MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA
EKONOMI PERTANIAN INDONESIA
Ditujukan intuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah perekonomian Indonesia.
Dosen : Drs. Jajang W Mahri, M.Si.
Lizza Suzanti, S.Pd.
Disusun Oleh:
Yayat Rahmat Hidayat
Iim Yuliawati
Irwan Gunawan (0608963)
(0608966)
(0608734)
JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
EKONOMI PERTANIAN INDONESIA
Ditujukan intuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah perekonomian Indonesia.
Dosen : Drs. Jajang W Mahri, M.Si.
Lizza Suzanti, S.Pd.
Disusun Oleh:
Yayat Rahmat Hidayat
Iim Yuliawati
Irwan Gunawan (0608963)
(0608966)
(0608734)
JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sektor pertanian merupakan sektor terpenting yang harus ada pada suatu negara. Hal ini karena tidak ada satupun negara yang bisa hidup tanpa pertanian. Bisa dibayangkan apabila suatu negara tidak memperhatikan sektor pertaniannya, maka disana akan terjadi krisis pangan yang akan menyebabkan kelaparan di negara tersebut. Meskipun negara tersebut bisa mengimpor hasil pertanian dari negara lain tetapi itu tidak bisa selalu diandalkan karena hubungan diplomatik/politik suatu negara seringkali mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perekonomian terutama pada sektor perdagangan internasional (ekspor-impor).
Indonesia merupakan negara agraris, yaitu negara yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Disamping itu Indonesia mempunyai lahan pertanian yang sangat besar dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal itu dikarenakan Indonesia mempunyai tanah yang sangat subur, sehingga Indonesia sangat berpotensi menjadi negara yang bisa menghasilkan produk-produk pertanian yang sangat besar. Kebutuhan suatu negara akan pertanian tidak pernah menurun, bahkan semakin hari kebutuhan akan pertanian semakin meningkat. Hal ini dikarenakan semakin banyak penduduk suatu negara maka kebutuhan akan hasil pertanian menjadi semakin besar karena tidak ada seorangpun yang bisa hidup tanpa hasil pertanian (makanan). Oleh karena itu Indonesia seharusnya bisa mendapatkan penghasilan yang sangat besar dari sektor pertanian ini. Banyak sekali hasil pertanian Indonesia yang tidak dihasilkan di negara lain. Sehingga dari sini Indonesia bisa dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lain pada sektor pertanian ini.
Tetapi dalam perkembangan sejarah perekonomian Indonesia tidak seperti apa yang kita semua harapkan. Bahkan Indonesia seringkali malah menjadi negara pengimpor beras, yang merupakan salah satu makanan pokok sebagian besar penduduknya. Sangat ironis bagi sebuah negara yang sebagian besar penduduknya adalah petani tetapi tidak bisa memenuhi kebutuhan akan beras yang merupakan makanan pokoknya. Dalam sejarah perekonomian Indonesia, Indonesia hanya sekali mengalami swasembada beras yaitu pada Pelita kelima pada pemerintahan orde baru. Bahkan Indonesia seringkali mengalami defisit beras sehingga harus mengimpor dari negara lain.
Pertanian adalah kebutuhan yang tidak akan pernah berhenti untuk dijadikan komoditas bisnis baik secara makro maupun mikro, karena pertanian adalah kebutuhan dasar bagi bangsa dan perekonomian Indonesia. Walaupun sumbangsih nisbi (relative contribution) sektor pertanian dalam perekonomian diukur berdasarkan proporsi nilai tambahnya dalam membentuk produk domestik bruto atau pendapatan nasional tahun demi tahun kian mengecil, hal itu bukanlah berarti nilai dan peranannya semakin tidak bermakna. Nilai tambah sektor pertanian dari waktu ke waktu tetap selalu meningkat. Mayoritas penduduk Indonesia, yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan, hingga saat ini masih menyandarkan mata pencahariannya pada sektor pertanian.
Pertanian Indonesia adalah pertanian tropika, karena sebagian besar daerah-daerahnya berada di daerah tropik yang langsung dipengaruhi oleh garis khatulistiwa yang memotong Indonesia hampir menjadi dua. Disamping pengaruh khatulistiwa, ada dua faktor alam lain yang ikut memberi corak pertanian Indonesia. Yang pertama, bentuknya sebagai kepulauan dan kedua, tofografnya yang bergunung-gunung. Dalam hubungan ini letaknya diantara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, serta dua benua (daratan) yaitu Australia dan Asia, juga ikut mempengaruhi iklim Indonesia yang juga turut berpengaruh pada pertanian di Indonesia.
Transformasi struktural perekonomian Indonesia menuju ke corak yang industrial tidak dengan sendirinya melenyapkan nuansa agraritasnya. Karena suksesnya pengembangan sektor industri di suatu negara selalu diiringi dengan perbaikan produktivitas dan pertumbuhan berkelanjutan di sektor pertanian. Selain menyediakan kebutuhan pangan bagi penduduk serta menyerap tenaga kerja, sektor pertanian juga merupakan pemasok bahan baku bagi sektor industri dan menjadi sumber penghasil devisa. Oleh karena sebagian besar bahan-bahan mentah akan berasal dari sektor pertanian, maka sektor pertanian adalah merupakan induk pembangunan. Ini berarti adanya keterkaitan yang besar antara sektor pertanian dengan sektor industri dan sektor-sektor lain dalam ekonomi.
Pada zaman orde baru, dalam pelaksanaan pembangunan lima tahun (PEL1TA) tahap ke 5, pemerintah menitikberatkan kegiatannya pada sektor pertanian untuk meningkatkan swasembada pangan dan meningkatkan hasil pertanian lainnya.
Namun, ternyata sampai saat ini hasilnya tidak atau belum sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah atau masyarakat pada umumnya, karena pada akhirnya swasembada tersebut belum memperlihatkan titik terangnya, malah beberapa waktu lalu, Indonesia mengandalkan impor produk-produk pertanian dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Namun, sepertinya hal ini kurang masuk akal, karena seperti yang kita ketahui sebagai negara agraris Indonesia hampir memiliki seluruh potensi dan sumber daya yang diperlukan untuk meningkatkan sektor pertanian.
Keberadaan sektor pertanian pun kini semakin di nomor duakan setelah kita mulai berpindah haluan pada sektor industri. Padahal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertanian merupakan induk pembangunan, dimana pertanian mempunyai keterkaitan yang erat dengan sektor-sektor lainnya, termasuk sektor industri, kedua dapat saling melengkapi. Jadi alangkah baiknya apabila kita memberikan perhatian yang sama, baik terhadap sektor pertanian rnaupun sektor industri.
Melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, khususnya di bidang pertanian, sepertinya kita sedang dihadapkan pada berbagai macam problematika. Disinilah peran pemerintah sangat diperlukan melalui berbagai kebijakan-kebijakannya serta dukungan dari semua kalangan masyarakat untuk mengarahkan sektor pertanian khususnya dan perekonomian Indonesia umumnya kearah yang lebih baik.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan pertanian ?
2. Bagaimana kondisi dan perkembangan sektor pertanian di Indonesia ?
3. Bagaimana peranan sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia ?
4. Bagaimana kondisi pertanian Indonesia jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga?
5. Apakah permasalahan pertanian di Indonesia dan bagaimana solusi dalam memecahkan masalah pertanian di Indonesia ?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pertanian.
2. Untuk mengetahui bagaimana kondisi sektor pertanian di Indonesia.
3. Untuk mengetahui bagaimana peranan sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia.
4. Untuk mengetahui bagaimana kondisi pertanian Indonesia jika dibandingkan dengan Negara tetangga.
5. Untuk mengetahui permasalahan pertanian di Indonesia dan mengetahui bagaimana solusi dalam memecahkan masalah pertanian di Indonesia.
D. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah.
C. Tujuan penulisan Makalah
D. Sistematika penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Pertanian
B. Kondisi Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia
C. Peranan Sektor Pertanian terhadap Perekonomian Indonesia
D. Kondisi Pertanian Indonesia dibandingkan dengan Negara Tetangga
E. Permasalahan Pertanian Indonesia serta Strategi dan Kebijakan Pertanian
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Pertanian
Pertanian adalah kegiatan usaha yang meliputi budidaya tanaman bahan makanan, perkebunan, perikanan, kehutanan, dan peternakan (BPS). Sedangkan pengertian dalam wikpedia, Pertanian adalah proses menghasilkan bahan pangan, ternak, serta produk-produk agroindustri dengan cara memanfaatkan sumber daya tumbuhan dan hewan. Dari kedua pengertian diatas, kita dapat simpulkan bahwa pertanian adalah proses atau kegiatan menghasilkan bahan pangan, ternak, hasil-hasil hutan, perikanan dan perkebunan. Pemanfaatan sumber daya ini berarti budi daya (bahasa Inggris: cultivation, atau untuk ternak: raising). Namun demikian, pada sejumlah kasus (yang sering dianggap bagian dari pertanian) dapat berarti ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan (bukan agroforestri).
Usaha pertanian memiliki dua ciri penting, yaitu: (1) selalu melibatkan barang dalam volume besar dan (2) proses produksi memiliki risiko yang relatif tinggi. Dua ciri khas ini muncul karena pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Beberapa bentuk pertanian modern (misalnya budidaya alga, hidroponika) telah dapat mengurangkan ciri-ciri ini tetapi sebagian besar usaha pertanian dunia masih tetap demikian.
Di Indonesia, sektor perlanian secara luas dapat dikategorikan dalam lima subsektor, yaitu:
1. Subsektor Tanaman Pangan
Subsektor tanaman pangan sering juga disebut subsektor pertanian rakyat, karena tanaman pangan biasanya diusahakan oleh rakyat, maksudnya bukan oleh pemerintah ataupun perusahan-perusahaan. Subsektor ini mencakup komoditas-komoditas bahan makanan, seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kedelai serta sayur-sayuran dan buah-buahan. Subsektor tanaman pangan dapat dikelompokan menjadi :
a) Sub kelompok padi dan palawija yang terdiri dari padi sawah, pada ladang, jagung, kacang tanah, kacang kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar.
b) Sub kelompok sayur-sayuran yang terdiri dari kubis, kentang, wortel, sawi, bawang merah, bawang daun, bawang putih, lobak, kacang panjang, cabe, tomat, terung, buncis, ketimun, kangkung, bayam, kacang merah, dan labu siam
c) Sub kelompok buah-buahan yang terdiri dari alpokat, jambu, duku langsat, durian, jeruk, mangga, nanas, pepaya, pisang, rambutan, sawo, salak
2. Subsektor Perkebunan
Subsektor perkebunan dibedakan atas perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Yang dimaksud dengan perkebunan rakyat adalah perkebunan yang diusahkan sendiri oleh rakyat atau masyarakat, biasanya dalam skala kecil-kecilan dan dengan teknologi dan budidaya yang sederhana.
Hasil-hasil tanaman perkebunan rakyat terdiri antara lain karet, kopral, teh, kopi, tembakau, cengkeh, kapuk, kapas, cokelat, dan berbagai rempah-rempah. Adapun yang dimaksud dengan perkebunan besar adalah semua kegiatan perkebunan yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan berbadan hukum. Tanaman perkebunan besar meliputi karet, teh, kopi, kelapa sawit, coklat, kina, tebu, rami, berbagai serat dan lain-lain.
3. Subsektor Kehutanan
Subsektor kehutanan ini terdiri alas 3 macam kegiatan yaitu penebangan kayu, pengambilan hasil hutan lain, dan perburuan. Kegitan penebangan kayu menghasilkan kayu-kayu gelondongan : kayu bakar, arang, dan bambu. Hasii hutan lain melipuli damar, rotan, gelab kayu, kulit kayu, serta berbagai macam akar-akaran dan umbi kayu. Sedangkan kegiatan perburuan menghasilkan binatang-binatang liar seperti rusa, penyu, ular, buaya, dan lermasuk juga madu.
4. Subsektor Peternakan
Subsektor peternakan mencakup kegiatan beternak dan pengusahaan hasil-hasilnya. Subsektor ini meliputi produksi ternak-ternak besar dan kecil seperti telur, susu, wool, dan hasil pemotongan hewan.
5. Subsektor Perikanan
Subsektor perikanan meliputi semua hasil kegiatan perikanan laut, perairan umum, kolam, tambak, sawah, dan keramba serta pengolahan sederhana atas produk-produk perikanan seperti pengeringan dan pengasingan. Dari segi teknis kegiatannya, subsektor ini dibedakan atas 3 macam sektor yaitu perikanan laut, perikanan darat, dan penggaraman. Komoditas yang tergolong subsektor ini tidak terbatas hanya pada ikan tetapi juga udang, kepiting, ubur-ubur, dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan diatas kita dapat mengetahui bahwa sektor pertanian tidak hanya terbatas pada tanaman pangan, juga bukan semata-mata kegiatan produksi melalui bercocok tanam. Pertanian merupakan pemasok kebutuhan pokok yang utama bagi manusia yakni sebagai bahan makanan. Oleh karena itu tidak ada salahnya apabila kita memberikan kepedulian dan perhatian yang lebih besar terhadap sektor pertanian.
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana usaha pemerintah ataupun masyarakat untuk dapat kembali seperti dulu, dimana Indonesia mampu mencapai swasembada pangan. Namun pada kenyataannya saat ini pemerintah Indonesia menganggap bahwa stok pangan dalam negeri mengalami kekurangan, sehingga pemerintah terpaksa mengambil langkah untuk mengimpor pangan dari luar negeri agar kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Padahal berbagai pihak pun banyak yang berasumsi bahwa kebutuhan dalam negeri masih dapat terpenuhi oleh stok atau hasil pangan yang tersedia di dalam negeri.
B. Kondisi dan Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia
Berbicara tentang sejarah pertanian Indonesia adalah sama halnya dengan berbicara bermacam penyimpangan yang hingga saat ini masih menjadi penghambat di sektor struktural. Pertanian di Indonesia dimulai dengan cara yang bertolak belakang dengan negara-negara barat yang memulai dengan membagi-bagikan lahan kepada petani. Namun, yang terjadi di Indonesia justru tanah rakyat dirampas untuk dibagi-bagikan kepada pengusaha swasta. Para petani yang menggantungkan hidup dari sana harus melawan para pihak swasta, asing, maupun pemerintahan yang hendak merebut lahan mereka.
Sejarah pertanian di Indonesia dimulai pertama kali ketika diterbitkannya sebuah Undang-Undang Agrarische Wet 1870, yang merupakan sebuah peraturan yang keberpihakannya hanya untuk memberikan kemudahan pada kapitalisme modal untuk menyewa lahan yang luas dalam periode waktu tertentu. Hukum ini pun mengatur hak penggunaan lahan selama 75 tahun dan memberi peluang untuk menjadikan tanahnya sebagai agunan kredit. Penjajah Belanda pada waktu itu ingin memiliki sebanyak-banyaknya lahan dengan memaksa negara jajahannya mengeluarkan hukum agraria tersebut. Maka tak heran jika sejarah berkata seperti ini jika saat ini tidak ada petani yang mampu memiliki lahan yang sangat luas dan dapat digunakan untuk periode yang lama
Dalam masa penjajahan pun pertanian di Indonesia menjadi sumber pemasukan utama bagi bangsa penjajah. Misalnya saja ketika Indonesia dijajah oleh Belanda. Pada masa tersebut dijalankan kebijakan yang dinamakan Cultuurstelsel (tanam paksa). Secara umum pertumbuhan dan perkembangan tanam paksa (1830an-1970an) dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti :
1. Jenis tanaman karena setiap tanaman memerlukan ekologi spesifik, teknik penanaman, dan mempunyai nilai ekonomi khusus juga.
2. Kondisi-kondisi iklim di daerah setempat.
3. Kondisi sosial dan ekonomi kaum petani (ukuran pemilikan tanah, daerah perbatasan atau daerah padat penduduk).
4. Periode tanam paksa
5. Kebijaksanaan kepala-kepala distrik (residen)
Sejarah pertanian pasca kemerdekaan dimulai setelah Indonesia mendapat kedaulatan penuh tahun 1949 dan sedang menghadapi masalah perekonomian yang sangat mendesak untuk segera diatasi. Memasuki dekade 1950-an, sektor ekonomi modern masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik Belanda yang telah beroperasi sejak jaman kolonial. Menghadapi situasi demikian, maka berkembang berbagai pemikiran ekonomi dari para tokoh pemimpin saat itu, yang muaranya adalah apa yang disebut dengan “ekonomi nasional” atau “nasionalisme ekonomi”, yang mencakup tiga aspek utama, yaitu:
a) Suatu perekonomian yang beragam dan stabil, dalam arti ditiadakannya ketergantungan yang besar terhadap ekspor bahan mentah.
b) Suatu perekonomian yang berkembang dan makmur dalam konteks pembangunan ekonomi.
c) Suatu perekonomian pribumi, yang berarti dominasi ekonomi Barat dan etnis Tionghoa harus dialihkan kepada orang-orang Indonesia.
Atas dasar ketiga hal tadi para pendiri negeri segera memikirkan masalah agraria. Dua tokoh sentralnya, yaitu Iwa Kusumasumantri dan Bung Karno. Pada sisi lain, pemerintah memfokuskan diri pada pembangunan pertanian pangan, yang spesifik pada upaya swasembada beras, khususnya sistem penyuluhan pertanian yang menitikberatkan pada tercapainya target produksi dalam waktu yang pendek. Untuk mendukung program tersebut muncullah Badan Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) sebagai badan penyuluh pertanian. Program tersebut mengalami kegagalan karena pemerintah justru menambahkan impor berasnya, dari 334.000 ton pada tahun 1950 menjadi 800.000 ton pada tahun 1959.
Babak baru pembangunan pertanian baru dimulai kembali pada kurun waktu 1959-1961. Melalui program Tiga Tahun Produksi Padi dengan target mencapai swasembada pangan di akhir tahun 1961. Soekarno sendiri yang membentuk dan mengetuai langsung Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) untuk mencapai swasembada beras. Untuk memperbaiki sarana pertanian dibentuk Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) yang beroperasi di tingkat pusat sampai ke tingkat desa. Di tahun 1959 juga dibentuk Badan Perusahaan Bahan Makanan dan Pembuka Tanah (BPMT) yang bertugas meningkatkan penyediaan sarana produksi pertanian. Badan usaha ini memiliki dua anak perusahaan, yaitu Padi Sentra dan Mekatani. Padi Sentra bertugas mengadakan, menyalurkan, dan menyediakan sarana produksi, seperti bibit unggul, pupuk, dan obat-obatan. Sementara Mekatani bertugas membuka lahan baru secara mekanis, terutama di wilyah luar pulau jawa.
Pada saat yang sama, penyuluhan pertanian digalakkan dengan dukungan Dinas Pertanian Rakyat dan melibatkan perguruan tinggi. Dari sini dibentuklah kelompok-kelompok yang anggotanya adalah para petani penggarap sawah yang tergabung dalam Organisasi Pelaksana Swasembada Beras (OPSSB). Kelompok ini pulalah yang nantinya mejadi pelaksana Panca Usaha Tani. Sistem Padi Sentra juga mengalami kelemahan sebagai tonggak awal sistem modern bercocok tanam padi sawah. Padi sentra justru dianggap gagal karena yang diuntungkan hanya pemilik tanah terutama penguasa lahan yang luas.
Di sisi lain, munculnya organisasi pemerintah yang mengurus pertanian tidak pernah berhenti dan semakin merebak. Bahkan dibentuk sebuah panitia khusus yang menghasilkan rumusan Undang-undang (UU) No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pada saat yang sama, lahir UU No.56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan UU No.2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH). UUPA menjadi senjata yang paling kuat untuk meningkatkan kesejahteraan para petani waktu itu karena didasarkan pada perwujudan amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Belum lagi ditambah gempuran demam revolusi hijau di seluruh dunia, yang pada saat itu sangat mempengaruhi kebijakan pemerintahan dan akhirnya Orde Baru mengambil jalan pragmatis. Melakukan Revolusi hijau tanpa reformasi agraria untuk mencapai swasembada pangan. Strategi pembangunan semcam ini berlandaskan pada kaidah pokok seperti mengandalakan bantuan asing, hutang, dan investasi dari luar negeri. Sedikit gambaran untuk Revolusi hijau, sistem kapitalis pertanian ini telah membawa perubahan mendasar bagi perilaku petani dalam berhubungan dengan petani lain, alam, teknologi, pemerintah, serta hubungannya dengan perusahaan-perusahaan besar, baik lokal maupun luar negeri. Memang jika melihat hasilnya cukup menggembirakan bagi pertanian Indonesia. Jika pada 1965 tingkat produksi beras Cuma 1,7 ton per hektar, pada 1980 sudah mencapai 3,3 ton per hektar, dan Indonesia bisa berswasembada beras pada 1984. Sayangnya, hal ini hanya mampu bertahan selama lima tahun. Setelah tahun 1990, impor beras Indonesia terus melonjak dan tidak pernah turun lagi hingga saat ini. Ironis, karena kemajuan pertanian di Indonesia tidak diikuti oleh kesejahteraan petani, dan justru malah memaksa serta menakut-nakuti petani dengan desakan ekonomi.
Hal tersebut justru menjadi sangat krusial saat pemerintahan orde baru justru mengundang kembali IMF. Melalui Letter of Intent (LoI), kewenangan pemerintah menjadi sangat terbatas karena berbagai kebijakan ekonomi, terutama pertanian, berada dibawah pengawasan dan persetujuan IMF. Apalagi ditambah dengan kesepakatan dunia internasional dengan ditandatanganinya General Agreement on Trade and Tariff (GATT). Selain itu berlakunya Trade Related Intellectual Property Rights, yang kesemua peraturan/perjanjian tersebut akan memperburuk nasib para petani. Menurut Loekman Soetrisno, liberalisasi perdagangan internasional akan memaksa para petani di negara yang sedang berkembang untuk bersaing dengan petani dari negara industri yang memiliki sistem pertaniann yang lebih efisien.
Selanjutnya, pertanian di Indonesia terus mengalami perkembangan. Perkembangan sektor pertanian di Indonesia puncaknya ditandai dengan adanya keberhasilan pencapaian swasembada tanpa didahului dengan reformasi agraris ataupun Land Reform. Sehingga di Indonesia pola perkembangan sektor pertaniannya, berbeda dengan pengalaman empiris di negara-negara lain. Sedangkan perkembangan sektor pertanian di Amerika Utara dan Eropa Barat misalnya, menempuh jalur kapitalistik yaitu melalui pengembangan usaha tani berskala besar dan melibatkan satuan-satuan yang berskala kecil. Eropa Timur yang banyak menganut jalur sosialistik yaitu melalui pembentukan usaha tani kolektif berskala besar yang diprakarsai oleh negara. Atau Jepang dan Taiwan yang lebih memilih jalur koperasi semi kapitalistik yaitu melalu pembinaan usaha tani yang digalang dalam suatu koperasi nasional dibawah pengelolaan negara.
Sektor pertanian hingga kini masih menjadi sumber mata pencaharian utama sebagian besar penduduk, khususnya bagi mereka yang masih tinggal di daerah pedesaan. Program pembangunan sektor pertanian meliputi program peningkatan produksi di kelima subsektornya, serta peningkatan pendapatan petani. Program pembangunan tersebut ditunjang dengan program pembangunan sarana dan prasarananya seperti pengadaaan faktor produksi, pengembangan jaringan irigasi dan jalan, kebijaksanaan tata niaga dan harga, serta penelitian. Kemampuan paling menonjol sektor ini dimana dalam era Pembangunan Jangka Panjang I, sektor pertanian. khususnya bidang produksi pangan merupakan prioritas pembangunan ekonomi. Dan pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras dimana sebelumnya bahan pokok tersebut masih selalu di impor.
Negara Indonesia memang sempat terkenal sebagai negara agraris. Karena sebagian besar luas lahannya yang digunakan untuk pertanian, yaitu sebesar 70 % dari luas wilayahnya, yang terdiri dari kebun/ladang/huma, tambak, kolam, lahan untuk tanaman kayu-kayuan, sawah, padang mmput pekarangan serta lahan yang sementara tidak diusahakan.
Mungkin sudah merupakan suatu evolusi alamiah seiring dengan proses industrialisasi, dimana pangsa output agregat (ODB) dari pertanian relatif menurun sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor sekunder lainnya dan sektor tersier meningkat. Perubahan struktur ekonomi seperti ini juga terjadi di Indonesia. Selama periode 1990-an pangsa PDB dari pertanian (termasuk kehutanan, peternakan, dan perikanan) mengalami penurunan (harga konstan 1993) dari sekitar 17,9% tahun 1993 menjadi 16,4% tahun 2001. Sedangkan pangsa PDB dari industri manufaktur selama kurun waktu yang sama meningkat dari 22,3% menjadi 26,0%. Penurunan kontribusi output dari pertanian terhadap pembentukan PDB ini bukan berarti bahwa volume produksi di sektor tersebut berkurang (pertumbuhan negatif) selama periode tersebut, tetapi laju pertumbuhan output-nya lebih lambat dibndingkanlaju pertumbuhan output di sektor-sektor lain. Hal ini bisa terjadi karena secara rata-rata, elastisitas pendapatan dari permintaan terhadap komoditas pertanian lebih kecil daripadaelastisitas pendapatan dari permintaan terhadap produk-produk dari sektor-sektor lain seperti barang-barang industri. Jadi dengan peningkatan pendapatan, laju pertumbuhan permintan terhadap komoditas pertanian lebih kecil daripada terhadap barang-barang industri.
Tabel 2.1
Distribus PDB menurut sektor (harga konstan 1993): 1993-2001 (%)
Sektor 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Pertanian
Pertambangan & penggalian
Industri manufaktur
Listrik, gas, dan air
Bangunan
Perdagangan, hotel, & restoran
Transportasi & komunikasi
Bank & keuangan
Penyewaan & real estate
Jasa lainnya 17.9
9.5
22.3
1.0
6.8
16.8
7.1
4.3
2.9
11.4 16.7
9.4
23.3
1.0
7.3
16.8
7.1
4.5
2.9
11.0 16.1
9.3
23.9
1.1
7.6
16.7
7.1
4.7
2.8
10.7 15.4
9.2
24.7
1.2
8
16.7
7.2
4.6
2.7
10.3 15.0
8.8
24.7
1.3
8.2
17.0
7.3
4.6
2.7
10.4 18.1
12.6
25.0
1.2
6.5
15.3
5.4
3.3
4.0
8.6 19.4
10.0
26.0
1.2
6.2
16.0
5.0
2.8
3.7
9.5 17.0
13.8
26.2
1.2
5.9
15.2
5.0
2.8
3.4
9.5 16.4
13.6
26.0
1.2
5.6
16.1
5.4
2.8
3.4
9.5
Sumber : BPS
Sektor 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan 15.46 15.19 14.59 13.41 13.16 13,7 14,4
Pertambangan dan penggalian 8.83 8.33 8.63 10.44 10.05 11,2 11,0
Industri pengolahan 28.72 28.25 28.13 28.06 27.18 27,1 27,9
Listrik, Gas dan Air minum 0.84 0.94 0.97 0.92 1.24 0,9 O,8
Bangunan 6.07 6.22 6.29 6.35 7.62 7,7 8,4
Perdagangan, Hotel dan restoran 17.14 16.64 16.27 15.75 14.77 14,9 14,0
Pengangkutan dan komunikasi 5.38 5.91 6.25 6.63 6.8 6,7 6,3
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 8.48 8.64 8.55 8.35 8.32 7,7 7,4
Jasa – jasa 9.09 9.87 10.32 10.1 9.83 10,1 9,8
Sumber : BPS
Seperti yang terlihat pada tabel diatas, laju pertumbuhan output pertanian selalu berfluktuatif dan cenderung menurun. Jika dilihat dari tabel di atas sektor industri memiliki peranan paling tinggi dalam perekonomian. Padahal dari dulu Indonesia dikenal dengan sebutan negara agraris, namun jika sekarang dilihat dari data PDB, justru sektor industri yang berperan lebih besar jika dibandingkan dengan pertanian.
Grafik 2.1
Distribus PDB menurut sektor (harga konstan 1993): 1993-2001 (%)
Tabel 2.2
Perkembangan PDB menurut sektor, 1995-2002 (dalam persen)
Sektor 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2007
Pertanian 4.4 3.1 1.0 -0.7 2.1 1.7 2.2 3.2 4.3 4.1 2.7 5.1
Pertambangan & penggalian 6.7 6.3 2.1 -2.8 -1.7 2.3 2.5 1.0 -0.9 -4.6 -3.2 1
Industri manufaktur 10.9 11.6 5.3 -11.4 2.6 6.2 6.3 5.3 5.3 6.2 4.75 2.85
Listri, gas, dan air 15.9 13.6 12.4 2.6 8.2 8.8 5.8 8.9 5.9 5.9 5.6 5.9
Bangunan 12.9 12.8 7.4 -36.5 -1.6 6.8 5.5 5.5 6.7 8.2 4.01 4
Perdagangan, hotel, & restoran 7.9 8.2 5.8 -18.0 -0.4 5.7 3.4 3.9 5.3 5.8 6.35 4.05
Transportasi & komunikasi 8.5 8.7 7.0 -15.1 -0.7 9.4 3.8 8.4 11.6 12.7 9.1 6.65
Bank & keuangan 11.0 6.0 5.9 -26.6 -8.1 4.7 3.6 6.4 7.0 7.7 6.1 4.35
Penyewaan & real estate 3.3 3.4 3.6 -3.8 1.8 2.2 2.7 - - - - -
Jasa lainnya 5.2 7.8 4.7 -13.1 0.8 4..9 3.3 3.8 3.9 4.9 3.45 4.1
Sumber : BPS
Grafik 2.2
Perkembangan PDB menurut sektor, 1995-2005(dalam persen)
Seperti yang terlihat pada tabel dan grafik diatas, laju pertumbuhan output pertanian relatif kecil dibandingkan laju perumbuhan output di sektor-sektor non pertanian. Tahun 1995, output pertanian tumbuh hanya 4,4% dibandingkan 10,9% di industri manufaktur. Data BPS untuk triwulan III 2002 menunjukkan bahwa pertumbuhan output pertanian sekitar 4,01, berarti sedikit penurunan dibandingkan tahun 1995, walaupun jauh lebih baik dibandingkan laju pertumbuhan industri yang hanya sekitar 3,2%.
Target Ekspor Komoditas Pertanian
Potensi Ekspor
Dari tiga kelompok besar komoditas ekspor pertanian kita, pertumbuhan tertinggi ada pada kelompok komoditas perkembangan olahan, dimana nilai pertumbuhan ekspor rata-rata kelompok komoditas ini cukup tinggi sekitar 14 % per tahun.
Untuk memperoleh pangsa pasar dalam era perdagangan global yang semakin kompetitif kita perlu mencermati komoditas yang memppunyai keunggulan daya saing tinggi. Disamping itu, kita juga perlu mencermati pula potensi yang kita miliki yang secara komparatif kita mempunyai kelebihan.
Tabel 2.4
Matriks Komoditi Unggulan Menurut Pasar Utama
Komoditi Pasar Pangsa Pasar Pesain utama Pesaing Potensil
Tanaman keras
1. Karet EU,AS,Asia Tinggi Tahiland, Malaysia Vietnam
2. CPO/PKO EU,Asia,AS,Jepang Tinggi Malaysia Afrika
3. Kopi EU,Jepang,AS,Kanada Tinggi Brazil Vitnam
4. Kakao EU,AS Tinggi Pantai Gading,Ghana Negeria,Cameroon
5. Minyak kelapa EU Sedang Philippina --
6. Teh Inggris Tinggi Cina,Kenya,India Srilanka
7. Lada Pakistan Tinggi Brazil,India,Vietnam --
Perikanan
1. Udang AS,Jepang,EU Tinggi Thailand,India,Mexico Vietnam,Ecuador
2. Tuna Jepang,AS,EU Tinggi Thailand Philippina
3. Kepiting EU,Asia Sedang Canada,Australia --
4.Kodok EU,Asia Sedang Malaysia,Vietnam --
5.Rumput Laut AS,Jepang Rendah Kore,China --
6.Mutiara Jepang Rendah Australia,French,Polynesia
Tanaman & Holtikultura
1.Pisang AS,Jepang,EU,Canada Rendah Costa rica, Philippina Malaysia
2.Nenas Jepang,AS,Singapura Rendah Philippina,Costa Rica --
3.Manggis Asia,EU Rendah Thailand,Srilanka Thailand
4.Gaplek EU,Asia Rendah ahiland Vietnam
5.Jamur Asia Rendah China --
6.Kentang Singapura,Malaysia Sedang Thailand,China,Negara Maju --
7.Kubis Singapura,Malaysia Sedang China --
8.Jagung Asia,Lokal Kecil Thailan,AS,Amerika Latin --
Peternakan
1.Babi Singapura,Hongkong rendah China --
2.Unggas Hongkong,Jepang,Rusia Rendah Negara Maju
3.Domba Malaysi,Timteng Rendah Negara Maju --
Sumber : Olahan Badan Agrobisnis
Secara garis besar, pesaing Indonesia dalam Perdagangan Internasional hasil pertanian dapat digambarkan sebagi berikut:
• Perkebunan : Malaysia, Vietnam, Philiphina, Afrika, Amerika Latin, dengan produk minyak sawir, minyak kelapa, kakao, kopi dan teh.
• Perikanan : Thailand, Taiwan, Philippina, India, dan negara-negara maju Kanada, dengan produk-produk udang dan ikan tuna.
• Holtikulutura : Thailand, Philippina, Malaysia, China, Asia Selatan, Amerika latin, AS, Australia, Selandia Baru, Eropa, Untuk holtikultura tropis, Thailand an Malaysia khususnya pisang, mangga, manggis, nenas, jamur.
Adapun pesaing potensial Indonesia selama 5 tahhun ke depan:
• Perkebunan : Vietnam dan Kamboja
• Perikanan : Philippina, Thailand, India Vietnam
• Holtikultua : Vietnam, Asia Selatan, Sri Lanka, Pakistan , Australia.
Strategi Pengembangan Agrobisnis
Untuk mendukung peran agrobisnis sebagai lokomotif untuk pemulihan ekonomi nasional, maka strategi yang perlu segera dikembangkan adalah mempercepat transformasi pertanian tradisional menjadi pertanian modern yang tangguh dan berwawasan lingkungan serta didukung oleh semua pihak . sebagai langkah awal adalah menetapkan agro bisnis dan agroindustri sebagai primadona pembangunan ekonomi dengan prioritas paling tinggi . Khusus untuk mempercepat perolehan devisa dari ekspor agrobisnis, peningkatan efisiensi pengelolaan komoditas unggulan ekspor disertai dengan upaya peningkatan dan perluasan pemasaran ekspor secara proaktif.
Selain itu kebijakan pro ekspor harus ditempuh dengan meniadakan hambaatan-hambatan dagang (pajak ekspor, panjangnya prosedur ekspor, modal kerja) sehingga produk-produk ekspor kita semakin kompetitif. Selain iytu peran perguruan tinggi dan instansi peneliian dan pengembangan perlu ditingkatkan dengan focus dan lebih inovatif untuk menunjang pengemnbangan agrobisnis. Dari segi makro, dukungan kebijakan nilai tukar mata uang yang wajar serta tingkat bunga pinjaman yang atraktif untuk agrobisnis harus diperjuangkan. Untuk komoditi TPH dan peternakan hanya sebagian komoditi kita yang berorientasi ekspor dengan pasar yang terbatas. Strategi untuk kedua sub-sektor ini adalah peningkatan produktivitas diiringi oleh perbaikan mutu . masalah dukungan transpotrtasi khususnya untuk produk holtikultura perlu segera dipecahkan dengan intansi terkait lainnya.
Grafik 2.3
Nilai Ekspor Komoditas Pertanian dan Pertumbuhannya
Sedangkan jika di lihat di data lain, di dapat table di bawah ini :
Tabel 2.6
Ekspor Non Migas Indonesia tahun 2005-2008
(Juta USS)
Periode Hasil Sektor Pertanian Hasil Sektor Industri Hasil Sektor Tambang Jumlah
2005 Triwulan I 675.00 4.34% 13251.10 85.29% 1611.20 10.37% 15537.30
Triwulan II 676.20 4.13% 13858.50 84.60% 1846.00 11.27% 16380.70
Triwulan III 777.70 4.63% 13988.70 83.22% 2042.00 12.15% 16808.40
Triwulan IV 751.40 4.24% 14495.40 81.89% 2455.30 13.87% 17702.10
2006 Triwulan I 757.40 4.38% 14370.00 83.05% 2175.10 12.57% 17302.50
Triwulan II 803.50 4.19% 15961.00 83.17% 2427.40 12.65% 19191.90
Triwulan III 971.70 4.64% 17334.30 82.71% 2652.40 12.66% 20958.40
Triwulan IV 832.30 3.78% 17358.60 78.86% 3820.40 17.36% 22011.30
2007 Triwulan I 740.20 3.52% 17140.30 81.55% 3137.10 14.93% 21017.60
Triwulan II 838.90 3.63% 19204.80 83.06% 3078.90 13.32% 23122.60
Triwulan III 1049.40 4.49% 19374.50 82.83% 2967.30 12.69% 23391.20
Triwulan IV 1029.30 4.20% 20741.20 84.72% 2710.40 11.07% 24480.90
2008 Triwulan I 959.30 3.64% 22410.30 85.04% 2984.20 11.32% 26353.80
Triwulan II 1239.90 4.44% 23065.30 82.53% 3643.80 13.04% 27949.00
Triwulan III 1290.50 4.45% 23474.30 81.01% 4212.60 14.54% 28977.40
Triwulan IV 1094.90 4.45% 19443.60 78.99% 4075.70 16.56% 24614.20
Jumlah 14487.60 4.19% 285471.90 82.55% 45839.80 13.26% 345799.30
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.4
PDB dilihat dari sector Pertanian, Industri dan Tambang
Perbandingan Kontribusi Sektor Pertanian Dibandingkan Dua Sektor Lainnya Terhadap Ekspor Dari tabel diatas, kita dapat melihat dengan jelas bahwa ekspor produk pertanian adalah yang paling kecil dibandingkan ekspor produk non migas lainnya, seperti produk sektor industri dan tambang. Selain itu, persentase perkembangannya selalu berfluktuatif dan pada tahun 2008 triwulan ke-IV malah terjadi penurunan.
Pertumbuhan dan Diversivikasi Ekspor
Komoditas pertanian Indonesia yang diekspor cukup bervariasi mulai dari getah karet, lopi, udang, rempah-rempah, mutiara, hingga berbagai macam sayur dan buah. Selama 1993-2001, nilai X total dari komoditas-komoditas ini rata-rata per tahun hampir mencapai 3 miliar dolar AS. Diantara komoditas-komoditas tersebut, yang paling besar nilai ekspornya adalah udang dengan rata-rata sedikit diatas satu miliar dollar AS selamaperiode yang sama. Udang memang merupakan komoditas perikanan terpenting dalam X hasil perikanan Indonesia. Selain itu, Indonesia juga mengekspor hasil perikanan bukan bahan makanan seperti rumput laut, mutiara, dan ikan hias.
Tabel 2.7
Nilai ekspor pertanian: 1993-2001 (juta dolar AS)*
Sektor 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Getah karet
Kopi
Udang (segar, beku)
The
Rempah-rempah
Tembakau
Biji cokelat
Ikan
biji-bijian
mutiara
damar
sayur-sayuran
buah-buahan
lainnya
total 44
320
872
156
132
66
166
445
9
17
21
47
62
288
2.644 42
697
1.005
89
137
46
214
329
9
21
27
48
29
124
2.818 42
596
1.052
85
214
49
225
372
12
12
29
43
30
148
2.889 46
589
1.026
109
158
75
263
375
8
12
37
39
48
138
1.913 32
504
1.008
85
235
91
295
381
8
15
34
24
47
375
3.133 19
579
1.007
108
278
133
383
358
11
23
16
16
42
704
3.654 11
459
888
92
374
79
296
403
6
21
22
28
78
247
2.902 8
312
1.003
108
315
64
236
359
8
26
25
28
56
164
2.709 8
183
940
95
174
81
277
399
5
25
18
30
32
214
2.439
Keterangan * : dibulatkan
Sumber : BPS
Grafik 4
Nilai ekspor pertanian: 1993-2001 (juta dolar AS)*
Tabel 2.8
Perkembangan nilai ekspor hasil perikanan: 1994-2000 (juta dolar AS)*
Sektor 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 %**
Bahan makanan
- udang
- tuna/ckl
- lainnya
bahan bukan makanan
- rumput laut
- mutiara
- ikan hias
- lainnya
jumlah 1.603
1.010
182
411
76
9
21
9
37
1.697 1.697
1.037
213
447
67
16
12
10
30
1.764 1.713
1.018
193
503
72
19
12
9
33
1.786 1.646
1.011
189
446
40
11
15
3
11
1.686 1.643
1.012
215
416
56
10
23
1
22
1.699 1.543
889
189
464
62
16
20
10
15
1.605 1.648
973
190
485
92
25
21
10
35
1.739 0.57
-0.40
1.22
3.22
8.33
27.46
4.61
105.40
20.74
0.72
Keterangan * : dibulatkan
**: Persentase perkembangan pertahun
Sumber : BPS
Namun dilihat dalam total Σ nasional, kontribusi pertanian terhadap pembentukkan jumlah Σ nasional sangat kecil. Pada tahun 2002 hanya 4.47% dibandingkan besarnya sumbangan dari industri manufaktur yang mencapai hampir 69.0%. pangsa ini sedikit meningkat dibandingkan Januari-Mei 2001. selama Januari-Mei 2001, nilai Σ pertanian tercatat sekitar 991.2 juta dolar AS, dan untuk periode yang sama tahun 2002 naik menjadi 995.0 juta dolar AS. Namun, ini tidak berarti peran pertanian dalam pertumbuhan Σ nasional, khususnya non migas sangat kecil. Sebaliknya, sektor ini punya peran besar secara tidak langsung, yaitu dari Σ lewat industri manufaktur, sejak output dari industrimanufaktur Indonesia didomonasi oleh produk-produk berbasis pertanian seperti makanan dan minuman dan produk-produk kulit, bumbu, dan rotan.
Grafik 2.5
Perkembangan nilai ekspor hasil perikanan: 1994-2000 (juta dolar AS)*
Tabel 2.9
Nilai ekspor Industri menurut sektor: Januari-Mei 2001 dan 2002
Uraian Nilai (juta dolar AS) % perubahan Jan-Mei % peran thp total
Jan-Mei 2001 Jan-Mei 2002 2002 thp 2001 Ekspor jan-Mei 2002
Total ekspor
- migas
- non migas
- pertanian
- industri
- pertambangan dan lainnya 24.503,2
5.906,4
18.596,8
991,2
16.009,3
1.596,3 22.285,2
4.689,3
17.595,9
995,0
15.312,2
1.288,7 -9,05
-20,61
-5,38
0,38
-4,35
-17,27 100,00
21,04
78,96
4,47
68,71
5,78
Sumber : BPS
Struktur Σ ini memang sesuai prediksi dari teori pembangunan ekonomi yang hipotesisnya adalah bahwa dalam suatu proses pembangunan ekonomi jangka panjang, semakin tinggi pendapatan perkapita, semakin kecil peran dari sektor-sektor sekunder, seperti industri manufaktur dan sektor-sektor tersier di dalam ekonomi. Peran ini bisa dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukkan PDB dan Σ total. Semakin tinggi tingkat pembangunan ekonomi (yang terefleksi dengan semkin tingginya pendapatan perkapita), semakin penting peran tidak langsung dari sektor pertanian, yaitu sebagai pemasok bahan baku bagi sektor industri manufaktur dan sektor-sektor ekonomi lainnya.
Grafik 2.6
Nilai ekspor Industri menurut sektor: Januari-Mei 2001 dan 2002
Perbandingan Ekspor-Impor Produk Pertanian di Indonesia
Indonesia sebagai negara agraris, tidak hanya mengekspor produk-produk pertaniannya. Tetapi Indonesiapun mengimpor produk pertanian ini dari luar negeri. Kita dapat melihat perbandingan antara ekspor dan impor produk pertanian di Indonesia pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.10
Neraca Ekspor-Impor Produk Pertanian (Segar dan Olahan) Tahun 1995 - 2003
Tahun Volume (juta Ton) Nilai (juta USD)
Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca
1995 5,7 11,1 (5,4) 4607,5 4623,6 (16,2)
1996 7,5 11,9 (4,4) 5194,3 5579,6 (385,3)
1997 7,9 9,9 (2,0) 5549,9 3756,2 1136,7
1998 6,8 10,2 (3,4) 4468,4 1888,0 712,2
1999 8,8 14,7 (5,8) 4696,6 4474,2 222,6
2000 9,5 13,5 (4,0) 4500,3 4034,2 466,1
2001 9,6 11,6 (2,0) 3696,6 3972,2 (275,5)
2002 11,6 13,6 (2,0) 5518,3 4007,2 1511,1
2003 11,6 13,5 (1,9) 6417,5 4269,7 2147,8,
Rata-rata 1995-1997 7,0 10,9 (3,9) 5117,2 4872,2 245,1
Rata-rata 1998-1999 7,8 12,4 ( 4,6 ) 4582,6 4115,2 467,4
Rata-rata 2000-2003 10,6 13,0 (2,4) 5033,2 4070,8 962,4
Sumber Data: BPS diolah Subdit PI PPH Tan Pangan
Dari data diatas kita dapat melihat bahwa impor produk pertanian Indonesia selalu lebih besar daripada ekspornya jika dilihat dari kuantitasnya. Baik itu sebelum krisis (1995-1997), pada saat krisis (1998-1999), maupun setelah krisis (2000-2003). Selisih terbesar terjadi pada saat krisis, dimana pada saat itu volume ekspor hanya sebesar 7,8 juta ton sedangkan volume impornya mencapai 12,4 juta ton atau terdapat selisih sebesar 4,6 juta ton Tetapi jika dilihat dari nilainya, maka nilai impor lebih besar dari nilai ekspor hanya pada tahun 1995 dan 1996. selanjutnya dari tahun 1997-2003, nilai ekspor selalu lebih besar dari nilai impor.
Subsektor Tanaman Pangan
Subsektor tanaman pangan merupakan satu-satunya subsektor yang belum berorientasi ekspor. Fokus peningkatan produktivitas komoditas tanaman pangan lebih diarahkan pada penguatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Karena itu dalam perdagangan internasional penekanan pada bagaimana meningkatkan produksi, diversivikasi produk khususnya untuk produk substitusi impor.
Tabel 2.11
Neraca Ekspor-Impor Produk Tanaman Pangan (Juta Ton dan juta USD)
Tahun Volume (juta Ton) Nilai (juta USD)
Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca
1995 1,1 9,0 (7,9) 162,7 2152,0 (1978,3)
1996 1,4 8,9 (7,5) 170,1 2674,0 (2503,9)
1997 0,7 7,0 (6,3) 113,1 1772,0 (1658,9)
1998 1,4 7,9 (6,5) 167,3 1888,0 (1720,7)
1999 0,9 10,9 (10,0) 97,2 2429,0 (2331,8)
2000 0,5 9,7 (9,2) 63,0 1736,0 (1673,0)
2001 0,7 7,8 (7,1) 83,7 1407,0 (1323,3)
2002 0,6 10,6 (10,0) 75,6 1838,0 (1762,2)
2003 0,8 9,9 (9,1) 218,9 2045,2 (1826,03)
Rata-rata
1995-1997 1,06 8,3 (7,2) 148,6 2199,3 (2050,7)
Rata-rata
1998-1999 1,2 9,4 (8,25) 132,3 2158,5 (2026,3)
Rata-rata
2000-2003 0,65 9,5 (8,85) 110,3 1756,6 (1646,1)
Sumber Data: BPS diolah Subdit PI PPH Tan Pangan
Ketergantungan pada impor yang tinggi dan ekspor yang masih minimal secara terus menerus mengakibatkan neraca perdagangan mengalami defisit. Sebelum masa krisis, volume ekspor produk tanaman pangan rata-rata mencapai 1,06 juta ton/tahun. Sedangkan di masa krisis meningkat menjadi sekitar 1,2 juta ton/tahun, dan di masa pasca krisis ini volume ekspor hanya mencapai 0,65 juta ton/tahun.
Volume impor tanaman pangan jauh lebih tinggi dibanding ekspornya. Dilihat dari tahun 1995-2003 tren volume impor meningkat, sedangkan ekspor selama tahun tersebut stagnan sampai cenderung menurun. Dengan demikian neraca volume perdagangan produk tanaman pangan juga terus mengalami defisit, dimana pada tahun 1995 sebesar 7,9 juta ton hingga pada tahun 2003 defisit mencapai 9,1 juta ton. Defisit tertinggi terjadi pada tahun 1999 dan 2002 yang mencapai 10,0 juta ton.
Dari sisi nilai ekspor-impor produk tanaman pangan, dari tahun 1995 -2003 nilai impor jauh lebih tinggi dibanding nilai impor. Tren nilai ekspor cenderung stagnan, sedangkan nilai impor dari tahun 1995 – 2003 cenderung menurun walaupun secara volume cenderung meningkat.
Nilai impor tertinggi terjadi pada tahun 1996 dimana mencapai USD 2674 juta, sedangkan terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu USD 1407 juta. Disisi ekspor, nilai ekspor selama tahun 1995 – 2003 hanya berkisar USD 63 juta hingga USD 218,9 juta.
Defisit nilai perdagangan tanaman pangan terendah terjadi pada tahun 1996 yaitu mencapai USD –2503,9 juta. Walaupun defisit perdagangan di tahun 2000-2001 semakin membaik, namun di tahun selanjutnya merosot lagi. Kondisi ini terjadi karena memang pada tahun tersebut (2002-2003) jumlah impor produk tanaman pangan mengalami peningkatan.
Impor pangan yang menyerap dana terbesar berasal dari beras dan gandum, kemudian disusul oleh kedelai dan jagung. Upaya peningkatan kinerja ekspor untuk menambah devisa negara dari subsektor ini diperkirakan hanya dapat diharapkan dari komoditas seperti jagung (termasuk komoditas pangan strategis), ubi kayu, dan ubi jalar (neraca perdagangan selalu surplus tapi nilainya kecil). Oleh sebab itu, program peningkatan produktivitas subsektor tanaman pangan diarahkan tidak hanya untuk komoditas pangan strategis tetapi juga komoditas potensial ekspor.
Subsektor Perkebunan
Tabel 2.12
Neraca Ekspor-Impor Produk Perkebunan (Segar dan Olahan)
Periode 1995-2003 (Juta Ton dan juta USD)
Tahun Volume (juta Ton) Nilai (juta USD)
Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca
1995 4,1 1,2 2,9 4183 1377 2806
1996 5,4 2 3,4 4658 1710 2948
1997 6,8 1,9 4,9 5180 1522 3657
1998 5,1 1,7 3,5 4079 1247 2832
1999 7,2 2,9 4,2 4092 1427 2665
2000 8,3 2,4 5,9 3887 1257 2629
2001 8,4 2,4 6 3148 1551 1597
2002 10,5 1,7 8,8 5024 1198 3827
2003 10,4 2,2 8,2 5771 1198 4573
Rata-rata
1995-1997 5,4 1,7 3,7 4673,7 1536,3 3137,4
Rata-rata
1998-1999 6,2 2,3 3,9 4085,5 1337 2748,5
Rata-rata
2000-2003 9,4 2,2 7,2 4457,5 1301 3156,5
Sumber Data: BPS diolah oleh Subdit PI PPH Bun
Selama ini ekspor hasil pertanian sebagian besar merupakan ekspor hasil perkebunan primer. Dalam jangka panjang, pengembangan ekspor sektor pertanian difokuskan kepada produk-produk olahan hasil pertanian yang memberikan nilai tambah lebih besar bagi perekonomian nasional. Sejalan dengan rencana tersebut, maka pengembangan agroindustri mutlak diperlukan yang pada gilirannya akan mendukung upaya pengembangan ekspor sektor pertanian.
Trend volume ekspor komoditas perkebunan dari tahun 1995 hingga 2003 cenderung meningkat. Sedangkan dari sisi impor, volume impor jauh lebih sedikit dan cenderung stagnan. Volume ekspor produk perkebunan mencapai posisi tertinggi di tahun 2002 yaitu sebesar 10,5 juta ton. Sedangkan impor tertinggi terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar 2,9 juta ton.
Tren ekspor perkebunan yang terus meningkat ini, memberikan gambaran bahwa produk perkebunan kita telah mampu bersaing di pasar internasional sehingga mampu memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam devisa perdagangan. Subsektor inilah dari sektor pertanian yang mampu memberikan surplus perdagangan yang sangat tinggi. Hal ini bisa dilihat dari data, dimana pada tahun 1995 neraca perdagangan hanya mencapai USD 2806 juta, terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2003 mencapai USD 4573 juta.
Total neraca perdagangan produk perkebunan dari tahun ke tahun selalu surplus, di atas US$ 2600 juta, kecuali pada tahun 2001 di bawah US$ 2000 juta (karena harga produk nilainya jauh di bawah trend). Sejak tahun 1995, secara konsisten volume ekspor produk perkebunan terus mengalami peningkatan, namun karena harga produk perkebunan di pasar dunia mengalami penurunan, maka peningkatan volume ekspor tersebut tidak terefleksi secara nyata pada nilai ekspor. Kondisi ini secara nyata terlihat misalnya dari volume ekspor yang rata-rata hanya 5,4 juta ton pada periode 1995-1997 nilainya mencapai US$ 4673 juta sementara dengan volume ekspor 6,2 juta ton dan 9,4 juta ton masing-masing pada periode 1998-1999 dan 2000-2003 hanya mencapai nilai sebesar US$ 4085 juta dan US$ 4457 juta.
Nilai ekspor komoditas perkebunan yang selalu jauh lebih tinggi dari nilai impor merupakan andalan sektor pertanian untuk menutupi devisa yang dikeluarkan untuk menutupi kekurangan biaya impor komoditas pertanian lainnya (baik tanaman pangan, hortikultura, maupun peternakan). Devisa dari ekspor komoditas perkebunan bahkan masih mampu memberikan nilai neraca perdagangan seluruh sektor pertanian yang positif.
Subsektor Peternakan
Tabel 2.13
Neraca Ekspor-Impor Produk Peternakan (Segar dan Olahan)
Periode 1995-2003 (Juta Ton dan juta USD)
Tahun Volume (juta Ton) Nilai (juta USD)
Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca
1995 0,07 0,60 (0,53) 91,25 904,43 (813,18)
1996 0,15 0,66 (0,51) 128,73 963,24 (834,51)
1997 0,12 1,9 115,74 860,98 (745,24) 6,8
1998 0,09 0,32 (0,23) 144,17 499,61 (355,44)
1999 0,08 0,45 (0,37) 151,46 477,64 (326,19)
2000 0,17 0,79 (0,62) 253,51 788,30 (534,79)
2001 0,16 0,75 (0,59.) 295,83 759,47 (463,64)
2002 0,09 0,73 (0,64) 213,53 636,71 (423,18)
2003 0,12 0,77 (0,65) 222,53 693,51 (470,99)
Rata-rata
1995-1997 0,11 0,63 (0,52) 111,91 909,55 (797,65)
Rata-rata
1998-2000 0,11 0,52 (0,41)
183,05 588,52
(405,47)
Rata-rata
2001-2003 0,12 0,75 (0,62) 243,96 696,56 (452,60)
Sumber : Biro Pusat Statistik (BPS), diolah Subdit Peternakan
Neraca perdagangan komoditas peternakan selalu defisit dari tahun ke tahun pada periode 1995-2003, namun tren menujukkan pengurangan nilai defisit perdagangan. Demikian halnya dengan nilai impor komoditas peternakan, meskipun masih tinggi tetapi trend nilai impor menunjukkan penurunan. Hingga saat ini subsektor peternakan belum mampu menyumbangkan secara signifikan devisa negara, hal ini terlihat dari tren ekspor yang cenderung stagnan, tidak menunjukkan peningkatan yang berarti (Gambar 7). Namun demikian, terdapat peluang meningkatkan pasokan dalam negeri (daging ayam, susu dan telur) yang dapat mengurangi impor bahkan meningkatkan ekspor khususnya untuk daging ayam dan daging babi.
Nilai ekspor komoditas peternakan meningkat dari US$ 111 juta pada masa sebelum krisis (1995-1997) menjadi US$ 183 juta pada masa krisis (1998-1999), dan semakin meningkat pada masa pasca krisis (2000-2003) menjadi US$ 244 juta. Sedangkan nilai impor sangat fluktuatif menurun dari US$ 909 juta pada masa sebelum krisis, turun menjadi US$ 588 juta pada masa krisis, dan meningkat kembali menjadi US$ 696 juta pada masa setelah krisis. Oleh sebab itu walaupun defisit, neraca perdagangan menunjukkan peningkatan dari minus US$ 797 juta pada masa sebelum krisis menjadi minus US$ 405 juta pada masa krisis, dan menurun kembali menjadi minus US$ 452 juta pada masa setelah krisis.
Subsektor Holtikultura
Tabel 9
Neraca Ekspor- Impor Produk Hortikultura
Periode 1995-2003 (Juta Ton dan juta USD)
Tahun Volume (juta Ton) Nilai (juta USD)
Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca
1995 0,4 0,3 0,1 170,5 190,2 (19,7)
1996 0,5 0,3 0,2 237,5 232,4 5
1997 0,3 0,4 -0,08 141,1 258,3 (117,2)
1998 0,2 0,3 -0,09 77,9 121,6 (43,7)
1999 0,6 0,4 0,2 356,2 140,6 215,6
2000 0,5 0,6 -0,03 296,8 252,9 43,9
2001 0,3 0,6 -0,3 169,1 254,7 (85,7)
2002 0,4 0,6 -0,2 205,2 334,5 (129,3)
2003 0,3 0,6 -0,3 205,1 333,18 (128,09)
Rata-rata
1995-1997 0,4 0,33 0,07 183,03 226,97 (43,97)
Rata-rata
1998-1999 0,4 0,35 0,05 217,05 131,10 85,95
Rata-rata
2000-2003 0,4 0,6 -0,20 219,05 293,8 (74,80)
Sumber Data: BPS diolah Subdit PI PPH Hortikultura
Perkembangan ekspor dan impor komoditas hortikultura dari tahun 1995 – 2003 sangat fluktuatif. Hingga tahun 1999 ekspor lebih tinggi dari impor, namun setelah itu impor melebihi ekspor. Volume ekspor tertinggi terjadi pada tahun 1999 dimana mencapai 0,6 juta ton, dimana sempat merosot tahun sebelumnya hingga hanya mencapai 0,2 juta ton. Rendahnya ekspor tahun sebelumnya itu (1998) merupakan akibatkan krisis ekonomi yang sempat mengejutkan eksportir produk hortikultura, namun tahun berikutnya krisis ini malah menjadi peluang yang dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku eksportir dimana mampu memperoleh keuntungan yang sangat besar akibat penguatan nilai mata uang asing terhadap rupiah. Namun kondisi ini kembali ke keseimbangan ekspor semula, dimana pasar hortikultura di dalam negeri mulai membaik setelah pasca krisis, sehingga berdampak terkoreksinya volume ekspor.
Demikian juga dengan melihat tren impor hortikultura, dimana pada pada awal krisis yaitu tahun 1998 sempat menurun. Namun dengan perkembangan perekonomian konsumen yang semakin membaik dan meningkatnya preferensi konsumen terhadap produk impor, sehingga dari tahun 1999 impor terus menanjak hingga tahun 2000 sampai sekarang stabil di kisaran 0,6 juta ton/tahun.
Dengan melihat neraca nilai ekspor-impor, maka neraca perdagangan produk hortikultura ini pernah mengalami surplus yang sangat tinggi yaitu pada tahun 1999, mencapai USD 215 juta. Namun setelah itu nilai neraca perdagangan terus mengalami penurunan sampai sehingga defisit mulai tahun 2001
C. Peranan Sektor Pertanian terhadap Perekonomian Indonesia
Di Indonesia pertanian memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk yang hidup dan bekerja pada sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian. Seperti yang telah kita ketahui bahwa SDA Indonesia memang cocok untuk lahan pertanian.
Bila dilihat dari laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian memiliki kontribusi yang cukup tinggi, hal ini menunjukan peranan sektor pertanian terhadap PDB yang juga memiliki peranan penting sama halnya dengan sektor -sektor lain yang juga turut berperan dalam laju pertumbuhan PDB tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.10
Sumbangan Sektor Pertanian Terhadap PDB (milyar) Atas Dasar Harga BerlakuTahun 1995- April 2006
Tahun
Tanaman pangan
Perkebunan
Peternakan
Kehutanan
Perikanan
PDB
Sektor Pertanian
1995
32.851,5
9.918,3
6.719,8
6.303,6
5.973,6
61.766,8
1996
32.959,3
10.287,9
7.013,8
6.412,3
6.263,9
62.937,7
1997
51.561,6
16.389,2
11.688,1
9.633,4
10.878,1
100.150,4
1998
88.546,1
36.377,0
19.743,3
19.294,7
22.521,7
186.482,8
1999
33.768,8
11.463,9
6.869,0
6.125,0
7.134,5
65.361,5
2000
111.324,0
31.720,4
25.627,4
17.215,1
30.944,6
216.831,3
2001
137.751,9
36.758,
34.284,9
17.594,5
36.937,9
263.327,8
2002
153.666,0
43.956,4
41.328,9
18.875,7
4 1 .049,7
298.876,8
2003
157.648,8
46.753,8
37.354,2
18.414,6
45.612,1
305.783,5
2004
165.558,2
51.590,6
40.634,7
19.678,3
54.091,2
331.553,0
2005
183.581,2
57.733,0
43,123,5
21.450
59.631,9
365.559,6
2006
61.719,3
9.330,2
11.357,7
4.928,3
14.901,5
102.237,0
Sumber: Statistik ekonomi keuangan Indonesia (BI) laporan lembaga keuangan.
Tahun 1995-1997 hasil pertanian mengalami kenaikan, begitu pula pada produksi domestik bruto (PDB). Hal ini dikarenakan pada saat itu pembangunan diorientasikan pada pertanian. Isi repelita tersebut mencakup upaya-upaya yang tujuannya untuk meningkatkan produksi dan memperluas penganakeragaman pertanian akan pangan dan kebutuhan industri dalam negeri dan untuk memperbesar ekspor, meningkatkan pendapatan dan mendorong perluasan serta pemerataan tenaga kerja.
Namun, pada tahun 1998 hasil sektor pertanian masih mengalami kenaikan Bila dianalisis lebih lanjut tahun 1998 kenaikan PDB dipengaruhi pula clengan laju inflasi yang cukup tinggi sebesar 77,6 %. Hal terburuk yang terjadi pada tahun 1999 ditandai dengan penurunan baik hasil sektor pertanian maupun PDB mengalami penurunan yang sangat drastis daripada tahun-tahun sebeiumnya. Sedangkari pada tahun 2000-2005 PDB sektor pertanian ini memang mengalami kenaikan yang cukup baik, pada tahun 2000 PDB naik menjadi 216.831,3 milyar.
Grafik 2.7
Sumbangan Sektor Pertanian Terhadap PDB (milyar) Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1995- April 2006
Secara singkat sumbangan sektor pertanian terhadap PDB apabila di persentasikan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.11
Persentase Perkembangan Sumbangan Sektor Pertanian Tahun 1995-2006
Tahun
Persentase Sumbangan PDB
1995
13,65
1996
11,89
1997
9,99
1998
19,51
1999
5,94
2000
17,14
2001
15,63
2002
16,04
2003
14,31
2004
15,21
2005
16,60
2006
19,39
Berdasarkan data diatas secara grafis perseritase kontribusi sektor pertanian tersebut terhadap PDB lahun 3995-2006 adalah sebagai berikut:
Grafik 2.8
Persentase Sumbangan sektor Pertanian pada PDB
tahun 1995-2006
Namun sejak Indonesia mencoba untuk menggeser sektor pertanian dengan sektor industri nampaknya sektor pertanian mulai dianaktirikan sehingga peranannya pun dianggap mulai menurun. Dalam hal ini yang lebih dominan diperhatikan dalam perekonomian Indonesia adalah sektor industri. Padahal apabila dikaji lebih dalam sebenarnya kedua sektor tersebut yaitu sektor pertanian dan sektor industri memiliki keterkaitan yang erat. Di satu sisi pertanian merupakan penyedia bahan-bahan mentah atau bahan baku untuk berbagai kegiatan industri, sedangkan sektor industri juga dapat dimanfaatkan untuk menunjang sektor pertanian, misalnya dengan menciptakan alat-alat bahan yang dapat digunakan untuk mempercepat proses panen pada sektor pertanian atau untuk meningkatkan kualitas hasil pertanian.
Sedangkan berdasarkan analisis klasik dari Kuznets (1964), bahwa pertanian dapat dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dan memiliki empat bentuk kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut (Dr. Tulus TH Timbunan : 197-198), yaitu sebagai berikut:
Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di sektor pertanian, baik dari sisi permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang continue mengikuti pertumbuhan penduduk, maupun dari segi penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur (musalnya industri makana dan minuman) dan perdagangan. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk.
Di negara-negara agraris seperti Indonesia, pertanian berperans sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi produk-produk dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar.
Sebagai suatu sumber modal untuk investai di sektor-sektor ekonomi lainnya. Selain itu, menurut teori penawaran tenaga kerja (labour/L) tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus , bahwa dalam proses pembangunan ekonomi terjadi trnsfer surplus L dari pertanian (pedesaan) ke industri dan sektor-sektor perkotaan lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi sektor-sektor produksi.
Sebagai sumber pentingbagi surplus neraca perdagangan (*sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian maupun dengan peningkatan produksi pertanian dalam negeri dalam menggantikan impor (substitusi impor). Kuznets menyebutnya kontribusi devisa.
1. Kontribusi Produk
Seperti yang telah dijelaskan sebelurnnya bahwa sektor-sektor ekonomi lain sangat tergantung pada produk dari sektor pertanian, bukan saja untuk suatu kelangsungan pertumbuhan suplai makanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, melainkan juga untuk penyediaan bahan baku yang digunakan oleh sektor industri manufaktur, seperti industri tekstil, industri barang-barang dari kulit, dan industri makanan dan minuman. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk
Kontibusi produk dari pertanian dapat dilihat dari relasi antara pertumbuhan pangsa PDB dari sektor tersebul dengan pangsa awalnya dan laju pertumbuhan relative dari produk-produk neto pertanian dan non pertanian. Jika Pa = neto pertanian, Pn = produk neto non pertanian, dan P = total produk nasional yang membentuk PDB, maka relasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Ghatak dan Ingersent, 1984)
Di dalam sistem ekonomi terbuka, besarnya kontribusi produk dari sektor pertanian, baik lewat pasar maupun lewat keterkaitan produksi dengan sektor-sektor nonpertanian, misalnya industri manufaktir, juga sangat dipengaruhi oleh kesiapan sektor itu sendiri dalam menghadapi persaingan dari luar (tingkat daya saingnya).
2. Kontribusi Pasar
Karena pengaruh agraris yang sangat kuat dari ekonomi selama tahap awal proses pcmbangunan ekonomi, populasi di sektor pertanian (pedesaan) membentuk suatu proporsi yang sangat besar dalam pasar domestik untuk produk-produk industri dalam negeri, termasuk pasar untuk barang-barang produsen maupun barang-barang konsumsi. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar.
Negara Indonesia sebagai Negara agraris dengan proporsi populasi pertanian yang besar, merupakan sumber yang sangat penting bagi pertumbuhan pasar domestik baik pada sektor pertanian itu sendiri maupun bagi sektor-sektor nonpertanian, khususnya industri manufaktur, pengeluaran petani untuk produk-produk industri, baik barang-barang konsumsi maupun barang-barang produsen, memperlihatkan suatu aspek kontribusi pasar dari sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi.
Peranan sektor pertanian lewat kontribusi pasarnya telah diversifikasi dan pertumbuhan output dari sektor-sektor nonpertanian sangat tergantung pada dua faktor penting, yaitu:
Pertama, dampak dari keterbukaan ekonomi dimana pasar domestik tidak hanya diisi oleh barang-barang buatan dalam negeri, tetapi juga barang-barang impor. Di dalam system ekonomi tertutup, kebutuhan petani akan barang-barang non makanan mau tidak mau harus dipenuhi oleh industri di dalam negeri. Jadi secara teoritis (dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain mendukung), perkembangan dan pertumbuhan industri domestik akan lebih terjamin dengan system ekonomi tertutup. Dan sebaliknya, dalam system ekonomi terbuka, industri dalam negeri menghadapi persaingan dari barang-barang impor serupa. Hal ini menuntut berbagai pihak untuk dapat menghadapi persaingan ini.
Kedua, jenis teknologi yang digunakan di sektor pertanian yang menetukan tinggi rendahnya tingkat mekanisasi atau modernisasi dari sektor tersebut. Permintaan terhadap barang-barang produsen dari sektor pertanian yang masih tradisional lebih kecil (baik dalam jumlah maupun komposisinya menurut jenis barang) dibandingkan permintaan dari sektor pertanian yang sudah modern.
3. Kontribusi Faktor-faktor Produksi
Ada dua faktor produksi yang dapat dialihkan dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian, tanpa harus mengurangi volume produksi (produktivitas) di sektor pertanian..
Pertama adalah tenaga kerja, dalam teori Arthur Lewis dikatakan bahwa pada saat pertanian mengalami surplus tenaga kerja (dimana marginal produk dari tenaga kerja mendekati atau sama dengan nol) yang menyebabkan tingkat produktivitas alau pendapatan riil per pekerja di sektor tersebut rendah, akan terjadi transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Sebagai dampaknya kapasitas dan volume produksi di sektor industri meningkat.
Kedua adalah modal. Dalam hal ini sektor pertanian bisa menjadi salah satu sumber modal bagi investasi sektor lain.
Semakin tinggi harga produk pertanian, akan semakin besar suplai produknya. Demikian juga, semakin tinggi volume output pertanian yang diproduksi, semakin tinggi output yang dipasarkan.
Agar peranan sektor pertanian dapat direlisasikan, ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi terlebih dahulu :
1. petani harus menjual sebagian dari outputnya keluar sektornya atau dengan perkataan lain harus ada market surplus dari produk pertanian.
2. petani harus merupakan net savers, yakni pengeluaran mereka untuk konsumsi harus lebih kecil daripada produksi mereka.
3. tabungan para petani harus lebih besar daripada kebutuhan investasi di sektor pertanian.
Untuk mendapatkan market surplus, kinerja sektor pertanian itu sendiri harus baik, dalam arti bisa menghasilkan surplus. Faktor terakhir ini sangat ditentukan oleh kekuatan sisi suplainya (teknologi, infrastruktur, dan sumber daya manusia) dan dari sisi permintaan (pasar) oleh nilai tukar antar produk pertanian dan produk nonpertanian, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
4. Kontribusi Devisa
Sektor pertanian mampu berperan sebagai sumber penting bagi surplusnya neraca perdagangan atau neraca pembayaran (sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian atau dengan ekspansi produksi dari komoditi-komoditi pertanian yang menggantikan impor (subtitusi impor). Disebut kontribusi devisa.
Kontribusi pertanian di suatu Negara terhadap peningkatan devisa terjadi melalui peningkatan ekspor dan/atau pengurangan impor negara tersebut untuk komoditi-komoditi pertanian. Kontribusi sektor pertanian terhadap ekspor juga bisa bersifat tidak langsung, misal melalui peningkatan ekspor atau pengurangan impor produk pertanian seperti, makanan dan miniman, tekstil dan produk-produknya.
Pentingnya sektor pertanian juga dapat pula dilihat dari besarnya nilai ekspor yang berasal dari pertanian sehingga sektor pertanian juga merupakan salah satu sumber penghasil devisa untuk Indonesia.
5. Penyerapan Tenaga kerja
Sektor pertanian sebagai sector yang sangat penting di Indonesia. Hal itu dikarenakan selain Indonesia memiliki potensi pertanian yang sangat besar juga dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani. Sensus penduduk pada tahun 2003, menunjukkan bahwa sejak tahun 1993 jumlah petani Indonesia mengalami peningkatan dari 20,8 juta menjadi 25,4 juta rumah tangga, atau dengan laju petumbuhan rata-rata sebesar 2,2 persen. Dari sensus tersebut kita dapat melihat bahwa begitu banyaknya tenaga kerja yang dapat diserap oleh sektor pertanian ini.
Kontribusi sektor pertanian dalam pertumbuhan dan Stabilitas PDB
Menurut hasil penelitian Amiruddin Syam dan Sakityanu K. Dermoredjo (1995) Kontribusi sektor pertanian dalam pertumbuhan PDB nasional tertinggi dicapai tahun 1985 (21,51%) jika dibandingkan dengan kontribusi sektor lainnya. Hal ini seiring dengan pertumbuhan pangsa dan sumber pertumbuhan yang dicapai sektor pertanian. Selanjutnya besarnya kontribusi sub sektor tanaman bahan makanan terhadap PDB pertanian ditandai dengan pertumbuhan pangsa dan sumber pertumbuhan yang telah dicapai. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor terpenting di dalam perekonomian nasional. Sektor pertanian lebih stabil dibandingkan dengan sektor lainnya, kecuali sektor pertambangan dan penggalian. Dalam sektor pertanian, sub sektor tanaman bahan makanan lebih besar nilai volatilitasnya atau tingkat stabilitasnya lebih stabil dibandingkan dengan sub sektor-sub sektor lainnya.
Tabel 2.12
Nilai Ukur Petani
Tahun Pulau Jawa
Jawa Timur Jawa Tenagah Jawa Barat DI. Yogyakarta
1996 107,0 109,0 101,0 111,6
1997 112,8 104,2 104,1 114,5
1998 105,1 94,0 101,4 131,1
1999 97,6 91,5 112,1 121,5
2000 103,7 91,9 105,5 115,6
Pada bulan Agustus 2009 lalu, Nilai Tukar Petani (NTP) nasional menembus angka 100 sepanjang tahun 2009 ini. NTP nasional Agustus 2009 tercatat sebesar 100,24 atau naik 0,42 % dibandingkan bulan sebelumnya.
Rusman Heriawan, Ketua Badan Pusat Statistik, Jakarta, pekan lalu mengungkapkan angka NTP. Itu menunjukkan ada perbaikan kesejahteraan petani dibandingkan tahun dasar, tahun 2007. Dari posisi benefit yang diperoleh petani dari selisih harga jual produk petani dan harga beli petani lebih bagus pada bulan ini.
NTP Agustus 2009 dibandingkan Juli 2009, seluruh subsektor NTP mengalami kenaikan, yaitu subsektor tanaman pangan 0,35 %, hortikultura 0,57 %, tanaman perkebunan rakyat 0,75%, peternakan 0,06%, dan perikanan 0,49 %. Kenaikan NTP terutama dipicu oleh kenaikan subsektor tanaman pada subkelompok tanaman perkebunan rakyat.
Selanjutnya dia menyatakan dari 32 provinsi (tanpa DKI) pada Agustus 2009, NTP 21 provinsi naik, 1 provinsi relatif stabil, sedangkan 10 provinsi turun. Kenaikan NTP terjadi di Provinsi Sumatera Barat (2,22 %), terutama disebabkan harga produksi cabe naik sebesar 7,88%. Penurunan NTP terbesar terjadi di Provinsi Papua Barat, sebesar 1,90 %, penyebab utamanya adalah turunnya produksi coklat sebesar 8,57 %.
Pada Agustus 2009, terjadi inflasi di daerah perdesaan di Indonesia sebesar 0,66 %. Inflasi perdesaan Agustus 2009 ini dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga subkelompok bahan makanan, makanan jadi, perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan serta rekreasi & olah raga masing-masing naik sebesar 0,77 %, 0,69 %, 0,84 persen, 0,37 %; 0,27 % dan 0.61 % sedangkan kelompok transportasi dan komunikasi turun 0,11 %.
Sementara itu tercatat Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP) sebesar 95,37; Nilai Tukar Petani Hortikultura (NTPH) 103,77; Nilai Tukar Petani Tanaman Perkebunan Rakyat (NTPR) 104,77; Nilai Tukar Petani Peternakan (NTPT) 104,63; dan untuk Nilai Tukar Nelayan (NTN) 106,42.
D. Perbandingan Kondisi Pertanian Indonesia dengan Negara Tetangga
Di dalam kelompok ASEAN, walaupun Indonesia merupakan Negara anggota terbesar dalam jumlah penduduk (berarti luas pasar domestik) dan luas lahan pertanian, nyatanya Indonesia bukan Negara terbesar dalam hal sumbangan sector pertanian terhadap pembentukkan PDB . table di bawah ini menunjukkan bahwa selama decade 90-an Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan Kamboja, laos, Myanmar, Filiphina dan Vietnam. Di decade 2000-an juga demikian, peran sector pertanian dalam PDB di Indonesia bukan yang terbesar. Fakta ini menguatkan rendahnya tingkat produktivitas pertanian di Indonesia dibandingkan dengan sejumlah negara di table tersebut. (Tulus Tambunan : 2009 : 146)
Tabel 2.13
Peran Pertanian di Dalam Ekonomi menurut Neara ASEAN (% dari PDB)
Negara Pertanian Industri
1993 2003 2006 1993 2003 20066
Brunei 14.62 2.2 0.9 39.91 41.31 12.3
Kamboja 47.3 37.2 30.1 8.6 17.3 19.6
Indonesia 17.9 15.9 12.9 22.3 24.7 28.0
Laos 57.5 48.6 44.8 13.1 19.2 20.7
Malaysia 40.43 9.5 8.7 25.9 31.2 29.8
Myanmar 58.8 57.2 48.4 7.0 7.8 11.6
Filipina 21.6 14.4 14.2 23.7 22.9 22.9
Singapura 25.24 0.15 0.1 25.2 26.1 27.7
Thailand 8.7 9.8 10.7 29.6 35.2 35.1
Vietnam 29.9 21.8 20.4 15.2 20.8 21.3
Keterangan : 1) termasuk pertambangan dan Penggalian; 2) termasuk sektoir-sektor lain di luar pertambangan dan penggalian, industry, perdagangan dan lain-lain, keuangan dan lain-lain dan jasa-jasa lainnya; 3) termasuk sector-sektor lain di luar industry, perdagangn dan lain-lain, keuangan dan lain-lain, dan pertanian dan penggalina 4) termasuk sector-sektor lain di luar industry, keuangan dan lain-lain, perdagangan dan lain-lain, transportasi & komunikasi,; 5) termasuk pertambangan & penggalian: 6) Manufaktur.
Grafik 2.8
Peran Pertanian di Dalam Ekonomi menurut Negara ASEAN (% dari PDB)
E. Permasalahan Pertanian di Indonesia serta strategi dan kebijakan
Permasalahan Pertanian di Indonesia
Dunia pertanian Indonesia untuk saat ini dapat dikatakan belum menunjukkan prestasi yang baik. Bila dilihat secara internasional ketergantungan kita pada produk pertanian dari luar negeri tampak sangat jelas. Tingkat konsumsi bahan pangan penting seperti beras dan kedelai tidak dapat diimbangi oleh produktivitas dalam negeri. Dari data mengenai tingkat konsumsi dan produksi kedelai terlihat.ketergantungan yang sangat besar pada suplai dari luar negeri. Pada tahun 2004 kebutuhan kedelai nasional diperkirakan mencapai 1.951 100 ton, sementara produksi pada tahun 2003 hanya mencapai 672 437 ton (Girsang, 2004). Besarnya nilai impor produk pertanian dapat dilihat pada rapor mengenai prestasi pertanian kita yang dilaporkan oleh WTO, yakni ekspor produk pertanian pada tahun 2003 menempati urutan 11 dengan nilai 9,94 miliar dolar AS, namun nilai impor mencapai 5,44 miliarmdolar AS dan merupakan peringkat 14 dunia. Hal ini sangat kontras dengan Amerika Serikat yang merupakan eksportir peringkat ke dua dengan nilai 76,24 miliar dolar AS
Bila dicermati dengan seksama dunia pertanian kita menghadapi berbagai masalah serta kendala yang saling berkait, mulai dari sumber daya manusia, kurangnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, infrastruktur serta kesenjangan penguasan teknologi.
Sumber daya manusia
Petani sebagai pelaku utama bisnis dalam bidang pertanian sejauh ini pada umumnya belum memiliki kualitas yang memadai untuk dapat merencanakan dan melaksanakan kegiatan pertanian secara sehat. Sebagian besar petani kita memiliki tingkat pendidikan yang rendah, yang dikombinasikan dengan kepemilikan lahan yang sempit (kurang dari 0,5 ha). Kondisi tersebut selanjutnya mendudukkan petani pada posisi yang lemah dalam akses terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk memajukan kegiatannya. Kebanyakan petani hanya melaksanakan kegiatannya secara tradidional, tanpa disertai inovasi baru untuk meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraannya. Sebagai contoh, petani cenderung menanam komoditas dengan produktivitas rendah atau bernilai jual rendah. Sering pula terjadi petani menanam komoditas hortikultura yang bernilai relatif tinggi, namun kurang dapat memperhitungkan peluang pasar sehingga menanam komoditas secara beramai-ramai pada musim tanam tertentu yang mengakibatkan panen raya dengan tingkat produksi jauh melebihi permintaan sehingga memperoleh harga jual yang sangat rendah. Bila ditinjau lebih jauh ketersediaan komoditas tersebut tidak merata sepanjang tahun. Kemampuan untuk merencanakan penanaman sesuai dengan permintaaan pasar akan mendapatkan imbalan yang sesuai, karena petani dapat menjual panenan dengan harga yang tinggi.
Kendala infrastruktur
Negara kita meliputi wilayah yang sangat luas, walaupun sebagian besar berupa lautan. Dari daratan yang ada tingkat kesuburan sangat bervariasi. Sejauh ini pulau Jawa merupakan wilayah andalan sebagai pemasok bahan pangan maupun hortikultura, berkaitan dengan tingkat kesuburannya yang tinggi. Selain tingkat kesuburan yang kurang, daerah di luar Jawa juga menghadapi kendala untuk pengembangan produk pertanian, yakni kurangnya saluran irigasi. Irigasi merupakan sarana yang sangat penting bagi kegiatan pertanian. Sistem irigasi yang baik memungkinkan pencapaian kualitas dan kuantitas hasil yang tinggi.
Pada kasus penanaman padi, peningkatan hasil dapat diperoleh melalui peningkatan produktivitas serta frekuensi penanaman. Sistem irigasi secara signifikan mempengaruhi peningkatan panenan melalui kedua faktor tersebut. Sistem irigasi yang baik seperti irigasi teknis memungkinkan penanaman padi lebih sering daripada sistem irigasi sederhana. Di pulau Jawa, sistem irigasi teknis tersedia pada 1.526.829 ha sawah, dari total luas sawah 3.344.391 ha. Kondisi irigasi di luar jawa jauh lebih memprihatinkan. Data pada tahun 2001 menunjukkan areal sawah dengan irigasi teknis hanya terdapat pada 712.004 ha dari total luas sawah 7.779.733 ha (BPS, 2003). Di Thailand yang merupakan produsen padi yang besar, sistem irigasi telah mendapat perhatian yang serius. Sejak awal abad 20 telah dibangun banyak bendungan untuk tujuan tersebut.
Selain berasal dari air permukaan yang ditampung dalam bendungan, sistem irigasi juga memanfaatkan air tanah yang dialirkan dengan sistem pompa. Pada tahun 1995 areal pertanian yang telah dilengkapi dengan saluran irigasi mencapai sekitar 5 003 724 ha. Sarana irigasi masih terus ditingkatkan dengan penambahan 120 000 ha lahan beririgasi per tahun (Aquastat,1997) Selain masalah irigasi, pra sarana berupa jalan yang menghubungkan sentra produksi dengan daerah lain merupakan pendukung sektor pertanian yang tak kalah pentingnya. Di beberapa daerah sentra produksi, harga komoditas pertanian sangat rendah, sementara komoditas tersebut sebenarnya memiliki pasar yang luas dengan harga tinggi. Produksi beberapa jenis buah seperti durian, duku dan pisang di beberapa daerah di pulau Sumatera dikenal sangat tinggi, namun karena jarak yang jauh dari pasar serta kurangnya dukungan transportasi, produk-produk tersebut dijual dengan harga yang rendah. Jalan serta alat transportasi sangat penting dalam upaya pengembangan daerah pertanian. Hal ini telah disadari oleh pemerintah Thailand yang bertekad membangun sektor pertanian yang merupakan mata pencaharian bagi 60% penduduknya. Seiring dengan pembangunan sektor pertanian di negara tersebut dibangun pula jalan-jalan, bahkan dikembangkan jalan bebas hambatan yang menghubungkan daerah sentra produksi dengan daerah lain yang merupakan pintu pemasaran produk pertanian. Jaringan jalan raya meliputi sekitar 26 700 mil ini meliputi jalan tingkat nasional, jalan tingkat propinsi serta jalan raya yang menghubungkan daerah pertanian. Jalan bebas hambatan juga menghubungkan Thailand dengan beberapa negara tetangganya seperti Laos, Kamboja, Vietnam, Malaysia dan Burma.
Dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi
Pengembangan bidang pertanian melalui penelitian di negeri kita tergolong kurang pesat dibandingkan dengan negara lain. Hal ini antara lain berkaitan dengan keterbatasan dana penelitian yang dialokasikan pemerintah. Di negara-negara maju penelitian dan pengembangan mendapatkan perhatian yang serius, terlihat dari besarnya dana yang dianggarkan untuk kepentingan tersebut. Pada tahun 1990 Amerika Serikat dan Jepang, masing-masing mengalokasikan 2.6-2.8% dari GNP untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, sementara di Indonesia anggaran untuk kepentingan tersebut hanya mencapai 0,2 % dari GNP. Selain itu kuantitas dan kualitas peneliti di negara kita juga cenderung lebih rendah. Di negara kita proporsi peneliti masih sangat rendah. Data pada tahun yang sama menunjukkan jumlah peneliti hanya 183 per satu juta penduduk, sedangkan di kedua negara tersebut dapat mencapai 20 kali lipat, yakni sebesar 3300-5000 peneliti untuk jumlah penduduk yang sama (Salam, 1991). Menurut Pranadji dan Simatupang (1999) strategi penelitian dan pengembangan yang kurang efektif antara lain juga disebabkan oleh komposisi keahlian, kemampuan, proses regenerasi dan pengelolaan dari peneliti bidang pertanian yang dimiliki relatif belum memadai.
Untuk memajukan penelitian dan pengembangan bidang pertanian diharapkan peranan swasta dalam mendukung pendanaan. Penelitian-penelitian bersifat pelayanan teknologi selanjutnya diharapkan dapat dibiayai oleh pihak swasta seperti perusahaan agribisnis yang akan banyak memanfaatkan hasilnya. Selain itu, sejalan dengan pengembangan sistem otonomi aerah, pemerintah daerah dapat mendukung pendanaan penelitian yang ditujukan secara spesifik untuk pengembangan wilayahnya. Dengan demikian sumber dana bagi pengembangan pertanian dapat berasal dari pemerintah daerah dan pihak swasta untuk menunjang dana dari pemerintah pusat yang sangat terbatas (Sudaryanto dan Rusastra, 2000)
Perkembangan penelitian di negara kita juga tertinggal dari beberapa Negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Bila kita amati kualitas produk-produk hortikultura seperti buah-buahan tampak sangat jelas bahwa perkembangan pertanian di kedua negara tersebut jauh lebih cepat. Di Indonesia keragaman yang kaya dari buah-buahan seperti durian, pisang, mangga dan buah-buah lain belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk merakit varietas unggul yang berdaya saing tinggi dalam pasar internasional. Kasus durian merupakan salah satu contoh kurangnya dukungan penelitian dan pengembangan dalam sektor pertanian. Seperti telah dikemukakan terdahulu, potensi produksi durian di wilayah Sumatera, Kalimantan dan beberapa daerah lain belum dapat dimanfaatkan dengan baik. Peluang pasar untuk komoditas ini masih sangat luas, meliputi pasar domestic maupun luar negeri. Salah satu kendala dalam distribusi komoditas ini adalah buah mudah rusak akibat kulit buah cepat terbuka selama proses pengangkutan. Kendala ini sebenarnya dapat diatasi bila kita memiliki varietas dengan kulit buah tahan lama. Masyarakat petani Thailand dan Malaysia telah dapat mengatasi masalah tersebut karena upaya pemuliaan di negara tersebut telah menghasilkan varietas unggul seperti Monthong (Thailand) serta durian D24 yang dihasilkan di Malaysia (Rahardi, 2001). Di Thailand dikembangkan 4 varietas durian unggul yakni Monthong, Chanee, Kra dum thong, dan Puang manee, yang dapat disimpan selama 2 minggu (Salakpethch, 2000). Di Malaysia, selain beberapa varietas unggul dari Thailand ditanam pula beberapa klon unggul lokal antara lain D24, D145 dan D169 Ke tiga klon durian ini berukuran relatif kecil, namun dapat disimpan sampai 9-11 hari (DOL, 1997). Kita memiliki beberapa varietas durian unggul lokal yang disukai masyarakat namun daya simpannya masih rendah. Belakangan ini diperkenalkan klon durian lokal DR-06 dan DTK-02 yang disebutkan relatif tahan lama, namun bibit belum tersedia secara luas
Masalah pada durian hanya salah satu contoh kasus kurangnya dukungan penelitian dan pengembangan dalam sektor pertanian. Ada banyak masalah lain yang perlu dikembangkan melalui penelitian, misalnya merakit varietas pisang local dengan cita rasa enak yang telah dimilikinya, namun berpenampilan menarik serta memiliki tekstur kulit dan tangkai kuat sehingga tahan lama dalam proses pengangkutan dan penyimpanan. Selain perakitan kultivar buah unggul, perlu dikembangkan pula upaya produksi buah di luar musim, sehingga petani memperoleh harga jual yang tinggi.
Selain kurangnya pengembangan varietas unggul, daya saing produk pertanian yang rendah juga disebabkan oleh kualitas produk yang kurang baik akibat penanganan pasca panen yang cenderung serampangan. Berbeda dengan produk pertanian dari luar negeri yang dikemas secara baik, penanganan produk pertanian kita pada umumnya kurang mendapat perhatian.
Kesenjangan IPTEK
Seperti telah dibahas terdahulu, pendidikan petani kita pada umumnya relative rendah. Rendahnya tingkat pendidikan petani berakibat pada kesenjangan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi informasi yang mendukung pengembangan bidang pertanian. Akibat kesenjangan tersebut hasil-hasil penelitian yang diperoleh kurang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna. Pada era teknologi informasi ini banyak hasil-hasil penelitian disediakan dalam bentuk publikasi elektronik yang mudah diakses secara luas. Badan litbang Pertanian telah membangun jaringan komunikasi melalui internet dengan tujuan menyajikan informasi terbaru secara lengkap, mengusahakan sarana komunikasi antara para peneliti dengan pengguna serta sebagai sarana promosi hasil hasil penelitian (Deptan, 2002). Petani yang sebagian besar tinggal di pedesaan dengan latar belakang pendidikan relatif rendah pada umumnya kurang dapat memanfaatkan fasilitas tersebut. Peranan jaringan internet dalam peningkatan hasil yang dapat diperoleh petani cukup signifikan. Pemanfaatan internet untuk meningkatkan akses pasar telah dinikmati petani Malaysia yang dapat menjual nenas dengan harga 2.5 kali lebih mahal dari pada petani Bandung yang menjual buah dengan kualitas yang sama secara konvensional.
Selain informasi dalam bentuk elektronik, publikasi dalam bentuk cetakan berupa jurnal-jurnal ilmiah, jurnal ilmiah popular, serta koran dan majalah masih banyak digunakan dalam upaya transfer teknologi dan informasi sektor pertanian. Untuk kalangan tertentu seperti pelaku agribisnis dalam skala menengah ke atas informasi dalam bentuk demikian dapat diakses dengan mudah, namun bagi petani yang tinggal di pedesaan dengan tingkat sosial ekonomi yang relatif rendah sumber informasi ini masih tergolong mahal. Latar belakang pendidikan yang rendah juga merupakan kendala dalam upaya memperoleh informasi secara aktif. Dari studi kasus di daerah transmigrasi Sumatra selatan, didapati bahwa pada masyarakat dengan tingkat pendidikan yang sebagian besar hanya sampai tingkat SD (67%-87.3%) pemanfaatan sumber informasi berupa media cetak dan elektronik masih sangat rendah. Dalam masyarakat tersebut, pertemuan kelompok tani merupakan media komunikasi yang utama, sedangkan informasi mengenai perkembangan sector pertanian terutama diperoleh dari para petugas penyuluh pertanian lapang (Sulaiman, 2002). Dari contoh kasus diatas tampak jelas bahwa transfer teknologi dalam bidang pertanian seperti teknik-teknik budidaya, penanganan pasca panen atau pemasaran diperoleh petani melalui para petugas penyuluh pertanian lapang (PPL).
Dalam upaya mempercepat transfer teknologi dan sumber informasi, peranan petugas penyuluh lapang layak mendapat perhatian. Jumlah PPL sejauh ini masih kurang memadai, demikian juga tingkat pendidikannya. Petugas PPL pada umumnya merupakan lulusan sekolah menengah pertanian. Untuk melaksanakan tugas dengan baik perlu peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang merupakan ujung tombak transfer teknologi kepada petani tersebut. Dari hasil evaluasi Program Pendidikan dan Latihan Jarak Jauh terhadap para PPL dilaporkan terdapat perkembangan yang positif dalam wawasan pengetahuan, ketrampilan serta peningkatan kemampuan pengelolaan usaha pertanian masyarakat.
Selain penyuluhan yang bersifat ceramah, pembinaan melalui contoh nyata sangat diperlukan bagi petani. Petani tradisional pada umumnya sulit untuk menerima informasi serta ajakan yang bersifat pembaruan. Untuk mengajak petani agar lebih mudah mengikuti saran-saran yang diberikan perlu dibuat lebih banyak plot percontohan yang melaksanakan seluruh kegiatan usaha pertanian mulai dari teknik budidaya, penanganan pasca panen hingga pemasaran produknya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui alih teknologi juga dapat dikembangkan melalui sistem kemitraan. Petani yang berperan sebagai plasma dapat memperoleh pengetahuan serta pengalaman melalui binaan yang dilakukan oleh perusaan agribisnis yang berperan sebagai inti. Selain pengetahuan mengenai teknik budidaya, dengan hubungan ini petani memperoleh pelajaran yang sangat bermanfaat mengenai perlunya pengendalian mutu produk. Sistim kemitraan seperti ini telah dilakukan pula di beberapa negara, misalnya di Malaysia melalui program FELDA yang terbukti memberikan hasil yang baik.
Strategi dan Kebijakan Pemerintah
Indonesia pernah bertekad untuk mencapai swasembada beras dalam tempo lima tahun ketika Repelita I dimulai tahun 1969. Namun, itu tidak tidak berhasil. Ketika swasembada beras menjadi tujuan implisit dan eksplisit dalam semua kebijakan pertanian Indonesia, sampai tujuan tersebut dicapai 15 tahun kemudian pada 1984, misi ini sesungguhnya merupakan misi yang sangat berat bagi Indonesia. Yang relatif mudah direncanakan jauh lebih rumit dan sukar dalam pencapaiannya. Pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia. Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak menyukainya. Ketika harga beras melonjak sampai pada titik di mana konsumsinya harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah pusat dari semua hubungan pertalian sosial. Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya:
1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras.
Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling berperan dalam pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam bisnis pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan pasokan dan harga pada tingkat nasional.
Bulog sengaja diciptakan untuk mendistorsi mekanisme harga beras dengan manipulasi untuk memelihara pasar yang lebih kuat. Selama tahun-tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara bertahap menaikkan harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade 80-an, ketika Indonesia surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri untuk mencegah jatuhnya harga. Tindakan ini membantu memelihara stabilitas pasar.
2. Teknologi dan Pendidikan.
Sejak tahun 1963, Indonesia memperkenalkan banyak program kepada para petani untuk meningkatkan produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi pertanian kepada para petani. Di samping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk menjamin teknik dan teknologi baru dimengerti dan digunakan secara benar. Faktor lain yang berperan penting dalam meningkatkan hasil padi adalah peningkatan penggunaan pupuk kimia.
3. Koperasi Pedesaan.
Pada tahun 1972, ketika Indonesia kembali mengalami panen buruk, pemerintah menganjurkan pembentukan koperasi sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa). Pada tingkat kabupaten, ada koperasi serba usaha yang disebut KUD (Koperasi Unit Desa). Koperasi juga bertindak sebagai pusat penyebaran informasi atau pertemuan organisasi.
4. Prasarana.
Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara langsung ditujukan untuk pembangunan pertanian, dan semuanya secara langsung memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada beras. Sistem irigasi merupakan hal penting dalam pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan prasarana lain yang berdampak langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk berswasembada beras adalah program besar-besaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan dan pelabuhan. Semua kebijakan di atas bekerja sama dan berperan penting dalam kemajuan pembangunan sektor pertanian Indonesia. Kemajuan ke arah swasembada beras tidaklah gampang. Impor beras yang dilakukan beberapa tahun belakangan ini telah banyak memberatkan para petani.
Keterpurukan sektor pertanian di lndonesia bisa dikatakan dimulai ketika pemerintah Orde Baru mempraktikkan program pertanian yang berorientasi kepada "Ideologi Revolusi Hijau tahun 1970-an hingga 1980-an. Pada masa itu, petani dipaksa bekerja dengan program pertanian modern yang penuh dengan tambahan kimiawi yang merendahkan kualitas kesuburan tanah untuk jangka panjang. Para petani dipaksa bertanam dengan menggunakan sarana produksi pupuk, obat hama, benih, dan lain sebagainya yang dipasarkan oleh beberapa perusahaan MNC/TNC yang mendapatkan lisensi pemerintah.
Penggunaan saprodi produk perusahaan MNC/TNC tersebut harus dibeli petani dengan harga mahal dari tahun ke tahun. Akibatnya, biaya produksi pertanian selalu melambung dan tidak terjangkau oleh petani domestik. Ironisnya, harga jual produk pertanian terutama beras, dikontrol dan dibuat murah harganya oleh pemerintah. Pemerintah juga sering melakukan praktik dagang menjelang pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Stok beras di pasaran dibuat langka baru kemudian harga naik, akhirnya masyarakat dipaksa memahami impor beras yang akan dilakukan oleh pemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah berdampak dua hal yakni
Pertama, menurunkan motivasi kerja para petani karena hasil kerja kerasnya akan kalah berkompetisi dengan beras impor di pasaran.
Kedua, menterpurukkan tingkat pendapatan petani domestik yang rendah menjadi sangat rendah.
Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme. Kebijakan impor beras adalah pemenuhan kesepakatan AoA (Agreement on Agriculture) WTO yang disepakati oleh Presiden Soeharto tahun 1995 dan dilanjutkan pemerintahan penerusnya sampai sekarang. Butir-butir kesepakatan AoA terdiri dari :
1. Kesepakatan market access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia harus dibuka seluas-luasnya bagi proses masuknya komoditi pertanian luar negeri, baik beras, gula, terigu, dan lain sebagainya
2. Penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian.
3. Penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan, kecuali beras.
Dampak pemenuhan kesepakatan AoA WTO sangat menyedihkan bagi kondisi pertanian lndonesia semenjak 1995 hingga sekarang ini. Sektor pertanian di Indonesia mengalami keterpurukan dan kebangkrutan. Akibat memenuhi kesepakatan AoA WTO, Indonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1998 sebesar 4,5 juta ton setahun. Beberapa kalangan aktivis gerakan petani di lndonesia menyebutkan merosotnya produksi beras nasional semenjak tahun 1985-2009 dikarenakan problem warisan struktural pertanian masih melekat dalam kehidupan petani. Di antaranya, semakin banyak petani yang berlahan sempit (menjamumya petani gurem) dan tidak adanya kemajuan teknologi pertanian yangberorientasi ekologis. Menurut sebuah studi oleh Peter Timmer pada tahun 1975, Konsep kepemilikan lahan rata-rata memang agak kabur pada tingkat mikro karena adanya perbedaan besar dalam hal penggunaan dan kualitas lahan.
Namun demikian, fakta yang perlu ditekankan adalah bahwa lebih dari dua pertiga populasi usaha tani hanya memiliki kurang dari setengah hektar lahan untuk bercocok tanam, bahkan mungkin kurang dari sepertiga hektar lahan.
Kemiskinan struktural di Indonesia juga dikemukakan oleh Geertz pada penelitiannya di tahun 1963, yang membawa pada gagasan shared poverty (kemiskinan yang ditanggung bersama). Pekerjaan dan pendapatan dari sektor pertanian dibagi-bagi kepada anggota keluarga, atau desa, sehingga semua mendapat pekerjaan dan makanan, namun tetap miskin. Geertz secara pesimis menyimpulkan bahwa barangkali tidak mungkin untuk memperbaiki pertanian Indonesia secara signifikan. Karena, tanpa mengubah struktur sosial secara besar-besaran, "Setiap usaha untuk mengubah arah perkembangannya, misalnya menabur pupuk di atas lahan pertanian di Jawa yang sangat sempit, irigasi modern, cocok tanam padat karya dan diversifikasi tanaman, hanya akan menumbuhkan satu hal: paralisis." Hasil survei Petani Center NGos tahun 2007 menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektare kalah dibandingkan dengan upah bulanan buruh industri di kota besar. Para petani yang memiliki tanah/sawah 0,5 hektare untuk sekali musim tanam memerlukan biaya produksi sebanyak Rp 2,5 juta, termasuk biaya sarana produksi, upah pekerja, pemeliharaan, dan lain-lain. Sementara itu, hasil dari produksi beras/padi sawah seluas 0,5 hektare yang dijual, setelah sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga, hanya menghasilkan Rp 3,5 juta hingga Rp 4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya Rp 1 juta sampai Rp 2 juta, yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya mendapatkan laba Rp 700.000 per bulan. Jika impor beras dilakukan dan harga beras petani semakin anjlok, dapat dibayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh para petani negeri ini. Presiden SBY adalah seorang doktor pertanian yang pernah menulis tesis tentang revitalisasi pertanian dengan beberapa kesimpulan, di antaranya:
1. Untuk membangun kembali pertanian maka intervensi asing semacam IMF dan World Bank harus dinetralisasikan dari bidang pertanian.
2. Pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya untuk mendukung sektor pertanian
3. Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian yang berorientasi kepentingan petani dengan penerapan penuh sistem pertanian berkelanjutan.
Namun sayangnya keyakinan atau ide cerdas SBY dalam disertasinya berbalik dengan realitas kebijakan ekonomi-politik pertanian yang direncanakan dan diimplementasikan. Kebijakan pemerintahan SBY saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Antara lain, Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan. Konversi tata guna lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara. Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor pertanian, di antaranya:
1. Dari segi sarana dan prasarana, dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.
3. Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para elite politik membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak hukum.
Sedangkan menurut Jajang Yanuar Habib (2006), ada dua pihak yang seharusnya mempunyai peranan yang sangat besar untuk meningkatkan pertanian di Indonesia, yaitu :
1. Pemerintah
Pemerintah sebagai penyelenggara perekonomian kerakyatan diupayakan mampu untuk menyokong kegiatan produksi pertanian sebagai sokoguru perekonomian rakyat dalam upaya menyediakan ketahanan pangan bangsa. Untuk menjawab tantangan tersebut diatas, hal-hal berikut menjadi sangat penting untuk diperhatikan pemerintah, yaitu :
a. Fokus dalam pendapatan para petani
Program revitalisasi pertanian pemerintah saat ini lebih ditujukan kepada tanaman perkebunan seperti sawit dalam upaya pemerintah mengembangkan energi alternatif serta tanaman perkebunan lain yaitu karet dan coklat. Titik berat pada produksi padi tidak lagi menjamin segi pendapatan petani maupun program keamanan pangan. Oleh karena itu, pengembangan produksi pertanian rakyat dengan bantuan program Tannas menjadi penting untuk ditegaskan dalam upaya perencanaan dan pelaksanaan pertanian rakyat berbasis produksi padi.
Penentuan harga bahan-bahan pertanian yaitu gabah dan penyediaan pupuk yang tidak menimbulkan kontaminasi pada lahan yang digunakan, sebanding dengan perolehan hasil yang mampu dijual oleh petani manakala para petani mempunyai produk hasil jadi atau setengah jadi.
Hal tersebut tidak terlepas dari kebijakan pengadaan hasil produksi pertanian impor yang harganya lebih murah dibandingkan produksi domestik. Untuk mewujudkan harga yang stabil pada hasil pertanian rakyat, maka pemerintah perlu memberantas penyalur bahan-bahan dan hasil pertanian yang ilegal, yaitu tengkulak-tengkulak yang menyebabkan melambungnya harga bahan-bahan pertanian dan mempermainkan harga hasil pertanaian rakyat.
b. Peningkatan produktivitas
Peningkatan produktivitas ini merupakan kunci dalam peningkatan produksi petani, oleh karena itu pembangunan ulang riset dan sistem tambahan menjadi sangat menentukan. Solusi yang perlu dipertimbangkan adalah kesiapan peralihan teknologi budidaya dari konvensional (kimia) ke organik sampai dengan teknologi mekanisasi (untuk budidaya yang mengalami problem air dengan pompa air bawah tanah/mekanisasi), sehingga kebutuhan akan air untuk budidaya pertanian organik padi sawah akan selalu terjaga dan diharapkan hasil pertanian bisa ditingkatkan dan tentunya petani dapat lebih makmur dan sejahtera.
c. Penyediaan dana
Dana diperlukan dan dapat diperoleh dari usaha sementara untuk memenuhi kebutuhan kredit para petani melalui skema kredit yang dibiayai oleh APBN. Dewasa ini, pemberian kredit harus dirubah dari pembiayaan kredit konvensional (penetapan tingkat suku bunga) ke pembiayaan syariah (sistem bagi hasil). Penggunaan suku bunga jelas-jelas mencekik pembayaran tambahan yang belum tentu petani sendiri memperoleh keuntungan dari usahanya. Sedangkan azas pembiayaan syariah akan memberikan persentase tertentu dari hasil atau keungtungan pengusahaan. Apabila rugi, maka kerugian akan ditanggung bersama antara petani dengan pemberi pinjaman modal tersebut.
d. Pengadaan sistem irigasi
Pertanian yang telah memiliki sistem irigasi sangat penting, dan harus dipandang sebagai aktivitas antar sektor. Pemerintah perlu memastikan integritas infrastruktur dengan keterlibatan pengguna irigasi secara lebih intensif dan meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk mencapai panen yang lebih optimal hingga setiap tetes air.
e. Fokus pada peran regulasi dari Deparemen Pertanian
Peran regulasi Departemen Pertanian perlu ditata ulang. Kualitas yang rendah mempengaruhi produktivitas petani, karantina diperlukan untuk melindungi kepentingan petani dari penyakit luar, namun pada saat yang bersamaan juga tidak membatasi masuknya bahan baku impor dan standar produk secara terus-menerus ditingkatkan di dalam rantai pembelian oleh sektor swasta, bukan oleh pemerintah.
2. Peranan Departemen Pertanian
Peran utama Departemen Pertanian dalam membina hubungan kerjasama dengan pemerintah daerah melalui program-program yang harus dilengkapi dengan bermacam-macam inisiatif dari badan pemerintah lokal yang akan berada di garis depan dalam mengimplementasikan program, organisasi produsen di pedesaan yang bergerak di bidang agribisnis dan para petani yang harus menjadi partner penting demi mendukung proses perubahan.
Departemen pertanian mempunyai peranan penting, diantaranya :
a. Meningkatkan pendapatan petani melalui diversifikasi lebih lanjut.
Diversifikasi di dalam hal ini menjadi sangat penting, begitu pula berbagai kebijakan yang merangsang tumbuhnya usaha peternakan, tumpang sari sayuran, penanaman kembali hutan-hutan di daerah-daerah kecil dengan tumbuhan berkayu yang bernilai tinggi, serta diversifikasi kacang mete atau buah-buahan. Seluruh usaha tersebut dapat berperan serta untuk mencapai penghasilan yang lebih stabil dan mengurangi tingkat kemiskinan. Adanya kebutuhan untuk membentuk kerjasama dengan sektor swasta, baik lokal maupun internasional.
b. Memperkuat kapasitas regulasi
Departemen Pertanian mengatur dan mengawasi berbagai standar yang mempengaruhi produktivitas petani (misalnya mencegah agar pupuk palsu, bibit bermutu rendah, dan pestisida berbahaya tidak beredar di pasar, melaksanakan sistem karantina untuk mencegah penularaan penyakit binatang ternak dan tanaman dari luar) dan melindungi konsumen produk pertanian (misalnya dengan inspeksi mutu daging).
c. Menigkatkan pengeluaran untuk penelitian pertanian
Petumbuhan produktivitas di daerah pedesaan adalah dasar utama bagi pengentasan kemiskinan di daerah tersebut. Penelitian pertanian yang kuat dan sistem penyuluhan sangat penting untuk menggerakkan produktivitas menuju jalur pertumbuhan yang lebih pesat. Dewasa ini, kedudukan tingkat pengeluaran untuk penelitian pertanian tersebut, dihitung dalam persentase dari PDB dan total pengeluaran negara untuk pertanian, termasuk paling rendah diantara negara Asia lainnya. Indonesia menyediakan sekitar 0,1% dari PDB sektor pertanian untuk membiayai penelitian pertanian di dalam negeri (bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Bangladesh dan jauh dari rekomendasi 1%)
d. Mendukung cara-cara baru dalam penyuluhan pertanian
Staf penyuluhan umum saat ini bertanggung jawab kepada pemerintahan provinsi yang sekarang bekerja berdasarkan dua model, yaitu :
1. servis penyuluhan umum di bawah suatu organisasi perwakilan, dan
2. kapasitas penyuluhan yang dipilah-pilah ke beberapa badan yang berorientasi ke produk dan independen.
e. Mendukung pertumbuhan ICT
Inisiatif untuk mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) di daerah rural membuka kesempatan bagi penyaluran informasi ke komunitas pedesaan. Memperbaiki hubungan antar penelitian dan penyuluhan serta mendukung pengembangan daerah pedesaan. Disamping itu, inisiatif Departemen Pertanian baru-baru ini yaitu mengembangkan DAK untuk memenuhi kebutuhan pertanian harus didukung secara penuh.
f. Menjamin berlangsungnya manajemen irigasi
Departmen Pertanian berperan penting dalam kerjasama dengan institusi terkait lainnya dalam menghadapi masalah utama bertambah langkanya sumber air yang mengakibatkan lambatnya pertumbuhan hasil pertanian yang teririgasi. Langkanya sumber air ini dikarenakan batas air di bagian atas Indonesia juga mengalami penurunan mutu sebagai akibat hilangnya lapisan tumbuhan pelindung karena penggundulan hutan dan praktek pengelolaan tanah yang buruk.
g. Memperkuat infrastruktur rural
Titik berat pembangunan telah ditempatkan pada pembangunan jalan penghubung penting, pengembangan dan perbaikan jaringan jalan di daerah pedesaan dibutuhkan dengan segera. Jalan penghubung antara desa dan pasar sangat dibutuhkan di daerah pedesaan untuk mendukung intensifikasi pertanian.
Perkembangan teknologi tidak semata-mata menghasilkan alternatif penggunaan bahan-bahan yang menggunakan proses kimiawi. Pada akhirnya tetap ada saja kekurangan, seperti rentannya tubuh manusia sebagai konsumen hasil pertanian terhadap penyakit. Terlebih penyakit itu belum ditemukan obatnya. Maka dengan menggalakan kembali proses pertanian kembali lagi ke alam diharapkan mampu untuk mengurangi resiko kerusakan, baik itu terhadap manusianya sendiri maupun terhadap alam tempat dilaksanakannya pertanian seperti tanah dan air.
Pemerintah dan departemen terkait yaitu Departemen Pertanian diharapkan bersinergis dalam upaya menggalakan kembali pertanian yang berbasis organik, di mana sasaran yang dituju dengan penggunaan kembali bahan-bahan alami, yaitu :
1. Tercukupinya kebutuhan hasil-hasil pertanian terutama beras dalam upaya ketahanan pangan yang berbasis organik serta mampu meningkatkan volume ekspor.
2. Diperolehnya produk organik yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi oleh masyarakat.
3. Diperolehnya produk yang mempunyai daya saing di pasar dalam dan luar negeri.
4. Terbentuknya sentra agribisnis holtikultura dan kawasan lokasi proyek.
5. Terwujudnya kelembagaan usaha yang profesional di sentra agribisnis holtikuktura.
Selama 20 tahun terakhir, pemerintah RI telah mengadopsi kebijakan pangan ala neo-liberal yang sangat pro pasar bebas (free-market). Kebijakan tersebut berada di bawah arahan dan dikte dua lembaga keuangan internasional yaitu IMF dan Bank Dunia.
Beberapa bentuk kebijakan yang telah diambil antara lain: penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan (contohnya merubah BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah).
Naiknya harga berbagai bahan pangan dalam kenyataannya relatif tidak membawa keuntungan bagi petani. Nilai tambah dari kondisi membaiknya harga bahan pangan ternyata dinikmati oleh kaum pedagang. Penelitian Analisis Rantai Pemasaran Beras Organik dan Konvensional: Studi Kasus di Boyolali Jawa Tengah (Surono-HIVOS, 2003) menunjukkan bahwa pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dalam rantai perdagangan beras adalah pengusaha penggilingan (huller), pedagang besar dan pedagang pengecer. Yang lebih memprihatinkan, sejak program Raskin diluncurkan pemerintah, petani adalah pihak yang paling banyak menjadi penerima tetap beras Raskin.
Program Peningkatan Ketahanan Pangan
Program ini bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan dan keberlanjutan ketahanan pangan sampai ke tingkat rumah tangga sebagai bagian dari ketahanan nasional. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi :
1.Pengamanan ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, antara lain melalui pengamanan lahan sawah di daerah irigasi, peningkatan mutu intensifikasi, serta optimalisasi dan perluasan areal pertanian;
2.Peningkatan distribusi pangan, melalui penguatan kapasitas kelembagaan pangan dan peningkatan infrastruktur perdesaan yang mendukung sistem distribusi pangan, untuk menjamin keterjangkauan masyarakat atas pangan;
3.Peningkatan pasca panen dan pengolahan hasil, melalui optimalisasi pemanfaatan alat dan mesin pertanian untuk pasca panen dan pengolahan hasil, serta pengembangan dan pemanfaatan teknologi pertanian untuk menurunkan kehilangan hasil (looses);
4.Diversifikasi pangan, melalui peningkatan ketersediaan pangan hewani, buah dan sayuran, perekayasaan sosial terhadap pola konsumsi masyarakat menuju pola pangan dengan mutu yang semakin meningkat, dan peningkatan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif/pangan lokal; dan
5.Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, melalui peningkatan bantuan pangan kepada keluarga miskin/rawan pangan, peningkatan pengawasan mutu dan kemanan pangan, dan pengembangan sistem antisipasi dini terhadap kerawanan pangan.
Program Pengembangan Agrobisnis
Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis yang mencakup usaha di bidang agribisnis hulu, on farm, hilir dan usaha jasa pendukungnya. Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam program ini meliputi:
1. Pengembangan diversifikasi usahatani, melalui pengembangan usahatani dengan komoditas bernilai tinggi dan pengembangan kegiatan off-farm untuk meningkatkan pendapatan dan nilai tambah;
2. Peningkatan nilai tambah produk pertanian dan perikanan melalui peningkatan penanganan pasca panen, mutu, pengolahan hasil dan pemasaran dan pengembangan agroindustri di perdesaan;
3. Pengembangan dan rehabilitasi infrastruktur pertanian dan perdesaan, melalui perbaikan jaringan irigasi dan jalan usahatani, serta infrastruktur perdesaan lainnya;
4. Peningkatan akses terhadap sumberdaya produktif, terutama permodalan;
5. Pengurangan hambatan perdagangan antar wilayah dan perlindungan dari sistem perdagangan dunia yang tidak adil;
6. Peningkatan iptek pertanian dan pengembangan riset pertanian melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat dan spesifik lokasi yang ramah lingkungan; dan
7. Pengembangan lembaga keuangan perdesaan dan sistem pendanaan yang layak bagi usaha pertanian, antara lain melalui pengembangan dan penguatan lembaga keuangan mikro/perdesaan, insentif permodalan dan pengembangan pola-pola pembiayaan yang layak dan sesuai bagi usaha pertanian.
Program Peningkatan Kesejahteraan Petani
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing masyarakat pertanian, terutama petani yang tidak dapat menjangkau akses terhadap sumberdaya usaha pertanian. Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam program ini adalah:
1. Revitalisasi sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan yang secara intensif perlu dikoordinasikan dengan pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten;
2. Penumbuhan dan penguatan lembaga pertanian dan perdesaan untuk meningkatkan posisi tawar petani dan nelayan;
3. Penyederhanaan mekanisme dukungan kepada petani dan pengurangan hambatan usaha pertanian;
4. Pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia pertanian (a.l. petani, nelayan, penyuluh dan aparat pembina);
5. Perlindungan terhadap petani dari persaingan usaha yang tidak sehat dan perdagangan yang tidak adil; dan
6. Pengembangan upaya pengentasan kemiskinan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Pertanian adalah proses atau kegiatan menghasilkan bahan pangan, ternak, hasil-hasil hutan, dan perikanan. Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa pertanian adalah suatu kegiatan yang menghasilakan komoditas yang dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian, dan brang-barang yang dihasilkan dapat dijadikan sebagi pemenuh kebutuhan masyarakat luas. Banyak hal yang dikategorikan sebagai pertanian. Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai negara agraris, sehingga sudah sepantasnya jika Indonesia memiliki pertanian yang beragam, lahan yag luas dan perbedaan iklim bisa menyebabkan keanekaragaman jenis pertanian yang dimiliki oleh Indonesia.
2) Sebelum Indonesia dijajah, kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia merupakan kerajaan pengekspor hasil alam dan rempah-rempah, dan inilah yang membuat negara-negara barat berebut untuk menguasai Indonesia. Negara Indonesia memang sempat terkenal sebagai negara agraris. Karena sebagian besar luas lahannya yang digunakan untuk pertanian, yaitu 70 %, yaitu untuk kebun/ladang/huma, tambak, kolam, lahan untuk tanaman kayu-kayuan, sawah, padang rumput pekarangan serta lahan yang sementara tidak diusahakan. Mungkin sudah merupakan suatu evolusi alamiah seiring dengan proses industrialisasi, dimana pangsa output agregat (ODB) dari pertanian relatif menurun sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor sekunder lainnya dan sektor tersier meningkat. Perubahan struktur ekonomi seperti ini juga terjadi di Indonesia. Sejak Indonesia mencoba untuk menggeser sektor pertanian dengan sektor industri nampaknya sektor pertanian mulai dianaktirikan sehingga peranannya pun dianggap mulai menurun. Dalam hal ini yang lebih dominan diperhatikan dalam perekonomian Indonesia adalah sektor industri. Padahal apabila dikaji lebih dalam sebenarnya kedua sektor tersebut yaitu sektor pertanian dan sektor industri memiliki keterkaitan yang erat. Di satu sisi pertanian merupakan penyedia bahan-bahan mentah atau bahan baku untuk berbagai kegiatan industri, sedangkan sektor industri juga dapat dimanfaatkan untuk menunjang sektor pertanian, misalnya dengan menciptakan alat-alat bahan yang dapat digunakan untuk mempercepat proses panen pada sektor pertanian atau untuk meningkatkan kualitas hasil pertanian.
Kondisi pertanian Indonesia, dapat dilihat juga dari sisi ekspor pertanian, dimana dari tahun ke tahun kontribusi pertanian terhadap nilai ekspor Indonesia semakin menurun, bahkan Indonesia masih banyak mengimpor jenis komoditas pertanian dari negara lain.
3) Kontribusi sektor pertanian dalam pertumbuhan PDB nasional tertinggi dicapai tahun 1985 (21,51%) jika dibandingkan dengan kontribusi sektor lainnya. Hal ini seiring dengan pertumbuhan pangsa dan sumber pertumbuhan yang dicapai sektor pertanian, bahwa sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor terpenting di dalam perekonomian nasional. Jika dilihat dari data ekspor yang telah disajikan maka saat ini apakah benar pertanian itu berperan dalam hal penambahan devisa negara, padahal nilai ekspor yang kian tahun kian menurun. Dapat kita ambil kesimpulan kontribusi npertanian dalam perekonomian semakin menurun, baik itu dalam hal penyerapan tenaga kerja, kontribusi PDB, penambahan Devisa. Hal ini dapat dibukikan dengan fakta sekarang ini banyaknya lahan-lahan pertanian yang dibangun menjadi kawasan industry, perumahan, atau pemukiman, dan banyaknya urbanisasi berarti banyaknya penduduk desa yang berpindah ke kota karena merasa lapangan pekerjaan di desa (pertanian) dirasa tidak dapat dijadikan sebagai timpuan.
4) Kondisi pertanian Indonesia jika dibandingkan dengan negara tetangga (Negara-negar ASEAN) pada decade 2000-an, peran sector pertanian dalam pembentukan PDB Indonesia, masih berada di bawah negara kamboja, laos, Myanmar.
5) Bila dilihat secara internasional ketergantungan kita pada produk pertanian dari luar negeri tampak sangat jelas. Bila dicermati dengan seksama dunia pertanian kita menghadapi berbagai masalah serta kendala yang saling berkait, mulai dari sumber daya manusia, kurangnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, infrastruktur serta kesenjangan penguasan teknologi. Pendidikan petani kita pada umumnya relative rendah. Rendahnya tingkat pendidikan petani berakibat pada kesenjangan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi informasi yang mendukung pengembangan bidang pertanian. Akibat kesenjangan tersebut hasil-hasil penelitian yang diperoleh kurang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna. Melalui para petugas penyuluh pertanian lapang (PPL). Dalam upaya mempercepat transfer teknologi dan sumber informasi, peranan petugas penyuluh lapang layak mendapat perhatian. Jumlah PPL sejauh ini masih kurang memadai, demikian juga tingkat pendidikannya. Petugas PPL pada umumnya merupakan lulusan sekolah menengah pertanian. Bila dicermati dengan seksama dunia pertanian kita menghadapi berbagai masalah serta kendala yang saling berkait, mulai dari sumber daya manusia, kurangnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, infrastruktur serta kesenjangan penguasan teknologi.
Pemerintah sebagai penyelenggara perekonomian kerakyatan diupayakan mampu untuk menyokong kegiatan produksi pertanian sebagai sokoguru perekonomian rakyat dalam upaya menyediakan ketahanan pangan bangsa. Untuk menjawab tantangan tersebut diatas, hal-hal berikut menjadi sangat penting untuk diperhatikan pemerintah, yaitu :
1. Peningkatan produktivitas
2. Penyediaan dana
3. Pengadaan sistem irigasi Fokus pada peran regulasi dari Deparemen Pertanian
4. Meningkatkan pendapatan petani melalui diversifikasi lebih lanjut.
5. Memperkuat kapasitas regulasi
6. Menigkatkan pengeluaran untuk penelitian pertanian
7. Mendukung cara-cara baru dalam penyuluhan pertanian
8. Mendukung pertumbuhan ICT
9. Menjamin berlangsungnya manajemen irigasi
10. Memperkuat infrastruktur rural
B. Saran
Pada akhirnya seluruh deskripsi diatas memberikan ilustrasi yang sangat jelas bahwa kinerja dari sektor pertanian masih jauh dari memadai. Meskipun dalam beberapa hal selama beberapa tahun ini terdapat sinyal positif yang bisa dideteksi. Sektor pertanian beberapa tahun terakhir ini menunjukkan adanya pertumbuhan eksport dan juga peningkatan penyaluran kredit. Tetapi disisi lain masih banyak figur buram yang terjadi di sektor pertanian misalnya sumbangan terhadap PDB yang kian mengkerut, Indeks NTP yang terus merosot dari tahun ke tahun, produksi beberapa produk strategis menurun (seperti jagung dan kedelai) kenaikan kredit pertanian yang bermasalah(NPL) danimport produk pertanian yang masih cukup tinggi. Data-data tersebut menginformasikan bahwa selama ini belum terdapat impresi yang bisa dipasok pemerintah di sektor pertanian.Program revitalisasi pertanian yang dikumandangkan pemerintahan sejak awal ternyata sangat miskin konsep dan kedodoran dalam implementasinya.
Menyikapi hal itu memang banyak jalan keluar, Namun salah satu yang bisa diupayakan saat ini adalah dengan melakukan proses transformasi sektor pertanian secara utuh. Transformasi itu sendiri diletakan dalam tiga level. Pertama, Pemerintah menyediakan dan memperbaiki infrastruktur dasar yang diperlukan bagi pertanian. Misalnya pengadaan jalan, jembatan, sistem irigasi, penelitian dan pengembangan, penyuluhan dan reformasi tanah. Kedua, Mempertemukan pasar sebagai media yang akan mempertemukan transaksi antara sektor hulu dan sektor hilir di sektor prtanian. Pada level ini setidaknya tiga pekerjaaan yang harus dilakukan oleh pemerintah, yakni mendesain sistem keuangan yang sesuai dengan pelaku di sektor pertanian, sistem pasokan onput, dan pasar output lokal. Ketiga, Menggandengan pelaku ekonomi swasta untuk mengeksekusi kegiatan lanjutan di sektor pertanian, khususnya pemasaran dan pengelolaan komoditas pertanian sehingga memiliki keterkaitan dengan sektor non-pertanian.
Sedangkan dalam pendekatan ekonomi kelembagaan ada dua poros srategi kelembagaan yang bisa diupayakan untuk memajukan sektir pertanian(sekaligus sebagai alas progran revitalisasi pertanian). Pertama: Kebijakan tidak langsung dengan jalan membenahi infrastruktur sektor pertanian yang tidak baik. Pengertian tidak layak disini adalah situasi ketidaksepadanan anter pelaku ekonomi, baik oleh karena kemampuan nilai tawar yang berbeda maupun karena kepemilikan aset produktif yang tidak proporsional. Dengan begitu, beberapa agenda jalur politik yang dapat dikerjakan adalah:
1. Menertibkan statuta hubungan antar pelaku ekonomi yang lebih menjanjikan kesetaraan (misalnya; petani penggarap dan tuan tanah,tengkulak dan pemilik)
2. Menata kembali kepemilikan aset produktif yang sudah sangat timpang, yakni lewat kebijakan land reform
3. Transparansi dalam pengambilan pengambilan kebijakan sehingga tidak terbuka bagi pemilik modal m3n3likung kebijakan yang hendak dirumuskan oleh pemerintah.
Melalui upaya-upaya inilah pencapaian pertumbuhan sektor pertanian lebih dapat di prediksi dan kesejahteraan pelaku ekonomi sektor hulu lebih bisa dipastikan.
Sektor pertanian merupakan sektor terpenting yang harus ada pada suatu negara. Hal ini karena tidak ada satupun negara yang bisa hidup tanpa pertanian. Bisa dibayangkan apabila suatu negara tidak memperhatikan sektor pertaniannya, maka disana akan terjadi krisis pangan yang akan menyebabkan kelaparan di negara tersebut. Meskipun negara tersebut bisa mengimpor hasil pertanian dari negara lain tetapi itu tidak bisa selalu diandalkan karena hubungan diplomatik/politik suatu negara seringkali mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perekonomian terutama pada sektor perdagangan internasional (ekspor-impor).
Indonesia merupakan negara agraris, yaitu negara yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Disamping itu Indonesia mempunyai lahan pertanian yang sangat besar dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal itu dikarenakan Indonesia mempunyai tanah yang sangat subur, sehingga Indonesia sangat berpotensi menjadi negara yang bisa menghasilkan produk-produk pertanian yang sangat besar. Kebutuhan suatu negara akan pertanian tidak pernah menurun, bahkan semakin hari kebutuhan akan pertanian semakin meningkat. Hal ini dikarenakan semakin banyak penduduk suatu negara maka kebutuhan akan hasil pertanian menjadi semakin besar karena tidak ada seorangpun yang bisa hidup tanpa hasil pertanian (makanan). Oleh karena itu Indonesia seharusnya bisa mendapatkan penghasilan yang sangat besar dari sektor pertanian ini. Banyak sekali hasil pertanian Indonesia yang tidak dihasilkan di negara lain. Sehingga dari sini Indonesia bisa dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lain pada sektor pertanian ini.
Tetapi dalam perkembangan sejarah perekonomian Indonesia tidak seperti apa yang kita semua harapkan. Bahkan Indonesia seringkali malah menjadi negara pengimpor beras, yang merupakan salah satu makanan pokok sebagian besar penduduknya. Sangat ironis bagi sebuah negara yang sebagian besar penduduknya adalah petani tetapi tidak bisa memenuhi kebutuhan akan beras yang merupakan makanan pokoknya. Dalam sejarah perekonomian Indonesia, Indonesia hanya sekali mengalami swasembada beras yaitu pada Pelita kelima pada pemerintahan orde baru. Bahkan Indonesia seringkali mengalami defisit beras sehingga harus mengimpor dari negara lain.
Pertanian adalah kebutuhan yang tidak akan pernah berhenti untuk dijadikan komoditas bisnis baik secara makro maupun mikro, karena pertanian adalah kebutuhan dasar bagi bangsa dan perekonomian Indonesia. Walaupun sumbangsih nisbi (relative contribution) sektor pertanian dalam perekonomian diukur berdasarkan proporsi nilai tambahnya dalam membentuk produk domestik bruto atau pendapatan nasional tahun demi tahun kian mengecil, hal itu bukanlah berarti nilai dan peranannya semakin tidak bermakna. Nilai tambah sektor pertanian dari waktu ke waktu tetap selalu meningkat. Mayoritas penduduk Indonesia, yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan, hingga saat ini masih menyandarkan mata pencahariannya pada sektor pertanian.
Pertanian Indonesia adalah pertanian tropika, karena sebagian besar daerah-daerahnya berada di daerah tropik yang langsung dipengaruhi oleh garis khatulistiwa yang memotong Indonesia hampir menjadi dua. Disamping pengaruh khatulistiwa, ada dua faktor alam lain yang ikut memberi corak pertanian Indonesia. Yang pertama, bentuknya sebagai kepulauan dan kedua, tofografnya yang bergunung-gunung. Dalam hubungan ini letaknya diantara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, serta dua benua (daratan) yaitu Australia dan Asia, juga ikut mempengaruhi iklim Indonesia yang juga turut berpengaruh pada pertanian di Indonesia.
Transformasi struktural perekonomian Indonesia menuju ke corak yang industrial tidak dengan sendirinya melenyapkan nuansa agraritasnya. Karena suksesnya pengembangan sektor industri di suatu negara selalu diiringi dengan perbaikan produktivitas dan pertumbuhan berkelanjutan di sektor pertanian. Selain menyediakan kebutuhan pangan bagi penduduk serta menyerap tenaga kerja, sektor pertanian juga merupakan pemasok bahan baku bagi sektor industri dan menjadi sumber penghasil devisa. Oleh karena sebagian besar bahan-bahan mentah akan berasal dari sektor pertanian, maka sektor pertanian adalah merupakan induk pembangunan. Ini berarti adanya keterkaitan yang besar antara sektor pertanian dengan sektor industri dan sektor-sektor lain dalam ekonomi.
Pada zaman orde baru, dalam pelaksanaan pembangunan lima tahun (PEL1TA) tahap ke 5, pemerintah menitikberatkan kegiatannya pada sektor pertanian untuk meningkatkan swasembada pangan dan meningkatkan hasil pertanian lainnya.
Namun, ternyata sampai saat ini hasilnya tidak atau belum sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah atau masyarakat pada umumnya, karena pada akhirnya swasembada tersebut belum memperlihatkan titik terangnya, malah beberapa waktu lalu, Indonesia mengandalkan impor produk-produk pertanian dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Namun, sepertinya hal ini kurang masuk akal, karena seperti yang kita ketahui sebagai negara agraris Indonesia hampir memiliki seluruh potensi dan sumber daya yang diperlukan untuk meningkatkan sektor pertanian.
Keberadaan sektor pertanian pun kini semakin di nomor duakan setelah kita mulai berpindah haluan pada sektor industri. Padahal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertanian merupakan induk pembangunan, dimana pertanian mempunyai keterkaitan yang erat dengan sektor-sektor lainnya, termasuk sektor industri, kedua dapat saling melengkapi. Jadi alangkah baiknya apabila kita memberikan perhatian yang sama, baik terhadap sektor pertanian rnaupun sektor industri.
Melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, khususnya di bidang pertanian, sepertinya kita sedang dihadapkan pada berbagai macam problematika. Disinilah peran pemerintah sangat diperlukan melalui berbagai kebijakan-kebijakannya serta dukungan dari semua kalangan masyarakat untuk mengarahkan sektor pertanian khususnya dan perekonomian Indonesia umumnya kearah yang lebih baik.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan pertanian ?
2. Bagaimana kondisi dan perkembangan sektor pertanian di Indonesia ?
3. Bagaimana peranan sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia ?
4. Bagaimana kondisi pertanian Indonesia jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga?
5. Apakah permasalahan pertanian di Indonesia dan bagaimana solusi dalam memecahkan masalah pertanian di Indonesia ?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pertanian.
2. Untuk mengetahui bagaimana kondisi sektor pertanian di Indonesia.
3. Untuk mengetahui bagaimana peranan sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia.
4. Untuk mengetahui bagaimana kondisi pertanian Indonesia jika dibandingkan dengan Negara tetangga.
5. Untuk mengetahui permasalahan pertanian di Indonesia dan mengetahui bagaimana solusi dalam memecahkan masalah pertanian di Indonesia.
D. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah.
C. Tujuan penulisan Makalah
D. Sistematika penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Pertanian
B. Kondisi Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia
C. Peranan Sektor Pertanian terhadap Perekonomian Indonesia
D. Kondisi Pertanian Indonesia dibandingkan dengan Negara Tetangga
E. Permasalahan Pertanian Indonesia serta Strategi dan Kebijakan Pertanian
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Pertanian
Pertanian adalah kegiatan usaha yang meliputi budidaya tanaman bahan makanan, perkebunan, perikanan, kehutanan, dan peternakan (BPS). Sedangkan pengertian dalam wikpedia, Pertanian adalah proses menghasilkan bahan pangan, ternak, serta produk-produk agroindustri dengan cara memanfaatkan sumber daya tumbuhan dan hewan. Dari kedua pengertian diatas, kita dapat simpulkan bahwa pertanian adalah proses atau kegiatan menghasilkan bahan pangan, ternak, hasil-hasil hutan, perikanan dan perkebunan. Pemanfaatan sumber daya ini berarti budi daya (bahasa Inggris: cultivation, atau untuk ternak: raising). Namun demikian, pada sejumlah kasus (yang sering dianggap bagian dari pertanian) dapat berarti ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan (bukan agroforestri).
Usaha pertanian memiliki dua ciri penting, yaitu: (1) selalu melibatkan barang dalam volume besar dan (2) proses produksi memiliki risiko yang relatif tinggi. Dua ciri khas ini muncul karena pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Beberapa bentuk pertanian modern (misalnya budidaya alga, hidroponika) telah dapat mengurangkan ciri-ciri ini tetapi sebagian besar usaha pertanian dunia masih tetap demikian.
Di Indonesia, sektor perlanian secara luas dapat dikategorikan dalam lima subsektor, yaitu:
1. Subsektor Tanaman Pangan
Subsektor tanaman pangan sering juga disebut subsektor pertanian rakyat, karena tanaman pangan biasanya diusahakan oleh rakyat, maksudnya bukan oleh pemerintah ataupun perusahan-perusahaan. Subsektor ini mencakup komoditas-komoditas bahan makanan, seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kedelai serta sayur-sayuran dan buah-buahan. Subsektor tanaman pangan dapat dikelompokan menjadi :
a) Sub kelompok padi dan palawija yang terdiri dari padi sawah, pada ladang, jagung, kacang tanah, kacang kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar.
b) Sub kelompok sayur-sayuran yang terdiri dari kubis, kentang, wortel, sawi, bawang merah, bawang daun, bawang putih, lobak, kacang panjang, cabe, tomat, terung, buncis, ketimun, kangkung, bayam, kacang merah, dan labu siam
c) Sub kelompok buah-buahan yang terdiri dari alpokat, jambu, duku langsat, durian, jeruk, mangga, nanas, pepaya, pisang, rambutan, sawo, salak
2. Subsektor Perkebunan
Subsektor perkebunan dibedakan atas perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Yang dimaksud dengan perkebunan rakyat adalah perkebunan yang diusahkan sendiri oleh rakyat atau masyarakat, biasanya dalam skala kecil-kecilan dan dengan teknologi dan budidaya yang sederhana.
Hasil-hasil tanaman perkebunan rakyat terdiri antara lain karet, kopral, teh, kopi, tembakau, cengkeh, kapuk, kapas, cokelat, dan berbagai rempah-rempah. Adapun yang dimaksud dengan perkebunan besar adalah semua kegiatan perkebunan yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan berbadan hukum. Tanaman perkebunan besar meliputi karet, teh, kopi, kelapa sawit, coklat, kina, tebu, rami, berbagai serat dan lain-lain.
3. Subsektor Kehutanan
Subsektor kehutanan ini terdiri alas 3 macam kegiatan yaitu penebangan kayu, pengambilan hasil hutan lain, dan perburuan. Kegitan penebangan kayu menghasilkan kayu-kayu gelondongan : kayu bakar, arang, dan bambu. Hasii hutan lain melipuli damar, rotan, gelab kayu, kulit kayu, serta berbagai macam akar-akaran dan umbi kayu. Sedangkan kegiatan perburuan menghasilkan binatang-binatang liar seperti rusa, penyu, ular, buaya, dan lermasuk juga madu.
4. Subsektor Peternakan
Subsektor peternakan mencakup kegiatan beternak dan pengusahaan hasil-hasilnya. Subsektor ini meliputi produksi ternak-ternak besar dan kecil seperti telur, susu, wool, dan hasil pemotongan hewan.
5. Subsektor Perikanan
Subsektor perikanan meliputi semua hasil kegiatan perikanan laut, perairan umum, kolam, tambak, sawah, dan keramba serta pengolahan sederhana atas produk-produk perikanan seperti pengeringan dan pengasingan. Dari segi teknis kegiatannya, subsektor ini dibedakan atas 3 macam sektor yaitu perikanan laut, perikanan darat, dan penggaraman. Komoditas yang tergolong subsektor ini tidak terbatas hanya pada ikan tetapi juga udang, kepiting, ubur-ubur, dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan diatas kita dapat mengetahui bahwa sektor pertanian tidak hanya terbatas pada tanaman pangan, juga bukan semata-mata kegiatan produksi melalui bercocok tanam. Pertanian merupakan pemasok kebutuhan pokok yang utama bagi manusia yakni sebagai bahan makanan. Oleh karena itu tidak ada salahnya apabila kita memberikan kepedulian dan perhatian yang lebih besar terhadap sektor pertanian.
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana usaha pemerintah ataupun masyarakat untuk dapat kembali seperti dulu, dimana Indonesia mampu mencapai swasembada pangan. Namun pada kenyataannya saat ini pemerintah Indonesia menganggap bahwa stok pangan dalam negeri mengalami kekurangan, sehingga pemerintah terpaksa mengambil langkah untuk mengimpor pangan dari luar negeri agar kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Padahal berbagai pihak pun banyak yang berasumsi bahwa kebutuhan dalam negeri masih dapat terpenuhi oleh stok atau hasil pangan yang tersedia di dalam negeri.
B. Kondisi dan Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia
Berbicara tentang sejarah pertanian Indonesia adalah sama halnya dengan berbicara bermacam penyimpangan yang hingga saat ini masih menjadi penghambat di sektor struktural. Pertanian di Indonesia dimulai dengan cara yang bertolak belakang dengan negara-negara barat yang memulai dengan membagi-bagikan lahan kepada petani. Namun, yang terjadi di Indonesia justru tanah rakyat dirampas untuk dibagi-bagikan kepada pengusaha swasta. Para petani yang menggantungkan hidup dari sana harus melawan para pihak swasta, asing, maupun pemerintahan yang hendak merebut lahan mereka.
Sejarah pertanian di Indonesia dimulai pertama kali ketika diterbitkannya sebuah Undang-Undang Agrarische Wet 1870, yang merupakan sebuah peraturan yang keberpihakannya hanya untuk memberikan kemudahan pada kapitalisme modal untuk menyewa lahan yang luas dalam periode waktu tertentu. Hukum ini pun mengatur hak penggunaan lahan selama 75 tahun dan memberi peluang untuk menjadikan tanahnya sebagai agunan kredit. Penjajah Belanda pada waktu itu ingin memiliki sebanyak-banyaknya lahan dengan memaksa negara jajahannya mengeluarkan hukum agraria tersebut. Maka tak heran jika sejarah berkata seperti ini jika saat ini tidak ada petani yang mampu memiliki lahan yang sangat luas dan dapat digunakan untuk periode yang lama
Dalam masa penjajahan pun pertanian di Indonesia menjadi sumber pemasukan utama bagi bangsa penjajah. Misalnya saja ketika Indonesia dijajah oleh Belanda. Pada masa tersebut dijalankan kebijakan yang dinamakan Cultuurstelsel (tanam paksa). Secara umum pertumbuhan dan perkembangan tanam paksa (1830an-1970an) dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti :
1. Jenis tanaman karena setiap tanaman memerlukan ekologi spesifik, teknik penanaman, dan mempunyai nilai ekonomi khusus juga.
2. Kondisi-kondisi iklim di daerah setempat.
3. Kondisi sosial dan ekonomi kaum petani (ukuran pemilikan tanah, daerah perbatasan atau daerah padat penduduk).
4. Periode tanam paksa
5. Kebijaksanaan kepala-kepala distrik (residen)
Sejarah pertanian pasca kemerdekaan dimulai setelah Indonesia mendapat kedaulatan penuh tahun 1949 dan sedang menghadapi masalah perekonomian yang sangat mendesak untuk segera diatasi. Memasuki dekade 1950-an, sektor ekonomi modern masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik Belanda yang telah beroperasi sejak jaman kolonial. Menghadapi situasi demikian, maka berkembang berbagai pemikiran ekonomi dari para tokoh pemimpin saat itu, yang muaranya adalah apa yang disebut dengan “ekonomi nasional” atau “nasionalisme ekonomi”, yang mencakup tiga aspek utama, yaitu:
a) Suatu perekonomian yang beragam dan stabil, dalam arti ditiadakannya ketergantungan yang besar terhadap ekspor bahan mentah.
b) Suatu perekonomian yang berkembang dan makmur dalam konteks pembangunan ekonomi.
c) Suatu perekonomian pribumi, yang berarti dominasi ekonomi Barat dan etnis Tionghoa harus dialihkan kepada orang-orang Indonesia.
Atas dasar ketiga hal tadi para pendiri negeri segera memikirkan masalah agraria. Dua tokoh sentralnya, yaitu Iwa Kusumasumantri dan Bung Karno. Pada sisi lain, pemerintah memfokuskan diri pada pembangunan pertanian pangan, yang spesifik pada upaya swasembada beras, khususnya sistem penyuluhan pertanian yang menitikberatkan pada tercapainya target produksi dalam waktu yang pendek. Untuk mendukung program tersebut muncullah Badan Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) sebagai badan penyuluh pertanian. Program tersebut mengalami kegagalan karena pemerintah justru menambahkan impor berasnya, dari 334.000 ton pada tahun 1950 menjadi 800.000 ton pada tahun 1959.
Babak baru pembangunan pertanian baru dimulai kembali pada kurun waktu 1959-1961. Melalui program Tiga Tahun Produksi Padi dengan target mencapai swasembada pangan di akhir tahun 1961. Soekarno sendiri yang membentuk dan mengetuai langsung Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) untuk mencapai swasembada beras. Untuk memperbaiki sarana pertanian dibentuk Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) yang beroperasi di tingkat pusat sampai ke tingkat desa. Di tahun 1959 juga dibentuk Badan Perusahaan Bahan Makanan dan Pembuka Tanah (BPMT) yang bertugas meningkatkan penyediaan sarana produksi pertanian. Badan usaha ini memiliki dua anak perusahaan, yaitu Padi Sentra dan Mekatani. Padi Sentra bertugas mengadakan, menyalurkan, dan menyediakan sarana produksi, seperti bibit unggul, pupuk, dan obat-obatan. Sementara Mekatani bertugas membuka lahan baru secara mekanis, terutama di wilyah luar pulau jawa.
Pada saat yang sama, penyuluhan pertanian digalakkan dengan dukungan Dinas Pertanian Rakyat dan melibatkan perguruan tinggi. Dari sini dibentuklah kelompok-kelompok yang anggotanya adalah para petani penggarap sawah yang tergabung dalam Organisasi Pelaksana Swasembada Beras (OPSSB). Kelompok ini pulalah yang nantinya mejadi pelaksana Panca Usaha Tani. Sistem Padi Sentra juga mengalami kelemahan sebagai tonggak awal sistem modern bercocok tanam padi sawah. Padi sentra justru dianggap gagal karena yang diuntungkan hanya pemilik tanah terutama penguasa lahan yang luas.
Di sisi lain, munculnya organisasi pemerintah yang mengurus pertanian tidak pernah berhenti dan semakin merebak. Bahkan dibentuk sebuah panitia khusus yang menghasilkan rumusan Undang-undang (UU) No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pada saat yang sama, lahir UU No.56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan UU No.2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH). UUPA menjadi senjata yang paling kuat untuk meningkatkan kesejahteraan para petani waktu itu karena didasarkan pada perwujudan amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Belum lagi ditambah gempuran demam revolusi hijau di seluruh dunia, yang pada saat itu sangat mempengaruhi kebijakan pemerintahan dan akhirnya Orde Baru mengambil jalan pragmatis. Melakukan Revolusi hijau tanpa reformasi agraria untuk mencapai swasembada pangan. Strategi pembangunan semcam ini berlandaskan pada kaidah pokok seperti mengandalakan bantuan asing, hutang, dan investasi dari luar negeri. Sedikit gambaran untuk Revolusi hijau, sistem kapitalis pertanian ini telah membawa perubahan mendasar bagi perilaku petani dalam berhubungan dengan petani lain, alam, teknologi, pemerintah, serta hubungannya dengan perusahaan-perusahaan besar, baik lokal maupun luar negeri. Memang jika melihat hasilnya cukup menggembirakan bagi pertanian Indonesia. Jika pada 1965 tingkat produksi beras Cuma 1,7 ton per hektar, pada 1980 sudah mencapai 3,3 ton per hektar, dan Indonesia bisa berswasembada beras pada 1984. Sayangnya, hal ini hanya mampu bertahan selama lima tahun. Setelah tahun 1990, impor beras Indonesia terus melonjak dan tidak pernah turun lagi hingga saat ini. Ironis, karena kemajuan pertanian di Indonesia tidak diikuti oleh kesejahteraan petani, dan justru malah memaksa serta menakut-nakuti petani dengan desakan ekonomi.
Hal tersebut justru menjadi sangat krusial saat pemerintahan orde baru justru mengundang kembali IMF. Melalui Letter of Intent (LoI), kewenangan pemerintah menjadi sangat terbatas karena berbagai kebijakan ekonomi, terutama pertanian, berada dibawah pengawasan dan persetujuan IMF. Apalagi ditambah dengan kesepakatan dunia internasional dengan ditandatanganinya General Agreement on Trade and Tariff (GATT). Selain itu berlakunya Trade Related Intellectual Property Rights, yang kesemua peraturan/perjanjian tersebut akan memperburuk nasib para petani. Menurut Loekman Soetrisno, liberalisasi perdagangan internasional akan memaksa para petani di negara yang sedang berkembang untuk bersaing dengan petani dari negara industri yang memiliki sistem pertaniann yang lebih efisien.
Selanjutnya, pertanian di Indonesia terus mengalami perkembangan. Perkembangan sektor pertanian di Indonesia puncaknya ditandai dengan adanya keberhasilan pencapaian swasembada tanpa didahului dengan reformasi agraris ataupun Land Reform. Sehingga di Indonesia pola perkembangan sektor pertaniannya, berbeda dengan pengalaman empiris di negara-negara lain. Sedangkan perkembangan sektor pertanian di Amerika Utara dan Eropa Barat misalnya, menempuh jalur kapitalistik yaitu melalui pengembangan usaha tani berskala besar dan melibatkan satuan-satuan yang berskala kecil. Eropa Timur yang banyak menganut jalur sosialistik yaitu melalui pembentukan usaha tani kolektif berskala besar yang diprakarsai oleh negara. Atau Jepang dan Taiwan yang lebih memilih jalur koperasi semi kapitalistik yaitu melalu pembinaan usaha tani yang digalang dalam suatu koperasi nasional dibawah pengelolaan negara.
Sektor pertanian hingga kini masih menjadi sumber mata pencaharian utama sebagian besar penduduk, khususnya bagi mereka yang masih tinggal di daerah pedesaan. Program pembangunan sektor pertanian meliputi program peningkatan produksi di kelima subsektornya, serta peningkatan pendapatan petani. Program pembangunan tersebut ditunjang dengan program pembangunan sarana dan prasarananya seperti pengadaaan faktor produksi, pengembangan jaringan irigasi dan jalan, kebijaksanaan tata niaga dan harga, serta penelitian. Kemampuan paling menonjol sektor ini dimana dalam era Pembangunan Jangka Panjang I, sektor pertanian. khususnya bidang produksi pangan merupakan prioritas pembangunan ekonomi. Dan pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras dimana sebelumnya bahan pokok tersebut masih selalu di impor.
Negara Indonesia memang sempat terkenal sebagai negara agraris. Karena sebagian besar luas lahannya yang digunakan untuk pertanian, yaitu sebesar 70 % dari luas wilayahnya, yang terdiri dari kebun/ladang/huma, tambak, kolam, lahan untuk tanaman kayu-kayuan, sawah, padang mmput pekarangan serta lahan yang sementara tidak diusahakan.
Mungkin sudah merupakan suatu evolusi alamiah seiring dengan proses industrialisasi, dimana pangsa output agregat (ODB) dari pertanian relatif menurun sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor sekunder lainnya dan sektor tersier meningkat. Perubahan struktur ekonomi seperti ini juga terjadi di Indonesia. Selama periode 1990-an pangsa PDB dari pertanian (termasuk kehutanan, peternakan, dan perikanan) mengalami penurunan (harga konstan 1993) dari sekitar 17,9% tahun 1993 menjadi 16,4% tahun 2001. Sedangkan pangsa PDB dari industri manufaktur selama kurun waktu yang sama meningkat dari 22,3% menjadi 26,0%. Penurunan kontribusi output dari pertanian terhadap pembentukan PDB ini bukan berarti bahwa volume produksi di sektor tersebut berkurang (pertumbuhan negatif) selama periode tersebut, tetapi laju pertumbuhan output-nya lebih lambat dibndingkanlaju pertumbuhan output di sektor-sektor lain. Hal ini bisa terjadi karena secara rata-rata, elastisitas pendapatan dari permintaan terhadap komoditas pertanian lebih kecil daripadaelastisitas pendapatan dari permintaan terhadap produk-produk dari sektor-sektor lain seperti barang-barang industri. Jadi dengan peningkatan pendapatan, laju pertumbuhan permintan terhadap komoditas pertanian lebih kecil daripada terhadap barang-barang industri.
Tabel 2.1
Distribus PDB menurut sektor (harga konstan 1993): 1993-2001 (%)
Sektor 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Pertanian
Pertambangan & penggalian
Industri manufaktur
Listrik, gas, dan air
Bangunan
Perdagangan, hotel, & restoran
Transportasi & komunikasi
Bank & keuangan
Penyewaan & real estate
Jasa lainnya 17.9
9.5
22.3
1.0
6.8
16.8
7.1
4.3
2.9
11.4 16.7
9.4
23.3
1.0
7.3
16.8
7.1
4.5
2.9
11.0 16.1
9.3
23.9
1.1
7.6
16.7
7.1
4.7
2.8
10.7 15.4
9.2
24.7
1.2
8
16.7
7.2
4.6
2.7
10.3 15.0
8.8
24.7
1.3
8.2
17.0
7.3
4.6
2.7
10.4 18.1
12.6
25.0
1.2
6.5
15.3
5.4
3.3
4.0
8.6 19.4
10.0
26.0
1.2
6.2
16.0
5.0
2.8
3.7
9.5 17.0
13.8
26.2
1.2
5.9
15.2
5.0
2.8
3.4
9.5 16.4
13.6
26.0
1.2
5.6
16.1
5.4
2.8
3.4
9.5
Sumber : BPS
Sektor 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan 15.46 15.19 14.59 13.41 13.16 13,7 14,4
Pertambangan dan penggalian 8.83 8.33 8.63 10.44 10.05 11,2 11,0
Industri pengolahan 28.72 28.25 28.13 28.06 27.18 27,1 27,9
Listrik, Gas dan Air minum 0.84 0.94 0.97 0.92 1.24 0,9 O,8
Bangunan 6.07 6.22 6.29 6.35 7.62 7,7 8,4
Perdagangan, Hotel dan restoran 17.14 16.64 16.27 15.75 14.77 14,9 14,0
Pengangkutan dan komunikasi 5.38 5.91 6.25 6.63 6.8 6,7 6,3
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 8.48 8.64 8.55 8.35 8.32 7,7 7,4
Jasa – jasa 9.09 9.87 10.32 10.1 9.83 10,1 9,8
Sumber : BPS
Seperti yang terlihat pada tabel diatas, laju pertumbuhan output pertanian selalu berfluktuatif dan cenderung menurun. Jika dilihat dari tabel di atas sektor industri memiliki peranan paling tinggi dalam perekonomian. Padahal dari dulu Indonesia dikenal dengan sebutan negara agraris, namun jika sekarang dilihat dari data PDB, justru sektor industri yang berperan lebih besar jika dibandingkan dengan pertanian.
Grafik 2.1
Distribus PDB menurut sektor (harga konstan 1993): 1993-2001 (%)
Tabel 2.2
Perkembangan PDB menurut sektor, 1995-2002 (dalam persen)
Sektor 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2007
Pertanian 4.4 3.1 1.0 -0.7 2.1 1.7 2.2 3.2 4.3 4.1 2.7 5.1
Pertambangan & penggalian 6.7 6.3 2.1 -2.8 -1.7 2.3 2.5 1.0 -0.9 -4.6 -3.2 1
Industri manufaktur 10.9 11.6 5.3 -11.4 2.6 6.2 6.3 5.3 5.3 6.2 4.75 2.85
Listri, gas, dan air 15.9 13.6 12.4 2.6 8.2 8.8 5.8 8.9 5.9 5.9 5.6 5.9
Bangunan 12.9 12.8 7.4 -36.5 -1.6 6.8 5.5 5.5 6.7 8.2 4.01 4
Perdagangan, hotel, & restoran 7.9 8.2 5.8 -18.0 -0.4 5.7 3.4 3.9 5.3 5.8 6.35 4.05
Transportasi & komunikasi 8.5 8.7 7.0 -15.1 -0.7 9.4 3.8 8.4 11.6 12.7 9.1 6.65
Bank & keuangan 11.0 6.0 5.9 -26.6 -8.1 4.7 3.6 6.4 7.0 7.7 6.1 4.35
Penyewaan & real estate 3.3 3.4 3.6 -3.8 1.8 2.2 2.7 - - - - -
Jasa lainnya 5.2 7.8 4.7 -13.1 0.8 4..9 3.3 3.8 3.9 4.9 3.45 4.1
Sumber : BPS
Grafik 2.2
Perkembangan PDB menurut sektor, 1995-2005(dalam persen)
Seperti yang terlihat pada tabel dan grafik diatas, laju pertumbuhan output pertanian relatif kecil dibandingkan laju perumbuhan output di sektor-sektor non pertanian. Tahun 1995, output pertanian tumbuh hanya 4,4% dibandingkan 10,9% di industri manufaktur. Data BPS untuk triwulan III 2002 menunjukkan bahwa pertumbuhan output pertanian sekitar 4,01, berarti sedikit penurunan dibandingkan tahun 1995, walaupun jauh lebih baik dibandingkan laju pertumbuhan industri yang hanya sekitar 3,2%.
Target Ekspor Komoditas Pertanian
Potensi Ekspor
Dari tiga kelompok besar komoditas ekspor pertanian kita, pertumbuhan tertinggi ada pada kelompok komoditas perkembangan olahan, dimana nilai pertumbuhan ekspor rata-rata kelompok komoditas ini cukup tinggi sekitar 14 % per tahun.
Untuk memperoleh pangsa pasar dalam era perdagangan global yang semakin kompetitif kita perlu mencermati komoditas yang memppunyai keunggulan daya saing tinggi. Disamping itu, kita juga perlu mencermati pula potensi yang kita miliki yang secara komparatif kita mempunyai kelebihan.
Tabel 2.4
Matriks Komoditi Unggulan Menurut Pasar Utama
Komoditi Pasar Pangsa Pasar Pesain utama Pesaing Potensil
Tanaman keras
1. Karet EU,AS,Asia Tinggi Tahiland, Malaysia Vietnam
2. CPO/PKO EU,Asia,AS,Jepang Tinggi Malaysia Afrika
3. Kopi EU,Jepang,AS,Kanada Tinggi Brazil Vitnam
4. Kakao EU,AS Tinggi Pantai Gading,Ghana Negeria,Cameroon
5. Minyak kelapa EU Sedang Philippina --
6. Teh Inggris Tinggi Cina,Kenya,India Srilanka
7. Lada Pakistan Tinggi Brazil,India,Vietnam --
Perikanan
1. Udang AS,Jepang,EU Tinggi Thailand,India,Mexico Vietnam,Ecuador
2. Tuna Jepang,AS,EU Tinggi Thailand Philippina
3. Kepiting EU,Asia Sedang Canada,Australia --
4.Kodok EU,Asia Sedang Malaysia,Vietnam --
5.Rumput Laut AS,Jepang Rendah Kore,China --
6.Mutiara Jepang Rendah Australia,French,Polynesia
Tanaman & Holtikultura
1.Pisang AS,Jepang,EU,Canada Rendah Costa rica, Philippina Malaysia
2.Nenas Jepang,AS,Singapura Rendah Philippina,Costa Rica --
3.Manggis Asia,EU Rendah Thailand,Srilanka Thailand
4.Gaplek EU,Asia Rendah ahiland Vietnam
5.Jamur Asia Rendah China --
6.Kentang Singapura,Malaysia Sedang Thailand,China,Negara Maju --
7.Kubis Singapura,Malaysia Sedang China --
8.Jagung Asia,Lokal Kecil Thailan,AS,Amerika Latin --
Peternakan
1.Babi Singapura,Hongkong rendah China --
2.Unggas Hongkong,Jepang,Rusia Rendah Negara Maju
3.Domba Malaysi,Timteng Rendah Negara Maju --
Sumber : Olahan Badan Agrobisnis
Secara garis besar, pesaing Indonesia dalam Perdagangan Internasional hasil pertanian dapat digambarkan sebagi berikut:
• Perkebunan : Malaysia, Vietnam, Philiphina, Afrika, Amerika Latin, dengan produk minyak sawir, minyak kelapa, kakao, kopi dan teh.
• Perikanan : Thailand, Taiwan, Philippina, India, dan negara-negara maju Kanada, dengan produk-produk udang dan ikan tuna.
• Holtikulutura : Thailand, Philippina, Malaysia, China, Asia Selatan, Amerika latin, AS, Australia, Selandia Baru, Eropa, Untuk holtikultura tropis, Thailand an Malaysia khususnya pisang, mangga, manggis, nenas, jamur.
Adapun pesaing potensial Indonesia selama 5 tahhun ke depan:
• Perkebunan : Vietnam dan Kamboja
• Perikanan : Philippina, Thailand, India Vietnam
• Holtikultua : Vietnam, Asia Selatan, Sri Lanka, Pakistan , Australia.
Strategi Pengembangan Agrobisnis
Untuk mendukung peran agrobisnis sebagai lokomotif untuk pemulihan ekonomi nasional, maka strategi yang perlu segera dikembangkan adalah mempercepat transformasi pertanian tradisional menjadi pertanian modern yang tangguh dan berwawasan lingkungan serta didukung oleh semua pihak . sebagai langkah awal adalah menetapkan agro bisnis dan agroindustri sebagai primadona pembangunan ekonomi dengan prioritas paling tinggi . Khusus untuk mempercepat perolehan devisa dari ekspor agrobisnis, peningkatan efisiensi pengelolaan komoditas unggulan ekspor disertai dengan upaya peningkatan dan perluasan pemasaran ekspor secara proaktif.
Selain itu kebijakan pro ekspor harus ditempuh dengan meniadakan hambaatan-hambatan dagang (pajak ekspor, panjangnya prosedur ekspor, modal kerja) sehingga produk-produk ekspor kita semakin kompetitif. Selain iytu peran perguruan tinggi dan instansi peneliian dan pengembangan perlu ditingkatkan dengan focus dan lebih inovatif untuk menunjang pengemnbangan agrobisnis. Dari segi makro, dukungan kebijakan nilai tukar mata uang yang wajar serta tingkat bunga pinjaman yang atraktif untuk agrobisnis harus diperjuangkan. Untuk komoditi TPH dan peternakan hanya sebagian komoditi kita yang berorientasi ekspor dengan pasar yang terbatas. Strategi untuk kedua sub-sektor ini adalah peningkatan produktivitas diiringi oleh perbaikan mutu . masalah dukungan transpotrtasi khususnya untuk produk holtikultura perlu segera dipecahkan dengan intansi terkait lainnya.
Grafik 2.3
Nilai Ekspor Komoditas Pertanian dan Pertumbuhannya
Sedangkan jika di lihat di data lain, di dapat table di bawah ini :
Tabel 2.6
Ekspor Non Migas Indonesia tahun 2005-2008
(Juta USS)
Periode Hasil Sektor Pertanian Hasil Sektor Industri Hasil Sektor Tambang Jumlah
2005 Triwulan I 675.00 4.34% 13251.10 85.29% 1611.20 10.37% 15537.30
Triwulan II 676.20 4.13% 13858.50 84.60% 1846.00 11.27% 16380.70
Triwulan III 777.70 4.63% 13988.70 83.22% 2042.00 12.15% 16808.40
Triwulan IV 751.40 4.24% 14495.40 81.89% 2455.30 13.87% 17702.10
2006 Triwulan I 757.40 4.38% 14370.00 83.05% 2175.10 12.57% 17302.50
Triwulan II 803.50 4.19% 15961.00 83.17% 2427.40 12.65% 19191.90
Triwulan III 971.70 4.64% 17334.30 82.71% 2652.40 12.66% 20958.40
Triwulan IV 832.30 3.78% 17358.60 78.86% 3820.40 17.36% 22011.30
2007 Triwulan I 740.20 3.52% 17140.30 81.55% 3137.10 14.93% 21017.60
Triwulan II 838.90 3.63% 19204.80 83.06% 3078.90 13.32% 23122.60
Triwulan III 1049.40 4.49% 19374.50 82.83% 2967.30 12.69% 23391.20
Triwulan IV 1029.30 4.20% 20741.20 84.72% 2710.40 11.07% 24480.90
2008 Triwulan I 959.30 3.64% 22410.30 85.04% 2984.20 11.32% 26353.80
Triwulan II 1239.90 4.44% 23065.30 82.53% 3643.80 13.04% 27949.00
Triwulan III 1290.50 4.45% 23474.30 81.01% 4212.60 14.54% 28977.40
Triwulan IV 1094.90 4.45% 19443.60 78.99% 4075.70 16.56% 24614.20
Jumlah 14487.60 4.19% 285471.90 82.55% 45839.80 13.26% 345799.30
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.4
PDB dilihat dari sector Pertanian, Industri dan Tambang
Perbandingan Kontribusi Sektor Pertanian Dibandingkan Dua Sektor Lainnya Terhadap Ekspor Dari tabel diatas, kita dapat melihat dengan jelas bahwa ekspor produk pertanian adalah yang paling kecil dibandingkan ekspor produk non migas lainnya, seperti produk sektor industri dan tambang. Selain itu, persentase perkembangannya selalu berfluktuatif dan pada tahun 2008 triwulan ke-IV malah terjadi penurunan.
Pertumbuhan dan Diversivikasi Ekspor
Komoditas pertanian Indonesia yang diekspor cukup bervariasi mulai dari getah karet, lopi, udang, rempah-rempah, mutiara, hingga berbagai macam sayur dan buah. Selama 1993-2001, nilai X total dari komoditas-komoditas ini rata-rata per tahun hampir mencapai 3 miliar dolar AS. Diantara komoditas-komoditas tersebut, yang paling besar nilai ekspornya adalah udang dengan rata-rata sedikit diatas satu miliar dollar AS selamaperiode yang sama. Udang memang merupakan komoditas perikanan terpenting dalam X hasil perikanan Indonesia. Selain itu, Indonesia juga mengekspor hasil perikanan bukan bahan makanan seperti rumput laut, mutiara, dan ikan hias.
Tabel 2.7
Nilai ekspor pertanian: 1993-2001 (juta dolar AS)*
Sektor 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Getah karet
Kopi
Udang (segar, beku)
The
Rempah-rempah
Tembakau
Biji cokelat
Ikan
biji-bijian
mutiara
damar
sayur-sayuran
buah-buahan
lainnya
total 44
320
872
156
132
66
166
445
9
17
21
47
62
288
2.644 42
697
1.005
89
137
46
214
329
9
21
27
48
29
124
2.818 42
596
1.052
85
214
49
225
372
12
12
29
43
30
148
2.889 46
589
1.026
109
158
75
263
375
8
12
37
39
48
138
1.913 32
504
1.008
85
235
91
295
381
8
15
34
24
47
375
3.133 19
579
1.007
108
278
133
383
358
11
23
16
16
42
704
3.654 11
459
888
92
374
79
296
403
6
21
22
28
78
247
2.902 8
312
1.003
108
315
64
236
359
8
26
25
28
56
164
2.709 8
183
940
95
174
81
277
399
5
25
18
30
32
214
2.439
Keterangan * : dibulatkan
Sumber : BPS
Grafik 4
Nilai ekspor pertanian: 1993-2001 (juta dolar AS)*
Tabel 2.8
Perkembangan nilai ekspor hasil perikanan: 1994-2000 (juta dolar AS)*
Sektor 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 %**
Bahan makanan
- udang
- tuna/ckl
- lainnya
bahan bukan makanan
- rumput laut
- mutiara
- ikan hias
- lainnya
jumlah 1.603
1.010
182
411
76
9
21
9
37
1.697 1.697
1.037
213
447
67
16
12
10
30
1.764 1.713
1.018
193
503
72
19
12
9
33
1.786 1.646
1.011
189
446
40
11
15
3
11
1.686 1.643
1.012
215
416
56
10
23
1
22
1.699 1.543
889
189
464
62
16
20
10
15
1.605 1.648
973
190
485
92
25
21
10
35
1.739 0.57
-0.40
1.22
3.22
8.33
27.46
4.61
105.40
20.74
0.72
Keterangan * : dibulatkan
**: Persentase perkembangan pertahun
Sumber : BPS
Namun dilihat dalam total Σ nasional, kontribusi pertanian terhadap pembentukkan jumlah Σ nasional sangat kecil. Pada tahun 2002 hanya 4.47% dibandingkan besarnya sumbangan dari industri manufaktur yang mencapai hampir 69.0%. pangsa ini sedikit meningkat dibandingkan Januari-Mei 2001. selama Januari-Mei 2001, nilai Σ pertanian tercatat sekitar 991.2 juta dolar AS, dan untuk periode yang sama tahun 2002 naik menjadi 995.0 juta dolar AS. Namun, ini tidak berarti peran pertanian dalam pertumbuhan Σ nasional, khususnya non migas sangat kecil. Sebaliknya, sektor ini punya peran besar secara tidak langsung, yaitu dari Σ lewat industri manufaktur, sejak output dari industrimanufaktur Indonesia didomonasi oleh produk-produk berbasis pertanian seperti makanan dan minuman dan produk-produk kulit, bumbu, dan rotan.
Grafik 2.5
Perkembangan nilai ekspor hasil perikanan: 1994-2000 (juta dolar AS)*
Tabel 2.9
Nilai ekspor Industri menurut sektor: Januari-Mei 2001 dan 2002
Uraian Nilai (juta dolar AS) % perubahan Jan-Mei % peran thp total
Jan-Mei 2001 Jan-Mei 2002 2002 thp 2001 Ekspor jan-Mei 2002
Total ekspor
- migas
- non migas
- pertanian
- industri
- pertambangan dan lainnya 24.503,2
5.906,4
18.596,8
991,2
16.009,3
1.596,3 22.285,2
4.689,3
17.595,9
995,0
15.312,2
1.288,7 -9,05
-20,61
-5,38
0,38
-4,35
-17,27 100,00
21,04
78,96
4,47
68,71
5,78
Sumber : BPS
Struktur Σ ini memang sesuai prediksi dari teori pembangunan ekonomi yang hipotesisnya adalah bahwa dalam suatu proses pembangunan ekonomi jangka panjang, semakin tinggi pendapatan perkapita, semakin kecil peran dari sektor-sektor sekunder, seperti industri manufaktur dan sektor-sektor tersier di dalam ekonomi. Peran ini bisa dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukkan PDB dan Σ total. Semakin tinggi tingkat pembangunan ekonomi (yang terefleksi dengan semkin tingginya pendapatan perkapita), semakin penting peran tidak langsung dari sektor pertanian, yaitu sebagai pemasok bahan baku bagi sektor industri manufaktur dan sektor-sektor ekonomi lainnya.
Grafik 2.6
Nilai ekspor Industri menurut sektor: Januari-Mei 2001 dan 2002
Perbandingan Ekspor-Impor Produk Pertanian di Indonesia
Indonesia sebagai negara agraris, tidak hanya mengekspor produk-produk pertaniannya. Tetapi Indonesiapun mengimpor produk pertanian ini dari luar negeri. Kita dapat melihat perbandingan antara ekspor dan impor produk pertanian di Indonesia pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.10
Neraca Ekspor-Impor Produk Pertanian (Segar dan Olahan) Tahun 1995 - 2003
Tahun Volume (juta Ton) Nilai (juta USD)
Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca
1995 5,7 11,1 (5,4) 4607,5 4623,6 (16,2)
1996 7,5 11,9 (4,4) 5194,3 5579,6 (385,3)
1997 7,9 9,9 (2,0) 5549,9 3756,2 1136,7
1998 6,8 10,2 (3,4) 4468,4 1888,0 712,2
1999 8,8 14,7 (5,8) 4696,6 4474,2 222,6
2000 9,5 13,5 (4,0) 4500,3 4034,2 466,1
2001 9,6 11,6 (2,0) 3696,6 3972,2 (275,5)
2002 11,6 13,6 (2,0) 5518,3 4007,2 1511,1
2003 11,6 13,5 (1,9) 6417,5 4269,7 2147,8,
Rata-rata 1995-1997 7,0 10,9 (3,9) 5117,2 4872,2 245,1
Rata-rata 1998-1999 7,8 12,4 ( 4,6 ) 4582,6 4115,2 467,4
Rata-rata 2000-2003 10,6 13,0 (2,4) 5033,2 4070,8 962,4
Sumber Data: BPS diolah Subdit PI PPH Tan Pangan
Dari data diatas kita dapat melihat bahwa impor produk pertanian Indonesia selalu lebih besar daripada ekspornya jika dilihat dari kuantitasnya. Baik itu sebelum krisis (1995-1997), pada saat krisis (1998-1999), maupun setelah krisis (2000-2003). Selisih terbesar terjadi pada saat krisis, dimana pada saat itu volume ekspor hanya sebesar 7,8 juta ton sedangkan volume impornya mencapai 12,4 juta ton atau terdapat selisih sebesar 4,6 juta ton Tetapi jika dilihat dari nilainya, maka nilai impor lebih besar dari nilai ekspor hanya pada tahun 1995 dan 1996. selanjutnya dari tahun 1997-2003, nilai ekspor selalu lebih besar dari nilai impor.
Subsektor Tanaman Pangan
Subsektor tanaman pangan merupakan satu-satunya subsektor yang belum berorientasi ekspor. Fokus peningkatan produktivitas komoditas tanaman pangan lebih diarahkan pada penguatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Karena itu dalam perdagangan internasional penekanan pada bagaimana meningkatkan produksi, diversivikasi produk khususnya untuk produk substitusi impor.
Tabel 2.11
Neraca Ekspor-Impor Produk Tanaman Pangan (Juta Ton dan juta USD)
Tahun Volume (juta Ton) Nilai (juta USD)
Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca
1995 1,1 9,0 (7,9) 162,7 2152,0 (1978,3)
1996 1,4 8,9 (7,5) 170,1 2674,0 (2503,9)
1997 0,7 7,0 (6,3) 113,1 1772,0 (1658,9)
1998 1,4 7,9 (6,5) 167,3 1888,0 (1720,7)
1999 0,9 10,9 (10,0) 97,2 2429,0 (2331,8)
2000 0,5 9,7 (9,2) 63,0 1736,0 (1673,0)
2001 0,7 7,8 (7,1) 83,7 1407,0 (1323,3)
2002 0,6 10,6 (10,0) 75,6 1838,0 (1762,2)
2003 0,8 9,9 (9,1) 218,9 2045,2 (1826,03)
Rata-rata
1995-1997 1,06 8,3 (7,2) 148,6 2199,3 (2050,7)
Rata-rata
1998-1999 1,2 9,4 (8,25) 132,3 2158,5 (2026,3)
Rata-rata
2000-2003 0,65 9,5 (8,85) 110,3 1756,6 (1646,1)
Sumber Data: BPS diolah Subdit PI PPH Tan Pangan
Ketergantungan pada impor yang tinggi dan ekspor yang masih minimal secara terus menerus mengakibatkan neraca perdagangan mengalami defisit. Sebelum masa krisis, volume ekspor produk tanaman pangan rata-rata mencapai 1,06 juta ton/tahun. Sedangkan di masa krisis meningkat menjadi sekitar 1,2 juta ton/tahun, dan di masa pasca krisis ini volume ekspor hanya mencapai 0,65 juta ton/tahun.
Volume impor tanaman pangan jauh lebih tinggi dibanding ekspornya. Dilihat dari tahun 1995-2003 tren volume impor meningkat, sedangkan ekspor selama tahun tersebut stagnan sampai cenderung menurun. Dengan demikian neraca volume perdagangan produk tanaman pangan juga terus mengalami defisit, dimana pada tahun 1995 sebesar 7,9 juta ton hingga pada tahun 2003 defisit mencapai 9,1 juta ton. Defisit tertinggi terjadi pada tahun 1999 dan 2002 yang mencapai 10,0 juta ton.
Dari sisi nilai ekspor-impor produk tanaman pangan, dari tahun 1995 -2003 nilai impor jauh lebih tinggi dibanding nilai impor. Tren nilai ekspor cenderung stagnan, sedangkan nilai impor dari tahun 1995 – 2003 cenderung menurun walaupun secara volume cenderung meningkat.
Nilai impor tertinggi terjadi pada tahun 1996 dimana mencapai USD 2674 juta, sedangkan terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu USD 1407 juta. Disisi ekspor, nilai ekspor selama tahun 1995 – 2003 hanya berkisar USD 63 juta hingga USD 218,9 juta.
Defisit nilai perdagangan tanaman pangan terendah terjadi pada tahun 1996 yaitu mencapai USD –2503,9 juta. Walaupun defisit perdagangan di tahun 2000-2001 semakin membaik, namun di tahun selanjutnya merosot lagi. Kondisi ini terjadi karena memang pada tahun tersebut (2002-2003) jumlah impor produk tanaman pangan mengalami peningkatan.
Impor pangan yang menyerap dana terbesar berasal dari beras dan gandum, kemudian disusul oleh kedelai dan jagung. Upaya peningkatan kinerja ekspor untuk menambah devisa negara dari subsektor ini diperkirakan hanya dapat diharapkan dari komoditas seperti jagung (termasuk komoditas pangan strategis), ubi kayu, dan ubi jalar (neraca perdagangan selalu surplus tapi nilainya kecil). Oleh sebab itu, program peningkatan produktivitas subsektor tanaman pangan diarahkan tidak hanya untuk komoditas pangan strategis tetapi juga komoditas potensial ekspor.
Subsektor Perkebunan
Tabel 2.12
Neraca Ekspor-Impor Produk Perkebunan (Segar dan Olahan)
Periode 1995-2003 (Juta Ton dan juta USD)
Tahun Volume (juta Ton) Nilai (juta USD)
Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca
1995 4,1 1,2 2,9 4183 1377 2806
1996 5,4 2 3,4 4658 1710 2948
1997 6,8 1,9 4,9 5180 1522 3657
1998 5,1 1,7 3,5 4079 1247 2832
1999 7,2 2,9 4,2 4092 1427 2665
2000 8,3 2,4 5,9 3887 1257 2629
2001 8,4 2,4 6 3148 1551 1597
2002 10,5 1,7 8,8 5024 1198 3827
2003 10,4 2,2 8,2 5771 1198 4573
Rata-rata
1995-1997 5,4 1,7 3,7 4673,7 1536,3 3137,4
Rata-rata
1998-1999 6,2 2,3 3,9 4085,5 1337 2748,5
Rata-rata
2000-2003 9,4 2,2 7,2 4457,5 1301 3156,5
Sumber Data: BPS diolah oleh Subdit PI PPH Bun
Selama ini ekspor hasil pertanian sebagian besar merupakan ekspor hasil perkebunan primer. Dalam jangka panjang, pengembangan ekspor sektor pertanian difokuskan kepada produk-produk olahan hasil pertanian yang memberikan nilai tambah lebih besar bagi perekonomian nasional. Sejalan dengan rencana tersebut, maka pengembangan agroindustri mutlak diperlukan yang pada gilirannya akan mendukung upaya pengembangan ekspor sektor pertanian.
Trend volume ekspor komoditas perkebunan dari tahun 1995 hingga 2003 cenderung meningkat. Sedangkan dari sisi impor, volume impor jauh lebih sedikit dan cenderung stagnan. Volume ekspor produk perkebunan mencapai posisi tertinggi di tahun 2002 yaitu sebesar 10,5 juta ton. Sedangkan impor tertinggi terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar 2,9 juta ton.
Tren ekspor perkebunan yang terus meningkat ini, memberikan gambaran bahwa produk perkebunan kita telah mampu bersaing di pasar internasional sehingga mampu memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam devisa perdagangan. Subsektor inilah dari sektor pertanian yang mampu memberikan surplus perdagangan yang sangat tinggi. Hal ini bisa dilihat dari data, dimana pada tahun 1995 neraca perdagangan hanya mencapai USD 2806 juta, terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2003 mencapai USD 4573 juta.
Total neraca perdagangan produk perkebunan dari tahun ke tahun selalu surplus, di atas US$ 2600 juta, kecuali pada tahun 2001 di bawah US$ 2000 juta (karena harga produk nilainya jauh di bawah trend). Sejak tahun 1995, secara konsisten volume ekspor produk perkebunan terus mengalami peningkatan, namun karena harga produk perkebunan di pasar dunia mengalami penurunan, maka peningkatan volume ekspor tersebut tidak terefleksi secara nyata pada nilai ekspor. Kondisi ini secara nyata terlihat misalnya dari volume ekspor yang rata-rata hanya 5,4 juta ton pada periode 1995-1997 nilainya mencapai US$ 4673 juta sementara dengan volume ekspor 6,2 juta ton dan 9,4 juta ton masing-masing pada periode 1998-1999 dan 2000-2003 hanya mencapai nilai sebesar US$ 4085 juta dan US$ 4457 juta.
Nilai ekspor komoditas perkebunan yang selalu jauh lebih tinggi dari nilai impor merupakan andalan sektor pertanian untuk menutupi devisa yang dikeluarkan untuk menutupi kekurangan biaya impor komoditas pertanian lainnya (baik tanaman pangan, hortikultura, maupun peternakan). Devisa dari ekspor komoditas perkebunan bahkan masih mampu memberikan nilai neraca perdagangan seluruh sektor pertanian yang positif.
Subsektor Peternakan
Tabel 2.13
Neraca Ekspor-Impor Produk Peternakan (Segar dan Olahan)
Periode 1995-2003 (Juta Ton dan juta USD)
Tahun Volume (juta Ton) Nilai (juta USD)
Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca
1995 0,07 0,60 (0,53) 91,25 904,43 (813,18)
1996 0,15 0,66 (0,51) 128,73 963,24 (834,51)
1997 0,12 1,9 115,74 860,98 (745,24) 6,8
1998 0,09 0,32 (0,23) 144,17 499,61 (355,44)
1999 0,08 0,45 (0,37) 151,46 477,64 (326,19)
2000 0,17 0,79 (0,62) 253,51 788,30 (534,79)
2001 0,16 0,75 (0,59.) 295,83 759,47 (463,64)
2002 0,09 0,73 (0,64) 213,53 636,71 (423,18)
2003 0,12 0,77 (0,65) 222,53 693,51 (470,99)
Rata-rata
1995-1997 0,11 0,63 (0,52) 111,91 909,55 (797,65)
Rata-rata
1998-2000 0,11 0,52 (0,41)
183,05 588,52
(405,47)
Rata-rata
2001-2003 0,12 0,75 (0,62) 243,96 696,56 (452,60)
Sumber : Biro Pusat Statistik (BPS), diolah Subdit Peternakan
Neraca perdagangan komoditas peternakan selalu defisit dari tahun ke tahun pada periode 1995-2003, namun tren menujukkan pengurangan nilai defisit perdagangan. Demikian halnya dengan nilai impor komoditas peternakan, meskipun masih tinggi tetapi trend nilai impor menunjukkan penurunan. Hingga saat ini subsektor peternakan belum mampu menyumbangkan secara signifikan devisa negara, hal ini terlihat dari tren ekspor yang cenderung stagnan, tidak menunjukkan peningkatan yang berarti (Gambar 7). Namun demikian, terdapat peluang meningkatkan pasokan dalam negeri (daging ayam, susu dan telur) yang dapat mengurangi impor bahkan meningkatkan ekspor khususnya untuk daging ayam dan daging babi.
Nilai ekspor komoditas peternakan meningkat dari US$ 111 juta pada masa sebelum krisis (1995-1997) menjadi US$ 183 juta pada masa krisis (1998-1999), dan semakin meningkat pada masa pasca krisis (2000-2003) menjadi US$ 244 juta. Sedangkan nilai impor sangat fluktuatif menurun dari US$ 909 juta pada masa sebelum krisis, turun menjadi US$ 588 juta pada masa krisis, dan meningkat kembali menjadi US$ 696 juta pada masa setelah krisis. Oleh sebab itu walaupun defisit, neraca perdagangan menunjukkan peningkatan dari minus US$ 797 juta pada masa sebelum krisis menjadi minus US$ 405 juta pada masa krisis, dan menurun kembali menjadi minus US$ 452 juta pada masa setelah krisis.
Subsektor Holtikultura
Tabel 9
Neraca Ekspor- Impor Produk Hortikultura
Periode 1995-2003 (Juta Ton dan juta USD)
Tahun Volume (juta Ton) Nilai (juta USD)
Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca
1995 0,4 0,3 0,1 170,5 190,2 (19,7)
1996 0,5 0,3 0,2 237,5 232,4 5
1997 0,3 0,4 -0,08 141,1 258,3 (117,2)
1998 0,2 0,3 -0,09 77,9 121,6 (43,7)
1999 0,6 0,4 0,2 356,2 140,6 215,6
2000 0,5 0,6 -0,03 296,8 252,9 43,9
2001 0,3 0,6 -0,3 169,1 254,7 (85,7)
2002 0,4 0,6 -0,2 205,2 334,5 (129,3)
2003 0,3 0,6 -0,3 205,1 333,18 (128,09)
Rata-rata
1995-1997 0,4 0,33 0,07 183,03 226,97 (43,97)
Rata-rata
1998-1999 0,4 0,35 0,05 217,05 131,10 85,95
Rata-rata
2000-2003 0,4 0,6 -0,20 219,05 293,8 (74,80)
Sumber Data: BPS diolah Subdit PI PPH Hortikultura
Perkembangan ekspor dan impor komoditas hortikultura dari tahun 1995 – 2003 sangat fluktuatif. Hingga tahun 1999 ekspor lebih tinggi dari impor, namun setelah itu impor melebihi ekspor. Volume ekspor tertinggi terjadi pada tahun 1999 dimana mencapai 0,6 juta ton, dimana sempat merosot tahun sebelumnya hingga hanya mencapai 0,2 juta ton. Rendahnya ekspor tahun sebelumnya itu (1998) merupakan akibatkan krisis ekonomi yang sempat mengejutkan eksportir produk hortikultura, namun tahun berikutnya krisis ini malah menjadi peluang yang dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku eksportir dimana mampu memperoleh keuntungan yang sangat besar akibat penguatan nilai mata uang asing terhadap rupiah. Namun kondisi ini kembali ke keseimbangan ekspor semula, dimana pasar hortikultura di dalam negeri mulai membaik setelah pasca krisis, sehingga berdampak terkoreksinya volume ekspor.
Demikian juga dengan melihat tren impor hortikultura, dimana pada pada awal krisis yaitu tahun 1998 sempat menurun. Namun dengan perkembangan perekonomian konsumen yang semakin membaik dan meningkatnya preferensi konsumen terhadap produk impor, sehingga dari tahun 1999 impor terus menanjak hingga tahun 2000 sampai sekarang stabil di kisaran 0,6 juta ton/tahun.
Dengan melihat neraca nilai ekspor-impor, maka neraca perdagangan produk hortikultura ini pernah mengalami surplus yang sangat tinggi yaitu pada tahun 1999, mencapai USD 215 juta. Namun setelah itu nilai neraca perdagangan terus mengalami penurunan sampai sehingga defisit mulai tahun 2001
C. Peranan Sektor Pertanian terhadap Perekonomian Indonesia
Di Indonesia pertanian memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk yang hidup dan bekerja pada sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian. Seperti yang telah kita ketahui bahwa SDA Indonesia memang cocok untuk lahan pertanian.
Bila dilihat dari laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian memiliki kontribusi yang cukup tinggi, hal ini menunjukan peranan sektor pertanian terhadap PDB yang juga memiliki peranan penting sama halnya dengan sektor -sektor lain yang juga turut berperan dalam laju pertumbuhan PDB tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.10
Sumbangan Sektor Pertanian Terhadap PDB (milyar) Atas Dasar Harga BerlakuTahun 1995- April 2006
Tahun
Tanaman pangan
Perkebunan
Peternakan
Kehutanan
Perikanan
PDB
Sektor Pertanian
1995
32.851,5
9.918,3
6.719,8
6.303,6
5.973,6
61.766,8
1996
32.959,3
10.287,9
7.013,8
6.412,3
6.263,9
62.937,7
1997
51.561,6
16.389,2
11.688,1
9.633,4
10.878,1
100.150,4
1998
88.546,1
36.377,0
19.743,3
19.294,7
22.521,7
186.482,8
1999
33.768,8
11.463,9
6.869,0
6.125,0
7.134,5
65.361,5
2000
111.324,0
31.720,4
25.627,4
17.215,1
30.944,6
216.831,3
2001
137.751,9
36.758,
34.284,9
17.594,5
36.937,9
263.327,8
2002
153.666,0
43.956,4
41.328,9
18.875,7
4 1 .049,7
298.876,8
2003
157.648,8
46.753,8
37.354,2
18.414,6
45.612,1
305.783,5
2004
165.558,2
51.590,6
40.634,7
19.678,3
54.091,2
331.553,0
2005
183.581,2
57.733,0
43,123,5
21.450
59.631,9
365.559,6
2006
61.719,3
9.330,2
11.357,7
4.928,3
14.901,5
102.237,0
Sumber: Statistik ekonomi keuangan Indonesia (BI) laporan lembaga keuangan.
Tahun 1995-1997 hasil pertanian mengalami kenaikan, begitu pula pada produksi domestik bruto (PDB). Hal ini dikarenakan pada saat itu pembangunan diorientasikan pada pertanian. Isi repelita tersebut mencakup upaya-upaya yang tujuannya untuk meningkatkan produksi dan memperluas penganakeragaman pertanian akan pangan dan kebutuhan industri dalam negeri dan untuk memperbesar ekspor, meningkatkan pendapatan dan mendorong perluasan serta pemerataan tenaga kerja.
Namun, pada tahun 1998 hasil sektor pertanian masih mengalami kenaikan Bila dianalisis lebih lanjut tahun 1998 kenaikan PDB dipengaruhi pula clengan laju inflasi yang cukup tinggi sebesar 77,6 %. Hal terburuk yang terjadi pada tahun 1999 ditandai dengan penurunan baik hasil sektor pertanian maupun PDB mengalami penurunan yang sangat drastis daripada tahun-tahun sebeiumnya. Sedangkari pada tahun 2000-2005 PDB sektor pertanian ini memang mengalami kenaikan yang cukup baik, pada tahun 2000 PDB naik menjadi 216.831,3 milyar.
Grafik 2.7
Sumbangan Sektor Pertanian Terhadap PDB (milyar) Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1995- April 2006
Secara singkat sumbangan sektor pertanian terhadap PDB apabila di persentasikan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.11
Persentase Perkembangan Sumbangan Sektor Pertanian Tahun 1995-2006
Tahun
Persentase Sumbangan PDB
1995
13,65
1996
11,89
1997
9,99
1998
19,51
1999
5,94
2000
17,14
2001
15,63
2002
16,04
2003
14,31
2004
15,21
2005
16,60
2006
19,39
Berdasarkan data diatas secara grafis perseritase kontribusi sektor pertanian tersebut terhadap PDB lahun 3995-2006 adalah sebagai berikut:
Grafik 2.8
Persentase Sumbangan sektor Pertanian pada PDB
tahun 1995-2006
Namun sejak Indonesia mencoba untuk menggeser sektor pertanian dengan sektor industri nampaknya sektor pertanian mulai dianaktirikan sehingga peranannya pun dianggap mulai menurun. Dalam hal ini yang lebih dominan diperhatikan dalam perekonomian Indonesia adalah sektor industri. Padahal apabila dikaji lebih dalam sebenarnya kedua sektor tersebut yaitu sektor pertanian dan sektor industri memiliki keterkaitan yang erat. Di satu sisi pertanian merupakan penyedia bahan-bahan mentah atau bahan baku untuk berbagai kegiatan industri, sedangkan sektor industri juga dapat dimanfaatkan untuk menunjang sektor pertanian, misalnya dengan menciptakan alat-alat bahan yang dapat digunakan untuk mempercepat proses panen pada sektor pertanian atau untuk meningkatkan kualitas hasil pertanian.
Sedangkan berdasarkan analisis klasik dari Kuznets (1964), bahwa pertanian dapat dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dan memiliki empat bentuk kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut (Dr. Tulus TH Timbunan : 197-198), yaitu sebagai berikut:
Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di sektor pertanian, baik dari sisi permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang continue mengikuti pertumbuhan penduduk, maupun dari segi penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur (musalnya industri makana dan minuman) dan perdagangan. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk.
Di negara-negara agraris seperti Indonesia, pertanian berperans sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi produk-produk dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar.
Sebagai suatu sumber modal untuk investai di sektor-sektor ekonomi lainnya. Selain itu, menurut teori penawaran tenaga kerja (labour/L) tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus , bahwa dalam proses pembangunan ekonomi terjadi trnsfer surplus L dari pertanian (pedesaan) ke industri dan sektor-sektor perkotaan lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi sektor-sektor produksi.
Sebagai sumber pentingbagi surplus neraca perdagangan (*sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian maupun dengan peningkatan produksi pertanian dalam negeri dalam menggantikan impor (substitusi impor). Kuznets menyebutnya kontribusi devisa.
1. Kontribusi Produk
Seperti yang telah dijelaskan sebelurnnya bahwa sektor-sektor ekonomi lain sangat tergantung pada produk dari sektor pertanian, bukan saja untuk suatu kelangsungan pertumbuhan suplai makanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, melainkan juga untuk penyediaan bahan baku yang digunakan oleh sektor industri manufaktur, seperti industri tekstil, industri barang-barang dari kulit, dan industri makanan dan minuman. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk
Kontibusi produk dari pertanian dapat dilihat dari relasi antara pertumbuhan pangsa PDB dari sektor tersebul dengan pangsa awalnya dan laju pertumbuhan relative dari produk-produk neto pertanian dan non pertanian. Jika Pa = neto pertanian, Pn = produk neto non pertanian, dan P = total produk nasional yang membentuk PDB, maka relasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Ghatak dan Ingersent, 1984)
Di dalam sistem ekonomi terbuka, besarnya kontribusi produk dari sektor pertanian, baik lewat pasar maupun lewat keterkaitan produksi dengan sektor-sektor nonpertanian, misalnya industri manufaktir, juga sangat dipengaruhi oleh kesiapan sektor itu sendiri dalam menghadapi persaingan dari luar (tingkat daya saingnya).
2. Kontribusi Pasar
Karena pengaruh agraris yang sangat kuat dari ekonomi selama tahap awal proses pcmbangunan ekonomi, populasi di sektor pertanian (pedesaan) membentuk suatu proporsi yang sangat besar dalam pasar domestik untuk produk-produk industri dalam negeri, termasuk pasar untuk barang-barang produsen maupun barang-barang konsumsi. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar.
Negara Indonesia sebagai Negara agraris dengan proporsi populasi pertanian yang besar, merupakan sumber yang sangat penting bagi pertumbuhan pasar domestik baik pada sektor pertanian itu sendiri maupun bagi sektor-sektor nonpertanian, khususnya industri manufaktur, pengeluaran petani untuk produk-produk industri, baik barang-barang konsumsi maupun barang-barang produsen, memperlihatkan suatu aspek kontribusi pasar dari sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi.
Peranan sektor pertanian lewat kontribusi pasarnya telah diversifikasi dan pertumbuhan output dari sektor-sektor nonpertanian sangat tergantung pada dua faktor penting, yaitu:
Pertama, dampak dari keterbukaan ekonomi dimana pasar domestik tidak hanya diisi oleh barang-barang buatan dalam negeri, tetapi juga barang-barang impor. Di dalam system ekonomi tertutup, kebutuhan petani akan barang-barang non makanan mau tidak mau harus dipenuhi oleh industri di dalam negeri. Jadi secara teoritis (dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain mendukung), perkembangan dan pertumbuhan industri domestik akan lebih terjamin dengan system ekonomi tertutup. Dan sebaliknya, dalam system ekonomi terbuka, industri dalam negeri menghadapi persaingan dari barang-barang impor serupa. Hal ini menuntut berbagai pihak untuk dapat menghadapi persaingan ini.
Kedua, jenis teknologi yang digunakan di sektor pertanian yang menetukan tinggi rendahnya tingkat mekanisasi atau modernisasi dari sektor tersebut. Permintaan terhadap barang-barang produsen dari sektor pertanian yang masih tradisional lebih kecil (baik dalam jumlah maupun komposisinya menurut jenis barang) dibandingkan permintaan dari sektor pertanian yang sudah modern.
3. Kontribusi Faktor-faktor Produksi
Ada dua faktor produksi yang dapat dialihkan dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian, tanpa harus mengurangi volume produksi (produktivitas) di sektor pertanian..
Pertama adalah tenaga kerja, dalam teori Arthur Lewis dikatakan bahwa pada saat pertanian mengalami surplus tenaga kerja (dimana marginal produk dari tenaga kerja mendekati atau sama dengan nol) yang menyebabkan tingkat produktivitas alau pendapatan riil per pekerja di sektor tersebut rendah, akan terjadi transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Sebagai dampaknya kapasitas dan volume produksi di sektor industri meningkat.
Kedua adalah modal. Dalam hal ini sektor pertanian bisa menjadi salah satu sumber modal bagi investasi sektor lain.
Semakin tinggi harga produk pertanian, akan semakin besar suplai produknya. Demikian juga, semakin tinggi volume output pertanian yang diproduksi, semakin tinggi output yang dipasarkan.
Agar peranan sektor pertanian dapat direlisasikan, ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi terlebih dahulu :
1. petani harus menjual sebagian dari outputnya keluar sektornya atau dengan perkataan lain harus ada market surplus dari produk pertanian.
2. petani harus merupakan net savers, yakni pengeluaran mereka untuk konsumsi harus lebih kecil daripada produksi mereka.
3. tabungan para petani harus lebih besar daripada kebutuhan investasi di sektor pertanian.
Untuk mendapatkan market surplus, kinerja sektor pertanian itu sendiri harus baik, dalam arti bisa menghasilkan surplus. Faktor terakhir ini sangat ditentukan oleh kekuatan sisi suplainya (teknologi, infrastruktur, dan sumber daya manusia) dan dari sisi permintaan (pasar) oleh nilai tukar antar produk pertanian dan produk nonpertanian, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
4. Kontribusi Devisa
Sektor pertanian mampu berperan sebagai sumber penting bagi surplusnya neraca perdagangan atau neraca pembayaran (sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian atau dengan ekspansi produksi dari komoditi-komoditi pertanian yang menggantikan impor (subtitusi impor). Disebut kontribusi devisa.
Kontribusi pertanian di suatu Negara terhadap peningkatan devisa terjadi melalui peningkatan ekspor dan/atau pengurangan impor negara tersebut untuk komoditi-komoditi pertanian. Kontribusi sektor pertanian terhadap ekspor juga bisa bersifat tidak langsung, misal melalui peningkatan ekspor atau pengurangan impor produk pertanian seperti, makanan dan miniman, tekstil dan produk-produknya.
Pentingnya sektor pertanian juga dapat pula dilihat dari besarnya nilai ekspor yang berasal dari pertanian sehingga sektor pertanian juga merupakan salah satu sumber penghasil devisa untuk Indonesia.
5. Penyerapan Tenaga kerja
Sektor pertanian sebagai sector yang sangat penting di Indonesia. Hal itu dikarenakan selain Indonesia memiliki potensi pertanian yang sangat besar juga dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani. Sensus penduduk pada tahun 2003, menunjukkan bahwa sejak tahun 1993 jumlah petani Indonesia mengalami peningkatan dari 20,8 juta menjadi 25,4 juta rumah tangga, atau dengan laju petumbuhan rata-rata sebesar 2,2 persen. Dari sensus tersebut kita dapat melihat bahwa begitu banyaknya tenaga kerja yang dapat diserap oleh sektor pertanian ini.
Kontribusi sektor pertanian dalam pertumbuhan dan Stabilitas PDB
Menurut hasil penelitian Amiruddin Syam dan Sakityanu K. Dermoredjo (1995) Kontribusi sektor pertanian dalam pertumbuhan PDB nasional tertinggi dicapai tahun 1985 (21,51%) jika dibandingkan dengan kontribusi sektor lainnya. Hal ini seiring dengan pertumbuhan pangsa dan sumber pertumbuhan yang dicapai sektor pertanian. Selanjutnya besarnya kontribusi sub sektor tanaman bahan makanan terhadap PDB pertanian ditandai dengan pertumbuhan pangsa dan sumber pertumbuhan yang telah dicapai. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor terpenting di dalam perekonomian nasional. Sektor pertanian lebih stabil dibandingkan dengan sektor lainnya, kecuali sektor pertambangan dan penggalian. Dalam sektor pertanian, sub sektor tanaman bahan makanan lebih besar nilai volatilitasnya atau tingkat stabilitasnya lebih stabil dibandingkan dengan sub sektor-sub sektor lainnya.
Tabel 2.12
Nilai Ukur Petani
Tahun Pulau Jawa
Jawa Timur Jawa Tenagah Jawa Barat DI. Yogyakarta
1996 107,0 109,0 101,0 111,6
1997 112,8 104,2 104,1 114,5
1998 105,1 94,0 101,4 131,1
1999 97,6 91,5 112,1 121,5
2000 103,7 91,9 105,5 115,6
Pada bulan Agustus 2009 lalu, Nilai Tukar Petani (NTP) nasional menembus angka 100 sepanjang tahun 2009 ini. NTP nasional Agustus 2009 tercatat sebesar 100,24 atau naik 0,42 % dibandingkan bulan sebelumnya.
Rusman Heriawan, Ketua Badan Pusat Statistik, Jakarta, pekan lalu mengungkapkan angka NTP. Itu menunjukkan ada perbaikan kesejahteraan petani dibandingkan tahun dasar, tahun 2007. Dari posisi benefit yang diperoleh petani dari selisih harga jual produk petani dan harga beli petani lebih bagus pada bulan ini.
NTP Agustus 2009 dibandingkan Juli 2009, seluruh subsektor NTP mengalami kenaikan, yaitu subsektor tanaman pangan 0,35 %, hortikultura 0,57 %, tanaman perkebunan rakyat 0,75%, peternakan 0,06%, dan perikanan 0,49 %. Kenaikan NTP terutama dipicu oleh kenaikan subsektor tanaman pada subkelompok tanaman perkebunan rakyat.
Selanjutnya dia menyatakan dari 32 provinsi (tanpa DKI) pada Agustus 2009, NTP 21 provinsi naik, 1 provinsi relatif stabil, sedangkan 10 provinsi turun. Kenaikan NTP terjadi di Provinsi Sumatera Barat (2,22 %), terutama disebabkan harga produksi cabe naik sebesar 7,88%. Penurunan NTP terbesar terjadi di Provinsi Papua Barat, sebesar 1,90 %, penyebab utamanya adalah turunnya produksi coklat sebesar 8,57 %.
Pada Agustus 2009, terjadi inflasi di daerah perdesaan di Indonesia sebesar 0,66 %. Inflasi perdesaan Agustus 2009 ini dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga subkelompok bahan makanan, makanan jadi, perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan serta rekreasi & olah raga masing-masing naik sebesar 0,77 %, 0,69 %, 0,84 persen, 0,37 %; 0,27 % dan 0.61 % sedangkan kelompok transportasi dan komunikasi turun 0,11 %.
Sementara itu tercatat Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP) sebesar 95,37; Nilai Tukar Petani Hortikultura (NTPH) 103,77; Nilai Tukar Petani Tanaman Perkebunan Rakyat (NTPR) 104,77; Nilai Tukar Petani Peternakan (NTPT) 104,63; dan untuk Nilai Tukar Nelayan (NTN) 106,42.
D. Perbandingan Kondisi Pertanian Indonesia dengan Negara Tetangga
Di dalam kelompok ASEAN, walaupun Indonesia merupakan Negara anggota terbesar dalam jumlah penduduk (berarti luas pasar domestik) dan luas lahan pertanian, nyatanya Indonesia bukan Negara terbesar dalam hal sumbangan sector pertanian terhadap pembentukkan PDB . table di bawah ini menunjukkan bahwa selama decade 90-an Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan Kamboja, laos, Myanmar, Filiphina dan Vietnam. Di decade 2000-an juga demikian, peran sector pertanian dalam PDB di Indonesia bukan yang terbesar. Fakta ini menguatkan rendahnya tingkat produktivitas pertanian di Indonesia dibandingkan dengan sejumlah negara di table tersebut. (Tulus Tambunan : 2009 : 146)
Tabel 2.13
Peran Pertanian di Dalam Ekonomi menurut Neara ASEAN (% dari PDB)
Negara Pertanian Industri
1993 2003 2006 1993 2003 20066
Brunei 14.62 2.2 0.9 39.91 41.31 12.3
Kamboja 47.3 37.2 30.1 8.6 17.3 19.6
Indonesia 17.9 15.9 12.9 22.3 24.7 28.0
Laos 57.5 48.6 44.8 13.1 19.2 20.7
Malaysia 40.43 9.5 8.7 25.9 31.2 29.8
Myanmar 58.8 57.2 48.4 7.0 7.8 11.6
Filipina 21.6 14.4 14.2 23.7 22.9 22.9
Singapura 25.24 0.15 0.1 25.2 26.1 27.7
Thailand 8.7 9.8 10.7 29.6 35.2 35.1
Vietnam 29.9 21.8 20.4 15.2 20.8 21.3
Keterangan : 1) termasuk pertambangan dan Penggalian; 2) termasuk sektoir-sektor lain di luar pertambangan dan penggalian, industry, perdagangan dan lain-lain, keuangan dan lain-lain dan jasa-jasa lainnya; 3) termasuk sector-sektor lain di luar industry, perdagangn dan lain-lain, keuangan dan lain-lain, dan pertanian dan penggalina 4) termasuk sector-sektor lain di luar industry, keuangan dan lain-lain, perdagangan dan lain-lain, transportasi & komunikasi,; 5) termasuk pertambangan & penggalian: 6) Manufaktur.
Grafik 2.8
Peran Pertanian di Dalam Ekonomi menurut Negara ASEAN (% dari PDB)
E. Permasalahan Pertanian di Indonesia serta strategi dan kebijakan
Permasalahan Pertanian di Indonesia
Dunia pertanian Indonesia untuk saat ini dapat dikatakan belum menunjukkan prestasi yang baik. Bila dilihat secara internasional ketergantungan kita pada produk pertanian dari luar negeri tampak sangat jelas. Tingkat konsumsi bahan pangan penting seperti beras dan kedelai tidak dapat diimbangi oleh produktivitas dalam negeri. Dari data mengenai tingkat konsumsi dan produksi kedelai terlihat.ketergantungan yang sangat besar pada suplai dari luar negeri. Pada tahun 2004 kebutuhan kedelai nasional diperkirakan mencapai 1.951 100 ton, sementara produksi pada tahun 2003 hanya mencapai 672 437 ton (Girsang, 2004). Besarnya nilai impor produk pertanian dapat dilihat pada rapor mengenai prestasi pertanian kita yang dilaporkan oleh WTO, yakni ekspor produk pertanian pada tahun 2003 menempati urutan 11 dengan nilai 9,94 miliar dolar AS, namun nilai impor mencapai 5,44 miliarmdolar AS dan merupakan peringkat 14 dunia. Hal ini sangat kontras dengan Amerika Serikat yang merupakan eksportir peringkat ke dua dengan nilai 76,24 miliar dolar AS
Bila dicermati dengan seksama dunia pertanian kita menghadapi berbagai masalah serta kendala yang saling berkait, mulai dari sumber daya manusia, kurangnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, infrastruktur serta kesenjangan penguasan teknologi.
Sumber daya manusia
Petani sebagai pelaku utama bisnis dalam bidang pertanian sejauh ini pada umumnya belum memiliki kualitas yang memadai untuk dapat merencanakan dan melaksanakan kegiatan pertanian secara sehat. Sebagian besar petani kita memiliki tingkat pendidikan yang rendah, yang dikombinasikan dengan kepemilikan lahan yang sempit (kurang dari 0,5 ha). Kondisi tersebut selanjutnya mendudukkan petani pada posisi yang lemah dalam akses terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk memajukan kegiatannya. Kebanyakan petani hanya melaksanakan kegiatannya secara tradidional, tanpa disertai inovasi baru untuk meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraannya. Sebagai contoh, petani cenderung menanam komoditas dengan produktivitas rendah atau bernilai jual rendah. Sering pula terjadi petani menanam komoditas hortikultura yang bernilai relatif tinggi, namun kurang dapat memperhitungkan peluang pasar sehingga menanam komoditas secara beramai-ramai pada musim tanam tertentu yang mengakibatkan panen raya dengan tingkat produksi jauh melebihi permintaan sehingga memperoleh harga jual yang sangat rendah. Bila ditinjau lebih jauh ketersediaan komoditas tersebut tidak merata sepanjang tahun. Kemampuan untuk merencanakan penanaman sesuai dengan permintaaan pasar akan mendapatkan imbalan yang sesuai, karena petani dapat menjual panenan dengan harga yang tinggi.
Kendala infrastruktur
Negara kita meliputi wilayah yang sangat luas, walaupun sebagian besar berupa lautan. Dari daratan yang ada tingkat kesuburan sangat bervariasi. Sejauh ini pulau Jawa merupakan wilayah andalan sebagai pemasok bahan pangan maupun hortikultura, berkaitan dengan tingkat kesuburannya yang tinggi. Selain tingkat kesuburan yang kurang, daerah di luar Jawa juga menghadapi kendala untuk pengembangan produk pertanian, yakni kurangnya saluran irigasi. Irigasi merupakan sarana yang sangat penting bagi kegiatan pertanian. Sistem irigasi yang baik memungkinkan pencapaian kualitas dan kuantitas hasil yang tinggi.
Pada kasus penanaman padi, peningkatan hasil dapat diperoleh melalui peningkatan produktivitas serta frekuensi penanaman. Sistem irigasi secara signifikan mempengaruhi peningkatan panenan melalui kedua faktor tersebut. Sistem irigasi yang baik seperti irigasi teknis memungkinkan penanaman padi lebih sering daripada sistem irigasi sederhana. Di pulau Jawa, sistem irigasi teknis tersedia pada 1.526.829 ha sawah, dari total luas sawah 3.344.391 ha. Kondisi irigasi di luar jawa jauh lebih memprihatinkan. Data pada tahun 2001 menunjukkan areal sawah dengan irigasi teknis hanya terdapat pada 712.004 ha dari total luas sawah 7.779.733 ha (BPS, 2003). Di Thailand yang merupakan produsen padi yang besar, sistem irigasi telah mendapat perhatian yang serius. Sejak awal abad 20 telah dibangun banyak bendungan untuk tujuan tersebut.
Selain berasal dari air permukaan yang ditampung dalam bendungan, sistem irigasi juga memanfaatkan air tanah yang dialirkan dengan sistem pompa. Pada tahun 1995 areal pertanian yang telah dilengkapi dengan saluran irigasi mencapai sekitar 5 003 724 ha. Sarana irigasi masih terus ditingkatkan dengan penambahan 120 000 ha lahan beririgasi per tahun (Aquastat,1997) Selain masalah irigasi, pra sarana berupa jalan yang menghubungkan sentra produksi dengan daerah lain merupakan pendukung sektor pertanian yang tak kalah pentingnya. Di beberapa daerah sentra produksi, harga komoditas pertanian sangat rendah, sementara komoditas tersebut sebenarnya memiliki pasar yang luas dengan harga tinggi. Produksi beberapa jenis buah seperti durian, duku dan pisang di beberapa daerah di pulau Sumatera dikenal sangat tinggi, namun karena jarak yang jauh dari pasar serta kurangnya dukungan transportasi, produk-produk tersebut dijual dengan harga yang rendah. Jalan serta alat transportasi sangat penting dalam upaya pengembangan daerah pertanian. Hal ini telah disadari oleh pemerintah Thailand yang bertekad membangun sektor pertanian yang merupakan mata pencaharian bagi 60% penduduknya. Seiring dengan pembangunan sektor pertanian di negara tersebut dibangun pula jalan-jalan, bahkan dikembangkan jalan bebas hambatan yang menghubungkan daerah sentra produksi dengan daerah lain yang merupakan pintu pemasaran produk pertanian. Jaringan jalan raya meliputi sekitar 26 700 mil ini meliputi jalan tingkat nasional, jalan tingkat propinsi serta jalan raya yang menghubungkan daerah pertanian. Jalan bebas hambatan juga menghubungkan Thailand dengan beberapa negara tetangganya seperti Laos, Kamboja, Vietnam, Malaysia dan Burma.
Dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi
Pengembangan bidang pertanian melalui penelitian di negeri kita tergolong kurang pesat dibandingkan dengan negara lain. Hal ini antara lain berkaitan dengan keterbatasan dana penelitian yang dialokasikan pemerintah. Di negara-negara maju penelitian dan pengembangan mendapatkan perhatian yang serius, terlihat dari besarnya dana yang dianggarkan untuk kepentingan tersebut. Pada tahun 1990 Amerika Serikat dan Jepang, masing-masing mengalokasikan 2.6-2.8% dari GNP untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, sementara di Indonesia anggaran untuk kepentingan tersebut hanya mencapai 0,2 % dari GNP. Selain itu kuantitas dan kualitas peneliti di negara kita juga cenderung lebih rendah. Di negara kita proporsi peneliti masih sangat rendah. Data pada tahun yang sama menunjukkan jumlah peneliti hanya 183 per satu juta penduduk, sedangkan di kedua negara tersebut dapat mencapai 20 kali lipat, yakni sebesar 3300-5000 peneliti untuk jumlah penduduk yang sama (Salam, 1991). Menurut Pranadji dan Simatupang (1999) strategi penelitian dan pengembangan yang kurang efektif antara lain juga disebabkan oleh komposisi keahlian, kemampuan, proses regenerasi dan pengelolaan dari peneliti bidang pertanian yang dimiliki relatif belum memadai.
Untuk memajukan penelitian dan pengembangan bidang pertanian diharapkan peranan swasta dalam mendukung pendanaan. Penelitian-penelitian bersifat pelayanan teknologi selanjutnya diharapkan dapat dibiayai oleh pihak swasta seperti perusahaan agribisnis yang akan banyak memanfaatkan hasilnya. Selain itu, sejalan dengan pengembangan sistem otonomi aerah, pemerintah daerah dapat mendukung pendanaan penelitian yang ditujukan secara spesifik untuk pengembangan wilayahnya. Dengan demikian sumber dana bagi pengembangan pertanian dapat berasal dari pemerintah daerah dan pihak swasta untuk menunjang dana dari pemerintah pusat yang sangat terbatas (Sudaryanto dan Rusastra, 2000)
Perkembangan penelitian di negara kita juga tertinggal dari beberapa Negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Bila kita amati kualitas produk-produk hortikultura seperti buah-buahan tampak sangat jelas bahwa perkembangan pertanian di kedua negara tersebut jauh lebih cepat. Di Indonesia keragaman yang kaya dari buah-buahan seperti durian, pisang, mangga dan buah-buah lain belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk merakit varietas unggul yang berdaya saing tinggi dalam pasar internasional. Kasus durian merupakan salah satu contoh kurangnya dukungan penelitian dan pengembangan dalam sektor pertanian. Seperti telah dikemukakan terdahulu, potensi produksi durian di wilayah Sumatera, Kalimantan dan beberapa daerah lain belum dapat dimanfaatkan dengan baik. Peluang pasar untuk komoditas ini masih sangat luas, meliputi pasar domestic maupun luar negeri. Salah satu kendala dalam distribusi komoditas ini adalah buah mudah rusak akibat kulit buah cepat terbuka selama proses pengangkutan. Kendala ini sebenarnya dapat diatasi bila kita memiliki varietas dengan kulit buah tahan lama. Masyarakat petani Thailand dan Malaysia telah dapat mengatasi masalah tersebut karena upaya pemuliaan di negara tersebut telah menghasilkan varietas unggul seperti Monthong (Thailand) serta durian D24 yang dihasilkan di Malaysia (Rahardi, 2001). Di Thailand dikembangkan 4 varietas durian unggul yakni Monthong, Chanee, Kra dum thong, dan Puang manee, yang dapat disimpan selama 2 minggu (Salakpethch, 2000). Di Malaysia, selain beberapa varietas unggul dari Thailand ditanam pula beberapa klon unggul lokal antara lain D24, D145 dan D169 Ke tiga klon durian ini berukuran relatif kecil, namun dapat disimpan sampai 9-11 hari (DOL, 1997). Kita memiliki beberapa varietas durian unggul lokal yang disukai masyarakat namun daya simpannya masih rendah. Belakangan ini diperkenalkan klon durian lokal DR-06 dan DTK-02 yang disebutkan relatif tahan lama, namun bibit belum tersedia secara luas
Masalah pada durian hanya salah satu contoh kasus kurangnya dukungan penelitian dan pengembangan dalam sektor pertanian. Ada banyak masalah lain yang perlu dikembangkan melalui penelitian, misalnya merakit varietas pisang local dengan cita rasa enak yang telah dimilikinya, namun berpenampilan menarik serta memiliki tekstur kulit dan tangkai kuat sehingga tahan lama dalam proses pengangkutan dan penyimpanan. Selain perakitan kultivar buah unggul, perlu dikembangkan pula upaya produksi buah di luar musim, sehingga petani memperoleh harga jual yang tinggi.
Selain kurangnya pengembangan varietas unggul, daya saing produk pertanian yang rendah juga disebabkan oleh kualitas produk yang kurang baik akibat penanganan pasca panen yang cenderung serampangan. Berbeda dengan produk pertanian dari luar negeri yang dikemas secara baik, penanganan produk pertanian kita pada umumnya kurang mendapat perhatian.
Kesenjangan IPTEK
Seperti telah dibahas terdahulu, pendidikan petani kita pada umumnya relative rendah. Rendahnya tingkat pendidikan petani berakibat pada kesenjangan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi informasi yang mendukung pengembangan bidang pertanian. Akibat kesenjangan tersebut hasil-hasil penelitian yang diperoleh kurang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna. Pada era teknologi informasi ini banyak hasil-hasil penelitian disediakan dalam bentuk publikasi elektronik yang mudah diakses secara luas. Badan litbang Pertanian telah membangun jaringan komunikasi melalui internet dengan tujuan menyajikan informasi terbaru secara lengkap, mengusahakan sarana komunikasi antara para peneliti dengan pengguna serta sebagai sarana promosi hasil hasil penelitian (Deptan, 2002). Petani yang sebagian besar tinggal di pedesaan dengan latar belakang pendidikan relatif rendah pada umumnya kurang dapat memanfaatkan fasilitas tersebut. Peranan jaringan internet dalam peningkatan hasil yang dapat diperoleh petani cukup signifikan. Pemanfaatan internet untuk meningkatkan akses pasar telah dinikmati petani Malaysia yang dapat menjual nenas dengan harga 2.5 kali lebih mahal dari pada petani Bandung yang menjual buah dengan kualitas yang sama secara konvensional.
Selain informasi dalam bentuk elektronik, publikasi dalam bentuk cetakan berupa jurnal-jurnal ilmiah, jurnal ilmiah popular, serta koran dan majalah masih banyak digunakan dalam upaya transfer teknologi dan informasi sektor pertanian. Untuk kalangan tertentu seperti pelaku agribisnis dalam skala menengah ke atas informasi dalam bentuk demikian dapat diakses dengan mudah, namun bagi petani yang tinggal di pedesaan dengan tingkat sosial ekonomi yang relatif rendah sumber informasi ini masih tergolong mahal. Latar belakang pendidikan yang rendah juga merupakan kendala dalam upaya memperoleh informasi secara aktif. Dari studi kasus di daerah transmigrasi Sumatra selatan, didapati bahwa pada masyarakat dengan tingkat pendidikan yang sebagian besar hanya sampai tingkat SD (67%-87.3%) pemanfaatan sumber informasi berupa media cetak dan elektronik masih sangat rendah. Dalam masyarakat tersebut, pertemuan kelompok tani merupakan media komunikasi yang utama, sedangkan informasi mengenai perkembangan sector pertanian terutama diperoleh dari para petugas penyuluh pertanian lapang (Sulaiman, 2002). Dari contoh kasus diatas tampak jelas bahwa transfer teknologi dalam bidang pertanian seperti teknik-teknik budidaya, penanganan pasca panen atau pemasaran diperoleh petani melalui para petugas penyuluh pertanian lapang (PPL).
Dalam upaya mempercepat transfer teknologi dan sumber informasi, peranan petugas penyuluh lapang layak mendapat perhatian. Jumlah PPL sejauh ini masih kurang memadai, demikian juga tingkat pendidikannya. Petugas PPL pada umumnya merupakan lulusan sekolah menengah pertanian. Untuk melaksanakan tugas dengan baik perlu peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang merupakan ujung tombak transfer teknologi kepada petani tersebut. Dari hasil evaluasi Program Pendidikan dan Latihan Jarak Jauh terhadap para PPL dilaporkan terdapat perkembangan yang positif dalam wawasan pengetahuan, ketrampilan serta peningkatan kemampuan pengelolaan usaha pertanian masyarakat.
Selain penyuluhan yang bersifat ceramah, pembinaan melalui contoh nyata sangat diperlukan bagi petani. Petani tradisional pada umumnya sulit untuk menerima informasi serta ajakan yang bersifat pembaruan. Untuk mengajak petani agar lebih mudah mengikuti saran-saran yang diberikan perlu dibuat lebih banyak plot percontohan yang melaksanakan seluruh kegiatan usaha pertanian mulai dari teknik budidaya, penanganan pasca panen hingga pemasaran produknya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui alih teknologi juga dapat dikembangkan melalui sistem kemitraan. Petani yang berperan sebagai plasma dapat memperoleh pengetahuan serta pengalaman melalui binaan yang dilakukan oleh perusaan agribisnis yang berperan sebagai inti. Selain pengetahuan mengenai teknik budidaya, dengan hubungan ini petani memperoleh pelajaran yang sangat bermanfaat mengenai perlunya pengendalian mutu produk. Sistim kemitraan seperti ini telah dilakukan pula di beberapa negara, misalnya di Malaysia melalui program FELDA yang terbukti memberikan hasil yang baik.
Strategi dan Kebijakan Pemerintah
Indonesia pernah bertekad untuk mencapai swasembada beras dalam tempo lima tahun ketika Repelita I dimulai tahun 1969. Namun, itu tidak tidak berhasil. Ketika swasembada beras menjadi tujuan implisit dan eksplisit dalam semua kebijakan pertanian Indonesia, sampai tujuan tersebut dicapai 15 tahun kemudian pada 1984, misi ini sesungguhnya merupakan misi yang sangat berat bagi Indonesia. Yang relatif mudah direncanakan jauh lebih rumit dan sukar dalam pencapaiannya. Pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia. Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak menyukainya. Ketika harga beras melonjak sampai pada titik di mana konsumsinya harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah pusat dari semua hubungan pertalian sosial. Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya:
1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras.
Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling berperan dalam pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam bisnis pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan pasokan dan harga pada tingkat nasional.
Bulog sengaja diciptakan untuk mendistorsi mekanisme harga beras dengan manipulasi untuk memelihara pasar yang lebih kuat. Selama tahun-tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara bertahap menaikkan harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade 80-an, ketika Indonesia surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri untuk mencegah jatuhnya harga. Tindakan ini membantu memelihara stabilitas pasar.
2. Teknologi dan Pendidikan.
Sejak tahun 1963, Indonesia memperkenalkan banyak program kepada para petani untuk meningkatkan produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi pertanian kepada para petani. Di samping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk menjamin teknik dan teknologi baru dimengerti dan digunakan secara benar. Faktor lain yang berperan penting dalam meningkatkan hasil padi adalah peningkatan penggunaan pupuk kimia.
3. Koperasi Pedesaan.
Pada tahun 1972, ketika Indonesia kembali mengalami panen buruk, pemerintah menganjurkan pembentukan koperasi sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa). Pada tingkat kabupaten, ada koperasi serba usaha yang disebut KUD (Koperasi Unit Desa). Koperasi juga bertindak sebagai pusat penyebaran informasi atau pertemuan organisasi.
4. Prasarana.
Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara langsung ditujukan untuk pembangunan pertanian, dan semuanya secara langsung memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada beras. Sistem irigasi merupakan hal penting dalam pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan prasarana lain yang berdampak langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk berswasembada beras adalah program besar-besaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan dan pelabuhan. Semua kebijakan di atas bekerja sama dan berperan penting dalam kemajuan pembangunan sektor pertanian Indonesia. Kemajuan ke arah swasembada beras tidaklah gampang. Impor beras yang dilakukan beberapa tahun belakangan ini telah banyak memberatkan para petani.
Keterpurukan sektor pertanian di lndonesia bisa dikatakan dimulai ketika pemerintah Orde Baru mempraktikkan program pertanian yang berorientasi kepada "Ideologi Revolusi Hijau tahun 1970-an hingga 1980-an. Pada masa itu, petani dipaksa bekerja dengan program pertanian modern yang penuh dengan tambahan kimiawi yang merendahkan kualitas kesuburan tanah untuk jangka panjang. Para petani dipaksa bertanam dengan menggunakan sarana produksi pupuk, obat hama, benih, dan lain sebagainya yang dipasarkan oleh beberapa perusahaan MNC/TNC yang mendapatkan lisensi pemerintah.
Penggunaan saprodi produk perusahaan MNC/TNC tersebut harus dibeli petani dengan harga mahal dari tahun ke tahun. Akibatnya, biaya produksi pertanian selalu melambung dan tidak terjangkau oleh petani domestik. Ironisnya, harga jual produk pertanian terutama beras, dikontrol dan dibuat murah harganya oleh pemerintah. Pemerintah juga sering melakukan praktik dagang menjelang pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Stok beras di pasaran dibuat langka baru kemudian harga naik, akhirnya masyarakat dipaksa memahami impor beras yang akan dilakukan oleh pemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah berdampak dua hal yakni
Pertama, menurunkan motivasi kerja para petani karena hasil kerja kerasnya akan kalah berkompetisi dengan beras impor di pasaran.
Kedua, menterpurukkan tingkat pendapatan petani domestik yang rendah menjadi sangat rendah.
Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme. Kebijakan impor beras adalah pemenuhan kesepakatan AoA (Agreement on Agriculture) WTO yang disepakati oleh Presiden Soeharto tahun 1995 dan dilanjutkan pemerintahan penerusnya sampai sekarang. Butir-butir kesepakatan AoA terdiri dari :
1. Kesepakatan market access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia harus dibuka seluas-luasnya bagi proses masuknya komoditi pertanian luar negeri, baik beras, gula, terigu, dan lain sebagainya
2. Penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian.
3. Penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan, kecuali beras.
Dampak pemenuhan kesepakatan AoA WTO sangat menyedihkan bagi kondisi pertanian lndonesia semenjak 1995 hingga sekarang ini. Sektor pertanian di Indonesia mengalami keterpurukan dan kebangkrutan. Akibat memenuhi kesepakatan AoA WTO, Indonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1998 sebesar 4,5 juta ton setahun. Beberapa kalangan aktivis gerakan petani di lndonesia menyebutkan merosotnya produksi beras nasional semenjak tahun 1985-2009 dikarenakan problem warisan struktural pertanian masih melekat dalam kehidupan petani. Di antaranya, semakin banyak petani yang berlahan sempit (menjamumya petani gurem) dan tidak adanya kemajuan teknologi pertanian yangberorientasi ekologis. Menurut sebuah studi oleh Peter Timmer pada tahun 1975, Konsep kepemilikan lahan rata-rata memang agak kabur pada tingkat mikro karena adanya perbedaan besar dalam hal penggunaan dan kualitas lahan.
Namun demikian, fakta yang perlu ditekankan adalah bahwa lebih dari dua pertiga populasi usaha tani hanya memiliki kurang dari setengah hektar lahan untuk bercocok tanam, bahkan mungkin kurang dari sepertiga hektar lahan.
Kemiskinan struktural di Indonesia juga dikemukakan oleh Geertz pada penelitiannya di tahun 1963, yang membawa pada gagasan shared poverty (kemiskinan yang ditanggung bersama). Pekerjaan dan pendapatan dari sektor pertanian dibagi-bagi kepada anggota keluarga, atau desa, sehingga semua mendapat pekerjaan dan makanan, namun tetap miskin. Geertz secara pesimis menyimpulkan bahwa barangkali tidak mungkin untuk memperbaiki pertanian Indonesia secara signifikan. Karena, tanpa mengubah struktur sosial secara besar-besaran, "Setiap usaha untuk mengubah arah perkembangannya, misalnya menabur pupuk di atas lahan pertanian di Jawa yang sangat sempit, irigasi modern, cocok tanam padat karya dan diversifikasi tanaman, hanya akan menumbuhkan satu hal: paralisis." Hasil survei Petani Center NGos tahun 2007 menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektare kalah dibandingkan dengan upah bulanan buruh industri di kota besar. Para petani yang memiliki tanah/sawah 0,5 hektare untuk sekali musim tanam memerlukan biaya produksi sebanyak Rp 2,5 juta, termasuk biaya sarana produksi, upah pekerja, pemeliharaan, dan lain-lain. Sementara itu, hasil dari produksi beras/padi sawah seluas 0,5 hektare yang dijual, setelah sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga, hanya menghasilkan Rp 3,5 juta hingga Rp 4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya Rp 1 juta sampai Rp 2 juta, yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya mendapatkan laba Rp 700.000 per bulan. Jika impor beras dilakukan dan harga beras petani semakin anjlok, dapat dibayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh para petani negeri ini. Presiden SBY adalah seorang doktor pertanian yang pernah menulis tesis tentang revitalisasi pertanian dengan beberapa kesimpulan, di antaranya:
1. Untuk membangun kembali pertanian maka intervensi asing semacam IMF dan World Bank harus dinetralisasikan dari bidang pertanian.
2. Pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya untuk mendukung sektor pertanian
3. Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian yang berorientasi kepentingan petani dengan penerapan penuh sistem pertanian berkelanjutan.
Namun sayangnya keyakinan atau ide cerdas SBY dalam disertasinya berbalik dengan realitas kebijakan ekonomi-politik pertanian yang direncanakan dan diimplementasikan. Kebijakan pemerintahan SBY saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Antara lain, Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan. Konversi tata guna lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara. Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor pertanian, di antaranya:
1. Dari segi sarana dan prasarana, dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.
3. Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para elite politik membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak hukum.
Sedangkan menurut Jajang Yanuar Habib (2006), ada dua pihak yang seharusnya mempunyai peranan yang sangat besar untuk meningkatkan pertanian di Indonesia, yaitu :
1. Pemerintah
Pemerintah sebagai penyelenggara perekonomian kerakyatan diupayakan mampu untuk menyokong kegiatan produksi pertanian sebagai sokoguru perekonomian rakyat dalam upaya menyediakan ketahanan pangan bangsa. Untuk menjawab tantangan tersebut diatas, hal-hal berikut menjadi sangat penting untuk diperhatikan pemerintah, yaitu :
a. Fokus dalam pendapatan para petani
Program revitalisasi pertanian pemerintah saat ini lebih ditujukan kepada tanaman perkebunan seperti sawit dalam upaya pemerintah mengembangkan energi alternatif serta tanaman perkebunan lain yaitu karet dan coklat. Titik berat pada produksi padi tidak lagi menjamin segi pendapatan petani maupun program keamanan pangan. Oleh karena itu, pengembangan produksi pertanian rakyat dengan bantuan program Tannas menjadi penting untuk ditegaskan dalam upaya perencanaan dan pelaksanaan pertanian rakyat berbasis produksi padi.
Penentuan harga bahan-bahan pertanian yaitu gabah dan penyediaan pupuk yang tidak menimbulkan kontaminasi pada lahan yang digunakan, sebanding dengan perolehan hasil yang mampu dijual oleh petani manakala para petani mempunyai produk hasil jadi atau setengah jadi.
Hal tersebut tidak terlepas dari kebijakan pengadaan hasil produksi pertanian impor yang harganya lebih murah dibandingkan produksi domestik. Untuk mewujudkan harga yang stabil pada hasil pertanian rakyat, maka pemerintah perlu memberantas penyalur bahan-bahan dan hasil pertanian yang ilegal, yaitu tengkulak-tengkulak yang menyebabkan melambungnya harga bahan-bahan pertanian dan mempermainkan harga hasil pertanaian rakyat.
b. Peningkatan produktivitas
Peningkatan produktivitas ini merupakan kunci dalam peningkatan produksi petani, oleh karena itu pembangunan ulang riset dan sistem tambahan menjadi sangat menentukan. Solusi yang perlu dipertimbangkan adalah kesiapan peralihan teknologi budidaya dari konvensional (kimia) ke organik sampai dengan teknologi mekanisasi (untuk budidaya yang mengalami problem air dengan pompa air bawah tanah/mekanisasi), sehingga kebutuhan akan air untuk budidaya pertanian organik padi sawah akan selalu terjaga dan diharapkan hasil pertanian bisa ditingkatkan dan tentunya petani dapat lebih makmur dan sejahtera.
c. Penyediaan dana
Dana diperlukan dan dapat diperoleh dari usaha sementara untuk memenuhi kebutuhan kredit para petani melalui skema kredit yang dibiayai oleh APBN. Dewasa ini, pemberian kredit harus dirubah dari pembiayaan kredit konvensional (penetapan tingkat suku bunga) ke pembiayaan syariah (sistem bagi hasil). Penggunaan suku bunga jelas-jelas mencekik pembayaran tambahan yang belum tentu petani sendiri memperoleh keuntungan dari usahanya. Sedangkan azas pembiayaan syariah akan memberikan persentase tertentu dari hasil atau keungtungan pengusahaan. Apabila rugi, maka kerugian akan ditanggung bersama antara petani dengan pemberi pinjaman modal tersebut.
d. Pengadaan sistem irigasi
Pertanian yang telah memiliki sistem irigasi sangat penting, dan harus dipandang sebagai aktivitas antar sektor. Pemerintah perlu memastikan integritas infrastruktur dengan keterlibatan pengguna irigasi secara lebih intensif dan meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk mencapai panen yang lebih optimal hingga setiap tetes air.
e. Fokus pada peran regulasi dari Deparemen Pertanian
Peran regulasi Departemen Pertanian perlu ditata ulang. Kualitas yang rendah mempengaruhi produktivitas petani, karantina diperlukan untuk melindungi kepentingan petani dari penyakit luar, namun pada saat yang bersamaan juga tidak membatasi masuknya bahan baku impor dan standar produk secara terus-menerus ditingkatkan di dalam rantai pembelian oleh sektor swasta, bukan oleh pemerintah.
2. Peranan Departemen Pertanian
Peran utama Departemen Pertanian dalam membina hubungan kerjasama dengan pemerintah daerah melalui program-program yang harus dilengkapi dengan bermacam-macam inisiatif dari badan pemerintah lokal yang akan berada di garis depan dalam mengimplementasikan program, organisasi produsen di pedesaan yang bergerak di bidang agribisnis dan para petani yang harus menjadi partner penting demi mendukung proses perubahan.
Departemen pertanian mempunyai peranan penting, diantaranya :
a. Meningkatkan pendapatan petani melalui diversifikasi lebih lanjut.
Diversifikasi di dalam hal ini menjadi sangat penting, begitu pula berbagai kebijakan yang merangsang tumbuhnya usaha peternakan, tumpang sari sayuran, penanaman kembali hutan-hutan di daerah-daerah kecil dengan tumbuhan berkayu yang bernilai tinggi, serta diversifikasi kacang mete atau buah-buahan. Seluruh usaha tersebut dapat berperan serta untuk mencapai penghasilan yang lebih stabil dan mengurangi tingkat kemiskinan. Adanya kebutuhan untuk membentuk kerjasama dengan sektor swasta, baik lokal maupun internasional.
b. Memperkuat kapasitas regulasi
Departemen Pertanian mengatur dan mengawasi berbagai standar yang mempengaruhi produktivitas petani (misalnya mencegah agar pupuk palsu, bibit bermutu rendah, dan pestisida berbahaya tidak beredar di pasar, melaksanakan sistem karantina untuk mencegah penularaan penyakit binatang ternak dan tanaman dari luar) dan melindungi konsumen produk pertanian (misalnya dengan inspeksi mutu daging).
c. Menigkatkan pengeluaran untuk penelitian pertanian
Petumbuhan produktivitas di daerah pedesaan adalah dasar utama bagi pengentasan kemiskinan di daerah tersebut. Penelitian pertanian yang kuat dan sistem penyuluhan sangat penting untuk menggerakkan produktivitas menuju jalur pertumbuhan yang lebih pesat. Dewasa ini, kedudukan tingkat pengeluaran untuk penelitian pertanian tersebut, dihitung dalam persentase dari PDB dan total pengeluaran negara untuk pertanian, termasuk paling rendah diantara negara Asia lainnya. Indonesia menyediakan sekitar 0,1% dari PDB sektor pertanian untuk membiayai penelitian pertanian di dalam negeri (bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Bangladesh dan jauh dari rekomendasi 1%)
d. Mendukung cara-cara baru dalam penyuluhan pertanian
Staf penyuluhan umum saat ini bertanggung jawab kepada pemerintahan provinsi yang sekarang bekerja berdasarkan dua model, yaitu :
1. servis penyuluhan umum di bawah suatu organisasi perwakilan, dan
2. kapasitas penyuluhan yang dipilah-pilah ke beberapa badan yang berorientasi ke produk dan independen.
e. Mendukung pertumbuhan ICT
Inisiatif untuk mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) di daerah rural membuka kesempatan bagi penyaluran informasi ke komunitas pedesaan. Memperbaiki hubungan antar penelitian dan penyuluhan serta mendukung pengembangan daerah pedesaan. Disamping itu, inisiatif Departemen Pertanian baru-baru ini yaitu mengembangkan DAK untuk memenuhi kebutuhan pertanian harus didukung secara penuh.
f. Menjamin berlangsungnya manajemen irigasi
Departmen Pertanian berperan penting dalam kerjasama dengan institusi terkait lainnya dalam menghadapi masalah utama bertambah langkanya sumber air yang mengakibatkan lambatnya pertumbuhan hasil pertanian yang teririgasi. Langkanya sumber air ini dikarenakan batas air di bagian atas Indonesia juga mengalami penurunan mutu sebagai akibat hilangnya lapisan tumbuhan pelindung karena penggundulan hutan dan praktek pengelolaan tanah yang buruk.
g. Memperkuat infrastruktur rural
Titik berat pembangunan telah ditempatkan pada pembangunan jalan penghubung penting, pengembangan dan perbaikan jaringan jalan di daerah pedesaan dibutuhkan dengan segera. Jalan penghubung antara desa dan pasar sangat dibutuhkan di daerah pedesaan untuk mendukung intensifikasi pertanian.
Perkembangan teknologi tidak semata-mata menghasilkan alternatif penggunaan bahan-bahan yang menggunakan proses kimiawi. Pada akhirnya tetap ada saja kekurangan, seperti rentannya tubuh manusia sebagai konsumen hasil pertanian terhadap penyakit. Terlebih penyakit itu belum ditemukan obatnya. Maka dengan menggalakan kembali proses pertanian kembali lagi ke alam diharapkan mampu untuk mengurangi resiko kerusakan, baik itu terhadap manusianya sendiri maupun terhadap alam tempat dilaksanakannya pertanian seperti tanah dan air.
Pemerintah dan departemen terkait yaitu Departemen Pertanian diharapkan bersinergis dalam upaya menggalakan kembali pertanian yang berbasis organik, di mana sasaran yang dituju dengan penggunaan kembali bahan-bahan alami, yaitu :
1. Tercukupinya kebutuhan hasil-hasil pertanian terutama beras dalam upaya ketahanan pangan yang berbasis organik serta mampu meningkatkan volume ekspor.
2. Diperolehnya produk organik yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi oleh masyarakat.
3. Diperolehnya produk yang mempunyai daya saing di pasar dalam dan luar negeri.
4. Terbentuknya sentra agribisnis holtikultura dan kawasan lokasi proyek.
5. Terwujudnya kelembagaan usaha yang profesional di sentra agribisnis holtikuktura.
Selama 20 tahun terakhir, pemerintah RI telah mengadopsi kebijakan pangan ala neo-liberal yang sangat pro pasar bebas (free-market). Kebijakan tersebut berada di bawah arahan dan dikte dua lembaga keuangan internasional yaitu IMF dan Bank Dunia.
Beberapa bentuk kebijakan yang telah diambil antara lain: penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan (contohnya merubah BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah).
Naiknya harga berbagai bahan pangan dalam kenyataannya relatif tidak membawa keuntungan bagi petani. Nilai tambah dari kondisi membaiknya harga bahan pangan ternyata dinikmati oleh kaum pedagang. Penelitian Analisis Rantai Pemasaran Beras Organik dan Konvensional: Studi Kasus di Boyolali Jawa Tengah (Surono-HIVOS, 2003) menunjukkan bahwa pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dalam rantai perdagangan beras adalah pengusaha penggilingan (huller), pedagang besar dan pedagang pengecer. Yang lebih memprihatinkan, sejak program Raskin diluncurkan pemerintah, petani adalah pihak yang paling banyak menjadi penerima tetap beras Raskin.
Program Peningkatan Ketahanan Pangan
Program ini bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan dan keberlanjutan ketahanan pangan sampai ke tingkat rumah tangga sebagai bagian dari ketahanan nasional. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi :
1.Pengamanan ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, antara lain melalui pengamanan lahan sawah di daerah irigasi, peningkatan mutu intensifikasi, serta optimalisasi dan perluasan areal pertanian;
2.Peningkatan distribusi pangan, melalui penguatan kapasitas kelembagaan pangan dan peningkatan infrastruktur perdesaan yang mendukung sistem distribusi pangan, untuk menjamin keterjangkauan masyarakat atas pangan;
3.Peningkatan pasca panen dan pengolahan hasil, melalui optimalisasi pemanfaatan alat dan mesin pertanian untuk pasca panen dan pengolahan hasil, serta pengembangan dan pemanfaatan teknologi pertanian untuk menurunkan kehilangan hasil (looses);
4.Diversifikasi pangan, melalui peningkatan ketersediaan pangan hewani, buah dan sayuran, perekayasaan sosial terhadap pola konsumsi masyarakat menuju pola pangan dengan mutu yang semakin meningkat, dan peningkatan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif/pangan lokal; dan
5.Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, melalui peningkatan bantuan pangan kepada keluarga miskin/rawan pangan, peningkatan pengawasan mutu dan kemanan pangan, dan pengembangan sistem antisipasi dini terhadap kerawanan pangan.
Program Pengembangan Agrobisnis
Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis yang mencakup usaha di bidang agribisnis hulu, on farm, hilir dan usaha jasa pendukungnya. Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam program ini meliputi:
1. Pengembangan diversifikasi usahatani, melalui pengembangan usahatani dengan komoditas bernilai tinggi dan pengembangan kegiatan off-farm untuk meningkatkan pendapatan dan nilai tambah;
2. Peningkatan nilai tambah produk pertanian dan perikanan melalui peningkatan penanganan pasca panen, mutu, pengolahan hasil dan pemasaran dan pengembangan agroindustri di perdesaan;
3. Pengembangan dan rehabilitasi infrastruktur pertanian dan perdesaan, melalui perbaikan jaringan irigasi dan jalan usahatani, serta infrastruktur perdesaan lainnya;
4. Peningkatan akses terhadap sumberdaya produktif, terutama permodalan;
5. Pengurangan hambatan perdagangan antar wilayah dan perlindungan dari sistem perdagangan dunia yang tidak adil;
6. Peningkatan iptek pertanian dan pengembangan riset pertanian melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat dan spesifik lokasi yang ramah lingkungan; dan
7. Pengembangan lembaga keuangan perdesaan dan sistem pendanaan yang layak bagi usaha pertanian, antara lain melalui pengembangan dan penguatan lembaga keuangan mikro/perdesaan, insentif permodalan dan pengembangan pola-pola pembiayaan yang layak dan sesuai bagi usaha pertanian.
Program Peningkatan Kesejahteraan Petani
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing masyarakat pertanian, terutama petani yang tidak dapat menjangkau akses terhadap sumberdaya usaha pertanian. Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam program ini adalah:
1. Revitalisasi sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan yang secara intensif perlu dikoordinasikan dengan pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten;
2. Penumbuhan dan penguatan lembaga pertanian dan perdesaan untuk meningkatkan posisi tawar petani dan nelayan;
3. Penyederhanaan mekanisme dukungan kepada petani dan pengurangan hambatan usaha pertanian;
4. Pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia pertanian (a.l. petani, nelayan, penyuluh dan aparat pembina);
5. Perlindungan terhadap petani dari persaingan usaha yang tidak sehat dan perdagangan yang tidak adil; dan
6. Pengembangan upaya pengentasan kemiskinan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Pertanian adalah proses atau kegiatan menghasilkan bahan pangan, ternak, hasil-hasil hutan, dan perikanan. Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa pertanian adalah suatu kegiatan yang menghasilakan komoditas yang dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian, dan brang-barang yang dihasilkan dapat dijadikan sebagi pemenuh kebutuhan masyarakat luas. Banyak hal yang dikategorikan sebagai pertanian. Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai negara agraris, sehingga sudah sepantasnya jika Indonesia memiliki pertanian yang beragam, lahan yag luas dan perbedaan iklim bisa menyebabkan keanekaragaman jenis pertanian yang dimiliki oleh Indonesia.
2) Sebelum Indonesia dijajah, kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia merupakan kerajaan pengekspor hasil alam dan rempah-rempah, dan inilah yang membuat negara-negara barat berebut untuk menguasai Indonesia. Negara Indonesia memang sempat terkenal sebagai negara agraris. Karena sebagian besar luas lahannya yang digunakan untuk pertanian, yaitu 70 %, yaitu untuk kebun/ladang/huma, tambak, kolam, lahan untuk tanaman kayu-kayuan, sawah, padang rumput pekarangan serta lahan yang sementara tidak diusahakan. Mungkin sudah merupakan suatu evolusi alamiah seiring dengan proses industrialisasi, dimana pangsa output agregat (ODB) dari pertanian relatif menurun sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor sekunder lainnya dan sektor tersier meningkat. Perubahan struktur ekonomi seperti ini juga terjadi di Indonesia. Sejak Indonesia mencoba untuk menggeser sektor pertanian dengan sektor industri nampaknya sektor pertanian mulai dianaktirikan sehingga peranannya pun dianggap mulai menurun. Dalam hal ini yang lebih dominan diperhatikan dalam perekonomian Indonesia adalah sektor industri. Padahal apabila dikaji lebih dalam sebenarnya kedua sektor tersebut yaitu sektor pertanian dan sektor industri memiliki keterkaitan yang erat. Di satu sisi pertanian merupakan penyedia bahan-bahan mentah atau bahan baku untuk berbagai kegiatan industri, sedangkan sektor industri juga dapat dimanfaatkan untuk menunjang sektor pertanian, misalnya dengan menciptakan alat-alat bahan yang dapat digunakan untuk mempercepat proses panen pada sektor pertanian atau untuk meningkatkan kualitas hasil pertanian.
Kondisi pertanian Indonesia, dapat dilihat juga dari sisi ekspor pertanian, dimana dari tahun ke tahun kontribusi pertanian terhadap nilai ekspor Indonesia semakin menurun, bahkan Indonesia masih banyak mengimpor jenis komoditas pertanian dari negara lain.
3) Kontribusi sektor pertanian dalam pertumbuhan PDB nasional tertinggi dicapai tahun 1985 (21,51%) jika dibandingkan dengan kontribusi sektor lainnya. Hal ini seiring dengan pertumbuhan pangsa dan sumber pertumbuhan yang dicapai sektor pertanian, bahwa sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor terpenting di dalam perekonomian nasional. Jika dilihat dari data ekspor yang telah disajikan maka saat ini apakah benar pertanian itu berperan dalam hal penambahan devisa negara, padahal nilai ekspor yang kian tahun kian menurun. Dapat kita ambil kesimpulan kontribusi npertanian dalam perekonomian semakin menurun, baik itu dalam hal penyerapan tenaga kerja, kontribusi PDB, penambahan Devisa. Hal ini dapat dibukikan dengan fakta sekarang ini banyaknya lahan-lahan pertanian yang dibangun menjadi kawasan industry, perumahan, atau pemukiman, dan banyaknya urbanisasi berarti banyaknya penduduk desa yang berpindah ke kota karena merasa lapangan pekerjaan di desa (pertanian) dirasa tidak dapat dijadikan sebagai timpuan.
4) Kondisi pertanian Indonesia jika dibandingkan dengan negara tetangga (Negara-negar ASEAN) pada decade 2000-an, peran sector pertanian dalam pembentukan PDB Indonesia, masih berada di bawah negara kamboja, laos, Myanmar.
5) Bila dilihat secara internasional ketergantungan kita pada produk pertanian dari luar negeri tampak sangat jelas. Bila dicermati dengan seksama dunia pertanian kita menghadapi berbagai masalah serta kendala yang saling berkait, mulai dari sumber daya manusia, kurangnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, infrastruktur serta kesenjangan penguasan teknologi. Pendidikan petani kita pada umumnya relative rendah. Rendahnya tingkat pendidikan petani berakibat pada kesenjangan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi informasi yang mendukung pengembangan bidang pertanian. Akibat kesenjangan tersebut hasil-hasil penelitian yang diperoleh kurang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna. Melalui para petugas penyuluh pertanian lapang (PPL). Dalam upaya mempercepat transfer teknologi dan sumber informasi, peranan petugas penyuluh lapang layak mendapat perhatian. Jumlah PPL sejauh ini masih kurang memadai, demikian juga tingkat pendidikannya. Petugas PPL pada umumnya merupakan lulusan sekolah menengah pertanian. Bila dicermati dengan seksama dunia pertanian kita menghadapi berbagai masalah serta kendala yang saling berkait, mulai dari sumber daya manusia, kurangnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, infrastruktur serta kesenjangan penguasan teknologi.
Pemerintah sebagai penyelenggara perekonomian kerakyatan diupayakan mampu untuk menyokong kegiatan produksi pertanian sebagai sokoguru perekonomian rakyat dalam upaya menyediakan ketahanan pangan bangsa. Untuk menjawab tantangan tersebut diatas, hal-hal berikut menjadi sangat penting untuk diperhatikan pemerintah, yaitu :
1. Peningkatan produktivitas
2. Penyediaan dana
3. Pengadaan sistem irigasi Fokus pada peran regulasi dari Deparemen Pertanian
4. Meningkatkan pendapatan petani melalui diversifikasi lebih lanjut.
5. Memperkuat kapasitas regulasi
6. Menigkatkan pengeluaran untuk penelitian pertanian
7. Mendukung cara-cara baru dalam penyuluhan pertanian
8. Mendukung pertumbuhan ICT
9. Menjamin berlangsungnya manajemen irigasi
10. Memperkuat infrastruktur rural
B. Saran
Pada akhirnya seluruh deskripsi diatas memberikan ilustrasi yang sangat jelas bahwa kinerja dari sektor pertanian masih jauh dari memadai. Meskipun dalam beberapa hal selama beberapa tahun ini terdapat sinyal positif yang bisa dideteksi. Sektor pertanian beberapa tahun terakhir ini menunjukkan adanya pertumbuhan eksport dan juga peningkatan penyaluran kredit. Tetapi disisi lain masih banyak figur buram yang terjadi di sektor pertanian misalnya sumbangan terhadap PDB yang kian mengkerut, Indeks NTP yang terus merosot dari tahun ke tahun, produksi beberapa produk strategis menurun (seperti jagung dan kedelai) kenaikan kredit pertanian yang bermasalah(NPL) danimport produk pertanian yang masih cukup tinggi. Data-data tersebut menginformasikan bahwa selama ini belum terdapat impresi yang bisa dipasok pemerintah di sektor pertanian.Program revitalisasi pertanian yang dikumandangkan pemerintahan sejak awal ternyata sangat miskin konsep dan kedodoran dalam implementasinya.
Menyikapi hal itu memang banyak jalan keluar, Namun salah satu yang bisa diupayakan saat ini adalah dengan melakukan proses transformasi sektor pertanian secara utuh. Transformasi itu sendiri diletakan dalam tiga level. Pertama, Pemerintah menyediakan dan memperbaiki infrastruktur dasar yang diperlukan bagi pertanian. Misalnya pengadaan jalan, jembatan, sistem irigasi, penelitian dan pengembangan, penyuluhan dan reformasi tanah. Kedua, Mempertemukan pasar sebagai media yang akan mempertemukan transaksi antara sektor hulu dan sektor hilir di sektor prtanian. Pada level ini setidaknya tiga pekerjaaan yang harus dilakukan oleh pemerintah, yakni mendesain sistem keuangan yang sesuai dengan pelaku di sektor pertanian, sistem pasokan onput, dan pasar output lokal. Ketiga, Menggandengan pelaku ekonomi swasta untuk mengeksekusi kegiatan lanjutan di sektor pertanian, khususnya pemasaran dan pengelolaan komoditas pertanian sehingga memiliki keterkaitan dengan sektor non-pertanian.
Sedangkan dalam pendekatan ekonomi kelembagaan ada dua poros srategi kelembagaan yang bisa diupayakan untuk memajukan sektir pertanian(sekaligus sebagai alas progran revitalisasi pertanian). Pertama: Kebijakan tidak langsung dengan jalan membenahi infrastruktur sektor pertanian yang tidak baik. Pengertian tidak layak disini adalah situasi ketidaksepadanan anter pelaku ekonomi, baik oleh karena kemampuan nilai tawar yang berbeda maupun karena kepemilikan aset produktif yang tidak proporsional. Dengan begitu, beberapa agenda jalur politik yang dapat dikerjakan adalah:
1. Menertibkan statuta hubungan antar pelaku ekonomi yang lebih menjanjikan kesetaraan (misalnya; petani penggarap dan tuan tanah,tengkulak dan pemilik)
2. Menata kembali kepemilikan aset produktif yang sudah sangat timpang, yakni lewat kebijakan land reform
3. Transparansi dalam pengambilan pengambilan kebijakan sehingga tidak terbuka bagi pemilik modal m3n3likung kebijakan yang hendak dirumuskan oleh pemerintah.
Melalui upaya-upaya inilah pencapaian pertumbuhan sektor pertanian lebih dapat di prediksi dan kesejahteraan pelaku ekonomi sektor hulu lebih bisa dipastikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar