dihindari jika otoritas moneter dan pemerintah, memerhatikan peringatan Menko Saleh Affif: ”Pertumbuhan Ekonomi Indonesia saat ini tergolong rapuh hingga jika ekonomi bertumbuh dengan pesat, akan timbul overhead economy.”
Kondisi memanas tersebut terjadi karena suplai uang yang berlebihan, defisit neraca berjalan dan faktor lainnya: ekspor nonmigas cenderung menurun, harga minyak merosot, sementara utang luar negeri makin berat dampak depresiasi US$ terhadap yen Jepang.
Jika tahun 1994 (tiga tahun prakrisisi moneter) negara kita menghadapi kenaikan Debt Service sebagai dampak depresiasi US$ terhadap yen, maka sejak krisis moneter 11 Juli 1997, negara kita dalam kondisi default, sebagai dampak depresiasi Rupiah yang drastis; dari Rp 2.240/ US$ 1/6 Juli 1997, merosot hingga Rp 14.000/ 1US$ / 27 Juli 1998. Ini berarti, baik pemerintah maupun sektor swasta pra krisis moneter (1997) berhutang US$ 5 miliar/ Rp 2,2 triliun; maka di tahun 1998, nilai utang luar negeri saat jatuh tempo menjadi Rp 14 triliun (beban APBN).
Salah satu kelamahan ekonomi makro Indonesia, adalah tingginya suku bunga kredit yang selama tiga dasawarsa pembangunan tidak pernah di bawah dua digit. Kondisi ini tidak terlepas dari ketidakberhasilan otoritas moneter dalam mengendalikan Inflasi dan Nilai Tukar Stabil.
Sebagai upaya menahan rupiah maupun devisa untuk tidak lari ke luar negeri sebagai ekses dari kebijakan devisa bebas maka Bank Indonesia, terpaksa menetapkan suku bunga maksimum 56% / tahun (jangka waktu sebulan) dan 15% untuk valuta asing, US$.
Tingginya suku bunga baik cost of money maupun cost of loan selain merupakan dampak inflasi dan depresiasi, juga merupakan dampak besarnya dana talangan BI (BLBI) untuk BPPN yang digunakan untuk membantu bank terkena BTO dan BBO sebesar Rp 133,3 triliun, ditambah posisi KLBI Rp 19,6 triliun plus uang muka pemerintah untuk menutup defisit belamja negara yang belum dapat ditarik kembali oleh BI melalui penerbitan Sertifikat Bank Indonesia.
Akhirnya biaya rekapitalisai perbankan sejak Agustus 1997 s/d Desember 2000 mencapai tidak kurang Rp 659 triliun, baik dalam nemtuk obligasi/ surat pernyataan utang pemerintah, untuk BLBI, rekapitalisasi Bank Pemerintah, BTO, Bank Swasta, Kredit Program, dan lain-lain.
Laporan Bank Dunia khusus Indonesia April 1997 sebenarnya sudah memberikan peringatan bahwa Indonesia perlu memacu tabungan dalam negeri agar mampu mebiayai investasi dalam negeri dan tidak terlalu tergantung pada kredit luar negeri. Indonesia juga, dalam laporan tersebut, perlu memperkuat fundamental ekonomi makro, kualitas SDM dan pembenahan aparat birokrasi yang bersih, clean government.
Dari catatan yang dikumpulkan di atas, dapat kiranya disimpulkan bahwa krisis moneter 11 Juli 1997 terjadi karena kelainan otoritas keuangan dan moneter terhadap early warning system. Mereka tidak menyadari bahwa:
1. Kondisi fundamental ekonomi makro saat itu lemah, tidak sekuat apa yang dinyatakan oleh pejabat pemerintah, sehingga pemerintah dan pejabatnya terlalu percaya diri; kecuali Menko Saleh Affif (warning), pada tahun 1994 jauh sebelum krisis terjadi.
2. Bank Indonesia tidak mampu berfungsi sebagai otoritas moneter dan lepas kendali dalam pengawasan dan pembinaan bank. Kondisi ini dapat dilihat dari pelanggaran rambu-rambu perbankan yang didiamkan tanpa sangsi; rambu-rambu CAMEL, Prudent Banking System juga dilanggar, serta terjadi moral hazard dan informasi asimetris.
3. Bank Umum tidak lagi berfungsi sebagai lembaga intermediasi, yaitu sebagai penghimpun dana masyarakat untuk disalurkan kepada dunia bisnis guna pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas nasional. Hal ini bisa dilihat dari kredit yang lebih banyak disalurkan kepada konglomerat (pelanggaran BMPK/L3), atau disalurkan untuk kelompok usaha pemilik Bank (Bank memberi kredit atau financiering untuk kelompok sendiri [indikasi moral hazard]), pelanggaran LDR > 110 (overheated economy); terjadi mark up terhadap nilai agunan.
4. Simpanan jangka pendek atau kredit jangka pendek (termasuk kredit valuta asing) digunakan untuk pembiayaan proyek berangka panjang; hingga terjadi kemacetan kredit dan ketidakmampuan bank untuk mengembalikan dana simpanan jatuh tempo. Rush simpanan nasabah inilah yang merupakan penyebab utama krisis moneter 11 Juli 1997.
5. Ekses rezim devisa bebas, managed floating rate, adalah cadangan devisa yang rawan terkuras. Hal tersebut dikarenakan cadangan devisa tidak bersumber dari surplus neraca berjalan tetapi dari utang luar negeri dan PMA. Masalah ini merupakan sumber kedua krisis moneter 11 Juli 1997. Ekses tersebut terjadi karena managed floating rate, merupakan dirty rate yang penuh dengan permainan artifisial-spekulasi.
2.3.3 Runtuhnya Rezim Soeharto
Kamis, 21 Mei 1998 merupakan hari bersejarah dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Hari itulah Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden yang pada hakikatnya menandakan runtuhnya rezim Soeharto (Orde Baru) yang telah berkuasa selama 32 tahun. Peristiwa itu merupakan klimaks dari perjuangan gerakan pro-reformasi yang dimotori oleh mahasiswa. Sejarah telah menemukan putaran baliknya setelah berjalan begitu lamban sejak kejatuhan rezim Orde Lama.
Berkembangnya gagasan-gagasan idealistik tentang reformasi yang lalu mengkristal menjadi isu bersama menumbangkan rezim Soeharto, setidaknya disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, kerapuhan sistem Orde Baru. Pola kekuasaan sentralistik-militeristik telah menumbuh-kembangkan iklim politik yang sangat distortif yang akhirnya merambah ke aspek-aspek kehidupan lain. Sistem yang dibangun lebih didasari oleh motif untuk menjaga status-quo dengan mengabaikan pemberdayaan unsur-unsur masyarakat dan bangsa. Sistem otoriterini telah memunculkan the strong state dimana seluruh unsure-unsur masyarakat dan bangsa sangat bergantung kepada negara.
Pola komunikasi paternalistik menyuburkan hubungan-hubungan tidak wajar dalam perilaku politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dan negara. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi konsekuensi wajar dari pola hubungan ini. Pada gilirannya, budaya KKN ini bukan saja berdampak secara ekonomis, tapi juga politis. Pola hubungan dalam kekuasaan menjadi tidak transparan dan para pelaku kekuasaan cenderung mengembangkan pola tersebut ke lapisan subordinasinya untuk menjamin dan mengokohkan posisi-posisi politiknya.
Sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia bukan saja sebagai budaya pemerintahan, tetapi juga menjadi budaya masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya sistem itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Proses pemerintahan dan bahkan kehidupan masyarakat lebih banyak dipandu oleh hubungan-hubungan distrotif yang sudah menjadi konsensus di bawah tangan. Dan bahkan setiap upaya untuk menjelaskan suatu masalah dengan merujuk kepada sistem sering mengalami jalan buntu. Kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan elit politik menjadi contoh paling konkret dalam hal ini.
Ketika semua hubungan yang terjadi berpangkal pada satu figur kekuasaan yaitu presiden maka banyak pihak menilai bahwa presiden merupakan representasi dari sistem itu sendiri. Di sinilah letak kerapuhan utama Orde Baru. Logika yang dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya adalah apabila figur tunggal kekuasaan jatuh, maka secara bersamaan sistem itu akan ikut runtuh pula
Faktor kedua menguatnya gerakan anti-kemapanan. Selama masa kekuasaannya, orientasi kebijakan politik rezim Orde Baru telah memunculkan dua arus gerakan anti-kemapanan.
Faktor ketiga, krisis ekonomi dan keuangan yang berkepanjangan. Sejak Juli 1997, kawasan Asia dilanda krisis ekonomi yang mempengaruhi kondisi politik. Indonesia merupakan satu-satunya negara yang paling parah dan lama menanggung krisis ekonomi ini. Itu disebabkan kerapuhan sistem ekonomi dan politik Indonesia, sehingga tidak mampu secara cepat mengatasi masalah yang memang sangat dipengaruhi oleh faktor internasional.
Krisis moneter terjadi pada saat Indonesia berada pada titik yang sangat berbahaya, namun justru tidak disadari oleh banyak kalangan. Yaitu tingginya jumlah utang luar negeri dan besarnya ketergantungan impor bahan baku bagi proses produksi di dalam negeri. Depresiasi rupiah mengakibatkan guncangnya seluruh sendi perekonomian Indonesia yang berjalan dengan multiflying effect-nya.
Ketidaksiapan sistem politik (yang distortif) untuk mengambil
kebijakan-kebijakan tepat mengakibatkan berkepanjangannya krisis tersebut
sampai menghancurkan infra-struktur perekonomian nasional. Rontoknya dunia perbankan, terjepitnya sektor ekonomi kecil, macetnya proses produksi dan distribusi menjadi bom waktu yang siap (dan ternyata telah) melahirkan krisis politik dan sosial.
2.4 Perkembangan Perekonomian Indonesia Pada Masa Transisi (Reformasi awal 1998-1999)
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar bath Thailand terhadap dollar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ”jual”. Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, pemerintah Thailand melakukan intervensi dan didukung oleh intervensi yang dilakukan oleh bank sentral Singapura. Apa yang terjadi di Tahiland akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650 per dollar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil.
Menanggapi perkembangan tersebut, pada bulan Juli 1997 Bank Indonesia melakukan empat kali intervensi yakni memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi, pengaruhnya tidak banyak, nilai rupiah dalam dollar AS terus tertekan, dan tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah dalam sejarah, yakni Rp 2.682 per dollar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dollar AS. Dalam aksinya, pertama-tama Bank Indonesia memperluas rentang intervensi rupiah dari 8% menjadi 12%, tetapi akhirnya juga menyerah dengan melepas rentang intervensinya, dan pada hari yang sama Rupiah anjlok ke Rp 2.755 per dollar AS. Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya kurs rupiah terus melemah, walaupun sekali-sekali mengalami penguatan beberapa poin. Pada bulan Maret 1998 nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari-Februari sempat menembus 11.000 rupiah per dollar AS.
Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah buruk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkrit, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 trilyun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut. Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani masalah krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, lebih lagi karena cadangan dollar AS di Bank Indonesia sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi untuk menahan atau mendongkrak kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah Thailand, Filipina dan Korea Selatan.
Pada akhir bulan Oktober 1997, lembaga keuangan internasional mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40 milyar dollar AS, 23 milyar di antaranya adalah pertahanan lapis pertama (front-line defence). Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Ini merupakan awal dari kehancuran perekonomian Indonesia.
Paket program pemulihan ekonomi yang disyaratkan IMF pertama kali diluncurkan pada bulan November 1997, bersama pinjaman angsuran pertama senilai 3 milyar dollar AS. Pertama diharapkan bahwa dengan disetujuinya paket tersebut oleh pemerintah Indonesia, nilai rupiah akan menguat dan stabil kembali. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa nilai rupiah terus melemah sampai pernah mencapai Rp 15.000 per dollar AS. Kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia yang pada waktu itu terus merosot membuat kesepakatan itu harus ditegaskan dalam nota kesepakatan (letter of intent; LoI) yang ditandatangani bersama antara pemerintah Indonesia dan IMF pada bulan januari 1998. Nota kesepakatan itu terdiri dari 50 butir kebijaksanaan-kebijaksanaan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan dan reformasi struktural.
Butir-butir dalam kebijakan fiskal mencakup selain penegasan tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang (pengeluaran pemerintah sama dengan pendapatannya), juga meliputi usaha-usaha pengurangan pengeluaran pemerintah, seperti menghilangkan subsisi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, dan membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar dan peningkatan pendapatan pemerintah. Usaha-usaha terakhir ini akan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menaikan cukai terhadap sejumlah barang tertentu, mencabut semua fasilitas kemudahan pajak, diantaranya penangguhan pajak pertambahan nilai (PPN) dan fasilitas pajak serta tarif bea masuk.
Berbeda dengan Korea Selatan dan Tahilannd, dua negara yang sangat serius dalam melaksanakan program reformasi, pemerintah Indonesia ternyata tidak melakukan reformasi secara baik sesuai kesepakatan dengan IMF. Akhirnya, pencarian pinjaman angsuran kedua senilai 3 milyar dollar AS yang seharusnya dilakukan pada bulan Maret 1998 terpaksa diundur. Padahal, Indonesia tidak ada jalan lain harus bekerja sama sepenuhnya dengan IMF, terutama karena dua hal:
1. Berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korea Selatan, Filipina dan Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri tidak lagi percaya akan kemampuan Indonesia untuk menanggulangi krisisnya, bahkan mereka juga tidak lagi percaya pada niat baik atau keseriusan pemerintah dalam menangani krisis ekonomi di dalam negeri. Oleh karena itu, satu-satunya yang masih bisa menjamin atau memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Indonesia adalah melakukan ”kemitraan usaha” sepenuhnya antara pemerintah Indonesia dengan IMF.
2. Indonesia sangat membutuhkan dollar AS. Pada awal tahun 1998 kebutuhan itu diperkirakan sebesar 22,4 milyar dollar AS atau rata-rata 1,9 milyar dollar AS per bulan. Sementara, posisi cadangan devisa bersih yang dimiliki Bank Indonesia hingga awal Juni 1998 hanya 14.621,4 juta dollar AS, naik dari 13.179,7 juta dollar AS pada akhir Maret 1998. (Tambunan : 2006, 42)
Setelah gagal dalam pelaksanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan-perundingan baru antara pemerintah Indonesia dengan IMF pada bulan Maret 1998 dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998. Hasil-hasil perundingan dan kesepakatan itu dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama “Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan”. Memorandum tambahan ini sekaligus juga merupakan kelanjutan, pelengkap dan modifikasi dari 50 butir LoI pada bulan Januari 1997, yang tetap mencakup kebijakan-kebijakan fiscal dan moneter serta reformasi perbankan (sektor keuangan) dan structural. Ada beberapa perubahan, diantaranya penundaan penghapusan subsidi bahan baker minyak (BBM) dan listrik, dan penambahan sejumlah butir baru. Secara keseluruhan, ada lima memorandum tambahan dalam kesepakatan yang baru ini yakni sebagai berikut :
1. Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah hiperinflasi.
2. Restrukturisasi perbankan, dengan tujuan utama dalam rangka penyehatan sistem perbankan nasional.
3. Reformasi struktural, yang mana disepakati agenda baru yang mencakup upaya-upaya dan sasaran yang telah disepakati dalam kesepakatan pertama (15 Januari 1998).
4. Penyelesaian ULN swasta (corporate debt). Dalam hal ini disepakati perlunya dikembangkan kerangka penyelesaian ULN swasta dengan keterlibatan pemerintah yang lebih besar, namun tetap dibatasi agar proses penyelesaiannya tetap dapat berlangsung lebih cepat.
5. Bantuan untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah). Penyelesaian ULN swasta dan bantuan untuk rakyat kecil merupakan dua hal yang di dalam kesepakatan pertama (Januari 1998) belum ada.
Pada pertengahan tahun 1998, atas kesepakatan dengan IMF dibuat lagi memorandum tambahan tentang kebijaksanaan ekonomi dan keuangan. Akan tetapi strategi menyeluruh stabilisasi dan reformasi ekonomi adalah tetap seperti yang tercantum dalam memorandum kebijaksanaan ekonomi dan keuangan yang ditandatangani pada tanggal 15 Januari 1998. Memorandum tambahan ini memutakhirkan dokumen yang terdahulu untuk menampung perubahan-perubahan yang terjadi setelah Januari 1998 pada situasi perekonomian makro dan prospeknya dan juga menunjukkan bidang-bidang yang strateginya perlu disesuaikan, diperluas atau diperkuat.
Krisis rupiah yang menjelma menjadi suatu krisis ekonomi, akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka. Krisis politik tersebut diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti, tepatnya tanggal 13 Mei 1998 yang dikenal dengan Tragedi Trisakti. Kemudian, pada tanggal 14 dan 15 Mei 1998 kota Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juga dapat dikatakan paling besar dan paling sadis yang pernah dialami Indonesia. Setelah kedua peristiwa tersebut, gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah berlangsung semakin gencar.
Menjelang minggu-minggu terakhir bulan Mei 1998, DPR untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai atau diduduki oleh ribuan mahasiasa dan mahasiswi dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta. Puncak dari keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut, di satu puhak dan dari krisis politik di pihak lain adalah pada tanggal 21 Mei 1998 yakni Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya Dr.Habibie. Tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habibie membentuk kabinet baru, awal dari terbentuknya pemerintah transisi.
Pada awalnya pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Akan tetapi setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintahan baru ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, mereka juga orang-orang rezim Orde Baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata. Bahkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin menjadi-jadi, kerusuhan muncul dimana-mana, dan masalah Soeharto tidak terselesaikan. Akhirnya banyak kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan transisi daripada pemerintahan reformasi. (Tulus Tambunan : 2006, 45 )
Tabel 8
Perkembangan INFLASI di Indonesia (1991-1997, dalam pct)
Bulan 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Januari 0,76 0,44 2,29 1,25 1,16 1,25 1,03
Februari 0,30 0,26 2,03 1,76 1,31 1,70 1,05
Maret 0,03 0,65 1,49 0,70 0,57 -0,61 -0,12
April 1,89 0,92 0,15 0,24 1,69 1,70 0,56
Mei 0,18 0,11 0,14 0,52 0,4 0,06 0,19
Juni 0,44 0,65 0,24 0,12 0,16 -0,07 -0,17
Juli 1,89 0,23 0,67 1,37 0,71 0,68 0,66V
Agustus 1,90 0,16 0,32 0,89 0,32 0,27 0,88
September 0,12 0,20 0,28 0,53 0,38 -0,04 1,29
Oktober 0,76 0,41 0,59 0,89 0,64 0,41 1,99
November 1,06 0,25 0,41 0,45 0,42 0,57 0,65
Desember 0,19 0,66 0,33 0,52 0,50 0,55 2,04
TOTAL 9,52 4,94 9,24 9,24 8,64 6,47 11,05
Sumber : KOMPAS, 3 Maret 1998 (dalam Soeharsono Sagir : 2009, 118)
Tabel 9
Perkembangan Beberapa Indikator Ekonomi Indonesia
Sejak Krisis Ekonomi 1998
Indikator 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Pertumbuhan PDB riil (%) -13,1 0,8 4,9 3,8 4,3 4,9 5,1 5,7 5,5 6,3 6,0
PDB nominal 96 140 166 164 200 239 258 287 364 433 497
PDB per kapita (US$) 977 694 742 697 948 1117 1191 1308 1641 1925 2183
Pertumbuhan ekspor (%) -8,6 -0,4 27,7 -9,3 5,0 8,4 12,0 19,7 17,7 13,2 7,0
Pertumbuhan Impor (%) -34,4 -12,2 39,6 -7,6 15,1 10,9 27,8 24,0 5,8 22,0 12,0
Neraca Perdagangan (miliar US$) 21,5 24,7 28,6 25,4 23,5 24,6 21,2 28,0 39,7 39,6 39,1
Transaksi berjalan (% PDB) 4,3 4,1 4,8 4,2 3,9 3,4 1,1 0,1 3,0 2,5 1,6
Sumber : Citigroup (dalam Tulus Tambunan: 2009, 35)
2.5 Perekonomian Masa Reformasi (1999-2009)
Pada pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilihan umum, yang akhirnya dimenangi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai Golkar mendapat posisi ke dua, yang sebenarnya cukup mengejutkan banyak kalangan di masyarakat. Bulan Oktober 1999 dilakukan SU MPR dan pemilihan Presiden diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 1999. KH Abdurachman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI keempat dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden. Tanggal 20 Oktober menjadi akhir daripada pemerintahan transisi dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering disebut pemerintahan Reformasi.
2.5.1 Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur 1999-2001)
Pada awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Presiden Wahid, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk investor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan kesungguhan Gus Dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), supremasi hukum, hak asasi manusia (HAM), penembakan Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, peranan ABRI di dalam politik, masalah disintergrasi lainnya.
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif, walaupun tidak jauh dri 0%, dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi, dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah Gus Dur terpilih sebagai Presiden tidak berlangsung lama. Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung bersikap diktator dan praktik KKN di lingkupnya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan daripada gerakan reformasi. Ini berarti bahwa rezim Gus Dur, walupun namanya pemerintahan Reformasi di era demokratisasi, tidak berbeda dengan rezim orde baru. Sikap Gus Dur tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah dikeluarkannya peringatan resmi kepada Gus Dur lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum I dan II, Gus Dur terancam akan diturunkan dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia jika usulan percepat Sidang Istimewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan Gus Dur, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri; juga pertikaian elit politik semakin besar.
Selain itu hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdulrrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah-masalah seperti amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, penerapan otonomi daerah terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang drai luar negeri, dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda penciran bantuannya kepada pemerintah Indonesia. Pada hal rod perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor), karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo pada tahun 2002. Bahkan Bank Dunia juga sempat mengncam akan menghentikan pinjaman baru, jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdulrrahman Whid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Hal ini ditambah lagi dengan burukny hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegitan bisnis atau menanam modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa Gus Dur cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan Habibie. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service menginformasikan bertambah buruknya risiko negara Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, tetapi karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial lembaga rating lainnya.
Pada waktu itu banyak orang menduga bahwa apabila kondisi itu terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Gus Dur dan kabinetny tidak menunjukkan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip “once and for all “. Pemerintah Gus Dur cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agend masalah amandemen UU BI, masalah desentralisasi fiskal, masalah restrukturisasi utang, dan masalah divestasi BCA dan Ban Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang kontroversial dan inkonsisten, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya ”sense of crisis” terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Misalnya, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian di dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat pada umumnya terhadap prospek perekonomian Indonesia yang paling tidak untuk periode jangka pendek.
Indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat pada umumnya terhadap pemerintahan Gus Dur adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar 7000, dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, yang menembus level Rp 10.000,- per dolar. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan intevensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun pada 12 Maret 2001, ketika istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur untuk mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot. Pada bulan April 2001 sempat menyentuh Rp 12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdulrrahman Wahid terpilih sebagai presiden Republik Indonesia, berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bis membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku maupun barang-barang konsumsi. Kedua, utang luar negeri Indonesia dalam nilai dolar AS baik dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar. Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit, dan cadangan devis pda minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 miliar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS. MPR mengadakan Sidang Istimewa pada tanggal 21 Juli 2001. Hasil sidang tersebut memutuskan memberhentikan Presiden Abdurrahman sebagai Presiden dan melantik Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Indonesia.
2.5.2 Masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001-2004)
Setelah Presiden Wahid turun, Megawati menjadi Presiden Indonesia yang ke lima. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa Pemerintahan Gus Dur. Meskipun IHSG dan nilai tukr rupiah meningkat cukup signifikan sejak diangkatnya Megawati menjadi Presiden melalui Sidang Istimewa (SI) MPR, posisinya tetap belum kembali pada tingkat pada saat Gus Dur terpilih menjadi Presiden.
Keterpurukan kondisi ekonomi yang ditinggal Wahid kian terasa jika dilihat dari perkembangan indikator ekonomi lainny, seperti tingkat suku bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan defisit APBN. Suku bunga untuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) misalnya, pada awal pemerintahan Megawati mencapai di atas 17%, padahal saat awal pemerintahan Wahid hanya sekitar 13%. Bersamaan dengan itu, tingkat suku bunga deposito perbankan juga ikut naik menjadi sekitar 18%, sehingga pada masa itu menimbulkan kembali kekhawatiran masyarakat dan pelaku bisnis.
Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Menurut data BPS , inflasi tahunan pada awal pemerintahan Wahid hanya sekitar 2%, sedangkan pada awal pemerintahan Megawati, atau periode Januari-Juli 2001 tingkat inflasi sudah mencapai 7,7%. Bahkan laju inflasi tahunan selama periode Juli 2000-Juli 2001 sudah mencapai 13,5%. Perkembangan ini pada saat itu sangat mengkhawatirkan karena dalam asumsi APBN 2001 yang sudah direvisi, pemerintah menargetkan inflasii dalam tahun 2001 hanya 9,4%.
Namun demikian, dalam era Megawati kinerja ekonomi Indonesia menunjukkan perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB yang semakin membaik yakni sekitar 5,6%. Masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang hanya berlangsung selama tiga tahun (2001-2004) dan cukup berhasil mengurangi ketergantungan serta berhasil meningkatan pertumbuhan industri pengolahan sebesar 6,4 persen. Sementara itu, Presiden Soesilo hanya sebesar 4,6 persen. Selain parameter tersebut, Presiden Hj Megawati Soekarnoputri juga berhasil menurunkan tingkat ketergantungan ekonomi Indonesia dari luar negeri dengan jumlah hutang luar negeri pemerintah sebesar 78,25 milyar USD. Sedangkan masa pemerintahan saat ini meningkatkan jumlah hutang luar negeri pemerintah menjadi sebesar 88 milyar USD. tingkat pengangguran terdidik lulusan SMA dan perguruan tinggi pun cenderung meningkat pada masa pemerintahan sekarang, yaitu sebesar 4,51 di tahun 2008 berbanding 4,28 persen di tahun 2004, dan 1,14 persen pada tahun kemarin, berbanding 0,58 persen di tahun 2004. Artinya terjadi peningkatan angka pengangguran dari kalangan masyarakat terdidik. Aspek lainnya adalah harga sembako. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri harga sembako masih terjangkau karena rata-rata inflasi bahan makanan sebesar 4,8 persen.
(Robby Alexander:http://www.tempo.co.id/110909/artikel/kolom3.htm)
2.5.3 Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY 2004-2009)
Pemilihan Umum untuk memilih presiden secara langsung dilaksanakan dua kali putara. Putaran pertama pada tanggal 5 Juli 2004 dan putaran kedua pada tanggal 20 September 2004. Terpilih sebagai presiden dalah Susilo Bambang Yudhoyono dan sebagai wakil presiden Jusuf Kalla. Pemilihan Presiden dan wakil presiden oleh rakyat secara langsung ini merupakan pertama kali dalam sejarah di Indonesia. Sistem ini merupakan salah satu hasil dari gerakan reformasi di Indonesia.
Pada bulan-bulan pertama pemerintahan SBY, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar dan dalam negeri maupun negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan kan jauh lebih baik dibandingkn pada masa pemeritahan-pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser.
Kabinet SBY dan lembaga-lembaga dunia tersebut menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahu 2005 akan berkisar sedikit di atas 6%. Target ini dilandasi oleh asumsi bahwa kondisi politik di Indonesia akan terus membaik dan faktor-faktor eksternal yang kondusif (tidak memperhitungkan akan adanya gejolak harga minyak di pasar dunia), termasuk pertumbuhan ekonomi dari motor-motor utama penggerak perekonomian dunia, seperti AS, Jepang dan China akan meningkat. Namun, pada pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh dua peristiwa yang tak terduga sama sekali, yakni naiknya harga minyak mentah (BBM) di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dua hal ini membuat realisasi pertumbuhan PDB tahun 2005 lebih rendah dari target tersebut.
Kenaikan harga BBM di pasar internasional dari 45 dolar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 dolar AS per barrel awal Agustus 2005 sangat tidak menguntungkan Indonesia. Walaupun Indonesia merupakan salah satu anggota OPEC, Indonesia juag impor BBM dalam jumlah yang semakin besar dalam beberapa tahun belakangan. Akibatnya Indonesia bukan saja menjadi net oil importer, tetapi juga sudah menjadi negara pengimpor BBM terbesar di Asia, jauh melebihi impor BBM Jepang yang bukan penghasil minyak. Tahun 2010 impor BBM di Indonesia diprediksi akan mencapai sekitar 60% dan tahun 2015 akan menjadi sekitar 70% dari kebutuhan BBM dalam negeri. (Kurtubi dalam Tulus Tambunan: 2006, 52).
Tingginya impor BBM Indonesia disebabkan oleh, di satu pihak, konsumen minyak dalam negeri yang meningkat pesat setiap tahunnya mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk, perkembangan kegiatan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita, dan di sisi lain, kapasitas kilang minyk di dalam negeri masih sangat terbatas.
Kenaikkan harga minyak ini menimbulkan tekanan yang sangat berat terhadap keuangan pemerintah (APBN). Akibatnya, pemerintah terpaksa mengeluarkan suatu kebijakan yang sangat tidak populis, yakni mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar dalam negeri meningkat tajam. Kenaikkan harga BBM yang besar untuk industri terjadi sejak 1 Juli 2005. Harga solar untuk industri dari Rp 2.200,- per liter menjadi Rp 4.750,- per liter (naik 115%). Tanggal 1 Agustus 2005, kenaikan harga minyak tanah untuk industri dari Rp 2.200,- per liter menjadi Rp 5.490,- per liter (naik 93%). Tanggal 1 Oktober 2005, pemerintah menikkan lagi harga BBM yang berkisar antara 50% hingga 80%. Diperkirakan hal ini kn sangat berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi domestik, terutama pada periode jangka pendek karena biaya produksi meningkat.
Secara teori, dampak negatif dari kenaikkan harga BBM terhadap kegiatan atau pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan. Kenaikkan harga BBM di pasar dunia jelas akan membuat defisit APBN tambah besar karena ketergantungan Indonesia tehadap impor BBM semakin besar. Defisit APBN yang meningkat selanjutnya akan mengurangi kemampuan pemerintah lewat sisi pengeluarannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara di sisi lain, kenaikkan harga BBM akan mengurangi kegiatan produksi (Q) di dalam negeri akibat biaya produksi (BP) meningkat, yang selanjutnya berdampak negatif terhadp ekspor (X) yang berarti pengurangan cadangan devisa (CD). Menurunnya kegiatan ekonomi/produksi menyebabkan berkurangnya pendapatan usaha yang selanjutnya akan memperbesar defisit APBN karena pendapatan pajak berkurang, Harga BBM yang tinggi juga akan mendorong inflasi di dalam negeri. Semua ini akan berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja atau akan meningkatkan pengangguran (U) dan kemiskinan (P). Kenaikan pengangguran tau kemiskinan juga akan menambah defisit APBN karena menurunnya pendapatan pemerintah dari pajak pendapatan, sementara di sisi lain pengeluaran pemerintah terpaksa ditambah untuk membantu orang miskin. Juga peningkatan kemiskinan akan memperburuk pertumbuhan ekonomi lewat efek permintaan, yakni permintaan di dalam negeri berkurang. Penjelasan diatas dapat diilustrasikan dalam suatu sistem keterkaitan di bawah ini :
Gambar 1
Efek dari Kenaikan Harga BBM terhadap Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia
Kenaikan harga minyak ini juga menjadi salah satu penyebab terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah berlangsung sejak Januari 2005 dengn votalitas yang semakin tinggi, walaupun sempat ada perbaikan menjelang akhir April hingga sekitar pertengahan Mei 2005. Pada bulan Juli 2005, nilai rupiah sudah mendekati Rp 10.000,- per satu dolar AS. Hingga akhir tahun 2005, rupiah diperkirakan akan tetap berada di atas Rp 9.500 per dolar AS. Secara fundamental, terus melemahnya nilai tukar rupiah terkait dengan memburuknya kinerja neraca pembayaran (balance of payment), di samping danya faktor sentimen penguatan dolar AS secara global. Pengaruh dari faktor-faktor nonekonomi juga berperan tehadap terus melemahnya rupiah, terutama rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi di dalam negeri yang berlebihan yang membuat mereka menukarkan rupiah dengan dolar AS, terutama mengenai perkiraan dmpak negatif dari kenaikan harga minyak terhadap perekonomian nasional. Selain itu, sejak krisis ekonomi 1997/1998, faktor spekulasi juga memberi sumbangan yang besar terhadap gejolak rupiah. Kondisi tersebut menyebabkan permintaan dolar di pasar domestik meningkat. Sementara itu, pasokan dolar AS ke dalam negeri juga masih terbatas karena kecilnya ekspor neto.
Sesuai teori, dengan asumsi faktor-faktor lain tetap tidak berubah, melemahnya rupiah akan membuat ekspor Indonesia meningkat, sedangkan impornya berkurang. Namun, pengalaman Indonesia selama krisis ekonomi 1997/1998 menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ternyata tidak terlalu elastis terhadap pergerakan rupiah dan masalah suplai ini hingga saat ini belum hilang sama sekali. Artinya, pengaruh dari melemahnya rupiah kali ini bisa sangat kecil terhadap peningkatan ekspor Indonesia. Sementara itu, Indonesia sudah sangat tergantung pada impor barang-barang kebutuhan pokok, mulai dari barang-barang konsumsi, seperti makanan dan susu, hingga barang-barang modal dan peralatan produksi serta bahan baku, seperti minyak yang membuat impor Indonesia juga kurang elastis terhadap pergerakan rupiah.
Kombinasi antara kenaikkan harga BBM dan melemahnya nilai rupiah akan berdampak pada peningkatan laju inflasi. Secara fundmental, tingginya inflasi di Indonesia disebabkan oleh masih tingginya ekspektasi inflasi terkait dengan kebijakan pemerintah mengenai kenaikan dan perkembangan nilai tukar rupiah yang cenderung terus melemah. Melemahnya nilai tukar rupiah memberi tekanan terhadap inflasi di dalam negeri, terutama karena tingginya ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap impor, tetapi dengan tingkat yang lebih rendah dibandingkn dengan rata-rata historisnya. Seperti pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, pemerintahan SBY juga berusaha menahan tingkat inflasi serendah mungkin atau paling tidak tetap dalam satu digit. (dapat dilihat dalam tabel)
Tabel 10
Tingkat Inflasi Indonesia periode Juli 2008 - Juli 2009
Bulan dan tahun Tingkat inflasi
Juli 2009 2.71 %
Juni 2009 3.65 %
Mei 2009 6.04 %
April 2009 7.31 %
Maret 2009 7.92 %
Februari 2009 8.60 %
Januari 2009 9.17 %
Desember 2008 11.06 %
November 2008 11.68 %
Oktober 2008 11.77 %
September 2008 12.14 %
Agustus 2008 11.85 %
Juli 2008 11.90 %
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Inflasi_dan_perekonomian_Indonesia
Menjelang akhir masa jabatan SBY yang akan berakhir tahun 2009, perekonomian Indonesia menghadapi dua goncangan eksternal, yakni harga BBM yang terus naik dan kenaikkan harga pangan di pasar global. Kenaikkan harga BBM yang terus menerus sejak tahun 2005 memaksa pemerintah menaikan lagi harga BBM, terutama premium, di dalam negeri pada tahun 2008. Kedua goncangan eksternal tersebut sangat mengancam kestabilan perekonomian nasional, khususnya tingkat inflasi. (Tulus Tambunan : 2006, 55)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perekonomian Indonesia dari masa ke masa mengalami pasang surut. Dimulai dari masa penjajahan ketika masuknya VOC di Indonesia dengan sistem dan cara yang licik guna menguasai rempah-rempah. Disusul kedatangan Perancis dan Inggris yang secara bergantian menguasai dan bertindak semena-mena terhadap bangsa Indonesia. Selain itu, Indonesia juga mengalami masa Cultuurstelstel, dimana pemerintah Belanda memberlakukan tanam paksa untuk komoditi rempah-rempah yang kemudian di monopoli oleh Belanda. Belanda juga melakukan sistem ekonomi pintu terbuka (liberal) sehingga Indonesia banyak didatangi oleh pedagang-pedagang dari Inggris, Belgia, Perancis, Amerika, China dan Jepang. Namun sistem ini menyengsarakan para kuli kontrak yang tidak diperlakukan dengan layak. Kemudian, Jepang pun sempat menguasai Indonesia dengan militernya yang kejam. Walaupun hanya 3,5 tahun menduduki Indonesia. Jepang banyak meninggalkan jejak penderitaan mendalam bagi rakyat Indonesia, diantaranya banyak hail bumi yang dirampas guna keperluan militer Jepang yang sedang berperang, kekerasan seksual bagi kaum perempuan oleh tentara militer dan juga kerja paksa untuk pembangunan militer Jepang.
Setelah kemerdekaan, Indonesia tidak lantas berbahagia dengan hal itu, pasalnya, masih banyak gangguan dari pihak penjajah (Belanda) yang ingin menguasai kembali Indonesia. Gejolak ekonomi masih memanas di awal pemerintahan Orde lama karena goyahnya kondisi politik dan sosial bangsa. Pergantian kabinet dalam waktu singkat, sistem ekonomi yang msih labil, pemberontakan dari dalam negeri sampai ketidaksamaan pandangan ideologi negara dari para pemimpin bangsa saat itu, berdampak pada goyahnya perekonomian bangsa dengan inflasi yang tinggi, pengangguran dimana-mana, kemiskinan merajalela dan masih banyak yang lainnya.
Memasuki masa orde lama pun gejolak politik mewarnai terbentuknya pemerintahan dengan pemimpin yang baru yakni Soeharto. Namun sedikit lebih baik dari masa sebelumnya, beliau menerapkan sistem ekonomi liberal yang jelas dengan program pembangunannya. Gejala perbaikan dan manfaat yang di dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dengan naiknya angka pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Dengan kebaikan yang didapat dan dirasakan masyarakat, ternyata semua kenikmatan tersebut menghasilkan utang luar negeri yang berlimpah dan diwariskan pada rakyat dan pemerintah setelah orde baru hingga saat ini. Selain itu juga adanya Krisis Moneter yang melanda Kawasan Asia, membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Sehingga menyumbangkan rezim soeharto yang diwarnai dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme pada tanggal 21 mei 1988. Kemudian rezim yang berkuasa selama 32 tahun tersebut digantikan oleh masa reformasi.
Sebelum masa reformasi, terjadi masa transisi terlebih dahulu yang dipimpin kurang lebih satu tahun oleh Presiden B.J. Habibie. Presiden Soeharto memberikan mandatnya pada beliau yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden. Masa transisi ini tidak banyak berpengaruh pada perekonomian karena masih mewarisi orde lama dan saat itu masih dalam tahap pembaharuan.
Tahun 1999, diadakan pemilu pertama masa reformasi. Pada saat itu Abdurrahman Wahid terpilih namun pemerintahannya tidak berlangsung lama karena Gusdur sering bertindak dan berucap kontrovesial, sehingga pemerintahannya jatuh pada 20 Oktober 2001. Kemudian digantikan oleh Megawati Soekarno Putri. Pemerintahan Megawati juga banyak mengundang polemik, pasalnya banyak aset negara misalnya, perusahaan BUMN yang sahamnya dijual ke publik bahkan dibeli oleh pihak asing. Pada tahun 2004 dilaksanakan Pemilu langsung oleh rakyat yang pertama kalinya, dan terpilihlah pasangan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla yang membawa visi dan misi guna membangun perekonomian Indonesia. Dapat dirasakan saat ini belum ada perbaikan yang signifikan di bidang ekonomi, namun pertumbuhan ekonomi sudah mulai berkembang.
3.2 Saran
Sejarah merupakan gambaran kronologis mengenai peristiwa-peristiwa masa lalu. Tujuannya sendiri agar kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahan masa lampau dan menjadikannya sebagai pengalaman dan pembelajaran hidup. Pada masa penjajahan, Indonesia dijajah secara wilayah, politik dan juga ekonomi. Di masa tersebut, wilayah Indonesia masih terbagi-bagi dalam beberapa kerajaan sehingga tidak adanya persatuan dan kesatuan serta kondisi ekonomi masa itu masih sangat tradisional. Dalam hal ini persatuan dan kesatuan bangsa serta utuhnya wilayah menjadi sangat penting untuk membangun sitra Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah masa penjajahan, kita berhasil merebut kemerdekaan. Indonesia secara wilayah, politik dan ekonomi kembali utuh dalam wadah NKRI. Di masa Orde Lama ini banyak peristiwa-peristiwa yang menggoyahkan keutuhan bangsa, diantaranya Belanda yang masih ikut campur dalam urusan ekonomi dan ingin menguasai kembali, pemberontakan dalam negeri, bahkan ideologi negara yang masih dipertanyakan. Kondisi tersebut seharusnya ditangani oleh para pemimpin bangsa dengan mempersatukan dan meningkatkan nasionalisme bangsa untuk bersatu dan bersama mengisi kemerdekaan dan memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Melewati masa Orde lama membuka lembaran baru dengan pemerintahan Orde Baru. Masa Orde Baru ini dipimpin oleh Presiden Soeharto dengan rencana-rencana pembangunannya. Namun hal ini menjadi semu, tatkala pembangunan Indonesia dibiayai dari utang luar negeri dan budaya korupsi di berbagai kalangan. Oleh sebab itu, pemerintahan di suatu negara tidak boleh dikuasai satu pemimpin dalam waktu yang lama karena akan menumbuhkan benih-benih budaya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Setelah masa Orde Baru runtuh, kita memasuki babak awal kehidupan reformasi, dimana Presiden Soeharto memberikan mandatnya pada Wakil Presiden B.J. Habibie untuk memimpin bangsa Indonesia. Beliau memimpin kurang lebih selama satu tahun dan dalam kurun waktu tersebut banyak undang-undang yang dihasilkan berkaitan dengan masalah hukum dan sosial masyarakat. Dalam hal ekonomi, Indonesia masih dalam keadaan yang buruk pasca krisis moneter. Seharusnya pemerintah memprioritaskan perekonomian yang kacau balau serta memperbaiki terlebih dahulu masalah ekonomi tersebut guna mensejahterakan rakyat yang terkena dampak krisis moneter.
Di masa reformasi pun, rakyat Indonesia belum mendapatkan kenikmatan yang seutuhnya. Justru kesejahteraan menjadi barang langka bagi rakyat Indonesia. Kepemimpinan masa reformasi yang masih diwarnai dengan gejolak politik membuat kondisi ekonomi dan sosial masyarakat belum dapat menjadi prioritas. Oleh karenanya, diperlukan kebijakan-kebijakan yang mendorong usaha perekonomian dan berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Para pemimpin bangsa pun diharapkan untuk dapat bertindak adil dan memikirkan serta memprioritaskan kepentingan rakyat.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudera Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang tujuannya ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah dan ada juga yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi). Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tidak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang singgah.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang Baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Akan tetapi penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan dengan sistem barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional yang hanya mengandalkan perkiraan harga pertukaran suatu barang dengan barang lain. Oleh sebab itu, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan sebab kegiatan perdagangan banyak difokuskan di kawasan laut yang merupakan pelabuhan dagang yang sering disinggahi para pedagang dari berbagai negara. Namun dapat dikatakan secara keseluruhan hingga saat ini di Indonesia, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian sebab wilayah Indonesia berpotensi besar dalam kedua hal itu seperti tersedianya lahan untuk pengembangan areal pertanian dengan masyarakatnya yang mayoritas petani, kemudian perniagaan atau perdagangan yang sangat memungkinkan bagi bangsa Indonesia yang memiliki sejarah sebagai kawasan pelabuhan dagang dan mayoritas beragama Islam dengan anjuran Rasulullah yang juga seorang pedagang.
Masa kejayaan kerajaan-kerajaan di Indonesia memang menjadi bagian terpenting dalam sejarah perekonomian Indonesia yang ada saat ini karena dengan adanya praktek perniagaan saat itu dari mulai sistem barter sampai dengan mengenal mata uang sebagai alat tukar, telah mengenalkan kita pada sebuah perkembangan perekonomian. Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam tersebut, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, Orde lama, Orde Baru, dan masa reformasi.
1.2 Permasalahan
Untuk memberikan arah dan tujuan yang jelas tentang masalah yang akan dibahas, maka penyusun merumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan perekonomian Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan?
2. Bagaimana perkembangan perekonomian Indonesia pada masa Orde lama?
3. Bagaimana perkembangan perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru?
4. Bagaimana perkembangan perekonomian Indonesia pada masa Transisi?
5. Bagaimana perkembangan perekonomian Indonesia pada masa Reformasi?
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah perkembangan perekonomian Indonesia dibagi ke dalam 5 masa, yaitu :
a. Masa sebelum kemerdekaan atau masa penjajahan (1600-1945)
b. Masa Orde Lama (1945-1966)
c. Masa Orde Baru (1966-1998)
d. Masa Transisi (1998-1999)
e. Masa Reformasi (1998-sekarang)
Dalam perkembangannya, perekonomian Indonesia mengalami pasang surut dan berbagai peristiwa penting. Indonesia telah memperoleh banyak pengalaman politik dan ekonomi. Peralihan dari masa ke masa, iklim politik yang memanas, kondisi ekonomi yang bergejolak, hingga upaya mengisi kemerdekaan. Gambaran utuh mengenai hal tersebut disajikan secara kronologis-historis. Hal ini mengingat bahwa apa yang berlangsung saat ini tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa serta pengalaman-pengalaman sebelumnya.
2.1 Perkembangan Perekonomian Indonesia Pada Masa Sebelum Kemerdekaan (1600-1945)
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena kekuasaannya telah diduduki oleh Belanda. Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, telah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang diberlakukan mereka di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu). Masa-masa tersebut yakni sebagai berikut :
2.1.1 Pendudukan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC 1602-1799)
Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda pada tanggal 22 Januari 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman di Banten. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), yaitu sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Kongsi dagang Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, antara lain meliputi :
1. Hak monopoli perdagangan.
2. Hak mencetak dan mengeluarkan uang sendiri.
3. Hak mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat.
4. Hak mengadakan perang dengan negara lain.
5. Hak menjalankan kekuasaan kehakiman.
6. Hak memungut pajak.
7. Hak memiliki angkatan perang dan mendirikan benteng sendiri.
8. Hak mengadakan pemerintahan sendiri.
9. hak sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia.
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai penguasa Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC. Kenyataannya, sejak tahun 1602, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan pelayaran Hongi (membawa para saudagar Belanda mencari tempat-tempat penghasil rempah-rempah) dan hak extirpatie (mengurangi hasil produksi perekebunan rempah-rempah agar keadaan di pasaran tidak terlalu melimpah).
Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia. Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negeri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan eksistensi dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang hanya 1.050 metrik ton.
Berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi, selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi pembanding yang seimbang, ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran hingga tahun 1870-an.
Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC hingga 136 juta Gulden lebih, yang antara lain disebabkan oleh :
a. Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama Perang Diponegoro yang berlangsung pada tahun 1825-1830.
b. Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
c. Korupsi yang dilakukan para pegawai VOC sendiri.
d. Pembagian dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas dalam keadaan defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek) yang didirikan oleh Perancis pada tanggal 4 Februari 1803. Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau sehingga Napoleon Bonaparte membubarkan Republik Bataaf tahun 1806. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa. Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda. (Asep Lukman : 1999, 51)
2.1.2 Pendudukan Perancis (1808-1811)
Bersamaan dengan kehancuran VOC di Indonesia, daratan Eropa berkecamuk dengan perang Revolusioner Perancis yang berlangsung tahun 1792-1802. belanda berhasil diduduki oleh Perancis pada tahun 1795. Raja William V berhasil meloloskan diri dan berlindung pada Inggris, dengan jaminan Belanda akan menyerahkan kekuasaannya di Indonesia.
Pemerintahan Perancis yang merasa dirinya telah menguasai Belanda bertindak tegas. Ia menggabungkan wilayah Belanda ke dalam wilayah kekuasaan negara Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte. Untuk mempertahankan wilayahnya, Perancis mengirimkan Gubernur Jenderal Deandels, dengan tujuan untuk mempertahankan Indonesia dari serangan Inggris, mengatur pemerintahan di Indonesia, memperbaiki keadaan perekonomian, dan membangun kembali armada angkatan laut Belanda yang hancur.
Setibanya di Indonesia tanggal 1 Januari 1808, Deandels mengadakan tindakan-tindakan sebagai berikut:
a. Menjalankan pemerintahan diktator.
b. Perdagangan budak belian.
c. Menjalankan kerja rodi (membuka jalan sepanjang 1000 km dari Anyer ke Panarukan).
d. Mencampuri urusan pengangkatan kepala daerah dan upacara keraton.
e. Menurunkan tahta Sultan Banten yang dianggap gagal membangun pelabuhan di Ujung Kulon.
Tindakan-tindakan Deandels mendatangkan kebencian dari rakyat Indonesia. Sehingga Napoleon Bonaparte memanggil Deandels pulang ke Perancis dan digantikan oleh Gubernur Jenderal Janssens tahun 1811. Janssens banyak menemukan hambatan dan raja-raja di Pulau Jawa banyak yang memberontak. Disamping itu serangan armada angkatan laut Inggris ke Batavia menyebabkan Janssens semakin sulit. Akhirnya September 1811 Janssens menyerah kepada Inggris di daerah Tuntang. (Asep Lukman : 1999, 55)
2.1.3 Pendudukan Inggris (1811-1816)
Pada tanggal 18 September 1811 kekuasaan Indonesia jatuh ke tangan Inggris dengan pimpinan Gubernur Jenderal Raffles. Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah.
Dalam menjalankan kekuasaannya di Pulau Jawa, Raffles menyusun rencana-rencana sebagai berikut :
a. Menghapuskan sistem kerja paksa (rodi) kecuali daerah Priangan dan Jawa Tengah.
b. Menghapuskan pelayaran Hongi dan segala jenis tindak pemaksaan di Maluku.
c. Melarang perbudakan.
d. Menghapus segala bentuk penyerahan wajib dan penyerahan hasil bumi.
e. Melaksanakan sistem pajak bumi (landrete steelsel).
f. Membagi pulau Jawa dalam 16 keresidenan.
g. Mengurangi kekuasaan para bupati.
h. Menerapkan sistem pengadilan dengan sistem juri.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang hanya seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
1. Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak.
2. Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
3. Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tidak mau mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.
2.1.4 Masa Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang permintaannya potensial di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk tanaman selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dan lain-lain. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tetapi sangat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah Belanda untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah tersebut. Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang diterima dan dimasukkan ke dalam gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai lebih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
2.1.5 Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Dengan berakhirnya politik tanam paksa di Indonesia, imperialisme modern mulai masuk ke Indonesia. Indonesia dijadikan pengambilan bekal hidup, bahan mentah untuk industri, pemasaran hasil industri, dan penanaman modal asing. Sejak tahun 1870, Belanda melaksanakan Politik Pintu Terbuka. Akibatnya berdatanganlah bangsa-bangsa diluar Belanda seperti Inggris, Belgia, Perancis, Amerika Serikat, China, Jepang dan lainnya.Politik Pintu Terbuka dibentuk karena adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang Baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada :
a. Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah.
b. Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
c. Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan secara layak. (J.Sukardi : 2004, 48)
2.1.6 Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer bersama Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara India-Belanda datang ke Kalijati dan dimulai perundingan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan pihak Tentara Jepang yang dipimpin langsung oleh Letnan Jenderal Imamura. Imamura menyatakan, bahwa Belanda harus menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Letnan Jenderal ter Poorten, mewakili Gubernur Jenderal menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Dengan demikian secara de facto dan de jure, seluruh wilayah bekas Hindia-Belanda sejak itu berada di bawah kekuasaan dan administrasi Jepang. Hari itu juga, tanggal 9 Maret Jenderal Hein ter Poorten memerintahkan kepada seluruh tentara India Belanda untuk juga menyerahkan diri kepada balatentara Kekaisaran Jepang.
Pada mulanya, propaganda Jepang terdengar seperti perbaikan dibandingkan dengan pemerintahan Belanda. Setelah itu, pasukan-pasukan Jepang mulai mencuri makanan dan menangkapi orang untuk dijadikan pekerja paksa, sehingga pandangan bangsa Indonesia terhadap mereka mulai berbalik. Dari semua yang telah dilakukan, Militer Jepang membuat tiga kesalahan besar terhadap bangsa Indonesia:
1. Kerja paksa: banyak laki-laki Indonesia diambil dari tengah keluarga mereka dan dikirim hingga ke Burma untuk melakukan pekerjaan pembangunan dan banyak pekerjaan berat lainnya dalam kondisi-kondisi yang sangat buruk. Ribuan orang mati atau hilang. Jepang menahan banyak warga sipil Belanda di kamp-kamp tahanan dalam kondisi-kondisi yang sangat buruk, dan memperlakukan tahanan perang militer di Indonesia dalam keadaan yang buruk pula.
2. Pengambilan paksa: tentara-tentara Jepang dengan paksa mengambil makanan, pakaian dan berbagai pasokan lainnya dari keluarga-keluarga Indonesia, tanpa memberikan ganti rugi. Hal ini menyebabkan kelaparan dan penderitaan semasa perang.
3. Perbudakan paksa terhadap perempuan: banyak perempuan Indonesia yang dijadikan "wanita penghibur " bagi tentara-tentara Jepang.
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Walaupun hanya 3 tahun menjajah di Indonesia, namun bagi rakyat Indonesia keberadaan Jepang yang menguras banyak kekayaan Indonesia, sangat membuat mereka menderita. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. Seperti ini lah sistem sosialis ala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
Para pejuang melihat penderitaan bangsa Indonesia yang sangat tersiksa oleh militer Jepang, kemudian pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta diculik( peristiwa Rengasdengklok) oleh para pemuda pejuang. Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Jenderal Moichiro Yamamoto dan bermalam di kediaman Laksamana Muda Maeda Tadashi. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan. Mengetahui bahwa proklamasi tanpa pertumbahan darah telah tidak mungkin lagi, Soekarno, Hatta dan anggota PPKI lainnya malam itu juga rapat dan menyiapkan teks Proklamasi yang kemudian dibacakan pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.Dengan demikian berakhir pula masa pendudukan Jepang di Indonesia. (Syamsudin Haris : http://wikipedia.org/110909/papers)
2.2 Perkembangan Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Lama (1945-1966)
2.2.1. Kehidupan Ekonomi Indonesia Awal Kemerdekaan
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan memberikan sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Pada awal berdirinya RI, keadaan ekonomi sangat memprihatinkan. Hal itu disebabkan oleh beredarnya mata uang Jepang yang tidak terkendali. Kas negara kosong, pajak dan bea masuk lainnya sangat berkurang, sedangkan pengeluaran semakin bertambah. Keadaan tersebut semakin parah karena pemerintah RI menetapkan tiga mata uang sekaligus, yaitu mata uang yang dicetak oleh De Javasche Bank, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang pada masa pendudukan Jepang. Dengan memdaratnya tentara Sekutu di kota-kota besar dan berhasil menguasai bank-bank serta blokade ekonomi dari Belanda, menyebabkan laju inflasi yang sangat tinggi.
Pada tanggal 6 Maret 1946 Panglima Serikat mengumumkan berlakunya mata uang NICA (Netherland Indies Civil Adminintration) di daerah-daerah yang diduduki tentara Serikat sebagai ganti mata uang Jepang. Perdana Menteri Syahrir memprotes tindakan itu dan menuduh pihak Serikat melanggar persetujuan bahwa kedua belah pihak tidak akan mengeluarkan mata uang Baru sebelum situasi mantap. Pemerintah RI menolak penggunaan mata uang NICA dan menyetakan bukan sebagaia lata pembayaran yang sah di wilayah RI. Pada bulan Oktober 1946 pemerintah RI mengeluarkan uang kertas yang disebut Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) berdasarkan undang-undang Nomor 17 tahun 1946 tanteng ORI tertanggal 1 Oktober 1946. Kemudian dengan undang-undang nomor 19 tahun 1946 tanggal 25 Oktober 1946 diatur penikaran uang rupiah yang berlaku di Indonesia pada waktu itu yaitu :
a. Lima puluh rupiah uang Jepang disamakan dengan satu rupiah ORI
b. Di luar Jawa dan Madura, seratus rupiah uang Jepang ditukar dengan satu rupiah ORI.
Hal itu dimakdudkan untuk menggantikan mata uang jepang yang telah merosot nilainya. Kurs mata uang Jepang dengan ORI adalah satu per seribu, artinya setiap seribu rupiah mata uang Jepang ditikar dengan satu rupiah ORI. Untuk sememtara waktu pemerintah mengizinkan setiap keluarga memiliki Rp. 300,- saja dan bagi yang tidak berkeluarga Rp. 100,-
Tindakan pemerintah selanjutnya yang tujuannya untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi dan keuangan adalah membentuk Bank Negara Indonesia. Bank Negara Indonesia dibentuk secara resmi tanggal 1 November 1946, semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh margono Djojohadikusumo yang bertugas untuk mengetur nilai tukar ORI dengan valuta asing yang beredar di Indonesia.. Sebelum berdirinya bank Negara Indonesia, pemerintah telah merintis pembentukan Bank Rakyat Indonesia, yang semula Shomin Ginko.
Usaha-usaha lain yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, diantaranya Program Pinjaman Nasional yang dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. Kemudian upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan diplomasi ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi Ekonomi yang diadakan Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi lahan perkebunan. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) pada tanggal 19 Januari 1947. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) tahun 1948 mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif. Namun usaha-usaha ini tidak membuat keadaan makin membaik.
Keadaan ekonomi Indonesia saat itu semakin parah dengan pelaksanaan perang gerilya untuk mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) dan gangguan-gangguan keamanan dari bangsa sendiri, misalnya munculnya pemberontakan PKI Madiun, Pemberontakan APRA, Pemberontakan Andi Azis, Pemberontakan RMS, serta Pemberontakan DI/TII.
Pada 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia Belanda secara sepihak, meskipun Belanda tidak bisa menerimanya. Untuk menindaklanjuti pembubaran Uni Indonesia Belanda, pada 3 Mei 1956, Presiden Soekarno menendatangani Undang-undang Pembatalan KMB. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. (Tulus Tambunan : 2006, 27)
2.2.2 Masa Demokrasi Liberal – Nasionalisasi di Bidang Ekonomi (1950-1959)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada kekuatan pasar dan pemrintah dilarang ikut campur terlalu banyak. Padahal kondisi para pengusaha pribumi masih lemah dan belum dapat bersaing dengan pengusaha nonpribumi terutama Cina.
Pemerintah menyadari bahwa RI mewarisi ekonomi yang kacau dari pemerintah pendudukan Jepang. Keadaan itu diperparah lagi oleh adanya berbagai gangguan keamanan dan pemberontakan di berbagai daerah. Itulah sebabnya pemerintah berupaya melakukan perbaikan ekonomi dengan melakukan berbagai kebijaksanaan ekonomi. Diantaranya sebagai berikut :
a. Rencana I.J. Kasimo
Pada waktu itu Kasimo menjabat sebagai Menteri Persediaan Makanan Rakyat, yang pada bulan Februari 1946 pemerintah berusaha merancang memecahkan masalah ekonomi dengan menyelenggarakan konferensi ekonomi. Yang menjadi bahan pembicaraan adalah meningkatkan produksi dan distribusi bahan makanan, masalah sandang, serta status administrasi perkebunan milik asing. Konferensi menghasilkan konsepsi untuk menghapus sistem autarki lokal warisan Jepang secara berangsur-angsur dan menggantikan dengan sistem sentralisasi Bahan Makanan Rakyat yang kemudian menjadi Badan Persediaan dan Pembagian Bahan makanan (PPBM). Semua perkebunan akan diawasi oleh pemerintah agar produksi meningkat.
Di samping itu pemerintah membentuk Badan Perencana Ekonomi. Usaha itu dikenal dengan Plan Kasimo yang berisi anjuran untuk memperbanyak kebun bibit padi unggul dan pencegahan penyembelihan hewan pertanian, serta usaha menanami tanah-tanah yang kosong terutama di Sumatera Timur. Dianjurkan juga untuk melaksanakan transmigrasi 20 juta penduduk Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 10 sampai 15 tahun.
b. Gunting Syafruddin
Kabinet Hatta merupakan satu-satunya kebinet dalam sejatah politik Indonesia yang dipimpin oleh seorang pakar ekonomi profesional. Kendati konsentrasi utama dari kabinet singkat ini adalh penyatuan politis wilayah-wilayah Indonesia ke dalam negara kesatuan Indonesia Serikat, namun perhatiannya terhadap masalah-masalah ekonomi cukup besar.
Tindakan paling penting yang dilakukan kabinet ini adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang secara serempak dan pemotongan yang beredar pada bulan Maret 1950. Pemotongan mata uang ini melibatkan pengguntingan menjadi separuh atas semua uang kertas keluaran De Javasche Bank.
Pada saat itu pemerintah mengalami defisit 5,1 miliar rupiah. Pada tanggal 19 Maret 1950 Menteri Keuangan Syafruddin, berdasarkan SK Menteri Nomor PU 1 19 Maret 1950, mengambil tindakan pemotongan uang. Tindakan itu dilakukan dengan cara mengubah nilai uang Rp 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Tindakan pemerintah itu dikenal dengan sebutan Gunting Syafruddin. Tindakan itu dapat mengurangi jumlah uang beredar. Akibatnya pemerintah RI mendapat kepercayaan pemerintah Belanda. RI mendapat pinjaman uang sebesar Rp200 juta dari pemerintah Belanda.
c. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng (Benteng Group)
Usaha mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah maka pemerintah RI pada kabinet Natsir telah merintis usaha menumbuhkan industrialisasi yang dikenal dengan rencana Sumitro. Sasaran rencana itu dipusatkan pada pembangunan industri dasar, seperti pabrik semen, percetakan, pabrik karung, dan pemintalan. Kebijaksanaan itu diikuti dengan perbaikan prasarana, liberalisasi pertanian, dan penanaman modal asing. Dr. Sumitro Joyohadikusumo yang menjabat sebagai menteri perdagangan, berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus segera ditumbuhkan menjadai kelas pengusaha. Para pengusaha Indonesia yang umumnya bermodal lemah, diberi kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam membangun ekonomi nasional. Mereka harus dibimbing dan diberi bantuan kredit karena pemerintah menyadari bahwa pada umumnya mereka tidak mempunyai cukup modal. Dengan usaha secara bertahap, pengusaha akan berkembang maju. Tujuannya adalah mengubah struktur kolonial ke struktur ekonomi nasional. Program Sumitro itu dikenal dengan nama Gerakan Benteng atau Benteng Group.
Selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia mendapat program benteng. Namun usaha tersebut tidak mencapai sasaran, karena pengusaha-pengusaha Indonesia ternyata lamban untuk menjadi dewasa. Bahkan ada yang menyalahgunakan bantuan tersebut. Kegagalan program itu disebabkan pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha nonpribumi, dalam rangka pelaksanaan ekonomi liberal. Faktor lain berasal dari mentalitas pengusaha kita yang cenderung pada pola konsumtif, sehingga berekinginan cepat mendapat keuntungan yang besar dan menikmati hidup mewah.
d. Nasionalisasi Bank dan Sistem Ali Baba
Bersamaan dengan meningkatnya rasa nasionalisme, pada akhir tahun 1951 pemerintah RI melaksanakan nasionalisasi De Javashe Bank menjadi Bank Indonesia. Dengan tujuan menaikkan pendapatan, pemerintah menurunkan biaya ekspor dan melakukan penghematan secara drastis. Pada tahun 1952 defisit negara telah meningkat menjadi 3 miliar rupiah. Selama itu anggaran belanja diajukan ke DPR dan disetujui.
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamijoyo I Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisurya memprakarsai sistem ekonomi Baru, yang dikenal dengan sistem Ali Baba. Sistem itu ditujukan untuk memejukan pengusaha pribumi. Ali menggambarkan pengusaha pribumi, sedang Baba menggambarkan pengusaha nonpribumi, khususnya Tionghoa. Sistem tersebut dimaksudkan agar pengusaha pribumi maupun non pribumi bekerja sama untuk memajukan ekonomi Indonesia. Pemerintah menyediakan bantuan berupa kredit melalui bank. Namun ternyata bahwa dengan sistem itu juga mengalami kegagalan. Pengusaha nonpribumi lebih berpengalaman daripada pengusaha pribumi untuk memperoleh bantuan kredit. Waktu itu Indonesia melaksanakan sistem liberal sehingga persaingan bebas lebih diutamakan. Dalam persaingan bebas tersebut ternyata pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dengan pengusaha nonpribumi.
Sementara itu pemerintah masih terus dilanda defisit. Upaya mencari jalan keluar untuk mengatasi defisit tersebut, pemerintah cenderung untuk mencetak uang secara terus menerus, yang berarti inflasi akan meningkat terus. Pada tahun 1953 pemerintah di bawah kabinet Ali Sastroamijoyo mengalami defisit sebesar 7,6 miliar rupiah. Defisit meningkat dari tahun ke tahun.
e. Pengambilalihan Perusahaan Belanda
Setelah melakukan kebijaksanaan ekonomi yang belum juga membawa hasil nyata, pemerintah pun tetap meneruskan usaha untuk perbaikan ekonomi. Langkah yang diambil pemerintah ialah dengan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda yang berjumlah kurang dari 700 buah, setelah terjadi pemogokan buruh secara menyeluruh pada perusahaan Belanda. Hal itu dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23 Tahun 1958 pada bulan Desember. Sebagai akibat dari kebijaksanaan tersebut adalah dipindahkannya pusat lelang tembakau Indonesia dari Amsterdam, Belanda ke Bremen, Jerman.
Dilihat dari aspek politiknya, selama periode Orde Lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat demokrasi, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa sistem politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional. Tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur kabinet tidak lebih dari 1 tahun saja. Waktu yang sangat pendek disertai dengan banyaknya keributan internal di dalam kabinet tentu tidak memberi kesempatan maupun waktu yang tenang bagi pemerintah yang berkuasa untuk memikirkan bersama masalah-masalah sosial dan ekonomi yang ada pada saat itu, apalagi menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya. (Feith dalam Tulus Tambunan : 2006, 32).
Selama periode 1950-an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal seperti pertambangan , distribusi, transportasi, dan bank, yang memiliki kontribusi lebih besar dari pada sektor informal terhadap output nasional (PDB) didomonasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang mayoritas berorientasi ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing relatif lebih padat kapital dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didomonasi oleh pengusaha pribumi, dan perusahaan-perusahaan asing pada umumnya berlokasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Pertumbuhan ekonomi pun belum menunjukkan peningkatan yang signifikan karena masih dalam tahap awal setelah kemerdekaan. (Tulus Tambunan: 2006, 32).
Berikut adalah tabel pendapatan dan belanja pemerintah dan pertumbuhan ekonomi Indonesia :
Tabel 1
Pendapatan dan Belanja Pemerintah, pada Tahun 1955 – 1965, dalam Jutaan Rupiah Baru (Emisi 1966)
(1)
Tahun (2)
Pendapatan (3)
Belanja (4)
Selisih
(2) – (3) (5)
Rasio (4)
Terhadap (2)
1955 14 16 -2 14%
1956 18 21 -3 17%
1957 21 26 -5 24%
1958 23 35 -12 52%
1959 30 44 -14 47%
1960 50 58 -8 16%
1961 62 88 -26 42%
1962 75 122 -47 60%
1963 162 330 -168 104%
1964 283 681 -398 141%
1965 923 2.526 -1.603 174%
Rata-rata 151 359 -208 137%
Sumber : Mohtar Mas’oed hal 218 (dalam Dumairy : 1996, 25).
Tabel 2
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (1951-1957)
Tahun Indeks
(1951=100) % Perubahan Tahun Indeks
(1951=100) % Perubahan
1951 100,0 - 1959 149,1 -1,9
1952 103,8 3,8 1960 146,8 -1,5
1953 126,8 22,1 1961 149,4 1,7
1954 128,6 1,4 1962 145,3 -2,7
1955 133,4 3,7 1963 141,4 -2,7
1956 136,4 2,2 1964 144,7 2,4
1957 144,4 5,8 1965 145,5 0,5
1958 152,0 5,3 1966 146,4 0,6
*)1951-1957 diukur dengan Pendapatan Nasional Bruto dan 1958-1966 diukur dengan Produk Domestik Bruto.
Sumber (Tulus Tambunan: 2006, 19)
2.2.3 Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit untuk menghindari bahaya yang disebabkan oleh kegiatan partai-partai politik, maka pengumuman istirahat Konstituante diikuti dengan larangan-larangan melakukan segala bentuk kegiatan partai politik. Isi dekrit tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pembubaran Konstituante
2. Berlakunya kembali UUD 1945
3. Tidak berlakunya UUDS 1950
Sebagai dampak dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme atau sosialis (segala hal diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a) Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000 dibekukan.
b) Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada tahun 1961-1962 harga barang-barang naik sampai 400%.
c) Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah Baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah Baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini menyebabkan meningkatnya angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
Keadaan ekonomi Indonesia terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang tinggi pada dekade 1950-an.
Tabel 3
Perkembangan Inflasi dan Jumlah Uang Beredar (1955-1966)
Tahun Indeks Harga (1954=100) Jumlah Uang Beredar (juta Rupiah)
1955 135 12,20
1956 133 13,40
1957 206 18,90
1958 243 29,40
1959 275 34,90
1960 330 47,90
1961 644 67,60
1962 1.648 135,90
1963 3.770 263,40
1964 8.870 675,10
1965 61.400 2.582,00
1966 152.200 5.593,40
Sumber : Arndt: 1994( dalam Tulus Tambunan: 2009, 21)
Tabel 4
Saldo APBN: 1955-1965 (juta rupiah)
Tahun Pendapatan Pengeluaran Saldo
1955 14 16 -2
1956 18 21 -3
1957 21 26 -5
1958 23 35 -12
1959 30 44 -14
1960 50 58 -8
1961 62 88 -26
1962 75 122 -47
1963 162 330 -168
1964 283 681 -398
1965 923 2.526 -1.603
Sumber: Mas’oed :1989 (dalam Tulus Tambunan: 2009, 20)
Selain kondisi politik dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa Orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan akan faktor-faktor produksi seperti sumber daya manusia, dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan dan keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri) teknologi, dan kemampuan pemerintah untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Pemerintah Indonesia memberikan prioritas utama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri dan rekonstruksi. Akan tetapi akibat keterbatasan faktor-faktor diatas dan kekacauan politik nasional pada masa itu akhirnya pembangunan tidak pernah terlaksana dengan baik.
Pada akhir September 1965 ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi perubahan politik yang drastis di dalam negeri, selanjutnya juga merubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa Orde lama yakni dari pemikiran sosialis ke semi kapitalis. Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut Undang-undang 1945 Pasal 33 menganut suatu sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideologi Pancasila. (Tulus Tambunan: 2006, 33)
Perencanaan, strategi, dan kebijaksanaan pembangunan ekonomi pada masa orde lama:
Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia Strategi Pembangunan Ekonomi Kebijaksanaan yang mendukung dan menghambat tercapainya tujuan ekonomi
1. Periode 1945 - 1950
a. Perencanaan Hatta (1947)
b. Rencana Kasino : Plan Produksi Tiga Tahun RI 1948 – 1950
c. Rencana Kesejahteraan Istimewa 1950 – 1951
Catatan :
1. Periode 1945 – 1950 pada dasarnya masih merupakan periode revolusi yaitu : dalam situasi mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
2. Periode 1945 – 1950 Indonesia memberlakukan 2 Undang-undang Dasar :
a. UUD 1945
b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat Desember 1949 Agustus 1950
Landasan : Pasal 33 UUD 1945
Strategi : Meningkatkan kemakmuran masyarakat dengan cara :
1. Memperbaharui tenaga produktif.
2. Jalan industrialisasi dengan tetap mendasarkan diri sebagai negara agraris.
Mendukung:
1. Kebutuhan negara lain akan produk Indonesia masih tinggi, khususnya barang-barang pertanian sebagai bahan baku industri.
2. Barang sintesis belum dominatif.
3. Fluktuasi harga barang ekspor di Indonesia sewaktu mengalami kenaikan.
4. Pinjaman luar negeri, baik modal asing, merupakan pinjaman yang dianjurkan.
Menghambat:
1. Perekonomian Indonesia belum stabil sebagai akibat masa peralihan dari perekonomian penjajahan (Belanda dan Jepang) ke perekonomian kemerdekaan.
2. Inflasi yang diakibatkan oleh tindakan Belanda yang tetap menginginkan Indonesia sebagai negara jajahannya dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
3. Sangat tergantung pada fluktuasi tingkat harga.
4. Kabinet silih berganti sebagai akibat situasi politik yang belum stabil (agresi Belanda tahun 1947 dan 1948) sehingga tidak ada kebijaksanaan ekonomi yang berkesinambungan.
5. Dana sangat terbatas.
6. Rencana itu sendiri belum / tidak dijabarkan dalam langkah-langkah yang konkret misalnya dalam bentuk alokasi dana.
7. Perhatian pemerintahan masih ditekankan pada mempertahankan kemerdekaan dari serangan / agresi luar.
8. Rencana itu belum mempunyai dasar politis.
1.
2. Periode 1951 - 1955
Perencanaan urgensi perekonomian (1951) diusulkan oleh Sumitro Djojohadikusumo.
Catatan :
1. Periode 1951 – 1955 merupakan periode pemantapan kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia telah diakui secara Internasional tetapi Irian Barat masih belum diserahkan oleh Belanda.
2. Pada periode ini Indonesia memberlakukan UUD sementara dari 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 yang pada dasarnya menggambarkan rapuhnya persatuan diantara bangsa Indonesia sendiri.
3. Rencana Pembangunan Ekonomi ini hanya mencakupi waktu 1951 – 1952.
4. Dari 1952 – 1955 tidak ada rencana pembangunan ekonomi yang disusun oleh pemerintah.
Landasan : Tidak dirumuskan secara eksplisit.
Strategi : Peningkatan kemakmuran masyarakat dengan cara :
1. Mendorong berkembangnya industri-industri kecil.
2. Menggiatkan kemajuan badan-badan kooperasi dan memperkuat organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan untuk usaha perniagaan kecil dan menengah.
3. Mendorong berkembangnya industri berat yang akan menjadi unsur-unsur penyokong yang memudahkan dan memperkuat kemajuan perindustrian dalam negeri di daerah-daerah.
4. Peranan pemerintah diharapkan dominan dalam pelaksanaan rencana ini.
Mendukung :
Perang Korea tahun 1951 yang mengakibatkan penerimaan Indonesia meningkat sehingga relatif ada dana (Korea – boom).
Menghambat :
1. Inflasi yang tidak bisa lagi dikendalikan sebagai akibat defisit anggaran yang semakin meningkat.
2. Penggunaan surplus perdagangan yang tidak terarah.
3. Kebijaksanaan keuangan yang tidak mendorong berkembangnya investasi.
4. Kabinet masih silih berganti yang mengakibatkan tidak adanya rencana / program yang berkesinambungan .
5. Sifat rencana sangat pendek (hanya 2 tahun dan tidak mempunyai dasar politis (tidak ada persetujuan DPR).
3. Periode 1956 - 1960
Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (RTLP) 1956 – 1960.
Catatan :
1. Dalam periode ini kabinet masih tetap silih berganti.
2. Sengketa Irian Barat yang semakin meningkat yang mengakibatkan dinasionalisasikannya perusahaan-perusahaan Belanda.
3. Perkembangan politik dalam negeri semakin panas yang mengakibatkan perkonomian Indonesia berkembang ke arah yang tidak menentu.
Landasan : Secara eksplisit tidak dirumuskan.
Strategi : Meningkatkan pendapatan masyarakat dengan alokasi dana tahunan sebagai berikut :
1. Untuk pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan ..... 13%.
2. Untuk pengairan dan proyek-proyek multi purpose....25%.
3. Untuk alat-alat perhubungan….25%.
4. Pertambangan dan industri….25%.
5. Urusan social (pengajaran, kesehatan, perumahan dan sebagainya)….12%.
Mendukung :
Secara politis Rancangan Undang-undang tentang RLTP ini disetujui oleh DPR.
Menghambat :
1. Dalam pelaksanaan, ternyata garis-garis besar rencana itu perlu dirubah, baik dalam target maupun pembiayaan.
2. Rencana yang disusun tidak / kurang memperhatikan potensi yang ada.
3. Inflasi yang semakin tidak terkendali sebagai akibat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang semakin besar.
4. Pendapatan pemerintah dari ekspor sangat menurun sebagai akibat dari resesi ekonomi yang dialami Amerika Serikat dan Eropa Barat selama akhir 1957 dan permulaan 1958.
5. Terjadinya gangguan keamanan dalam negeri sebagai manifestasi ketegangan antara Pusat dan Daerah. Dengan perkataan lain stabilitas politik tidak ada.
6. Kemampuan administratif untuk menjamin pelaksanaan rencana masih sangat rendah.
4. Periode 1961 – 1965
Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) 1961 – 1965.
Catatan :
1. Periode ini diwarnai oleh perkembangan politik yang semakin panas (pembebasan Irian Barat, anti Malaysia dan juga konflik antar partai politik)
2. Rencana ini terpaksa dihentikan di tengah jalan sebagai akibat adanya pemberontakan PKI tahun 1965 (aksi G.30.S).
Landasan : Manifesto politik no. 1/1960 dan Deklarasi ekonomi 1963.
Strategi : Meningkatkan kemakmuran masyarakat dengan asas Ekonomi terpimpin
Mendukung :
Ada niat untuk membangun dengan suatu rencana yang jelas yang juga diikuti dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu.
Menghambat :
1. Rencana ini tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi yang lazim dianut, antara lain tidak mempertimbangkan dana untuk membiayainya.
2. Defisit Anggaran yang semakin meningakatkan hyper inflasi tahun 1965 (650% tahun) telah merusak sendi-sendi perekonomian secara menyeluruh.
3. Peraturan yang ada tidak dilaksanakan secara konsisten.
4. Stabilitas politik tidak ada, bahkan terjadi pemberontakan PKI tahun 1965.
5. Tenaga pendukung (administrasi) yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan rencana masih sangat lemah bahkan semakin diperlemah karena adanya inflasi yang tidak yang tidak terkendali.
6. Rencana ini pada dasarnya hanya untuk mendinginkan situasi politik yang panas.
5. Periode 1966 – 1969
Periode Stabilisasi Ekonomi 1966 – 1969
Catatan :
1. Dengan pemberontakan PKI tahun 1965, Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana praktis tidak berlaku lagi.
2. Setelah pemberontakan PKI (G.30.S) ditumpas, lahir Orde Baru.
3. Undang-undang Perbankan tahun 1968 diberlakukan.
4. Kebijaksanaan 3 Oktober 1966 yang mengambil langkah-langkah di bidang keuangan negara, moneter dan perdagangan yang berkisar pada :
- Penertiban keuangan negara yang serba sulit
- Pengaturan kembali urusan moneter dan dunia perbankan.
- Memberikan kebebasan kepada dunia perdagangan yang terbelenggu oleh sistem jatah yang tidak wajar dan terbeku oleh peraturan berbelit-belit yang mematikan inisiatif masyarakat.
Kebijaksanaan ini intinya bertujuan membendung inflasi.
Landasan : TAP MPRS no.XXIII/MPRS/1966 yang juga merupakan Garis-garis Besar Haluan Negara yang pertama.
Strategi : Meningkatkan kemakmuran masyarakat (GNP) dengan memperbaharui kebijaksanaan dalam bidang ekonomi keuangan dan pembangunan dengan cara:
1. Penilaian kembali dari semua landasan-landasn kebijaksanaan ekonomi, keuangan dan pembangunan agar diperoleh keseimbangan yang tepat antara upaya yang diusahakan dan tujuan yang hendak dicapai.
2. Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
3. Stabilisasi dan rehabilisasi yang mencakup : (jangka pendek)
- Pengendalian inlfasi.
- Pencukupan kebutuhan pangan.
- Rehabilisasi prasarana ekonomi.
- Peningkatan kegiatan ekspor.
- Pencukupan kebutuhan sandang.
4. Pembangunan yang terencana dan konsisten. (jangka panjang) yang skala prioritasnya adalah :
- Bidang pertanian.
- Bidang prasarana.
- Bidang industri.
Mendukung :
1. Program ini landasi ketetapam MPRS sehingga mempunyai nilai politis.
2. Dalam rencana ini dirumuskan secara tajam adanya skala prioritas nasional yaitu bidang ekonomi.
3. Skala prioritas dalam bidang ekonomijuga menegaskan adanya patokan utama yaitu dilaksanakannya proyek-proyek yang menghasilkan barang dan jasa yang sangat diperlukan bagi keperluan rakyat banyak.
4. Dalam operasionalnya, dibedakan dengan jelas antar program stabilisasi dan rehabilitasi dengan program pembangunan.
5. Dibedakannya antara pembangunan jangka pendek dan jangka panjang dalam pembangunan ekonomi.
6. Diberlakukannya kebijaksanaan dalam bidang ekonomi yang konsisten disertai dengan penertiban keuangan pemerintah melalui kebijaksanaan APBN yang seimbang.
Kebijaksanaan dalam bidang ekonomi tersebut adalah :
a. Peraturan-peraturan 3 Oktober 1968.
b. Peraturan bulan Pebruari 1967.
c. Peraturan 28 Juli 1967.
7. Kehidupan politik yang relatif stabil.
Menghambat :
1. Harga barang-barang ekspor Indonesia di pasaran internasional menurun, dan jug merosotnya hasil produksi barang-barang ekspor, menurunnya mutu, kekurangan bahan-bahan baku / penolong serta peralatannya, keadaan infrastruktur yang menghambat jalannya ekspor.
2. Aspek administrasi yang belum menunjang.
3. Mulai dikembangkannya secara relatif cepat.
4. Peranan sektor pertanian yang masih tinggi.
Sumber : P.C. Suroso : 1997, 126
2.2.4. Berakhirnya Masa Pemerintahan Soekarno
Tak ada yang menyangka sebelumnya, bahwa kekuasaan dapat terguling oleh sebuah keputusan ekonomi. Bermula dari dikeluarkannya, Panpres No. 27 berisi pengaturan kembali nilai mata uang Rupiah. Panpres itu diumumkan Presiden Soekarno pada 13 Desember 1965. Panpres yang pada dasarnya merupakan inisiatif sejumlah menteri yang terkoordinasi di Cipanas itu, mendevaluasi rupiah dari kurs Rp 1000,- (lama) menjadi Rp 1,- (baru). Ini tindakan yang terpaksa diambil karena dibidang kebijakan fiskal, uang yang beredar sudah meningkat 5 kali antara 1964 dan 1965 menjadi Rp 2.982 miliar.
Tentu saja keputusan itu mengejutkan. Apalagi keadaan sosial
ekonomi tengah mengalami penurunan drastis akibat aksi
konfrontasi dengan Malaysia, dan upaya merebut kembali Irian
Barat. Harga sandang-pangan sekonyong-konyong membumbung tinggi.
Sementara orang harus hidup dalam berbagai slogan.
Menyusul kemudian, Menteri Negara Urusan Minyak dan Gas
Bumi, Mayjen dr Ibnu Sutowo, lewat SK tertanggal 3 Januari 1966
menaikkan harga minyak bumi dan bahan bakar. Harga bensin naik 4
kali lipat dari 250 uang lama menjadi Rp 1,- uang baru. Minyak
tanah dari Rp 150,- menjadi Rp400,- yang lama. Akibatnya harga
sarana angkutan ikut naik. Tarif kereta api meningkat 500%.
Barang-barang secara otomatis mengalami kenaikan.
Situasi politik pasca G30-S/PKI masih menyisakan
ketidakpastian. Orang-orang yang anti PKI masih panas, tapi
Presiden Soekarno masih terlalu kuat untuk dilawan. Pihak yang
anti Soekarno - dimotori sekelompok perwira AD dan intelektual
berbasis di kampus; yangjuga bersimpati kepada PSI - melihat
situasi telah dimatangkan sendiri oleh Soekarno. Telah tiba
saatnya untuk bergerak.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang dibentuk tak
berapa lama setelah peristiwa G 30 S dengan dorongan Menteri
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Prof. dr. Sjarif
Thajib, segera beraksi. Pada 6 Januari 1966, KAMI mengeluarkan
pernyataan yang mendesak pemerintah agar segera meninjau semua
keputusan menyangkut harga dan tarif. Namun Pemerintah lewat
Waperdam III Chairul Saleh tetap bergeming. Situasi semakin
panas.
Tanggal 10 Januari, KAMI mulai bikin aksi turun ke jalan. Di
kampus UI Salemba, seusai Kolonel Sarwo Edhie membacakan
sambutan, dibacakan resolusi yang dikenal sebagai resolusi
Tritura. Isi lengkap Resolusi Tritura sebagai berikut:
1. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya;
2. Pembersihan semua alat-alat revolusi termasuk lembaga-lembaga negara dari yang teratas hingga yang terbawah dari unsur/oknum kontrev, kaum profiteur, intrik, dan vested interest.
3. Mengadakan penataan kembali kehidupan mental, politik, ekonomi, sosial, dan budaya berdasarkan prinsip Gotong Royong melalui dialog langsung antara BPR Bung Karno dengan semua alat revolusi lainnya yang telah membuktikan kesetiaan, kemampuan, dan baktinya dalam menghadapi Nekolim, maupun prolog, fakta, epilog Gestapu.
Tak berapa lama muncullah aksi penggembosan ban mobil, penempelan poster dan gelombang demonstrasi. Pasukan elit Resimen
Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), terang-terangan mendukung
KAMI. spekulasi yang melihat Tritura sebagai bagian skenario penjatuhan Presiden Soekarno. Apalagi dalam demo pagi 11 Maret 1966 di depan istana, para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI jelas dilindungi sejumlah prajurit tanpa atribut. Hanya dalam beberapa minggu kemudian isu mulai mengarah kepada pusat kekuatan yaitu Badan Permusyawaratan Rakyat (BPR).
Penyebab lain berakhirnya Pemerintahan Orde Lama selain adanya Tritura juga ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tanggal 11 Maret 1966, kepada Letnan Jenderal Soeharto. Sebenarnya Supersemar hingga saat ini masih dalam kontroversi. Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor. Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu menendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam. Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai surat Supersemar itu tiba. Presiden Soekarno juga merasa bahwa dominasi AD dapat mengancam kekuasaannya, sehingga Presiden mendukung PKI dalam berkonflik dengan AD. Pada akhirnya, munculnya Soeharto sebagai kekuatan baru dalam AD menjadi tokoh yang mampu menumpas G 30 S dan menghancurkan PKI yang merupakan pendukung politik Soekarno.
Wewenang Soeharto sebagai Pengemban SP 11 Maret
selanjutnya meningkat setelah MPRS yang didominasi AD bersidang menghasilkan Ketetapan yang menimbulkan dualisme kepemimpinan secara de jure. Ketetapan MPRS diantaranya dalam hal pembentukan Kabinet Ampera yaitu Presiden bersama-sama Pengemban SP 11 Maret diberi wewenang membentuk kabinet. Kenyataannya, Soeharto yang merupakan ketua presidium kabinet selanjutnya memimpin kabinet dan menguasai jalannya pemerintahan.
Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap. Selain G-30-S/PKI dan Supersemar, Tritura juga merupakan sebab berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama). (Ulul Albab : http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/sejarah/article/view/751)
2.3 Perkembangan Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
2.3.1 Kehidupan Ekonomi
Pengertian Orde Baru adalah susunan atau tatanan perikehidupan rakyat, bangsa dan negara terhadap pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Pemerintahan Orde Baru muncul menggantikan pemerintahan sebelumnya yaitu Orde lama dibawa pimpinan Ir.Soekarno. Dasar pemerintahan Orde Baru adalah Supersemar yaitu surat perintah dari presiden Soekarno tanggal 11 Maret 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto atas nama presiden untuk mengambil tindakan guna terjaminnya keamanan dan ketertiban pemerintah. Tepatnya sejak Supersemar dikeluarkan Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru.
Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh Indonesia dari ideologi Komunis. Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial dan politik serta rehabilitasi ekonomi dalam negeri. Sasaran kebijakan tersebut untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan lima tahun (repelita) secara bertahap dengan target-target yang sangat dihargai oleh negara-negara Barat.
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi seperti rendahnya kesempatan kerja dan besarnya defisit neraca pembayaran. Dengan kepercayaan yang penuh, pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor-sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang besar, dengan sumber dana yang terbatas pada saat itu dirasa sangat sulit untuk memperhatikan pertumbuhan dan pemerataan pada waktu yang bersamaan.
Perencanaan, strategi, dan kebijaksanaan pembangunan ekonomi pada masa orde baru:
Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia Strategi Pembangunan Ekonomi Kebijaksanaan yang mendukung dan menghambat tercapainya tujuan ekonomi
1. Periode 1969/1970-1973/1974 Repelita I
a. Dalam repelita I sasaran utama yang ingin dicapai adalah meningkatkan produksi nasional dengan tetap mempertahankan stabilisasi.
b. Kebijaksanaan industri dilakukan sebagai industri pengganti barang-barang impor (yang perlu diproteksi ) Yang pada dasarnya merupakan benih ekonomi biaya tinggi.
c. Untuk mengatasi kekurangan dana pemerintah memberlakukan kebijaksanaan pinjaman luar negeri dan mengundang modal asing.
Kebijaksanaan ekonomi yang menonjol dalam Pelita I adalah:
7. Peraturan pemerintah no 16 tanggal 17 April 1970
8. Pada tanggal 23 Agustus 1971 pemerintah 23 Agustus 1971 pemerintah mengubah kurs rupiah dari Rp 378,- menjadi Rp 415,- untuk US $ 1.
Pertumbuhan Ekonomi:
1969/70-1970/71:
1970/71-1971/72:
1972/73-1973/74:
1972/73-1973/74:
1973/74-1974/75:
rata-rata : 6,5 % per tahun
Landasan: TAP MPRS XXIII/MPRS/1966
Strategi:
Meningkatkan GNP dan tetap menjaga stabilasasi ekonomi, serta pada saat yang bersamaan meningkatkan investasi disektor yang diprioritaskan (pertanian, prasarana, industri). Sasarannya adalah perombakan struktural perekonomian indonesia.
Mendukung:
1. Tingkat inflasi sudah dapat dikendalikan dan disiplin penggunaan keuangan pemerintah semakin mantap yang nampak dalam penyusuran dan pelaksanaan APBN. Dengan perkataan lain perekononomian nasional sudah semakin stabil.
5. Pemberlakuan kebijaksanaan baru pemerintah di bidang perdagangan, ekspor-impor dan devisa yang dituangkan dalam peraturan pemerintahan RI no 16 tahun 1970.
3. Dialokasikannya dana dalam APBN untuk pembangunan daerah pada umumnya.
6. APBN tetap diperthankan seimbang
7. PMDN dan PMA yang meningkat
8. Situasi politik yang semakin stabil
9. Repelita memiliki dasa politis yang kuat yaitu berpedoman pada TAP MPR
10. Segi administrasi dan kelembagaan yang mulai berkembang (berfungsi)
Menghambat:
1. Dalam perkonomian yang semakin yang semakin terbuka Indonesia semakin dipengaruhi oleh fluktuasi perekonomian internasional
2. Daya beli masyarakat indonesia yang masih rendah, kurang mendukung berkembangnya industrialisasi, khususnya industri pengganti barang-barang impor
3. Semakin dirasakannya perbedaan/kesenjangan pendapatan antar golongan dan juga antar daerah, karena investasi yang dilakukan ternyata padat modal dan terpusat di daerah-daerah tertentu (khusunya kota-kota besar: Jakarta, Surabaya).
4. Krisis Moneter Internasional.
5. Pengawasan pembangunan yang masih lemah.
1.
2. Periode 1974/1975-1978/1979 Repelita II
Catatan:
1.Pada periode ini harga bumi meningkat pesat sehingga meningkatkan dana pembangunan
2.Devaluasi rupiah tanggal 15 nopember 1978, dari Rp 415,-/US$ 1,- menjadi Rp 625,-/US$ 1,-
3.Target pertumbuhan yang ingin dicapai 7,5%
4.Mulai dikembangkan pembanguanan yang berwawasan ruang dengan membentuk wilayah-wilayah pembangunan
5.Krisis pertamina : ketidakmampuan pertamina melunasi utang jangka pendeknya.
6.Krisis beras akibat kemarau panjang
Landasan: GBHN 1973
Strategi: meninggalkan GNP dengan sasaran:
1. Tersedianya pangan dan sandang yang serba cukup dengan mutu yang bertambah baik dan terbeli oleh masyarakat.
2. Tersedianya bahan-bahan perumahan dan fasilitas lain yang diperlukan, terutama untuk rakyat banyak.
3. Keadaan prasarana yang makin meluas dan sempurna.
4. Kesejahteraan rakyat yang lebih baik dan lebih merata.
5. Memperluas kesempatan kerja.
Mendukung :
1. Stabilitas ekonomi tetap dapat dipertahankan yaitu dengan tetap mempertahankan APBN yang seimbang.
2. Harga minyak bumi yang meningkat pesat.
3. Situasi politik yang relatif stabil.
Menghambat :
1. Peranan pemerintah yang semakin dominan menghambat partisipasi masyarakat.
2. Perekonomian Internasional yang mulia dihinggapi krisis yang mengakibatkan menurunnya penerimaan ekspor di luar minyak. Di pihak lain kebutuhan devisa untuk impor meningkat.
3. Periode 1979/1980- 1983/1984 Repelita III
1. Repelita III memberikan perhatian yang lebih mendalam pada peningkatan kesejahteraan dan perluasan kesempatan kerja, peningkatan laju pembangunan di daerah-daerah tertentu, peningkatan kemampuan yang lebih cepat dari golongan ekonomi lemah, pembinaan koperasi, peningkatan produksi pangan dan kebutuhan pokok lainnya, transmigrasi, perumahan, perluasan fasilitas pendidikan, perawatan kesehatan dan berbagai maslah sosial lainnya.
2. Target pertumbuhan yang akan dicapai 6.5%
3. Deregulasi perbankan 1 Juni 1983 mulai diberlakukan. Selama itu masalah ”deregulasi” dan ”debirokratisasi” muncul secara menyolok.
4. Mulai 1 Januari 1984 diberlakukan undang-undang pajak yang baru.
5. Indonesia mulai mendapat swasembada beras.
6. Devaluasi rupiah tanggal 31 Maret 1983 dari Rp 625,- menjadi Rp 970,- per US# 1,-
7. Pemberlakuan keputusan Presiden no.10/1980 tentang sentralisasi pengadaan barang keperluan pemerintah.
8. Inpres no 5/1984
Landasan :
1. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945
2. TAP MPR no. IV/MPR/1978 (GBHN)
3. TAP MPR no.VIII/MPR/1978
4. Keputusan Presiden T.I no.59/M Tahun 1978
Strategi :
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5% dengan berlandaskan pada Trilogi Pembangunan yang meliputi :
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Asas pemerataan sangat tajam dalam Repelita III yaitu dengan dituangkannya 8 (delapan) jalur pemerataan.
Mendukung :
1. Sasaran yang ingin dicapai diikuti oleh kebijaksanaan pada bidangnya yang konsisten.
2. Tingkat inflasi dapat dikendalikan.
3. Situasi ekonomi pada umumnya sudah lebih baik sehingga memungkinkan pertumbuhan, khususnya sektor informal.
Menghambat :
1. Gejala ekonomi dunia yang belum juga mereda.
2. Harga minyak bumi yang mulai mengendor sehingga penerimaan pemerintah.
1.
4. Periode 1984/1985- 1988/1989 Repelita IV
Catatan :
1. Sasaran pertumbuhan dalam Repelita IV adalah 5%.
2. Dalam bidang politik diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi sosial poltik serta organisasi kemasyarakatan lainnya demi kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Deregulasi dan debirokratisasi merupakan kebijakan yang menyolok dalam kurun waktu Repelita IV.
4. Diumumkannya devalusai pada 12 September 1986 yang diikuti dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan devaluasi.
5. Pemberlakuan Inpres no.4/1985 tanggal 4 April 1985 tentang penggunaan SGS sebagai upaya meniadakan biaya tinggi.
6. Pengaktifan kembali penggunaan instrumen moneter berupa fasilitas diskonto utang, sertifikat Bank Indonesia, surat berharga pasar uang.
7. APBN 1986/1987 volumenya secara absolut menurun dari APBN tahun sebelumnya.
8. Rephasing investasi-investasi besar.
9. Pemberlakuan Paket 6 Mei 1986 untuk meningkatkan daya kompetisi ekspor non-migas dan menarik penanaman modal.
10. Pemberlakuan keputusan 25 Oktober 1986 dan 15 Januari 1987 yang pada dasarnya untuk sebagian meniadakan adanya importir tertunjuk.
11. Pembayaran utang luar negeri melalui DSR.
12. Pemberlakuan kebijaksanaan 25 Oktober 1986 dan 15 Januari 1987.
13. Terjadi ”mini krisis” pada September 1984 dan pembelian devisa Desember 1986; yang terakhir ini diatasi dengan ”gebrakan Sumarlin”.
Landasan :
1. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945.
2. TAP MPR no. II/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
3. TAP MPR no. II/1983 tentang pelimpahan tugas dan wewenang kepada Presiden/Mandataris MPR dalam rangka pensuksesan dan pengamanan pembangunan nasional.
4. Keputusan Presiden no.7/1979 tentang Repelita III.
5. Keputusan Presiden no.45/M tahun 1983 tentang pembentukan kabinet pembangunan IV.
Strategi:
Peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan sasaran diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun ringan yang akan terus dikembangkan dalam Repelita selanjutnya.
Sejalan dengan itu pembangunan dalam bidang politik, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain-lain akan semakin ditingkatkan sepadan dan agar saling menunjang dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh pembangunan di bidang ekonomi.
Mendukung :
1. Ekspor barang non-migas dapat meningkat bahkan pada tahun terakhir Repelita IV telah dapat melampaui nilai ekspor minyak bumi.
2. Penerimaan dalam negeri meningkat khususnya setelah diberlakukannya undang-undang Perpajakan 1 Januari 1984.
3. Dilanjutkan dan dikembangkannya pemberian kredit investasi kecil (KIK), kredit modal kerja permanen (KMKP), kredit candak kulah (KCK).
4. Tetap dipertahankannya APBN yang seimbang, inflasi tetap dapat terkendali.
5. Kegiatan investasi tetap berjalan.
Menghambat :
1. Sumber penerimaan dari minyak bumi menurun sangat tajam.
2. Proteksi yang diberlakukan oleh negara-negara maju, khususnya di Amerika Serikat yang merupakan pasar barang ekspor Indonesia terbesar.
3. Perekonomian Internasional yang masih belum menentu.
4. Menurunnya nilai dolar terhadap mata uang asing lainnya sehingga melipat gandakan utang Indonesia.
Sumber : P.C. Suroso : 1997, 130
Sejak masa Orde Lama hingga berakhirnya masa Orde Baru dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami dua orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda, yakni ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada zaman regim Soekarno ke ekonomi terbuka berorientasi kapitalis pada masa pemerintahan Soeharto. Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat kinerja ekonomi nasional pada masa pemerintahan Orde Baru menjadi jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan Orde Lama.
Terdapat beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu sebagai berikut:
1. Kemauan politik yang kuat.
Presiden Soeharto memiliki kemauan politik yang kuat untuk membangun ekonomi Indonesia. Pada masa Orde Lama, karena Indonesia baru saja merdeka, emosi nasionalisme baik dari pemerintah maupun kalangan masyarakat masih sangat tinggi, dan yang ingin ditonjolkan pertama pada kelompok negara-negara Barat adalah ”kebesaran bangsa” dalam bentuk kekuatan militer dan pembangunan proyek-proyek mercusuar.
2. Stabilitas politik dan ekonomi.
Pemerintahan Orde Baru berhasil dengan baik menekan tingkat inflasi dari sekitar 500% pada tahun 1966 menjadi hanya sekedar 5% hingga 10% pada awal dekade 1970-an. Pemerintahan Orde Baru juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok-kelompok masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan sosial adalah jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
3. Sumber daya manusia yang lebih baik.
Dengan sumber daya manusia yang semakin baik, pemerintahan Orde Baru memiliki kemampuan untuk menyusun program dan strategi pembangunan dengan kebijakan-kebijakan yang terkait serta mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
4. Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke barat.
Pemerintahan Orde Baru menerapkan sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke barat. Hal ini sangat membantu, khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, penanaman modal asing serta transfer teknologi dan ilmu pengetahuan.
5. Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik.
Kondisi ekonomi dan politik dunia pada era Orde Baru, khususnya setelah perang Vietnam berakhir atau lebih lagi setelah perang dingin berakhir, jauh lebih baik daripada semasa Orde Lama. (Tulus Tambunan : 2006, 39)
Selama sekitar dua belas tahun (1976-1988) rezim Soeharto mencapai keberhasilan yang luar biasa dalam perekonomian sehingga berhasil swasembada pangan. Jika melihat sejarah dan fakta-fakta yang ada, keberhasilan tersebut karena:
Pertama, prestasi Soeharto diuntungkan dari perang yang terjadi antara Irak dan Iran tahun 1979 sehingga mengakibatkan harga minyak naik. Karena pada tahun 1981, Indonesia merupakan penghasil gas alam cair terbesar di dunia. Sehingga Indonesia mengalami keuntungan dari situasi tersebut.
Kedua, keberhasilan Soeharto pada tahun 1965-1975, karena Indonesia masih mendapatkan dukungan dari negara donor seperti IMF melalui hutang. Sehingga perekonomian Soeharto yang berhasil melakukan swasembada pangan dengan disadari oleh kita semua bahwa pembangunan ekonomi tersebut didanani oleh hutang dari Dana Moneter Internasional. Total utang luar negeri mencapai US$ 20.994 juta pada tahun 1988. Secara berurutan, masing-masing total utang mewakili 29.2, 52.2 dan 64.1% PDB atau merupakan 18.1, 37.3, dan 40.2% rasio pembayaran utang (debt service ratio).
Ketiga, keberhasilan Soeharto dalam menekan inflasi yang dalam dekade itu, tingkat inflasi hanya berkisar antara 10 sampai 20% diuntungkan karena Soeharto berhasil menanggulangi krisis yang melilit Pertamina. Pemerintah mempertahankan perusahaan Krakatau Steel milik Pertamina dan pengembangan pulau Batam, meskipun hanya dalam skala yang lebih kecil. Caltex dan Stanvac dituntut untuk menerima pengurangan keuntungan. Hal ini menghilangkan begitu banyak likuiditas sehingga mengendalikan tekanan inflasi akibat kenaikan harga minyak.
Kondisi ekonomi yang membaik menyebabkan PDB dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia meningkat pada masa tersebut. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5
PDB dan Laju Pertumbuhannya per Tahun : 1969-1990
Tahun PDB (triliun)* Laju Pertumbuhan
Harga Berlaku Harga Konstan Harga Berlaku Harga Konstan
1969 2,7 4,8
1970 3,2 5,2 19,1 7,5
1971 3,7 5,6 13,4 7,0
1972 4,6 6,1 24,3 9,4
1973 6,8 6,8 48,0 11,3
1974 10,7 7,3 58,6 7,6
1975 12,6 7,6 18,1 5,0
1976 15,5 8,2 22,3 6,9
1977 19,0 8,9 23,1 8,9
1978 22,8 9,6 19,5 7,7
1979 32,0 10,2 40,8 6,3
1980 45,5 11,2 41,9 9,9
1981 54,0 12,1 18,9 7,9
1982 59,6 12,3 10,4 2,2
1983 77,6 12,8/77,6** 30,2 4,2
1984 89,9 83,0 15,8 7,0
1985 97,0 85,1 7,9 2,5
1986 102,7 90,1 5,9 5,9
1987 124,8 94,5 21,6 4,9
1988 142,0 99,9 13,8 5,8
1989 162,6 104,5 14,5 7,5
1990 188,5 112,4 15,9 7,2
Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN 1991/1992 dan 1995/96 (dalam Tulus Tambunan : 2009, 25)
Tabel 6
Produk Nasional Bruto dan Laju Pertumbuhan Ekonomi 1971-1976
atas Dasar Harga yang Berlaku (Dalam Milyar Rupiah)
dan atas Harga Konstan 1973
Tahun Produk Nasional Bruto atas Dasar Harga LPE (%) atas Dasar Harga yang Berlaku Produk Nasional Bruto, atas Dasar Harga Konstan LPE (%) atas Dasar Harga Konstan 73
1971 3.605 - 5.465 -
1972 4.405 18 5.896 7,8
1973 6.508 48 6.506 103
1974 10.201 57 6.900 6,0
1975 12.087 18 7.271 5,4
1976 15.035 24 7.790 7,1
Sumber : Nota Keuangan Negara 78/79, Hlm.27-28 disingkat dan diolah kembali (dalam Soeharsono Sagir : 2009,104)
Akan tetapi, hal-hal positif yang dibicarakan di atas tidak mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru tanpa cacat. Kebijakan-kebijakan ekonomi selama Orde Baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi tinggi, dan fundamental ekonomi yang rapuh terlihat pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Hal ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan 1997.
Bencana terbesar lengsernya Soeharto dan kroni-kroninya adalah diakibatkan perekonomian semu yang dibangun dari hutang dan hutang tersebut banyak dikorupsi oleh mereka sehingga defisit anggaran pun tidak bisa ditutupi. Jadi dibalik keberhasilan mereka merupakan keberhasilan yang semu. Sehingga saat ini rakyat yang harus menanggung semua beban hutang tersebut dengan membayar pajak dan penghilangan subsidi. Keberhasilan semu ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 7
Defisit Anggaran Belanja Pembangunan selama Pelita I dan II
(dalam milyar Rupiah)
Tahun Anggaran Belanja Pembangunan Tabungan Pemerintah Defisit Belanja Pembangunan Prosentasi Kemampuan d.n Persentase b.l.n
69/70 118,2 27,2 91,0 23 77
70/71 169,6 56,2 120,4 29 71
71/72 195,9 78,9 135,5 40 60
72/73 298,2 152,5 157,8 51 49
73/74 450,9 254,4 203,9 56 44
74/75 961,8 737,6 232,0 77 23
75/76 1.397,7 909,3 491,6 65 35
76/77 2.054,5 1.276,2 783,8 62 38
77/78*) 2.167,9 1.404,8 763,1 65 35
78/79*) 2.454,7 1.598,4 856,3 65 35
*) angka APBN
**) angka RAPBN.
Sumber : Nota Keuangan Negara 1978/1979, hlm. 168-169; diolah kembali (dalam Tulus Tambunan: 2006, 30)
2.3.2 Krisis Ekonomi Moneter 1997/1998
Presiden Soeharto (1981) menyatakan, bahwa generasi yang akan datang tidak akan memikul beban utang luar negeri. Hal ini dikarenakan, utang luar negeri telah berhasil meningkatkan aset nasional. Tujuh BUMN saja dari investasi pembangunan telah berhasil mecapai aset senilai US$ 235 miliar, dibanding dengan nilai utang luar negeri sebesar US$ 135 miliar. Dengan kata lain, dengan menjual 3 atau 4 BUMN, maka utang luar negeri sudah lunas terbayar, sehingga tidak usah menunggu utang jatuh tempo 20-30 tahun yang akan datang. (Soeharsono Sagir : 2006)
Apa yang dinyatakan Presiden Soeharto, jelas merupakan pernyataan yang tidak tepat. Karena menjual aset sama saja menuju kebangkrutan ekonomi dan karena, pada prinsipnya, utang luar negeri harus dibayar dari hasil pembangunan, bukan dengan menjual aset. Selain itu, BUMN adalah ”babon” dan jika babon dijual, maka hal tersebut sama saja dengan hilangnya sumber penghasilan atau telur yang akan dijual.
Kondisi penjualan aset BUMN telah terjadi sejak defisit anggaran belanja negarakita tidak lagi mampu dibiayai utang luar negeri, sedangkan di lain pihak utang jatuh tempo mendesak wajib dibayar. Terjadilah proses privatisasi BUMN dan aset BLBI untuk menutup defisit APBN, sejak krisis ekonomi melanda negara kita (1997).
Dalam kasus ekonomi makro Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan (1967-1997) utang luar negeri (soft loan) dibukukan sebagai bantuan luar negeri alias hibah dan dimasukkan sebagai pos penerimaan pembangunan, agar ”berimbang” dengan pos belanja pembangunan. Oleh karena dianggap sebagai penerimaan hibah, maka sama sekali tidak ada kesadaran untuk membayar kembali utang di saat jatuh tempo.
Penyebab krisis moneter yang kemudian menjadi krisis ekonomi atau kriris kepercayaan kepada pemerintah adalah lemahnya fundamental ekonomi makro. Kelemahan tersebut jika dibiarkan berlarut akan menjadi sumber kerawanan ketahanan ekonomi nasional, karena krisis moneter dalam arti sempit yaitu kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, tetapi sudah mengarah pada distorsi pasar, kenaikan harga yang tidak masuk akal, sembako menghilang, pengangguran meningkat dan mengarah krisis kepercayaan kepada pemerintah. Apalagi dalam upaya keluar dari krisis, pemerintah menunnjukkan karagu-raguan : mengikuti petunjuk letter of intent IMF, menerapkan Sistem Dewan Mata Uang, IMF plus ataukah meninggalkan keragu-raguan ini disebabkan oleh anggapan reformasi ekonmi IMF sebagai ekonomi liberal yang bertentangan dengan jiwa UUD 45 khususnya Pasal 33.
Sayangnya, pada tanggal 21 Maret 1998, diputuskan untuk membatalkan opsi sistem Dewan Mata Uang. Pembatalan tersebut dikarenakan tidak adanya dukungan IMF atas penerapan CBS dan tidak mencukupinya cadangan devisa. Karena IMF tidak mendukung penerapan CBS, tanpa reformasi ekonomi terlebih dahulu sedangkan tanpa dukungan dana IMF, cadangan devisa tidak mencukupi, maka tanggal 21 Maret 1998, diputuskan CBS batal.
Dari kenyataan tadi, maka jelas kiranya bahwa Kebijakan Ekonomi Orde Baru (1967-1997) telah gagal memanfaatkan utang luar negeri sebagai sumber belanja pembangunan. Utang luar negeri menjadi tidak terkendali sehingga pada akhirnya sejak tahun 1998 pemerintah kita, mulai dari masa kepemimpinan Habibie, Gus Dur, Megawati sampai SBY dihadapkan pada kondidi ”debt trap” alias terperangkap utang luar negeri. Gali lubang tutup lubang, mampu membayar utang jatuh tempo, dengan catatan untuk membangun diperlukan utang Baru ditambah dengan melakukan penjualan aset nasional.
Kondisi pasca-Krisis Moneter 1997, sampai saat ini belum pulih kembali karena pada dasarnya ekonomi makro Indonesia belum mampu bangkit untuk mencapai kondisi ekonomi fundamental yang kuat dan sehat. Kondisi tersebut dapat dilihat dari indikator makro sebagai berikut :
1. Defisit APBN tidak lagi terbatas pada defisit belanja pembangunan, tetapi sudah mencapai defisit untuk belanja rutin. Artinya penerimaan begara dari sumber dalam negeri (fiskal) tidak mencukupi untuk belanja rutin atau artinya tabungan pemerintah menunjukkan angka minus (defisit) akibat dampak besarnya bebean belanja rutin untuk : membayar angsuran pokok utang luar negeri jatuh tempo, utang dalam negeri (BLBI), dan subsidi BBM.
2. Defisit APBN berdampak pada kondisi pemerintah yang nyaris ”default” tidak mampu memenuhi kewajiban utang luar negeri jatuh tempo (Debt Service).
3. Debt Service Ratio (DSR) – nisbah antara kewajiban utang jatuh tempo (debt service) terhadap total ekspor – masi tetap disekitar 40 %, kondisi rawan, aman jika DSR <>50 miliar US$, 2007) masih tetap rawan terhadap capital flight, karena cadangan devisa lebih banyak ditunjang oleh arus modal masuk dari utang dan PMA, bukan hasil ekspor > impor.
8. Kondisi sektor moneter bank belum sehat dan prudent. Bank masih menunjukkan kelebihan likuiditas rata-rata masih dibawah 80% (artinya > 20% dana nganggur). Angka kredit masih macet di sekitar 5 %. Dan alokasi kredit untuk kelompok UMKM masih belum signifikan untuk memicu kesempatan kerja dan sektor riil.
Delapan indikator yang disebut di atas menunjukkan bahwa fundamental ekonomi makro Indonesia masih lemah, belum sepenuhnya mencapai target pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh : perluasan kesempatan kerja, perkembangan harga nilai tukar yang stabil, penggalakan ekspor yang berhasil mendorong pemasaran komoditi ekspor. Juga didukung oleh sektor perbankan – moneter yang telah benar-benar berfungsi sebagai lembaga intermediasi yang sehat, yang mampu menarik dana masyarakat untuk kemudian disalurkan dalam bentuk kredit dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dilihat dari indikator makroekonomi, fundamental ekonomi Indonesia bisa dikatakan kuat hanya jika dilihar dari kriteria pertumbuhan ekonomi. Sedangkan jika dilihat dari indikator / kriteria lainnya, maka akan terlihat kelemahan mendasar ekonomi makro. Kelemahan tersebut tercermin dalam:
1. Tidak adanya korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi tinggi dengan perluasan kesempatan kerja ; distribusi pendapatan tidak merata, kesenjangan sosial antara yang kaya/pemilik aset ekonomi dengan yang miskin/tidak memiliki aset selain sebagai jumlah tenaga kerja yang makin meningkat dan potensial menjadi barisan penganggur. Pertumbuhan ekonomi tinggi tidak merata antarsektor (1991-1996) sektor pertanian tumbuh rata-rata jauh di bawah sektor industri (1:4) demikian pula terhadap sektor jasa (1:3) telah berdampak kesenjangan sosial antarsektor. Laju pertumbuhan ekonomi tinggi (rata-rata=7,5% / tahun) tidak didukung oleh perluasan kesempatan kerja, pengangguran meningkat.
2. Pertumbuhan ekonomi dipacu oleh saving gap (investasi lebih besar dari tabungan) yang mungkin melebar, baik dari kredit bank dalam negeri maupun kredit luar negeri untuk sektor swasta. Sedangkan di sektor pemerintah/publik, pembangunan yang dibiayai dari utang/ bantuan luar negeri semakin meningkat. Kredit sektor swasta berjangka pendek yang dipergunakan untuk pembiayaan jangka panjang khususnya pembangunan properties, resort, rumah mewah, kota satelit yang padat devisa/impor sehingga akan tidak terbayar/ default jika nilai tukar rupiah terus merosot. Akumulasi utang resmi/ pemerintah selama tiga dasawarsa mencapai US$ 63,462 miliar dan utang swasta US$ 73,92 miliar, dengan tptal jumlah US$ 137,424 miliar dan jatuh tempo sebesar US$20,7 miliar (1998/1999), merupakan beban yang sulit terbayar/ kemungkinan default tanpa bantuan dana siaga IMF (US$ 43 miliar, kesepakatan IMF-RI 15 Januari 1998).
3. Perkembangan harga/inflasi dan nilai tukar yang tidak stabil; inflasi terus berkembang dan depresiasi rupiah terhadap valas terus berlangsung. Angka inflasi 1997 mencapai 11,05% dan diperkirakan mencapai 20% (1998) pada tingkat pertumbuhan ekonomi 0%. Nilai tukar rupiah terhadap US $ merosot drastis, dari Rp 2.360/1 US$ (1996), Rp 6.000/1 US$ (1997), Rp 9.000/1 US$ (Maret 1998).
4. Posisi Neraca PEmbayaran yang tidak sehat; deficit neraca berjalan berlangsung dengan angka yang makin besar; cadangan devisa diperoleh dari bentuan/ utang luar negeri, utang komersial/ swasta dan PMA. Revisi neraca pembayaran IMF_RI 1998/1999 diharapkan dapat mencapai surplus Neraca Berjalan US$ 2,267 miliar. Akan tetapi, walaupun diimbangi dengan utang pemerintah/ APBN US$ 9,051 miliar, kondisi ini masih tetap menunjukkan kerawanan, karena lalu lintas modal swasta minus US$ 5,607 miliar dan utang jatuh tempo US$ 20,721 miliar disbanding total ekspor US$ 60,589 miliar. SItuasi ini berdampak pada DSR (nisbah utang jatuh tempo terhadap ekspor)=34,2%.
5. Manajemen utang yang tiak terkontrol, baik utang pemerintah kepada pihak luar negeri maupun utang swasta di dalam negeri (kredit macet perbankan) dan utang luar negeri swasta (utang jangka pendek untuk pembiayaan proyek jangka panjang). Jika untuk menutup deficit APBN 1967, pemerintah hanya membutuhkan dana US$ 200 juta, maka untuk tahun anggaran 1998/1999, kebutuhan devisa/CGI mencapai US$ 9,051 miliar; utang swasta meningkat cepat terkendali sejak tahun 1994, sehingga akumulasinya mencapai US$ 73,962 miliar (1997).
6. Kebijaksanaan ekonomi tidak dilaksanakan oleh aparat birokrasi yang bersih dari kolusi, korupsi, nepotisme, sindikasi dan konspirasi. Sehingga timbul monopoli, kartel dan konglomerat yang menguasai mata rantai proses produksi dari hulu ke hilir dan ekonomi biaya tinggi.
Enam kelemahan tersebut harus ditanggulangi melalui REFORMASI EKONOMI TOTAL bukan hanya reformasi perbankan dengan digantinya Bank Indonesia sebgai Bank Sentral melalui paket CBS (Currency Board System) atau Dewan Mata Uang.
Sebenarnya apa yang terjadi tanggal 11 Juli 1997, dapat dihindari jika otoritas moneter dan pemerintah, memerhatikan peringatan Menko Saleh Affif: ”Pertumbuhan Ekonomi Indonesia saat ini tergolong rapuh hingga jika ekonomi bertumbuh dengan pesat, akan timbul overhead economy.”
Kondisi memanas tersebut terjadi karena suplai uang yang berlebihan, defisit neraca berjalan dan faktor lainnya: ekspor nonmigas cenderung menurun, harga minyak merosot, sementara utang luar negeri makin berat dampak depresiasi US$ terhadap yen Jepang.
Jika tahun 1994 (tiga tahun prakrisisi moneter) negara kita menghadapi kenaikan Debt Service sebagai dampak depresiasi US$ terhadap yen, maka sejak krisis moneter 11 Juli 1997, negara kita dalam kondisi default, sebagai dampak depresiasi Rupiah yang drastis; dari Rp 2.240/ US$ 1/6 Juli 1997, merosot hingga Rp 14.000/ 1US$ / 27 Juli 1998. Ini berarti, baik pemerintah maupun sektor swasta pra krisis moneter (1997) berhutang US$ 5 miliar/ Rp 2,2 triliun; maka di tahun 1998, nilai utang luar negeri saat jatuh tempo menjadi Rp 14 triliun (beban APBN).
Salah satu kelamahan ekonomi makro Indonesia, adalah tingginya suku bunga kredit yang selama tiga dasawarsa pembangunan tidak pernah di bawah dua digit. Kondisi ini tidak terlepas dari ketidakberhasilan otoritas moneter dalam mengendalikan Inflasi dan Nilai Tukar Stabil.
Sebagai upaya menahan rupiah maupun devisa untuk tidak lari ke luar negeri sebagai ekses dari kebijakan devisa bebas maka Bank Indonesia, terpaksa menetapkan suku bunga maksimum 56% / tahun (jangka waktu sebulan) dan 15% untuk valuta asing, US$.
Tingginya suku bunga baik cost of money maupun cost of loan selain merupakan dampak inflasi dan depresiasi, juga merupakan dampak besarnya dana talangan BI (BLBI) untuk BPPN yang digunakan untuk membantu bank terkena BTO dan BBO sebesar Rp 133,3 triliun, ditambah posisi KLBI Rp 19,6 triliun plus uang muka pemerintah untuk menutup defisit belamja negara yang belum dapat ditarik kembali oleh BI melalui penerbitan Sertifikat Bank Indonesia.
Akhirnya biaya rekapitalisai perbankan sejak Agustus 1997 s/d Desember 2000 mencapai tidak kurang Rp 659 triliun, baik dalam nemtuk obligasi/ surat pernyataan utang pemerintah, untuk BLBI, rekapitalisasi Bank Pemerintah, BTO, Bank Swasta, Kredit Program, dan lain-lain.
Laporan Bank Dunia khusus Indonesia April 1997 sebenarnya sudah memberikan peringatan bahwa Indonesia perlu memacu tabungan dalam negeri agar mampu mebiayai investasi dalam negeri dan tidak terlalu tergantung pada kredit luar negeri. Indonesia juga, dalam laporan tersebut, perlu memperkuat fundamental ekonomi makro, kualitas SDM dan pembenahan aparat birokrasi yang bersih, clean government.
Dari catatan yang dikumpulkan di atas, dapat kiranya disimpulkan bahwa krisis moneter 11 Juli 1997 terjadi karena kelainan otoritas keuangan dan moneter terhadap early warning system. Mereka tidak menyadari bahwa:
1. Kondisi fundamental ekonomi makro saat itu lemah, tidak sekuat apa yang dinyatakan oleh pejabat pemerintah, sehingga pemerintah dan pejabatnya terlalu percaya diri; kecuali Menko Saleh Affif (warning), pada tahun 1994 jauh sebelum krisis terjadi.
2. Bank Indonesia tidak mampu berfungsi sebagai otoritas moneter dan lepas kendali dalam pengawasan dan pembinaan bank. Kondisi ini dapat dilihat dari pelanggaran rambu-rambu perbankan yang didiamkan tanpa sangsi; rambu-rambu CAMEL, Prudent Banking System juga dilanggar, serta terjadi moral hazard dan informasi asimetris.
3. Bank Umum tidak lagi berfungsi sebagai lembaga intermediasi, yaitu sebagai penghimpun dana masyarakat untuk disalurkan kepada dunia bisnis guna pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas nasional. Hal ini bisa dilihat dari kredit yang lebih banyak disalurkan kepada konglomerat (pelanggaran BMPK/L3), atau disalurkan untuk kelompok usaha pemilik Bank (Bank memberi kredit atau financiering untuk kelompok sendiri [indikasi moral hazard]), pelanggaran LDR > 110 (overheated economy); terjadi mark up terhadap nilai agunan.
4. Simpanan jangka pendek atau kredit jangka pendek (termasuk kredit valuta asing) digunakan untuk pembiayaan proyek berangka panjang; hingga terjadi kemacetan kredit dan ketidakmampuan bank untuk mengembalikan dana simpanan jatuh tempo. Rush simpanan nasabah inilah yang merupakan penyebab utama krisis moneter 11 Juli 1997.
5. Ekses rezim devisa bebas, managed floating rate, adalah cadangan devisa yang rawan terkuras. Hal tersebut dikarenakan cadangan devisa tidak bersumber dari surplus neraca berjalan tetapi dari utang luar negeri dan PMA. Masalah ini merupakan sumber kedua krisis moneter 11 Juli 1997. Ekses tersebut terjadi karena managed floating rate, merupakan dirty rate yang penuh dengan permainan artifisial-spekulasi.
2.3.3 Runtuhnya Rezim Soeharto
Kamis, 21 Mei 1998 merupakan hari bersejarah dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Hari itulah Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden yang pada hakikatnya menandakan runtuhnya rezim Soeharto (Orde Baru) yang telah berkuasa selama 32 tahun. Peristiwa itu merupakan klimaks dari perjuangan gerakan pro-reformasi yang dimotori oleh mahasiswa. Sejarah telah menemukan putaran baliknya setelah berjalan begitu lamban sejak kejatuhan rezim Orde Lama.
Berkembangnya gagasan-gagasan idealistik tentang reformasi yang lalu mengkristal menjadi isu bersama menumbangkan rezim Soeharto, setidaknya disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, kerapuhan sistem Orde Baru. Pola kekuasaan sentralistik-militeristik telah menumbuh-kembangkan iklim politik yang sangat distortif yang akhirnya merambah ke aspek-aspek kehidupan lain. Sistem yang dibangun lebih didasari oleh motif untuk menjaga status-quo dengan mengabaikan pemberdayaan unsur-unsur masyarakat dan bangsa. Sistem otoriterini telah memunculkan the strong state dimana seluruh unsure-unsur masyarakat dan bangsa sangat bergantung kepada negara.
Pola komunikasi paternalistik menyuburkan hubungan-hubungan tidak wajar dalam perilaku politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dan negara. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi konsekuensi wajar dari pola hubungan ini. Pada gilirannya, budaya KKN ini bukan saja berdampak secara ekonomis, tapi juga politis. Pola hubungan dalam kekuasaan menjadi tidak transparan dan para pelaku kekuasaan cenderung mengembangkan pola tersebut ke lapisan subordinasinya untuk menjamin dan mengokohkan posisi-posisi politiknya.
Sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia bukan saja sebagai budaya pemerintahan, tetapi juga menjadi budaya masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya sistem itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Proses pemerintahan dan bahkan kehidupan masyarakat lebih banyak dipandu oleh hubungan-hubungan distrotif yang sudah menjadi konsensus di bawah tangan. Dan bahkan setiap upaya untuk menjelaskan suatu masalah dengan merujuk kepada sistem sering mengalami jalan buntu. Kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan elit politik menjadi contoh paling konkret dalam hal ini.
Ketika semua hubungan yang terjadi berpangkal pada satu figur kekuasaan yaitu presiden maka banyak pihak menilai bahwa presiden merupakan representasi dari sistem itu sendiri. Di sinilah letak kerapuhan utama Orde Baru. Logika yang dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya adalah apabila figur tunggal kekuasaan jatuh, maka secara bersamaan sistem itu akan ikut runtuh pula
Faktor kedua menguatnya gerakan anti-kemapanan. Selama masa kekuasaannya, orientasi kebijakan politik rezim Orde Baru telah memunculkan dua arus gerakan anti-kemapanan.
Faktor ketiga, krisis ekonomi dan keuangan yang berkepanjangan. Sejak Juli 1997, kawasan Asia dilanda krisis ekonomi yang mempengaruhi kondisi politik. Indonesia merupakan satu-satunya negara yang paling parah dan lama menanggung krisis ekonomi ini. Itu disebabkan kerapuhan sistem ekonomi dan politik Indonesia, sehingga tidak mampu secara cepat mengatasi masalah yang memang sangat dipengaruhi oleh faktor internasional.
Krisis moneter terjadi pada saat Indonesia berada pada titik yang sangat berbahaya, namun justru tidak disadari oleh banyak kalangan. Yaitu tingginya jumlah utang luar negeri dan besarnya ketergantungan impor bahan baku bagi proses produksi di dalam negeri. Depresiasi rupiah mengakibatkan guncangnya seluruh sendi perekonomian Indonesia yang berjalan dengan multiflying effect-nya.
Ketidaksiapan sistem politik (yang distortif) untuk mengambil
kebijakan-kebijakan tepat mengakibatkan berkepanjangannya krisis tersebut
sampai menghancurkan infra-struktur perekonomian nasional. Rontoknya dunia perbankan, terjepitnya sektor ekonomi kecil, macetnya proses produksi dan distribusi menjadi bom waktu yang siap (dan ternyata telah) melahirkan krisis politik dan sosial.
2.4 Perkembangan Perekonomian Indonesia Pada Masa Transisi (Reformasi awal 1998-1999)
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar bath Thailand terhadap dollar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ”jual”. Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, pemerintah Thailand melakukan intervensi dan didukung oleh intervensi yang dilakukan oleh bank sentral Singapura. Apa yang terjadi di Tahiland akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650 per dollar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil.
Menanggapi perkembangan tersebut, pada bulan Juli 1997 Bank Indonesia melakukan empat kali intervensi yakni memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi, pengaruhnya tidak banyak, nilai rupiah dalam dollar AS terus tertekan, dan tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah dalam sejarah, yakni Rp 2.682 per dollar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dollar AS. Dalam aksinya, pertama-tama Bank Indonesia memperluas rentang intervensi rupiah dari 8% menjadi 12%, tetapi akhirnya juga menyerah dengan melepas rentang intervensinya, dan pada hari yang sama Rupiah anjlok ke Rp 2.755 per dollar AS. Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya kurs rupiah terus melemah, walaupun sekali-sekali mengalami penguatan beberapa poin. Pada bulan Maret 1998 nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari-Februari sempat menembus 11.000 rupiah per dollar AS.
Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah buruk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkrit, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 trilyun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut. Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani masalah krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, lebih lagi karena cadangan dollar AS di Bank Indonesia sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi untuk menahan atau mendongkrak kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah Thailand, Filipina dan Korea Selatan.
Pada akhir bulan Oktober 1997, lembaga keuangan internasional mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40 milyar dollar AS, 23 milyar di antaranya adalah pertahanan lapis pertama (front-line defence). Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Ini merupakan awal dari kehancuran perekonomian Indonesia.
Paket program pemulihan ekonomi yang disyaratkan IMF pertama kali diluncurkan pada bulan November 1997, bersama pinjaman angsuran pertama senilai 3 milyar dollar AS. Pertama diharapkan bahwa dengan disetujuinya paket tersebut oleh pemerintah Indonesia, nilai rupiah akan menguat dan stabil kembali. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa nilai rupiah terus melemah sampai pernah mencapai Rp 15.000 per dollar AS. Kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia yang pada waktu itu terus merosot membuat kesepakatan itu harus ditegaskan dalam nota kesepakatan (letter of intent; LoI) yang ditandatangani bersama antara pemerintah Indonesia dan IMF pada bulan januari 1998. Nota kesepakatan itu terdiri dari 50 butir kebijaksanaan-kebijaksanaan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan dan reformasi struktural.
Butir-butir dalam kebijakan fiskal mencakup selain penegasan tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang (pengeluaran pemerintah sama dengan pendapatannya), juga meliputi usaha-usaha pengurangan pengeluaran pemerintah, seperti menghilangkan subsisi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, dan membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar dan peningkatan pendapatan pemerintah. Usaha-usaha terakhir ini akan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menaikan cukai terhadap sejumlah barang tertentu, mencabut semua fasilitas kemudahan pajak, diantaranya penangguhan pajak pertambahan nilai (PPN) dan fasilitas pajak serta tarif bea masuk.
Berbeda dengan Korea Selatan dan Tahilannd, dua negara yang sangat serius dalam melaksanakan program reformasi, pemerintah Indonesia ternyata tidak melakukan reformasi secara baik sesuai kesepakatan dengan IMF. Akhirnya, pencarian pinjaman angsuran kedua senilai 3 milyar dollar AS yang seharusnya dilakukan pada bulan Maret 1998 terpaksa diundur. Padahal, Indonesia tidak ada jalan lain harus bekerja sama sepenuhnya dengan IMF, terutama karena dua hal:
1. Berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korea Selatan, Filipina dan Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri tidak lagi percaya akan kemampuan Indonesia untuk menanggulangi krisisnya, bahkan mereka juga tidak lagi percaya pada niat baik atau keseriusan pemerintah dalam menangani krisis ekonomi di dalam negeri. Oleh karena itu, satu-satunya yang masih bisa menjamin atau memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Indonesia adalah melakukan ”kemitraan usaha” sepenuhnya antara pemerintah Indonesia dengan IMF.
2. Indonesia sangat membutuhkan dollar AS. Pada awal tahun 1998 kebutuhan itu diperkirakan sebesar 22,4 milyar dollar AS atau rata-rata 1,9 milyar dollar AS per bulan. Sementara, posisi cadangan devisa bersih yang dimiliki Bank Indonesia hingga awal Juni 1998 hanya 14.621,4 juta dollar AS, naik dari 13.179,7 juta dollar AS pada akhir Maret 1998. (Tambunan : 2006, 42)
Setelah gagal dalam pelaksanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan-perundingan baru antara pemerintah Indonesia dengan IMF pada bulan Maret 1998 dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998. Hasil-hasil perundingan dan kesepakatan itu dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama “Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan”. Memorandum tambahan ini sekaligus juga merupakan kelanjutan, pelengkap dan modifikasi dari 50 butir LoI pada bulan Januari 1997, yang tetap mencakup kebijakan-kebijakan fiscal dan moneter serta reformasi perbankan (sektor keuangan) dan structural. Ada beberapa perubahan, diantaranya penundaan penghapusan subsidi bahan baker minyak (BBM) dan listrik, dan penambahan sejumlah butir baru. Secara keseluruhan, ada lima memorandum tambahan dalam kesepakatan yang baru ini yakni sebagai berikut :
1. Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah hiperinflasi.
2. Restrukturisasi perbankan, dengan tujuan utama dalam rangka penyehatan sistem perbankan nasional.
3. Reformasi struktural, yang mana disepakati agenda baru yang mencakup upaya-upaya dan sasaran yang telah disepakati dalam kesepakatan pertama (15 Januari 1998).
4. Penyelesaian ULN swasta (corporate debt). Dalam hal ini disepakati perlunya dikembangkan kerangka penyelesaian ULN swasta dengan keterlibatan pemerintah yang lebih besar, namun tetap dibatasi agar proses penyelesaiannya tetap dapat berlangsung lebih cepat.
5. Bantuan untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah). Penyelesaian ULN swasta dan bantuan untuk rakyat kecil merupakan dua hal yang di dalam kesepakatan pertama (Januari 1998) belum ada.
Pada pertengahan tahun 1998, atas kesepakatan dengan IMF dibuat lagi memorandum tambahan tentang kebijaksanaan ekonomi dan keuangan. Akan tetapi strategi menyeluruh stabilisasi dan reformasi ekonomi adalah tetap seperti yang tercantum dalam memorandum kebijaksanaan ekonomi dan keuangan yang ditandatangani pada tanggal 15 Januari 1998. Memorandum tambahan ini memutakhirkan dokumen yang terdahulu untuk menampung perubahan-perubahan yang terjadi setelah Januari 1998 pada situasi perekonomian makro dan prospeknya dan juga menunjukkan bidang-bidang yang strateginya perlu disesuaikan, diperluas atau diperkuat.
Krisis rupiah yang menjelma menjadi suatu krisis ekonomi, akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka. Krisis politik tersebut diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti, tepatnya tanggal 13 Mei 1998 yang dikenal dengan Tragedi Trisakti. Kemudian, pada tanggal 14 dan 15 Mei 1998 kota Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juga dapat dikatakan paling besar dan paling sadis yang pernah dialami Indonesia. Setelah kedua peristiwa tersebut, gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah berlangsung semakin gencar.
Menjelang minggu-minggu terakhir bulan Mei 1998, DPR untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai atau diduduki oleh ribuan mahasiasa dan mahasiswi dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta. Puncak dari keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut, di satu puhak dan dari krisis politik di pihak lain adalah pada tanggal 21 Mei 1998 yakni Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya Dr.Habibie. Tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habibie membentuk kabinet baru, awal dari terbentuknya pemerintah transisi.
Pada awalnya pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Akan tetapi setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintahan baru ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, mereka juga orang-orang rezim Orde Baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata. Bahkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin menjadi-jadi, kerusuhan muncul dimana-mana, dan masalah Soeharto tidak terselesaikan. Akhirnya banyak kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan transisi daripada pemerintahan reformasi. (Tulus Tambunan : 2006, 45 )
Tabel 8
Perkembangan INFLASI di Indonesia (1991-1997, dalam pct)
Bulan 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Januari 0,76 0,44 2,29 1,25 1,16 1,25 1,03
Februari 0,30 0,26 2,03 1,76 1,31 1,70 1,05
Maret 0,03 0,65 1,49 0,70 0,57 -0,61 -0,12
April 1,89 0,92 0,15 0,24 1,69 1,70 0,56
Mei 0,18 0,11 0,14 0,52 0,4 0,06 0,19
Juni 0,44 0,65 0,24 0,12 0,16 -0,07 -0,17
Juli 1,89 0,23 0,67 1,37 0,71 0,68 0,66V
Agustus 1,90 0,16 0,32 0,89 0,32 0,27 0,88
September 0,12 0,20 0,28 0,53 0,38 -0,04 1,29
Oktober 0,76 0,41 0,59 0,89 0,64 0,41 1,99
November 1,06 0,25 0,41 0,45 0,42 0,57 0,65
Desember 0,19 0,66 0,33 0,52 0,50 0,55 2,04
TOTAL 9,52 4,94 9,24 9,24 8,64 6,47 11,05
Sumber : KOMPAS, 3 Maret 1998 (dalam Soeharsono Sagir : 2009, 118)
Tabel 9
Perkembangan Beberapa Indikator Ekonomi Indonesia
Sejak Krisis Ekonomi 1998
Indikator 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Pertumbuhan PDB riil (%) -13,1 0,8 4,9 3,8 4,3 4,9 5,1 5,7 5,5 6,3 6,0
PDB nominal 96 140 166 164 200 239 258 287 364 433 497
PDB per kapita (US$) 977 694 742 697 948 1117 1191 1308 1641 1925 2183
Pertumbuhan ekspor (%) -8,6 -0,4 27,7 -9,3 5,0 8,4 12,0 19,7 17,7 13,2 7,0
Pertumbuhan Impor (%) -34,4 -12,2 39,6 -7,6 15,1 10,9 27,8 24,0 5,8 22,0 12,0
Neraca Perdagangan (miliar US$) 21,5 24,7 28,6 25,4 23,5 24,6 21,2 28,0 39,7 39,6 39,1
Transaksi berjalan (% PDB) 4,3 4,1 4,8 4,2 3,9 3,4 1,1 0,1 3,0 2,5 1,6
Sumber : Citigroup (dalam Tulus Tambunan: 2009, 35)
2.5 Perekonomian Masa Reformasi (1999-2009)
Pada pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilihan umum, yang akhirnya dimenangi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai Golkar mendapat posisi ke dua, yang sebenarnya cukup mengejutkan banyak kalangan di masyarakat. Bulan Oktober 1999 dilakukan SU MPR dan pemilihan Presiden diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 1999. KH Abdurachman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI keempat dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden. Tanggal 20 Oktober menjadi akhir daripada pemerintahan transisi dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering disebut pemerintahan Reformasi.
2.5.1 Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur 1999-2001)
Pada awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Presiden Wahid, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk investor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan kesungguhan Gus Dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), supremasi hukum, hak asasi manusia (HAM), penembakan Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, peranan ABRI di dalam politik, masalah disintergrasi lainnya.
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif, walaupun tidak jauh dri 0%, dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi, dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah Gus Dur terpilih sebagai Presiden tidak berlangsung lama. Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung bersikap diktator dan praktik KKN di lingkupnya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan daripada gerakan reformasi. Ini berarti bahwa rezim Gus Dur, walupun namanya pemerintahan Reformasi di era demokratisasi, tidak berbeda dengan rezim orde baru. Sikap Gus Dur tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah dikeluarkannya peringatan resmi kepada Gus Dur lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum I dan II, Gus Dur terancam akan diturunkan dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia jika usulan percepat Sidang Istimewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan Gus Dur, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri; juga pertikaian elit politik semakin besar.
Selain itu hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdulrrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah-masalah seperti amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, penerapan otonomi daerah terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang drai luar negeri, dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda penciran bantuannya kepada pemerintah Indonesia. Pada hal rod perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor), karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo pada tahun 2002. Bahkan Bank Dunia juga sempat mengncam akan menghentikan pinjaman baru, jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdulrrahman Whid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Hal ini ditambah lagi dengan burukny hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegitan bisnis atau menanam modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa Gus Dur cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan Habibie. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service menginformasikan bertambah buruknya risiko negara Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, tetapi karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial lembaga rating lainnya.
Pada waktu itu banyak orang menduga bahwa apabila kondisi itu terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Gus Dur dan kabinetny tidak menunjukkan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip “once and for all “. Pemerintah Gus Dur cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agend masalah amandemen UU BI, masalah desentralisasi fiskal, masalah restrukturisasi utang, dan masalah divestasi BCA dan Ban Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang kontroversial dan inkonsisten, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya ”sense of crisis” terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Misalnya, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian di dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat pada umumnya terhadap prospek perekonomian Indonesia yang paling tidak untuk periode jangka pendek.
Indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat pada umumnya terhadap pemerintahan Gus Dur adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar 7000, dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, yang menembus level Rp 10.000,- per dolar. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan intevensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun pada 12 Maret 2001, ketika istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur untuk mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot. Pada bulan April 2001 sempat menyentuh Rp 12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdulrrahman Wahid terpilih sebagai presiden Republik Indonesia, berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bis membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku maupun barang-barang konsumsi. Kedua, utang luar negeri Indonesia dalam nilai dolar AS baik dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar. Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit, dan cadangan devis pda minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 miliar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS. MPR mengadakan Sidang Istimewa pada tanggal 21 Juli 2001. Hasil sidang tersebut memutuskan memberhentikan Presiden Abdurrahman sebagai Presiden dan melantik Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Indonesia.
2.5.2 Masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001-2004)
Setelah Presiden Wahid turun, Megawati menjadi Presiden Indonesia yang ke lima. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa Pemerintahan Gus Dur. Meskipun IHSG dan nilai tukr rupiah meningkat cukup signifikan sejak diangkatnya Megawati menjadi Presiden melalui Sidang Istimewa (SI) MPR, posisinya tetap belum kembali pada tingkat pada saat Gus Dur terpilih menjadi Presiden.
Keterpurukan kondisi ekonomi yang ditinggal Wahid kian terasa jika dilihat dari perkembangan indikator ekonomi lainny, seperti tingkat suku bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan defisit APBN. Suku bunga untuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) misalnya, pada awal pemerintahan Megawati mencapai di atas 17%, padahal saat awal pemerintahan Wahid hanya sekitar 13%. Bersamaan dengan itu, tingkat suku bunga deposito perbankan juga ikut naik menjadi sekitar 18%, sehingga pada masa itu menimbulkan kembali kekhawatiran masyarakat dan pelaku bisnis.
Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Menurut data BPS , inflasi tahunan pada awal pemerintahan Wahid hanya sekitar 2%, sedangkan pada awal pemerintahan Megawati, atau periode Januari-Juli 2001 tingkat inflasi sudah mencapai 7,7%. Bahkan laju inflasi tahunan selama periode Juli 2000-Juli 2001 sudah mencapai 13,5%. Perkembangan ini pada saat itu sangat mengkhawatirkan karena dalam asumsi APBN 2001 yang sudah direvisi, pemerintah menargetkan inflasii dalam tahun 2001 hanya 9,4%.
Namun demikian, dalam era Megawati kinerja ekonomi Indonesia menunjukkan perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB yang semakin membaik yakni sekitar 5,6%. Masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang hanya berlangsung selama tiga tahun (2001-2004) dan cukup berhasil mengurangi ketergantungan serta berhasil meningkatan pertumbuhan industri pengolahan sebesar 6,4 persen. Sementara itu, Presiden Soesilo hanya sebesar 4,6 persen. Selain parameter tersebut, Presiden Hj Megawati Soekarnoputri juga berhasil menurunkan tingkat ketergantungan ekonomi Indonesia dari luar negeri dengan jumlah hutang luar negeri pemerintah sebesar 78,25 milyar USD. Sedangkan masa pemerintahan saat ini meningkatkan jumlah hutang luar negeri pemerintah menjadi sebesar 88 milyar USD. tingkat pengangguran terdidik lulusan SMA dan perguruan tinggi pun cenderung meningkat pada masa pemerintahan sekarang, yaitu sebesar 4,51 di tahun 2008 berbanding 4,28 persen di tahun 2004, dan 1,14 persen pada tahun kemarin, berbanding 0,58 persen di tahun 2004. Artinya terjadi peningkatan angka pengangguran dari kalangan masyarakat terdidik. Aspek lainnya adalah harga sembako. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri harga sembako masih terjangkau karena rata-rata inflasi bahan makanan sebesar 4,8 persen.
(Robby Alexander:http://www.tempo.co.id/110909/artikel/kolom3.htm)
2.5.3 Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY 2004-2009)
Pemilihan Umum untuk memilih presiden secara langsung dilaksanakan dua kali putara. Putaran pertama pada tanggal 5 Juli 2004 dan putaran kedua pada tanggal 20 September 2004. Terpilih sebagai presiden dalah Susilo Bambang Yudhoyono dan sebagai wakil presiden Jusuf Kalla. Pemilihan Presiden dan wakil presiden oleh rakyat secara langsung ini merupakan pertama kali dalam sejarah di Indonesia. Sistem ini merupakan salah satu hasil dari gerakan reformasi di Indonesia.
Pada bulan-bulan pertama pemerintahan SBY, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar dan dalam negeri maupun negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan kan jauh lebih baik dibandingkn pada masa pemeritahan-pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser.
Kabinet SBY dan lembaga-lembaga dunia tersebut menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahu 2005 akan berkisar sedikit di atas 6%. Target ini dilandasi oleh asumsi bahwa kondisi politik di Indonesia akan terus membaik dan faktor-faktor eksternal yang kondusif (tidak memperhitungkan akan adanya gejolak harga minyak di pasar dunia), termasuk pertumbuhan ekonomi dari motor-motor utama penggerak perekonomian dunia, seperti AS, Jepang dan China akan meningkat. Namun, pada pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh dua peristiwa yang tak terduga sama sekali, yakni naiknya harga minyak mentah (BBM) di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dua hal ini membuat realisasi pertumbuhan PDB tahun 2005 lebih rendah dari target tersebut.
Kenaikan harga BBM di pasar internasional dari 45 dolar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 dolar AS per barrel awal Agustus 2005 sangat tidak menguntungkan Indonesia. Walaupun Indonesia merupakan salah satu anggota OPEC, Indonesia juag impor BBM dalam jumlah yang semakin besar dalam beberapa tahun belakangan. Akibatnya Indonesia bukan saja menjadi net oil importer, tetapi juga sudah menjadi negara pengimpor BBM terbesar di Asia, jauh melebihi impor BBM Jepang yang bukan penghasil minyak. Tahun 2010 impor BBM di Indonesia diprediksi akan mencapai sekitar 60% dan tahun 2015 akan menjadi sekitar 70% dari kebutuhan BBM dalam negeri. (Kurtubi dalam Tulus Tambunan: 2006, 52).
Tingginya impor BBM Indonesia disebabkan oleh, di satu pihak, konsumen minyak dalam negeri yang meningkat pesat setiap tahunnya mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk, perkembangan kegiatan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita, dan di sisi lain, kapasitas kilang minyk di dalam negeri masih sangat terbatas.
Kenaikkan harga minyak ini menimbulkan tekanan yang sangat berat terhadap keuangan pemerintah (APBN). Akibatnya, pemerintah terpaksa mengeluarkan suatu kebijakan yang sangat tidak populis, yakni mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar dalam negeri meningkat tajam. Kenaikkan harga BBM yang besar untuk industri terjadi sejak 1 Juli 2005. Harga solar untuk industri dari Rp 2.200,- per liter menjadi Rp 4.750,- per liter (naik 115%). Tanggal 1 Agustus 2005, kenaikan harga minyak tanah untuk industri dari Rp 2.200,- per liter menjadi Rp 5.490,- per liter (naik 93%). Tanggal 1 Oktober 2005, pemerintah menikkan lagi harga BBM yang berkisar antara 50% hingga 80%. Diperkirakan hal ini kn sangat berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi domestik, terutama pada periode jangka pendek karena biaya produksi meningkat.
Secara teori, dampak negatif dari kenaikkan harga BBM terhadap kegiatan atau pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan. Kenaikkan harga BBM di pasar dunia jelas akan membuat defisit APBN tambah besar karena ketergantungan Indonesia tehadap impor BBM semakin besar. Defisit APBN yang meningkat selanjutnya akan mengurangi kemampuan pemerintah lewat sisi pengeluarannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara di sisi lain, kenaikkan harga BBM akan mengurangi kegiatan produksi (Q) di dalam negeri akibat biaya produksi (BP) meningkat, yang selanjutnya berdampak negatif terhadp ekspor (X) yang berarti pengurangan cadangan devisa (CD). Menurunnya kegiatan ekonomi/produksi menyebabkan berkurangnya pendapatan usaha yang selanjutnya akan memperbesar defisit APBN karena pendapatan pajak berkurang, Harga BBM yang tinggi juga akan mendorong inflasi di dalam negeri. Semua ini akan berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja atau akan meningkatkan pengangguran (U) dan kemiskinan (P). Kenaikan pengangguran tau kemiskinan juga akan menambah defisit APBN karena menurunnya pendapatan pemerintah dari pajak pendapatan, sementara di sisi lain pengeluaran pemerintah terpaksa ditambah untuk membantu orang miskin. Juga peningkatan kemiskinan akan memperburuk pertumbuhan ekonomi lewat efek permintaan, yakni permintaan di dalam negeri berkurang. Penjelasan diatas dapat diilustrasikan dalam suatu sistem keterkaitan di bawah ini :
Gambar 1
Efek dari Kenaikan Harga BBM terhadap Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia
Kenaikan harga minyak ini juga menjadi salah satu penyebab terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah berlangsung sejak Januari 2005 dengn votalitas yang semakin tinggi, walaupun sempat ada perbaikan menjelang akhir April hingga sekitar pertengahan Mei 2005. Pada bulan Juli 2005, nilai rupiah sudah mendekati Rp 10.000,- per satu dolar AS. Hingga akhir tahun 2005, rupiah diperkirakan akan tetap berada di atas Rp 9.500 per dolar AS. Secara fundamental, terus melemahnya nilai tukar rupiah terkait dengan memburuknya kinerja neraca pembayaran (balance of payment), di samping danya faktor sentimen penguatan dolar AS secara global. Pengaruh dari faktor-faktor nonekonomi juga berperan tehadap terus melemahnya rupiah, terutama rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi di dalam negeri yang berlebihan yang membuat mereka menukarkan rupiah dengan dolar AS, terutama mengenai perkiraan dmpak negatif dari kenaikan harga minyak terhadap perekonomian nasional. Selain itu, sejak krisis ekonomi 1997/1998, faktor spekulasi juga memberi sumbangan yang besar terhadap gejolak rupiah. Kondisi tersebut menyebabkan permintaan dolar di pasar domestik meningkat. Sementara itu, pasokan dolar AS ke dalam negeri juga masih terbatas karena kecilnya ekspor neto.
Sesuai teori, dengan asumsi faktor-faktor lain tetap tidak berubah, melemahnya rupiah akan membuat ekspor Indonesia meningkat, sedangkan impornya berkurang. Namun, pengalaman Indonesia selama krisis ekonomi 1997/1998 menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ternyata tidak terlalu elastis terhadap pergerakan rupiah dan masalah suplai ini hingga saat ini belum hilang sama sekali. Artinya, pengaruh dari melemahnya rupiah kali ini bisa sangat kecil terhadap peningkatan ekspor Indonesia. Sementara itu, Indonesia sudah sangat tergantung pada impor barang-barang kebutuhan pokok, mulai dari barang-barang konsumsi, seperti makanan dan susu, hingga barang-barang modal dan peralatan produksi serta bahan baku, seperti minyak yang membuat impor Indonesia juga kurang elastis terhadap pergerakan rupiah.
Kombinasi antara kenaikkan harga BBM dan melemahnya nilai rupiah akan berdampak pada peningkatan laju inflasi. Secara fundmental, tingginya inflasi di Indonesia disebabkan oleh masih tingginya ekspektasi inflasi terkait dengan kebijakan pemerintah mengenai kenaikan dan perkembangan nilai tukar rupiah yang cenderung terus melemah. Melemahnya nilai tukar rupiah memberi tekanan terhadap inflasi di dalam negeri, terutama karena tingginya ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap impor, tetapi dengan tingkat yang lebih rendah dibandingkn dengan rata-rata historisnya. Seperti pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, pemerintahan SBY juga berusaha menahan tingkat inflasi serendah mungkin atau paling tidak tetap dalam satu digit. (dapat dilihat dalam tabel)
Tabel 10
Tingkat Inflasi Indonesia periode Juli 2008 - Juli 2009
Bulan dan tahun Tingkat inflasi
Juli 2009 2.71 %
Juni 2009 3.65 %
Mei 2009 6.04 %
April 2009 7.31 %
Maret 2009 7.92 %
Februari 2009 8.60 %
Januari 2009 9.17 %
Desember 2008 11.06 %
November 2008 11.68 %
Oktober 2008 11.77 %
September 2008 12.14 %
Agustus 2008 11.85 %
Juli 2008 11.90 %
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Inflasi_dan_perekonomian_Indonesia
Menjelang akhir masa jabatan SBY yang akan berakhir tahun 2009, perekonomian Indonesia menghadapi dua goncangan eksternal, yakni harga BBM yang terus naik dan kenaikkan harga pangan di pasar global. Kenaikkan harga BBM yang terus menerus sejak tahun 2005 memaksa pemerintah menaikan lagi harga BBM, terutama premium, di dalam negeri pada tahun 2008. Kedua goncangan eksternal tersebut sangat mengancam kestabilan perekonomian nasional, khususnya tingkat inflasi. (Tulus Tambunan : 2006, 55)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perekonomian Indonesia dari masa ke masa mengalami pasang surut. Dimulai dari masa penjajahan ketika masuknya VOC di Indonesia dengan sistem dan cara yang licik guna menguasai rempah-rempah. Disusul kedatangan Perancis dan Inggris yang secara bergantian menguasai dan bertindak semena-mena terhadap bangsa Indonesia. Selain itu, Indonesia juga mengalami masa Cultuurstelstel, dimana pemerintah Belanda memberlakukan tanam paksa untuk komoditi rempah-rempah yang kemudian di monopoli oleh Belanda. Belanda juga melakukan sistem ekonomi pintu terbuka (liberal) sehingga Indonesia banyak didatangi oleh pedagang-pedagang dari Inggris, Belgia, Perancis, Amerika, China dan Jepang. Namun sistem ini menyengsarakan para kuli kontrak yang tidak diperlakukan dengan layak. Kemudian, Jepang pun sempat menguasai Indonesia dengan militernya yang kejam. Walaupun hanya 3,5 tahun menduduki Indonesia. Jepang banyak meninggalkan jejak penderitaan mendalam bagi rakyat Indonesia, diantaranya banyak hail bumi yang dirampas guna keperluan militer Jepang yang sedang berperang, kekerasan seksual bagi kaum perempuan oleh tentara militer dan juga kerja paksa untuk pembangunan militer Jepang.
Setelah kemerdekaan, Indonesia tidak lantas berbahagia dengan hal itu, pasalnya, masih banyak gangguan dari pihak penjajah (Belanda) yang ingin menguasai kembali Indonesia. Gejolak ekonomi masih memanas di awal pemerintahan Orde lama karena goyahnya kondisi politik dan sosial bangsa. Pergantian kabinet dalam waktu singkat, sistem ekonomi yang msih labil, pemberontakan dari dalam negeri sampai ketidaksamaan pandangan ideologi negara dari para pemimpin bangsa saat itu, berdampak pada goyahnya perekonomian bangsa dengan inflasi yang tinggi, pengangguran dimana-mana, kemiskinan merajalela dan masih banyak yang lainnya.
Memasuki masa orde lama pun gejolak politik mewarnai terbentuknya pemerintahan dengan pemimpin yang baru yakni Soeharto. Namun sedikit lebih baik dari masa sebelumnya, beliau menerapkan sistem ekonomi liberal yang jelas dengan program pembangunannya. Gejala perbaikan dan manfaat yang di dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dengan naiknya angka pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Dengan kebaikan yang didapat dan dirasakan masyarakat, ternyata semua kenikmatan tersebut menghasilkan utang luar negeri yang berlimpah dan diwariskan pada rakyat dan pemerintah setelah orde baru hingga saat ini. Selain itu juga adanya Krisis Moneter yang melanda Kawasan Asia, membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Sehingga menyumbangkan rezim soeharto yang diwarnai dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme pada tanggal 21 mei 1988. Kemudian rezim yang berkuasa selama 32 tahun tersebut digantikan oleh masa reformasi.
Sebelum masa reformasi, terjadi masa transisi terlebih dahulu yang dipimpin kurang lebih satu tahun oleh Presiden B.J. Habibie. Presiden Soeharto memberikan mandatnya pada beliau yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden. Masa transisi ini tidak banyak berpengaruh pada perekonomian karena masih mewarisi orde lama dan saat itu masih dalam tahap pembaharuan.
Tahun 1999, diadakan pemilu pertama masa reformasi. Pada saat itu Abdurrahman Wahid terpilih namun pemerintahannya tidak berlangsung lama karena Gusdur sering bertindak dan berucap kontrovesial, sehingga pemerintahannya jatuh pada 20 Oktober 2001. Kemudian digantikan oleh Megawati Soekarno Putri. Pemerintahan Megawati juga banyak mengundang polemik, pasalnya banyak aset negara misalnya, perusahaan BUMN yang sahamnya dijual ke publik bahkan dibeli oleh pihak asing. Pada tahun 2004 dilaksanakan Pemilu langsung oleh rakyat yang pertama kalinya, dan terpilihlah pasangan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla yang membawa visi dan misi guna membangun perekonomian Indonesia. Dapat dirasakan saat ini belum ada perbaikan yang signifikan di bidang ekonomi, namun pertumbuhan ekonomi sudah mulai berkembang.
3.2 Saran
Sejarah merupakan gambaran kronologis mengenai peristiwa-peristiwa masa lalu. Tujuannya sendiri agar kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahan masa lampau dan menjadikannya sebagai pengalaman dan pembelajaran hidup. Pada masa penjajahan, Indonesia dijajah secara wilayah, politik dan juga ekonomi. Di masa tersebut, wilayah Indonesia masih terbagi-bagi dalam beberapa kerajaan sehingga tidak adanya persatuan dan kesatuan serta kondisi ekonomi masa itu masih sangat tradisional. Dalam hal ini persatuan dan kesatuan bangsa serta utuhnya wilayah menjadi sangat penting untuk membangun sitra Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah masa penjajahan, kita berhasil merebut kemerdekaan. Indonesia secara wilayah, politik dan ekonomi kembali utuh dalam wadah NKRI. Di masa Orde Lama ini banyak peristiwa-peristiwa yang menggoyahkan keutuhan bangsa, diantaranya Belanda yang masih ikut campur dalam urusan ekonomi dan ingin menguasai kembali, pemberontakan dalam negeri, bahkan ideologi negara yang masih dipertanyakan. Kondisi tersebut seharusnya ditangani oleh para pemimpin bangsa dengan mempersatukan dan meningkatkan nasionalisme bangsa untuk bersatu dan bersama mengisi kemerdekaan dan memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Melewati masa Orde lama membuka lembaran baru dengan pemerintahan Orde Baru. Masa Orde Baru ini dipimpin oleh Presiden Soeharto dengan rencana-rencana pembangunannya. Namun hal ini menjadi semu, tatkala pembangunan Indonesia dibiayai dari utang luar negeri dan budaya korupsi di berbagai kalangan. Oleh sebab itu, pemerintahan di suatu negara tidak boleh dikuasai satu pemimpin dalam waktu yang lama karena akan menumbuhkan benih-benih budaya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Setelah masa Orde Baru runtuh, kita memasuki babak awal kehidupan reformasi, dimana Presiden Soeharto memberikan mandatnya pada Wakil Presiden B.J. Habibie untuk memimpin bangsa Indonesia. Beliau memimpin kurang lebih selama satu tahun dan dalam kurun waktu tersebut banyak undang-undang yang dihasilkan berkaitan dengan masalah hukum dan sosial masyarakat. Dalam hal ekonomi, Indonesia masih dalam keadaan yang buruk pasca krisis moneter. Seharusnya pemerintah memprioritaskan perekonomian yang kacau balau serta memperbaiki terlebih dahulu masalah ekonomi tersebut guna mensejahterakan rakyat yang terkena dampak krisis moneter.
Di masa reformasi pun, rakyat Indonesia belum mendapatkan kenikmatan yang seutuhnya. Justru kesejahteraan menjadi barang langka bagi rakyat Indonesia. Kepemimpinan masa reformasi yang masih diwarnai dengan gejolak politik membuat kondisi ekonomi dan sosial masyarakat belum dapat menjadi prioritas. Oleh karenanya, diperlukan kebijakan-kebijakan yang mendorong usaha perekonomian dan berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Para pemimpin bangsa pun diharapkan untuk dapat bertindak adil dan memikirkan serta memprioritaskan kepentingan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar