BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak orang yang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu dibarengi kenaikan dalam ketimpangan distribusi pendapatan atau disebut dengan ketimbangan relatif. Dengan kata lain, para ekonom berpendapat bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan terdapat suatu trade off, yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai penurunan dalam distribusi pendapatan atau kenaikan dalam ketimpangan relatif.
Menurut para kritikus, pembangunan ekonomi bukan hanya menyebabkan kenaikan dalam ketimpangan relatif, tetapi lebih parah lagi akan membawa pula kemerosotan taraf hidup absolut dari golongan miskin. Dengan kata lain, bukan saja ketimpangan relatif tetapi juga kemiskinan absolut akan bertambah akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat. Hasil-hasil penelitian pertama mengenai hubungan jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan yang dilakukan oleh Prof. Simon Kuznets dari Universitas Harvard menunjukkan bahwa proses pembangunan ekonomi pada tahap awal pada umumnya disertai oleh kemerosotan yang cukup besar dalam pembagian pendapatan, yang baru berbalik menuju suatu pemerataan yang lebih besar dalam distribusi pendapatan pada tahap pembangunan lebih lanjut.
Struktur distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pendapatan nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan dan perbaikan dalam masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan kesulitan yang lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. Sejumlah ahli ekonomi berpendapat bahwa perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi, terutama kepemilikan barang modal. Jadi, seperti telah dikemukakan pada awal pembahasan ini, pihak yang memiliki barang modal lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula dibandingkan dengan pihak yang memiliki sedikit barang modal.
Di Indonesia pada awal Orde Baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, Khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sector-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan “Trickle Down Effects”. Didasarkan pada pemikiran tersebut, pada awal orde baru hingga akhir tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pusat pembangunan ekonomi nasional di mulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, seperti transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya lebih tersedia di pulau jawa, khususnya Jakarta, dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Pembangunan saat itu juga hanya terpusatkan pada sektor-sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menyumbang nilai pendapatan nasional yang tinggi. Pemerintah saat itu percaya bahwa nantinya hasil dari pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi. Dalam pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non pendapatan. Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut belum cukup untuk menilai prestasi pembangunan karena tidak mencerminkan bagaimana pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan penduduknya, sehingga tidak memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data mengenai kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada distribusi pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
Krisis yang terjadi secara mendadak dan diluar perkiraan pada akhir dekade 1990-an merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi kebanyakan orang, dampak dari krisis yang terparah dan langsung dirasakan, diakibatkan oleh inflasi. Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari 6% menjadi 78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya. Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Antara tahun 1996 dan 1999 proporsi orang yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 24% dari jumlah penduduk. Pada saat yang sama, kondisi kemiskinan menjadi semakin parah, karena pendapatan kaum miskin secara keseluruhan menurun jauh di bawah garis kemiskinan.
1.2 Perumusan Masalah
Berkaitan dengan permasalahan distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan yang dijelaskan di atas maka ada beberapa pertanyaan yang diajukan sebagai perumusan masalah dengan tujuan agar pembahasan dapat terfokus pada masalah yang telah di jabarkan diatas. Adapun perumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Analisis distribusi pendapatan di Indonesia?
2. Analisis ketimpangan pembangunan di indonesia?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia?
4. Bagaimana pandangan Islam tentang kemiskinan serta solusi untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep dan Teori Distribusi Pendapatan
Untuk menilai keberhasilan dalam pembangunan sebuah Negara dapat dilihat dari berbagai macam cara dan tolak ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan non ekonomi. Penilaian dengan menggunakan pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non-pendapatan. Distribusi pendapatan merupakan cerminan dari merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu Negara dikalangan penduduknya. Pemerataan pendapatan antar penduduk atau rumah tangga mengandung dua segi. Pertama adalah meningkatkan tingkat hidup masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Kedua adalah pemerataan pendapatan secara menyeluruh, dalam arti mempersempit berbedanya tingkat pendapatan antar rumah tangga.
Para ahli ekonomi pada umumnya membedakan antara dua ukuran utama dari distribusi pendapatan baik untuk tujuan analisis maupun kuantitatif yaitu:
1. Distribusi Pendapatan Perseorangan
Distribusi Pendapatan perseorangan memberikan gambaran tentang distribusi pendapatan yang diterima oleh individu/perorangan termasuk pula rumah tangga. Dalam konsep ini, yang diperhatikan adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima oleh seseorang, tidak dipersoalkan cara yang dilakukan oleh individu/rumah tangga untuk memperoleh pendapatannya, banyaknya anggota rumah tangga yang mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga serta apakah penghasilan tersebut berasal dari bekerja atau sumber lainnya seperti bunga, hadiah, keuntungan maupun warisan. Demikian pula tempat dan sektor sumber pendapatan pun turut diabaikan.
2. Distribusi Pendapatan Fungsional
Distribusi Pendapatan Fungsional mencoba menerangkan bagian dari pendapatan yang diterima oleh tiap faktor produksi. Faktor-faktor produksi tersebut terdiri dari tanah (SDA), tenaga kerja, dan modal. Pendapatan didistribusikan sesuai dengan fungsinya, seperti buruh menerima upah, pemilik tanah menerima sewa, dan pemilik modal menerima bunga serta laba. Jadi setiap faktor produksi memperoleh imbalan sesuai dengan distribusinya pada produksi nasional, tidak lebih dan tidak kurang.
Distribusi Pendapatan yang didasarkan pada pemilik faktor produksi ini akan berkaitan dengan proses pertumbuhan pendapatan. Adapun pertumbuhan pendapatan dalam masyarakat yang didasarkan pada kepemilikan faktor produksi dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
a) Pendapatan karena hasil kerja yang berupa upah/gaji dan besarnya tergantung tingkat produktivitas
b) Pendapatan dari sumber lain seperti sewa, laba, bunga hadiah/warisan.
2.1.1 Jenis-Jenis Distribusi Pendapatan
Menurut Dumairy (1996: 56) distribusi Pendapatan dalam kaitannya dengan pemerataan pembagian pendapatan, dapat dilihat dari tiga segi yaitu:
1) Distribusi Pendapatan antar lapisan pendapatan masyarakat.
2) Distribusi Pendapatan antar daerah, dalam hal ini antar wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan.
3) Pembagian pendapatan antar wilayah, dalam hal ini antar propinsi dan antar kawasan (barat, tengah, timur)
Sedangkan menurut Todaro (2004: 222) pembagian pendapatan dapat dilihat dari tiga segi yaitu:
1) Pembagian pendapatan antar golongan (size distribution income)
2) Pembangunan pendapatan antar daerah perkotaan dan pedesaan (urban regional income disparities), dan
3) Pembangunan pendapatan antar daerah atau propinsi (regional income disparities)
2.1.2 Determinan-Determinan Distribusi Pendapatan
A. Menurut Komaruddin
Dalam kenyataan terlihat bahwa faktor-faktor yang cenderung membuat ketidaksamaan pendapatan perseorangan dapat dicari dari faktor-faktor yang bersifat perorangan dan bersifat sosial. Di dalam perekonomian yang menunjukkan bahwa pendapatan terutama diterima dari penjualan sumber-sumber produksi atau penjualan jasa-jasa sumber produksi itu, akan kita temukan dua faktor yang akan membawa ketidaksamaan, yaitu :
1. Perbedaan penilaian keahlian dan bakat perseorangan
2. Perbedaan jumlah pendapatan yang menciptakan milik yang dikuasi setiap orang
Kebijakan untuk merubah pembagian pendapatan yang akan diterima penduduk selalu menjadi bahan pemikiran utama dalam perencanaan pemerintah, walaupun untuk sebagian besar berlandaskan pada etika. Pemerintah pada dasarnya dapat merubah distribusi pendapatan dengan berbagai cara, sedikitnya ada tiga cara untuk mencapai sasaran tersebut, yaitu :
1. Pemerintah dapat mengatur kembali distribusi pendapatan melalui upaya untuk mengubah pola milik atas sumber-sumber. Untuk merubah pola itu beberapa negara telah memungut pajak kematian dan penetapan batas jumlah pendapatan yang menciptakan milik.
2. Pemerintah dapat mengatur kembali distribusi pendapatan dengan mencoba untuk merubah pola harga sumber-sumber ekonomi, melalui penetapan upah yang terendah atau harga terendah untuk hasil produksi tertentu.
3. Pemerintah dapat merubah pendapatan perseorangan yang bebas dari milik sumber-sumber ekonomi atau harga sumber-sumber dengan pajak pendapatan perseorangan atau kebijakan yang mempengaruhi daya beli uang di satu pihak dan pengeluaran umum di lain pihak. (Komaruddin. (1978 :76 – 79).
B. Menurut Thee Kian Wie
Ada tiga faktor pokok yang ikut mempengaruhi distribusi pendapatan, yaitu :
1. Pembagian harta (assets), ketimpangan harta baik dalam arti fisik dan bukan fisik. Harta fisik seperti modal, tanah, mesin, dan lainnya sedangkan harta bukan fisik yaitu keterampilan manusia. Harta ini menghasilkan pendapatan, sehingga makin tinggi pendapatannya. Kebijakan yang dapat dilakukan adalah melalui perpajakan progresif dan pembayaran transfer (subsidi) kepada golongan miskin, dan dalam jangka panjang ditempuh melalui perubahan pola investasi sedemikian rupa, sehingga lambat laun golongan yang berpendapatan rendah sanggup untuk memupuk lebih banyak harta.
2. Stategi pembangunan. Dalam hal ini lebih banyak negara yang mementingkan pertumbuhan ekonomi daripada mementingkan pemecahan efektif masalah pemerataan pendapatan dan kemiskinan absolut. Sehingga diperlukan perubahan orientasi tujuan pembangunan.
3. Kebijakan fiskal. Di samping stategi pembangunan yang kadang-kadang dapat bersifat regresif, maka kebijakan fiskal, termasuk kebijakan dalam perpajakan, ternyata sering pula bersifat regresif, walaupun di atas kertas sistem perpajakan bersifat progresif. (Thee Kian Wie, 1981 : 70 – 77)
C. Menurut Irma Adelman dan Cynthia Taft Morris
Dalam bukunya Lincolin Arsyad (1988 : 58), dijelaskan bahwa menurut Irma Adelman dan Cynthia Taft Morris ada 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara berkembang, yaitu :
1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita
2. Inflasi, dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase pendapatan dari harta tambahan besar dibandingkan dengan persentase pendapatan berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah
5. Rendahnya mobilitas sosial
6. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis
7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang
8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
D. Menurut M.P Todaro
Ada empat bidang luas yang terbuka bagi intervensi kebijakan pemerintah masing-masing berkaitan erat dengan keempat elemen pokok yang merupakan faktor-faktor penentu utama atau baik tidaknya kondisi-kondisi distribusi pendapatan di sebagian negara berkembang. Adapun keempat elemen pokok tersebut adalah :
1. Distribusi fungsional. Hal ini pada dasarnya menyangkut segala sesuatu yang berkenaan dengan tingkat hasil yang diterima dari faktor-faktor produksi tenaga kerja, tanah, dan modal, yang sangat dipengaruhi oleh harga relatif dari masing-masing faktor produksi tersebut, tingkat pendayagunaan (ini berkenaan dengan faktor teknologi), dan bagian atau persentase dari pendapatan nasional yang diperoleh oleh para pemilik masing-masing faktor tersebut.
2. Distribusi ukuran. Ini adalah distribusi pendapatan fungsional dari suatu perekonomian yang dinyatakan sebagai suatu ukuran distribusi kepemilikan dan penguasaan aset (faktor-faktor produksi non manusia atau sumber daya fisik) produktif dan faktor keterampilan yang terpusat dan tersebar ke segenap lapisan masyarakat. Distribusi kepemilikan aset dan keterampilan tersebut pada akhirnya akan menentukan merata atau tidaknya distribusi pendapatan secara perorangan.
3. Program redistribusi pendapatan. Pengambilan sebagian pendapatan golongan-golongan penduduk yang berpenghasilan tinggi melalui pemberlakuan pajak secara proporsional terhadap pendapatan dan kekayaan pribadi mereka, untuk selanjutnya dimanfaatkan guna mengangkat kesejahteraan lapisan penduduk termiskin.
4. Peningkatan distribusi pendapatan langsung, terutama bagi kelompok-kelompok masyarakat yang berpenghasilan yang relatif rendah, melalui anggaran belanja pihak pemerintah yang dananya bersumber dari pajak, kebijakan itu disebut juga transfer payment, dan cara lain yaitu melalui penciptaan lapangan kerja, pembebasan uang sekolah, pemberian subsidi pendidikan, dan sebagainya.
Pemerintah Dunia Ketiga mempunyai banyak pilihan dan alternatif kebijakan yang memungkinkannya untuk melaksanakan intervensi positif keempat bidang tersebut. Berikut sejumlah kebijakan pemerintah yang sekiranya paling relevan.
a. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang khusus dirancang untuk mengubah harga-harga faktor produksi secara positif atau menghilangkan distorsi-distorsi harga faktor
b. Perbaikan distribusi pendapatan melalui redistribusi progresif kepemilikan aset-aset
c. Pengalihan sebagian pendapatan golongan atas ke golongan bawah melalui pajak pendapatan dan kekayaan yang progresif
d. Peningkatan ukuran distribusi kelompok penduduk termiskin melalui pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa konsumsi atas tanggungan pemerintah (M.P Todaro, 1998 : 204 – 209)
E. Menurut Anne Booth dan R.M. Sundrum
Berdasarkan buku yang disunting oleh H.W. Arndt (1983 : 67), bahwa menurut Anne Booth dan R.M. Sundrum ada beberapa determinan distribusi pendapatan di Indonesia, yaitu :
1. Pemilikian dan distribusi tanah pertanian
Dengan semakin bertambahnya penduduk, pemilik tanah telah menarik kembali tanahnya dari pihak penyewa dan memberikannya kepada anggota keluarganya untuk diusahakan sendiri. Oleh karena itu, keluarga-keluarga pemilik tanah sempit dan yang tidak memiliki tanah, yang sebelumnya mendapat jaminan dari pengaturan persewaan tanah jangka panjang, sekarang menjadi buruh tani ataupun penggarap tanah dengan sistem persewaan jangka pendek.
2. Perolehan (access) lahan. Ini berkaitan dengan kepemilikan tanah yang semakin kecil di kalangan masyarakat, sehingga semakin kecil pendapatan orang yang tidak punya tanah.
3. Penggantian upah dan tenaga kerja di pedesaan. Adanya penggunaan teknologi dalam pertanian telah menurunkan upah dan penggunaan tenaga kerja yang mengandalkan di sektor pertanian itu.
4. Term of trade sektor pertaniaan. Perbedaan hasil dan pendapatan pada masing-masing produksi pertanian.
5. Perolehan pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan. Tetap berkaitan dengan sektor pertanian yang menunjukkan orang yang bekerja berbeda dengan para majikannya.
6. Disparitas perkotaan – pedesaan. Perbedaan kondisi ekonomi dan investasi lebih banyak di perkotaan telah meningkatkan ketimpangan.
F. Menurut W. Arthur Lewis
Menurut W. Arthur Lewis (1962 : 42) ada dua faktor pokok yang menentukan distribusi pendapatan sebelum kena pajak, yaitu distribusi milik dan distibusi kepandaian. Oleh karena itu, supaya dapat dipersamakan pendapatan sebelum kena pajak, yang harus dilakukan ialah memperbesar persamaan kesempatan. Pangkal semua itu sudah tentu adalah sistem pendidikan.
G. Menurut William Loehr dan John P. Powelson
Menurut William Loehr dan John P. Powelson (1981 : 140-142) dijelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi distribusi pendapatan, yaitu
1. Sumber daya manusia, dimana orang yang punya pendidikan lebih tinggi berpeluang memperoleh pendapatan yang tinggi.
2. Pertumbuhan penduduk, semakin banyak penduduk miskin maka ketimpangan akan semakin parah dan berat.
3. Intersectoral Shifts, antara sektor industri dan pertanian
4. Kebijakan publik, ini berkaitan dengan kebijakan fiskal pemerintah melalui kebijakan anggaran dan pajak.
2.1.3 Pengukuran Distribusi Pendapatan
Dumairy menegaskan ada tiga cara atau tolak ukur yang lazim digunakan untuk mengukur kemerataan distribusi pendapatan, diantaranya sebagai berikut:
1. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut.
Gambar 1
Kurva Lorenz
Sumber : Tulus tambunan (2003)
Gambar 2
Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang dan tidak merata, untuk lebih jelas, lihat gambar berikut :
Gambar 3
Kesimpulan dari gambar di atas adalah bahwa gambar 5(a) menunjukan ketimpangan distribusi pendapatan yang relatif merata (ketimpangannya tidak parah), sedangkan gambar 5(b) menunjukan ketimpangan distribusi pendapatan yang relatif tidak merata (ketimpangannya parah).
2. Indeks atau Rasio Gini
Indeks atau Rasio gini adalah suatu koefisien yang berkisar dari angka nol hingga satu, menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pendapatan nasional. (Dumairy, 1996:54)
Gini ratio merupakan alat ukur yang umum dipergunakan dalam studi empiris, yaitu dengan formula:
1 n n
Gini = ---------- å å ½yi - yj ½ 01,50 GK
Tabel 15
Jumlah Penduduk Miskin Menurut Propinsi 1996-1999
No Propinsi Urban + Rural
1996 1999 %
1 DKI Jakarta 515.427 740.347 43,64
2 Jawa Barat 5.958.428 8.725.329 46,44
3 Jawa Tengah 6.114.063 8.391.522 37,25
4 DI Yogyakarta 493.057 714.076 44,83
5 Jawa Timur 7.069.969 9.271.039 31,31
Pendududuk P. Jawa 20.150924 27.842.313 38,17
Indonesia 32.833.207 47.750.859 45,43
Sumber: Agus Susanto & Puguh B Irawan, “Regional Dimensions Of Poverty : Some Findings On The NatureOf Poverty”, Jakarta diolah
Tabel di atas menggambarkan jumlah penduduk miskin di Indonesia sejak tahun 1996 – 1999. Secara nasional penduduk miskin sudah mencapai 32 juta jiwa tahun 1996 dengan komposisi 27,3% berada di wilayah perkotaan dan selebihnya 82,7% berada di pedesaan. Dan setelah memasuki krisis ekonomi, jumlah penduduk miskin secara nasional mencapai 47 juta jiwa atau 23,6% dari 205 juta jiwa penduduk Indonesia dengan komposisi penduduk yang berada di pedesaan sebesar 66,9% dan selebihnya berada di perkotaan sebesar 33,1%. Hal tersebut memberikan arti bahwa semenjak krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia mengakibatkan peningkatan pertumbuhan penduduk miskin sebesar 45,4% tahun 1996 – 1999. Persebaran penduduk miskin menurut wilayah menunjukkan bahwa lebih kurang 58,3% tersebar di P. Jawa, di P. Sumatera tersebar 19,9%, di P. Kalimantan tersebar 5,0%, di P. Bali dan Nusra tersebar 5,8%, di P. Sulawesi tersebar 7,3% dan di Maluku-Irian Jaya tersebar 3,7%. Pemusatan kantong kemiskinan di P. Jawa erat kaitannya dengan pola persebaran penduduk yang sebagian besar berada di Jawa. Pemusatan kantong kemiskinan di P. Jawa.berdampak pada rentannya penduduk terhadap krisis ekonomi sehinggameningkatkan jumlah penduduk miskin. Komposisi penduduk miskin di P. Jawa paling besar berada di PropinsiJawa Timur sebesar 9 juta jiwa atau 19,4% dari jumlah penduduk miskinnasional. Sedangkan urutan kedua ditempati Propinsi Jawa Barat yang lebihbanyak penduduk miskin dari pada Propinsi Jawa Tengah, yaitu 8 juta jiwaatau 18,3% dari jumlah penduduk miskin nasional.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dari berbagai sumber di atas dan di dukung dengan data maka, dapat disimpulkan bahwa :
1. Distribusi pendapatan merupakan cerminan dari merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu Negara dikalangan penduduknya. Ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Hal ini terlihat pada data dari tahun ke tahun mengenai distribusi pendapatan kadang naik dan turun serta pada kenyatannya bahwa distribusi pendapatan di indonesia tidak merata hal ini juga terlihat dari adanya ketimpangan distribusi pendapatan antar kota, desa maupun propinsi. Pada tahun 1998 krisis ekonomi yang terjadi di Negara Indonesia tidak membuat ketimpangan dalam distribusi pendapatan menjadi tambah parah, bahkan kelihatannya cenderung menurun, seperti terlihat pada data di atas, koefisien Gini rumah tangga tahun 1996 adalah sebesar 0,36. Tahun 1998 turun menjadi 0,32 dan hanya meningkat sedikit menjadi 0,33 pada satu tahun berikutnya.
2. Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja berupa ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan perkapita, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses itu sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah, yakni antara daerah perkotaan dan pedesaaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan regional. Ketimpangan pembangunan yang terjadi indonesia, pada kenyataannya lebih terfokus pada beberapa propinsi yang mempunyai potensi yang sangat besar, (dalam pengembangan usaha), misalnya propinsi DKI jakarta, Jawa Barat, Bali,dsb. Sementara pembangunan di propinsi lainnya bisa dikatakan tertinggal dari propinsi-propinsi diatas. Hal ini menunjukkan bahwa belum meratanya pembangunan di seluruh kawasan di indonesia.
3. Secara umum faktor-faktor penyebab kemiskinan dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, antara lain: a) Kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat. b) Kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya nilai-nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk dan c) Kemiskinan alamiah, yaitu kemisikinan yang ditunjukkan oleh kondisi alam maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah tandus, kering, maupun keterisolasian daerah. Kemudian dalam penyebab kemiskinan lainnya, yaitu: Karena ciri dan keadaan masyarakat dalam suatu daerah sangat beragam (berbeda) ditambah dengan kemajuan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang masih rendah. Serta kebijakan dalam negeri seringkali dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri atau internasional antara lain dari segi pendanaan.
4. Pandangan islam mengenai kemiskinan adalah Kemiskinan merupakan salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa. Bahkan Islam memandang kemiskinan merupakan suatu ancaman dari setan. Allah SWT berfirman:“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan.” (Qs. al-Baqarah [2]: 268).
5. Cara islam mengatasi kemiskinan yaitu sebagai berikut:
Jaminan pemenuhan kebutuhan primer
Pengaturan kepemilikan
Penyediaan lapangan usaha
Penyediaan layanan pendidikan
3.2 Saran
Untuk meminimalisir ketimpangan pendapatan di Indonesia maka harus adanya kerjasama antara berbagai pihak atau kalangan baik dari pihak masyarakat atau swasta, terlebih lagi dari pihak pemerintah sebagai pemain peranan penting dalam kemajuan perekonomian sebuah Negara. Ketimpangan pendapatan terjadi dikarenakan tidak meratanya pembangunan, di mana pembangunan hanya terpusat pada satu daerah atau kawasan, seharusnya pembangunan harus merata di setiap daerah atau wilayah. Langkah yang dilakukan adalah:
Seharusnya pemerintah menggalakan investasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dan terutama investasi yang dilakukan oleh pemerintah, di mana dengan adanya investasi pemerintah akan menstimuslus investasi-investasi lainnya atau investasi yang dilakukan oleh lokal maupun asing.
Sedangkan langkah prioritas dalam jangka pendek dengan melakukan:
1. untuk mengurangi kesenjangan antardaerah antara lain dengan:
penyediaan sarana irigasi, air bersih dan sanitasi dasar terutama daerah-daerah langka sumber air bersih;
pembangunan jalan, jembatan, dan dermaga terutama daerah terisolasi dan tertinggal;
redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang memiliki pendapatan rendah dengan instrumen dana alokasi khusus (DAK).
2. untuk perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui:
bantuan dana stimulan untuk modal usaha terutama melalui kemudahan dalam mengakses kredit mikro dan UKM, pelatihan keterampilan kerja untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja.
meningkatkan investasi dan revitalisasi industri termasuk industri padat tenaga kerja, pembangunan sarana dan prasarana berbasis masyarakat yang padat pekerja.
3. Khusus untuk pemenuhan hak dasar penduduk miskin secara langsung diberikan pelayanan antara lain
pendidikan gratis bagi penuntasan wajib belajar 9 tahun termasuk bagi murid dari keluarga miskin dan penunjangnya; serta
jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin di puskesmas dan rumah sakit kelas III.
DAFTAR PUSTAKA
Dumairy. ( 1996). Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga
Tulus Tambunan. (2009). Perekonomian Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia
Imamudin Yuliadi. (2009). Perekonomian Indonesia Masalah Dan Implementasi
Kebijakan. Yogyakarta : Unit Penerbitan Fakultas Ekonomi (UPFE- UMY)
Mudrajad Kuncoro. (2006). Ekonomi Pembangunan Teori, Masalah, Dan Kebijakan
Edisi Keempat. Yogyakarta: (UPP STIM YKPN)
M.P. Todaro. (2004). Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan.
Jakarta: Erlangga
Lincolin Arsyad. (2004). Ekonomi Pembangunan, Edisi ke-4. Yogyakarta : Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
Yustika, Erani, Ahmad, Dr. (2007). Perekonomian Indonesia : Satu Dekade Pasca Krisis Ekonomi. Malang : Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Sadono Sukirno. (1985). Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan. Jakarta. Lembaga penerbit FEUI.
Statistic Indonesia, Statistical Pocketbook Of Indonesia 2005-2008. Jakarta: BPS,
Indonesia
M. Arief Djamaluddin. (2006). Upaya Pemerataan Pembangunan
Tersedia : http://yohanli.com/upaya-pemerataan-pembangunan/
Solusi Islam atas Kemiskinan tersedia : http://www.kikil.org/forum/Thread-solusi-islam atas-kemiskinan
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak orang yang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu dibarengi kenaikan dalam ketimpangan distribusi pendapatan atau disebut dengan ketimbangan relatif. Dengan kata lain, para ekonom berpendapat bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan terdapat suatu trade off, yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai penurunan dalam distribusi pendapatan atau kenaikan dalam ketimpangan relatif.
Menurut para kritikus, pembangunan ekonomi bukan hanya menyebabkan kenaikan dalam ketimpangan relatif, tetapi lebih parah lagi akan membawa pula kemerosotan taraf hidup absolut dari golongan miskin. Dengan kata lain, bukan saja ketimpangan relatif tetapi juga kemiskinan absolut akan bertambah akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat. Hasil-hasil penelitian pertama mengenai hubungan jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan yang dilakukan oleh Prof. Simon Kuznets dari Universitas Harvard menunjukkan bahwa proses pembangunan ekonomi pada tahap awal pada umumnya disertai oleh kemerosotan yang cukup besar dalam pembagian pendapatan, yang baru berbalik menuju suatu pemerataan yang lebih besar dalam distribusi pendapatan pada tahap pembangunan lebih lanjut.
Struktur distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pendapatan nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan dan perbaikan dalam masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan kesulitan yang lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. Sejumlah ahli ekonomi berpendapat bahwa perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi, terutama kepemilikan barang modal. Jadi, seperti telah dikemukakan pada awal pembahasan ini, pihak yang memiliki barang modal lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula dibandingkan dengan pihak yang memiliki sedikit barang modal.
Di Indonesia pada awal Orde Baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, Khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sector-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan “Trickle Down Effects”. Didasarkan pada pemikiran tersebut, pada awal orde baru hingga akhir tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pusat pembangunan ekonomi nasional di mulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, seperti transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya lebih tersedia di pulau jawa, khususnya Jakarta, dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Pembangunan saat itu juga hanya terpusatkan pada sektor-sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menyumbang nilai pendapatan nasional yang tinggi. Pemerintah saat itu percaya bahwa nantinya hasil dari pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi. Dalam pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non pendapatan. Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut belum cukup untuk menilai prestasi pembangunan karena tidak mencerminkan bagaimana pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan penduduknya, sehingga tidak memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data mengenai kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada distribusi pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
Krisis yang terjadi secara mendadak dan diluar perkiraan pada akhir dekade 1990-an merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi kebanyakan orang, dampak dari krisis yang terparah dan langsung dirasakan, diakibatkan oleh inflasi. Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari 6% menjadi 78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya. Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Antara tahun 1996 dan 1999 proporsi orang yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 24% dari jumlah penduduk. Pada saat yang sama, kondisi kemiskinan menjadi semakin parah, karena pendapatan kaum miskin secara keseluruhan menurun jauh di bawah garis kemiskinan.
1.2 Perumusan Masalah
Berkaitan dengan permasalahan distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan yang dijelaskan di atas maka ada beberapa pertanyaan yang diajukan sebagai perumusan masalah dengan tujuan agar pembahasan dapat terfokus pada masalah yang telah di jabarkan diatas. Adapun perumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Analisis distribusi pendapatan di Indonesia?
2. Analisis ketimpangan pembangunan di indonesia?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia?
4. Bagaimana pandangan Islam tentang kemiskinan serta solusi untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep dan Teori Distribusi Pendapatan
Untuk menilai keberhasilan dalam pembangunan sebuah Negara dapat dilihat dari berbagai macam cara dan tolak ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan non ekonomi. Penilaian dengan menggunakan pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non-pendapatan. Distribusi pendapatan merupakan cerminan dari merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu Negara dikalangan penduduknya. Pemerataan pendapatan antar penduduk atau rumah tangga mengandung dua segi. Pertama adalah meningkatkan tingkat hidup masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Kedua adalah pemerataan pendapatan secara menyeluruh, dalam arti mempersempit berbedanya tingkat pendapatan antar rumah tangga.
Para ahli ekonomi pada umumnya membedakan antara dua ukuran utama dari distribusi pendapatan baik untuk tujuan analisis maupun kuantitatif yaitu:
1. Distribusi Pendapatan Perseorangan
Distribusi Pendapatan perseorangan memberikan gambaran tentang distribusi pendapatan yang diterima oleh individu/perorangan termasuk pula rumah tangga. Dalam konsep ini, yang diperhatikan adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima oleh seseorang, tidak dipersoalkan cara yang dilakukan oleh individu/rumah tangga untuk memperoleh pendapatannya, banyaknya anggota rumah tangga yang mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga serta apakah penghasilan tersebut berasal dari bekerja atau sumber lainnya seperti bunga, hadiah, keuntungan maupun warisan. Demikian pula tempat dan sektor sumber pendapatan pun turut diabaikan.
2. Distribusi Pendapatan Fungsional
Distribusi Pendapatan Fungsional mencoba menerangkan bagian dari pendapatan yang diterima oleh tiap faktor produksi. Faktor-faktor produksi tersebut terdiri dari tanah (SDA), tenaga kerja, dan modal. Pendapatan didistribusikan sesuai dengan fungsinya, seperti buruh menerima upah, pemilik tanah menerima sewa, dan pemilik modal menerima bunga serta laba. Jadi setiap faktor produksi memperoleh imbalan sesuai dengan distribusinya pada produksi nasional, tidak lebih dan tidak kurang.
Distribusi Pendapatan yang didasarkan pada pemilik faktor produksi ini akan berkaitan dengan proses pertumbuhan pendapatan. Adapun pertumbuhan pendapatan dalam masyarakat yang didasarkan pada kepemilikan faktor produksi dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
a) Pendapatan karena hasil kerja yang berupa upah/gaji dan besarnya tergantung tingkat produktivitas
b) Pendapatan dari sumber lain seperti sewa, laba, bunga hadiah/warisan.
2.1.1 Jenis-Jenis Distribusi Pendapatan
Menurut Dumairy (1996: 56) distribusi Pendapatan dalam kaitannya dengan pemerataan pembagian pendapatan, dapat dilihat dari tiga segi yaitu:
1) Distribusi Pendapatan antar lapisan pendapatan masyarakat.
2) Distribusi Pendapatan antar daerah, dalam hal ini antar wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan.
3) Pembagian pendapatan antar wilayah, dalam hal ini antar propinsi dan antar kawasan (barat, tengah, timur)
Sedangkan menurut Todaro (2004: 222) pembagian pendapatan dapat dilihat dari tiga segi yaitu:
1) Pembagian pendapatan antar golongan (size distribution income)
2) Pembangunan pendapatan antar daerah perkotaan dan pedesaan (urban regional income disparities), dan
3) Pembangunan pendapatan antar daerah atau propinsi (regional income disparities)
2.1.2 Determinan-Determinan Distribusi Pendapatan
A. Menurut Komaruddin
Dalam kenyataan terlihat bahwa faktor-faktor yang cenderung membuat ketidaksamaan pendapatan perseorangan dapat dicari dari faktor-faktor yang bersifat perorangan dan bersifat sosial. Di dalam perekonomian yang menunjukkan bahwa pendapatan terutama diterima dari penjualan sumber-sumber produksi atau penjualan jasa-jasa sumber produksi itu, akan kita temukan dua faktor yang akan membawa ketidaksamaan, yaitu :
1. Perbedaan penilaian keahlian dan bakat perseorangan
2. Perbedaan jumlah pendapatan yang menciptakan milik yang dikuasi setiap orang
Kebijakan untuk merubah pembagian pendapatan yang akan diterima penduduk selalu menjadi bahan pemikiran utama dalam perencanaan pemerintah, walaupun untuk sebagian besar berlandaskan pada etika. Pemerintah pada dasarnya dapat merubah distribusi pendapatan dengan berbagai cara, sedikitnya ada tiga cara untuk mencapai sasaran tersebut, yaitu :
1. Pemerintah dapat mengatur kembali distribusi pendapatan melalui upaya untuk mengubah pola milik atas sumber-sumber. Untuk merubah pola itu beberapa negara telah memungut pajak kematian dan penetapan batas jumlah pendapatan yang menciptakan milik.
2. Pemerintah dapat mengatur kembali distribusi pendapatan dengan mencoba untuk merubah pola harga sumber-sumber ekonomi, melalui penetapan upah yang terendah atau harga terendah untuk hasil produksi tertentu.
3. Pemerintah dapat merubah pendapatan perseorangan yang bebas dari milik sumber-sumber ekonomi atau harga sumber-sumber dengan pajak pendapatan perseorangan atau kebijakan yang mempengaruhi daya beli uang di satu pihak dan pengeluaran umum di lain pihak. (Komaruddin. (1978 :76 – 79).
B. Menurut Thee Kian Wie
Ada tiga faktor pokok yang ikut mempengaruhi distribusi pendapatan, yaitu :
1. Pembagian harta (assets), ketimpangan harta baik dalam arti fisik dan bukan fisik. Harta fisik seperti modal, tanah, mesin, dan lainnya sedangkan harta bukan fisik yaitu keterampilan manusia. Harta ini menghasilkan pendapatan, sehingga makin tinggi pendapatannya. Kebijakan yang dapat dilakukan adalah melalui perpajakan progresif dan pembayaran transfer (subsidi) kepada golongan miskin, dan dalam jangka panjang ditempuh melalui perubahan pola investasi sedemikian rupa, sehingga lambat laun golongan yang berpendapatan rendah sanggup untuk memupuk lebih banyak harta.
2. Stategi pembangunan. Dalam hal ini lebih banyak negara yang mementingkan pertumbuhan ekonomi daripada mementingkan pemecahan efektif masalah pemerataan pendapatan dan kemiskinan absolut. Sehingga diperlukan perubahan orientasi tujuan pembangunan.
3. Kebijakan fiskal. Di samping stategi pembangunan yang kadang-kadang dapat bersifat regresif, maka kebijakan fiskal, termasuk kebijakan dalam perpajakan, ternyata sering pula bersifat regresif, walaupun di atas kertas sistem perpajakan bersifat progresif. (Thee Kian Wie, 1981 : 70 – 77)
C. Menurut Irma Adelman dan Cynthia Taft Morris
Dalam bukunya Lincolin Arsyad (1988 : 58), dijelaskan bahwa menurut Irma Adelman dan Cynthia Taft Morris ada 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara berkembang, yaitu :
1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita
2. Inflasi, dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase pendapatan dari harta tambahan besar dibandingkan dengan persentase pendapatan berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah
5. Rendahnya mobilitas sosial
6. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis
7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang
8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
D. Menurut M.P Todaro
Ada empat bidang luas yang terbuka bagi intervensi kebijakan pemerintah masing-masing berkaitan erat dengan keempat elemen pokok yang merupakan faktor-faktor penentu utama atau baik tidaknya kondisi-kondisi distribusi pendapatan di sebagian negara berkembang. Adapun keempat elemen pokok tersebut adalah :
1. Distribusi fungsional. Hal ini pada dasarnya menyangkut segala sesuatu yang berkenaan dengan tingkat hasil yang diterima dari faktor-faktor produksi tenaga kerja, tanah, dan modal, yang sangat dipengaruhi oleh harga relatif dari masing-masing faktor produksi tersebut, tingkat pendayagunaan (ini berkenaan dengan faktor teknologi), dan bagian atau persentase dari pendapatan nasional yang diperoleh oleh para pemilik masing-masing faktor tersebut.
2. Distribusi ukuran. Ini adalah distribusi pendapatan fungsional dari suatu perekonomian yang dinyatakan sebagai suatu ukuran distribusi kepemilikan dan penguasaan aset (faktor-faktor produksi non manusia atau sumber daya fisik) produktif dan faktor keterampilan yang terpusat dan tersebar ke segenap lapisan masyarakat. Distribusi kepemilikan aset dan keterampilan tersebut pada akhirnya akan menentukan merata atau tidaknya distribusi pendapatan secara perorangan.
3. Program redistribusi pendapatan. Pengambilan sebagian pendapatan golongan-golongan penduduk yang berpenghasilan tinggi melalui pemberlakuan pajak secara proporsional terhadap pendapatan dan kekayaan pribadi mereka, untuk selanjutnya dimanfaatkan guna mengangkat kesejahteraan lapisan penduduk termiskin.
4. Peningkatan distribusi pendapatan langsung, terutama bagi kelompok-kelompok masyarakat yang berpenghasilan yang relatif rendah, melalui anggaran belanja pihak pemerintah yang dananya bersumber dari pajak, kebijakan itu disebut juga transfer payment, dan cara lain yaitu melalui penciptaan lapangan kerja, pembebasan uang sekolah, pemberian subsidi pendidikan, dan sebagainya.
Pemerintah Dunia Ketiga mempunyai banyak pilihan dan alternatif kebijakan yang memungkinkannya untuk melaksanakan intervensi positif keempat bidang tersebut. Berikut sejumlah kebijakan pemerintah yang sekiranya paling relevan.
a. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang khusus dirancang untuk mengubah harga-harga faktor produksi secara positif atau menghilangkan distorsi-distorsi harga faktor
b. Perbaikan distribusi pendapatan melalui redistribusi progresif kepemilikan aset-aset
c. Pengalihan sebagian pendapatan golongan atas ke golongan bawah melalui pajak pendapatan dan kekayaan yang progresif
d. Peningkatan ukuran distribusi kelompok penduduk termiskin melalui pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa konsumsi atas tanggungan pemerintah (M.P Todaro, 1998 : 204 – 209)
E. Menurut Anne Booth dan R.M. Sundrum
Berdasarkan buku yang disunting oleh H.W. Arndt (1983 : 67), bahwa menurut Anne Booth dan R.M. Sundrum ada beberapa determinan distribusi pendapatan di Indonesia, yaitu :
1. Pemilikian dan distribusi tanah pertanian
Dengan semakin bertambahnya penduduk, pemilik tanah telah menarik kembali tanahnya dari pihak penyewa dan memberikannya kepada anggota keluarganya untuk diusahakan sendiri. Oleh karena itu, keluarga-keluarga pemilik tanah sempit dan yang tidak memiliki tanah, yang sebelumnya mendapat jaminan dari pengaturan persewaan tanah jangka panjang, sekarang menjadi buruh tani ataupun penggarap tanah dengan sistem persewaan jangka pendek.
2. Perolehan (access) lahan. Ini berkaitan dengan kepemilikan tanah yang semakin kecil di kalangan masyarakat, sehingga semakin kecil pendapatan orang yang tidak punya tanah.
3. Penggantian upah dan tenaga kerja di pedesaan. Adanya penggunaan teknologi dalam pertanian telah menurunkan upah dan penggunaan tenaga kerja yang mengandalkan di sektor pertanian itu.
4. Term of trade sektor pertaniaan. Perbedaan hasil dan pendapatan pada masing-masing produksi pertanian.
5. Perolehan pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan. Tetap berkaitan dengan sektor pertanian yang menunjukkan orang yang bekerja berbeda dengan para majikannya.
6. Disparitas perkotaan – pedesaan. Perbedaan kondisi ekonomi dan investasi lebih banyak di perkotaan telah meningkatkan ketimpangan.
F. Menurut W. Arthur Lewis
Menurut W. Arthur Lewis (1962 : 42) ada dua faktor pokok yang menentukan distribusi pendapatan sebelum kena pajak, yaitu distribusi milik dan distibusi kepandaian. Oleh karena itu, supaya dapat dipersamakan pendapatan sebelum kena pajak, yang harus dilakukan ialah memperbesar persamaan kesempatan. Pangkal semua itu sudah tentu adalah sistem pendidikan.
G. Menurut William Loehr dan John P. Powelson
Menurut William Loehr dan John P. Powelson (1981 : 140-142) dijelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi distribusi pendapatan, yaitu
1. Sumber daya manusia, dimana orang yang punya pendidikan lebih tinggi berpeluang memperoleh pendapatan yang tinggi.
2. Pertumbuhan penduduk, semakin banyak penduduk miskin maka ketimpangan akan semakin parah dan berat.
3. Intersectoral Shifts, antara sektor industri dan pertanian
4. Kebijakan publik, ini berkaitan dengan kebijakan fiskal pemerintah melalui kebijakan anggaran dan pajak.
2.1.3 Pengukuran Distribusi Pendapatan
Dumairy menegaskan ada tiga cara atau tolak ukur yang lazim digunakan untuk mengukur kemerataan distribusi pendapatan, diantaranya sebagai berikut:
1. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut.
Gambar 1
Kurva Lorenz
Sumber : Tulus tambunan (2003)
Gambar 2
Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang dan tidak merata, untuk lebih jelas, lihat gambar berikut :
Gambar 3
Kesimpulan dari gambar di atas adalah bahwa gambar 5(a) menunjukan ketimpangan distribusi pendapatan yang relatif merata (ketimpangannya tidak parah), sedangkan gambar 5(b) menunjukan ketimpangan distribusi pendapatan yang relatif tidak merata (ketimpangannya parah).
2. Indeks atau Rasio Gini
Indeks atau Rasio gini adalah suatu koefisien yang berkisar dari angka nol hingga satu, menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pendapatan nasional. (Dumairy, 1996:54)
Gini ratio merupakan alat ukur yang umum dipergunakan dalam studi empiris, yaitu dengan formula:
1 n n
Gini = ---------- å å ½yi - yj ½ 0
Tabel 15
Jumlah Penduduk Miskin Menurut Propinsi 1996-1999
No Propinsi Urban + Rural
1996 1999 %
1 DKI Jakarta 515.427 740.347 43,64
2 Jawa Barat 5.958.428 8.725.329 46,44
3 Jawa Tengah 6.114.063 8.391.522 37,25
4 DI Yogyakarta 493.057 714.076 44,83
5 Jawa Timur 7.069.969 9.271.039 31,31
Pendududuk P. Jawa 20.150924 27.842.313 38,17
Indonesia 32.833.207 47.750.859 45,43
Sumber: Agus Susanto & Puguh B Irawan, “Regional Dimensions Of Poverty : Some Findings On The NatureOf Poverty”, Jakarta diolah
Tabel di atas menggambarkan jumlah penduduk miskin di Indonesia sejak tahun 1996 – 1999. Secara nasional penduduk miskin sudah mencapai 32 juta jiwa tahun 1996 dengan komposisi 27,3% berada di wilayah perkotaan dan selebihnya 82,7% berada di pedesaan. Dan setelah memasuki krisis ekonomi, jumlah penduduk miskin secara nasional mencapai 47 juta jiwa atau 23,6% dari 205 juta jiwa penduduk Indonesia dengan komposisi penduduk yang berada di pedesaan sebesar 66,9% dan selebihnya berada di perkotaan sebesar 33,1%. Hal tersebut memberikan arti bahwa semenjak krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia mengakibatkan peningkatan pertumbuhan penduduk miskin sebesar 45,4% tahun 1996 – 1999. Persebaran penduduk miskin menurut wilayah menunjukkan bahwa lebih kurang 58,3% tersebar di P. Jawa, di P. Sumatera tersebar 19,9%, di P. Kalimantan tersebar 5,0%, di P. Bali dan Nusra tersebar 5,8%, di P. Sulawesi tersebar 7,3% dan di Maluku-Irian Jaya tersebar 3,7%. Pemusatan kantong kemiskinan di P. Jawa erat kaitannya dengan pola persebaran penduduk yang sebagian besar berada di Jawa. Pemusatan kantong kemiskinan di P. Jawa.berdampak pada rentannya penduduk terhadap krisis ekonomi sehinggameningkatkan jumlah penduduk miskin. Komposisi penduduk miskin di P. Jawa paling besar berada di PropinsiJawa Timur sebesar 9 juta jiwa atau 19,4% dari jumlah penduduk miskinnasional. Sedangkan urutan kedua ditempati Propinsi Jawa Barat yang lebihbanyak penduduk miskin dari pada Propinsi Jawa Tengah, yaitu 8 juta jiwaatau 18,3% dari jumlah penduduk miskin nasional.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dari berbagai sumber di atas dan di dukung dengan data maka, dapat disimpulkan bahwa :
1. Distribusi pendapatan merupakan cerminan dari merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu Negara dikalangan penduduknya. Ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Hal ini terlihat pada data dari tahun ke tahun mengenai distribusi pendapatan kadang naik dan turun serta pada kenyatannya bahwa distribusi pendapatan di indonesia tidak merata hal ini juga terlihat dari adanya ketimpangan distribusi pendapatan antar kota, desa maupun propinsi. Pada tahun 1998 krisis ekonomi yang terjadi di Negara Indonesia tidak membuat ketimpangan dalam distribusi pendapatan menjadi tambah parah, bahkan kelihatannya cenderung menurun, seperti terlihat pada data di atas, koefisien Gini rumah tangga tahun 1996 adalah sebesar 0,36. Tahun 1998 turun menjadi 0,32 dan hanya meningkat sedikit menjadi 0,33 pada satu tahun berikutnya.
2. Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja berupa ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan perkapita, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses itu sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah, yakni antara daerah perkotaan dan pedesaaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan regional. Ketimpangan pembangunan yang terjadi indonesia, pada kenyataannya lebih terfokus pada beberapa propinsi yang mempunyai potensi yang sangat besar, (dalam pengembangan usaha), misalnya propinsi DKI jakarta, Jawa Barat, Bali,dsb. Sementara pembangunan di propinsi lainnya bisa dikatakan tertinggal dari propinsi-propinsi diatas. Hal ini menunjukkan bahwa belum meratanya pembangunan di seluruh kawasan di indonesia.
3. Secara umum faktor-faktor penyebab kemiskinan dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, antara lain: a) Kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat. b) Kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya nilai-nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk dan c) Kemiskinan alamiah, yaitu kemisikinan yang ditunjukkan oleh kondisi alam maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah tandus, kering, maupun keterisolasian daerah. Kemudian dalam penyebab kemiskinan lainnya, yaitu: Karena ciri dan keadaan masyarakat dalam suatu daerah sangat beragam (berbeda) ditambah dengan kemajuan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang masih rendah. Serta kebijakan dalam negeri seringkali dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri atau internasional antara lain dari segi pendanaan.
4. Pandangan islam mengenai kemiskinan adalah Kemiskinan merupakan salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa. Bahkan Islam memandang kemiskinan merupakan suatu ancaman dari setan. Allah SWT berfirman:“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan.” (Qs. al-Baqarah [2]: 268).
5. Cara islam mengatasi kemiskinan yaitu sebagai berikut:
Jaminan pemenuhan kebutuhan primer
Pengaturan kepemilikan
Penyediaan lapangan usaha
Penyediaan layanan pendidikan
3.2 Saran
Untuk meminimalisir ketimpangan pendapatan di Indonesia maka harus adanya kerjasama antara berbagai pihak atau kalangan baik dari pihak masyarakat atau swasta, terlebih lagi dari pihak pemerintah sebagai pemain peranan penting dalam kemajuan perekonomian sebuah Negara. Ketimpangan pendapatan terjadi dikarenakan tidak meratanya pembangunan, di mana pembangunan hanya terpusat pada satu daerah atau kawasan, seharusnya pembangunan harus merata di setiap daerah atau wilayah. Langkah yang dilakukan adalah:
Seharusnya pemerintah menggalakan investasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dan terutama investasi yang dilakukan oleh pemerintah, di mana dengan adanya investasi pemerintah akan menstimuslus investasi-investasi lainnya atau investasi yang dilakukan oleh lokal maupun asing.
Sedangkan langkah prioritas dalam jangka pendek dengan melakukan:
1. untuk mengurangi kesenjangan antardaerah antara lain dengan:
penyediaan sarana irigasi, air bersih dan sanitasi dasar terutama daerah-daerah langka sumber air bersih;
pembangunan jalan, jembatan, dan dermaga terutama daerah terisolasi dan tertinggal;
redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang memiliki pendapatan rendah dengan instrumen dana alokasi khusus (DAK).
2. untuk perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui:
bantuan dana stimulan untuk modal usaha terutama melalui kemudahan dalam mengakses kredit mikro dan UKM, pelatihan keterampilan kerja untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja.
meningkatkan investasi dan revitalisasi industri termasuk industri padat tenaga kerja, pembangunan sarana dan prasarana berbasis masyarakat yang padat pekerja.
3. Khusus untuk pemenuhan hak dasar penduduk miskin secara langsung diberikan pelayanan antara lain
pendidikan gratis bagi penuntasan wajib belajar 9 tahun termasuk bagi murid dari keluarga miskin dan penunjangnya; serta
jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin di puskesmas dan rumah sakit kelas III.
DAFTAR PUSTAKA
Dumairy. ( 1996). Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga
Tulus Tambunan. (2009). Perekonomian Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia
Imamudin Yuliadi. (2009). Perekonomian Indonesia Masalah Dan Implementasi
Kebijakan. Yogyakarta : Unit Penerbitan Fakultas Ekonomi (UPFE- UMY)
Mudrajad Kuncoro. (2006). Ekonomi Pembangunan Teori, Masalah, Dan Kebijakan
Edisi Keempat. Yogyakarta: (UPP STIM YKPN)
M.P. Todaro. (2004). Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan.
Jakarta: Erlangga
Lincolin Arsyad. (2004). Ekonomi Pembangunan, Edisi ke-4. Yogyakarta : Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
Yustika, Erani, Ahmad, Dr. (2007). Perekonomian Indonesia : Satu Dekade Pasca Krisis Ekonomi. Malang : Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Sadono Sukirno. (1985). Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan. Jakarta. Lembaga penerbit FEUI.
Statistic Indonesia, Statistical Pocketbook Of Indonesia 2005-2008. Jakarta: BPS,
Indonesia
M. Arief Djamaluddin. (2006). Upaya Pemerataan Pembangunan
Tersedia : http://yohanli.com/upaya-pemerataan-pembangunan/
Solusi Islam atas Kemiskinan tersedia : http://www.kikil.org/forum/Thread-solusi-islam atas-kemiskinan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar