Halaman

Senin, 11 Januari 2010

PI_Dedi_Invest

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Investasi merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Dinamika investasi mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, hal ini mencerminkan marak lesunya pembangunan. Dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap negara senantiasa berusaha menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. Penggairahan iklim investasi di Indonesia di mulai dengan diberlakukannya undang-undang No. 1/Tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA) dan undang-undang No. 6/Tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN). Kemudian kedua undang-undang tersebut dilengkapi dan disempurnakan pada tahun 1970. UU No. 1/tahun 1967 tentang PMA disempurnakan dengan UU No. 11/Tahun 1970. UU No. 6/Tahun 1968 tentang PMDN disempurnakan dengan UU No. 12/Tahun 1970. (Dumairy:1996)
Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, sehingga mencerminkan marak lesunya pembangunan. Sasaran yang dituju bukan hanya masyarakat atau kalangan swasta dalam negeri, tapi juga investor asing. Oleh karena itu, investasi memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan perekonomian dan pembangunan suatu negara. Perkembangan ekonomi dunia yang semakin kecil batas suatu negara, tentunya membawa implikasi yang tidak kecil untuk pola pembangunan suatu negara. Batas negara yang semakin tipis, yang kemudian oleh banyak kalangan disebut globalisasi tampaknya juga berpengaruh kepada pola investasi. Dalam kaitan menarik minat investasi tersebut, kemudian pemerintah memberlakukan kebijaksanaan mengizinkan PMA untuk menanamkan modal yang 100% miliknya. (Sjahrir,1995. Formasi mikro-makro ekonomi Indonesia)
Jika kita mengingat pada pertengahan tahun 1997 sampai tahun 1998, ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang parah dan berkepanjanagan sehingga menyebabkan penurunan investasi. Penurunan investasi ini akan mengganggu kegiatan perekonomian secara umum, diantaranya menurunkan modal, perusahaan menghentikan usahanya sehingga output yang dihasilkan mengalami penurunan dan meningkatkan jumlah pengangguran akibat lapangan kerja yang semakin berkurang. Namun tidak hanya pada saat itu saja, akhir-akhir ini juga perekonomian dunia sedang dilanda permasalahan yang cukup serius yang disebabkan oleh krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat yang berimbas pada lesunya perekonomian dunia termasuk Indonesia. Dampak yang paling terasa dari adanya krisis ini yaitu menurunnya kepercayaan para investor, sehingga investasi di Indonesia mengalami penurunan karena para investor tidak mau untuk berinvestasi ditengah-tengah krisis global yang terjadi.
Negara terbelakang ialah Negara yang memiliki modal kurang atau tabungan rendah dan investasi rendah. Tidak hanya persediaan modal yang kecil tetapi juga laju pembentukan modal uang yang sangat rendah. Rata-rata investasi kotornya hanya 5-6 persen dari pendapatan nasional kotor, sedangkan di negara maju berkisar antara 15-20 persen. Selain itu, tabungan rendah dan investasi rendah mencerminkan kurangnya modal dan bersama dengan itu negara terbelakang mengalami keterbelakangan teknologi. Penggunaan modal asing tidak hanya untuk mengatasi kekurangan modal tetapi juga keterbelakangan teknologi. Indonesia memang bukan termasuk negara terbelakang, tetapi investasi di Indonesia cenderung rendah. (M.L Jhingan:1996)
Perbaikan iklim penanaman modal tidak henti-hentinya dilakukan pemerintah, terutama sejak awal pelita IV atau tepatnya tahun 1984. Melalui berbagai paket kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi dilakukan penyederhanaan mekanisme perizinan, penyederhanaan tata cara impor barang modal, pelunakan syarat-syarat investasi, serta perangsangan investasi untuk sektor-sektor dan daerah-daerah tertentu. (Dumairy, 1996)
Upaya untuk memperbaiki kegiatan investasi ini menjadi tugas yang penting bagi para pelaku ekonomi untuk mempertahankan stabilitas perekonomian. Hal ini menjadi tantangan bagi pemimpin-pemimpin politik, institusi pemerintahan dan hukum, untuk mencari strategi dan memberikan aturan yang baik untuk menarik investasi. Indonesia dengan sumber daya alam yang melimpah memerlukan sumber daya manusia dan sumber keuangan untuk membangun perekonomian dan mengelola sumber daya alam yang ada. 

1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan keadaan perekonomian di Indonesia, maka kami mencoba merumuskan masalah sebagai berikut: 
1. Apa konsep investasi ?
2. Bagaimana perkembangan investasi di Indonesia ?
3. Bagaimana peranan investasi terhadap perekonomian Indonesia ?
4. Apa permasalahan yang dihadapi dalam menarik para investor?
5. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan investasi di Indonesia?











 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Investasi
2.1.1 Definisi Investasi
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan, bahwa investasi adalah penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk memperolah keuntungan. Investasi dalam arti luas terdiri dari dua bagian utama, yaitu: investasi dalam bentuk aktiva riil (real assets) dan investasi dalam bentuk surat-surat berharga (marketable securuties atau financial assets). Aktiva riil adalah aktiva berujud seperti emas, perak, intan, dan sebagainya. Sedangkan aktiva finansial adalah surat-surat berharga yang pada dasarnya merupakan klaim atas aktiva riil yang dikuasai oleh suatu entitas.  
Menurut Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus (1997: 108), investasi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh para penanam modal yang menyangkut penggunaan sumber-sumber seperti peralatan, gedung, peralatan produksi dan mesin-mesin baru lainnya atau persediaan yang diharapkan akan memberikan keuntungan dari investasi tersebut. Investasi (pembelian barang-barang modal) meliputi penambahan stok modal atau barang modal di suatu negara, seperti pembangunan, peralatan produksi, dan barang-barang inventaris dalam waktu satu tahun. Investasi merupakan langkah mengorbankan konsumsi saat ini untuk memperbesar konsumsi di masa yang akan datang.
Menurut Sadono Sukirno (2004), investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Investasi (investment) dapat didefinisikan sebagai tambahan bersih terhadap stok kapital yang ada (net additional to exixting capital stock). Istilah lain dari investasi adalah akumulasi modal (capital accumulation) atau pembentukan modal (capital formation). (Muana Nanga, 2001: 124).
Menurut Sut Mutia Sangadji (ngampus.com, 2007), investasi sebagai penanaman modal atau sering disebut juga dengan pembentukan modal, merupakan suatu komponen yang menentukan tingkat pengeluaran agregat suatu negara. Karena itu dalam pembangunan ekonomi, peranan investasi sangatlah penting. Semakin tinggi investasi, pendapatan nasional akan mengalami peningkatan karena peningkatan terhadap barang dan jasa bertambah.
Dari beberapa pengertian investasi di atas, dapat kami simpulkan bahwa investasi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh para penanam modal sebagai bentuk penanaman modal dalam bentuk barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi yang berfungsi untuk meningkatkan/menambah kemampuan memproduksi (produktivitas) barang-barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian dan diharapkan akan membawa keuntungan di masa depan.

2.1.2 Jenis-Jenis Pengeluaran Investasi
Joseph Alois Schumpeter membedakan investasi ke dalam Investasi Terpengaruh (induced investment) yaitu investasi yang besar kecilnya sangat tergantung atau dipengaruhi oleh perubahan di dalam pendapatan nasional, volume perizinan, keuntungan perusahaan; dan Investasi Otonom (autonomus investment) yaitu investasi yang besar kecilnya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, tetapi lebih banyak ditentukan oleh perubahan-perubahan yang bersifat jangka panjang seperti penemuan baru, perkembangan teknologi dan sebagainya. (Muana Nanga, 2001: 124).
Sedangkan menurut Mankiw (2001: 453), ada tiga jenis pengeluran investasi, yaitu Investasi Tetap Bisnis (business fixed investment) mencakup peralatan dan struktur yang dibeli perusahaan untuk proses produksi. Investasi Residensial (esidential investment) mencakup rumah baru untuk tempat tinggal dan untuk disewakan. Investasi Persediaan (inventory investment) mencakup barang-barang yang disimpan perusahaan di gudang, termasuk bahan-bahan dan persediaan, barang dalam proses produksi, dan barang jadi. 
Menurut M. L. Jhingan (1996), jenis investasi asing dibagi menjadi dua, yaitu investasi langsung dan investasi tidak langsung.
1. Investasi langsung (direct investment), berarti bahwa perusahaan dari negara penanam modal secara de facto maupun de jure melakukan pengawasan atas asset (aktiva) yang ditanam di negara pengimpor modal dengan cara investasi itu. Investasi langsung dapat mengambil beberapa bentuk, yaitu: pembentukan suatu cabang perusahaan di negara pengimpor modal; pembentukan suatu perusahaan dalam mana perusahaan dari negara penanam modal memiliki mayoritas saham; pembentukan suatu perusahaan di negara pengimpor yang semata-mata dibiayai oleh perusahaan yang terletak di negara penanam modal; mendirikan suatu coorporasi di negara penanam modal untuk secara khusus beroperasi di negara lain; atau menaruh asset atau aktiva tetap di negara lain oleh perusahaan nasional dari negara penanam modal.
2. Investasi tidak langsung (indirect investment), lebih dikenal sebagai investasi portofolio atau rentier yang sebagian besar terdiri dari pengusaan atas saham yang dapat dipindahkan (yang dikeluarkan atau dijamin oleh pemerintah pengimpor modal), atas saham atau surat utang oleh warga negara dari beberapa negara lain. Penguasaan saham tersebut tidaklah sama dengan hak untuk mengendalikan perusahaan. Para pemegang saham hanya mempunyai hak atas deviden saja. 

2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Investasi
Menurut Sadono Sukirno (2004) menyatakan bahwa tingkat investasi dipengaruhi oleh faktor-faktor:
1. Tingkat keuntungan yang diramalkan akan diperoleh,
2. Suku bunga,
3. Kemajuan teknologi,
4. Tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya, 
5. Keuntungan yang dapat dicapai oleh perusahaan.

Menurut Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus (2001), kalangan bisnis akan mengadakan investasi bila mereka memperkirakan bahwa pembangunan pabrik baru atau pembelian mesin-mesin baru akan mendatangkan hasil penjualan yang melebihi biaya-biya investasi. Jadi yang mempengaruhi investasi adalah:
1. Hasil penjualan, suatu kegiatan investasi akan memberikan tambahan hasil penjualan bagi perusahaan hanya bila investasi ini mampu menjual lebih banyak.
2. Biaya, karena barang-barang investasi berumur panjang, maka analisis biaya investai lebih rumit daripada biaya komoditi. Bila membeli barang-barang berumur panjang, kita harus menghitung harga dari modal itu, dalam hal ini dinyatakan dalam tingkat suku bunga pinjaman.
3. Ekspektasi, keputusan investasi tergantung pada ekpektasi masa depan, sehingga perlu dilakukan analisis masa depan untuk memperkecil ketidakpastian (uncertainty).
Menurut Hamdy Hady (2004) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan atau seseorang melakukan investasi langsung adalah keuntungan yang lebih tinggi yang akan didapatnya, melalui:
1. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
2. Tingkat pajak yang lebih menguntungkan
3. Infrastruktur yang lebih baik.




2.2. Perkembangan Investasi di Indonesia
2.2.1 Sejarah Investasi Indonesia
Sejarah investasi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak penjajahan belanda, setelah system tanam paksa berakhir, perekonomian Hindia Belanda terbuka untuk penanaman modal swasta. Potensi ekonomi negeri jajahan yang sangat menjanjikan mengundang berbagai aliran modal, tidak hanya dari negeri belanda tetapi juga dari sejumlah Negara. Sector perkebunan menjadi ajang awal perhatian penanaman modal itu. Berbagai modal asing membuka berbagai perkebunan terutama di daerah luar pulau jawa. Setelah itu berbagai perusahaan berdiri, mualai dari pertambangan perbankan,hingga perdagangan. Rangsangan keuntungan dalam produksi gula berkat Konvensi Brussels pada tahun 1902 mendorong mengalirnya modal asing dari belanda, amerika, jepang, dan eropa lainnya. Ketika permintaan karet dunia melonjak, koloni Hindia Belanda yang lahannya luas dan sesuai untuk penanaman menjadi tujuan pengaliran modal asing. Penjajahan dan eksplorasi membuka potensi sumber daya bumi Hindia Belanda yang ikut menarik aliran modal internasional. 
Selanjutnya investasi di Hindia Belanda diramaikan oleh penanaman modal Jepang yang mulai melakukan ekspansinya sebagai akibat dari revolusi Industri didalam negeri sejak pencanangan Restorasi Meiji. Perlu disimak bahwa situasi moneter hindia belanda menjelang perang dunia II mulai menunjukkan terjadinya inflasi mata uang. Oleh karena itu selama 1914-1919 harga barang impor naik, sedangkan harga barang ekspor menurun. Politik moneter pemerintah dengan pencetakan uang kertas dan peminjaman meningkatkan nivo harga tidak hanya untuk barng impor tetapi juga untuk barang ekspor. Kemerosotan nilai gulden pada tahun 1920 hanya menjadi 1/3 nilai pada tahun 1913. Keadaan itu menguntungkan usaha perkebunan behwa permintaan terhadap komoditas imporberkurang sehingga mulai terjadi pertambahan barang ekspor. Sedikit banyak keadaan ini mempengaruhi derasnya aliran penanaman modal asing di Hindia belanda. Penambahan penanaman modal asing setiap tahunnya dapat dilihat pada table dibawah ini:
Tabel 2.1
Perkembangan nilai investasi asing di hindia belanda 1925-1939
Tahun Nilai
($ juta) Tahun Nilai
($ juta) Tahun Nilai
($ juta)
1925 33 1930 73 1935 5
1926 19 1931 41 1936 7
1927 14 1932 37 1937 14
1928 42 1933 59 1938 7
1929 24 1934 99 1939 10

Secara grafik dapat terlihat pada gambar berikut ini:
 
Gambar 2.1
Perkembangan nilai investasi asing di hindia belanda 1925-1939

Tampak bahwa aliran modal asing tidak terpengaruh oleh depresi tahun 1930 an karena tidak ada penurunan yang signifikan. Hindia Belanda masih tetap menarik untuk modal internasional, tetapi kmungkinan besar modal yang dating adalah dari negeri Belanda. Sector pertambangan bergeming pada masa krisis itu dan industri manufaktur justru memperoleh momentumnya. Penurunan terjadi ketika gejolak politik mulai melanda eropa akibat invasi Jerman. 
Perkiraan komposisi investasi asing di bidang industri hindia belanda hanya tersedia untuk modal yang berasal dari belanda. Dari keseluruhannya, investasi perkebunan menyita hampir setengahnya (45%), sedangkan perminyakan adalah seperlimanya. Kegiatan-kegiatan ini dikembangkan untuk melayani kepentingan belanda dalam perekonomian colonial yang meliputi bank-bank ertanian, pengangkutan, dan pekerjaan umum yang merupakan 90% dari investasi belanda. Meskipun investasi negeri belanda dalam bidang manufaktur merupakan komponen penting dalam kemunculan industri baru, sector itu hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan.
Kemudian di era Orde Baru, investasi punya landasan hukum dan birokrasi yang memadai. Adanya UU PMA dan UU PMDN serta BKPM yang dibantu oleh unsur departemen teknis sebenarnya merupakan hal positif pada masa itu. Tetapi masalahnya adalah bahwa faktor pemerintah dalam menginvestasi secara langsung semakin menjadi faktor yang menurun kemampuannya. 
Nampaknya tak ada cara lain kecuali semakin mengefisien dan efektifkan aparatur negara bekerja dalam hubungannya dengan tugas-tugas pembangunan, korupsi, inefisiennsi, pemborosan, dan manipulasi di sana-sini haruslah segera dikikis habis. Suatu iklim investasi yang baik hanya akan dicapai bila kalangan swasta benar-benar merasakan bahwa mereka bukanlah “sapi perahan” belaka tapi unsur yang sah dan penting dalam proses pembangunan nasional. Untuk itu suatu peninjauan menyeluruh terhadap berbagai peraturan dan perijinan hendaknya dijadikan prioritas utama. (artikel 22 Oktober 1983 dalam Sjahrir. 1995)
Dalam menganalisis perkembangan PMA di Indonesia, ada dua hal mengenai investasi asing tersebut yang perlu dilihat secara bersamaan, yakni proyek-proyek PMA yang disetujui (approvals) dan yang telah atau sedang dilakukan (realized PMA). Data dari BKPM untuk periode 1967 hingga pertengahan 1996 menunjukan secara kumulatif bahwa jumlah proyek investasi langsung asal dalam negeri (PMDN) yang disetujui lebih rendah daripada PMA, tetapi nilai dolarnya lebih besar. Peningkatan PMA yang sangat pesat terutama periode 1990-1995, yang dapat diduga di satu pihak sebagai hasil dari deregulasi-deregulasi dan kebijaksanaan liberalisasi perdagangan luar negeri dan investasi (khususnya terhadap PMA) yang dilakukan pemerintah sejak kuartal pertama tahun 1980-an, dan di pihak lain sebagai respons dari investor-onvestor asing terhadap peningkatan pendapat rata-rata masyarakat dan pertumbuhan penduduk, khususnya kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan (dengan kata lain perkembangan domestik).

2.2.2 Perkembangan Investasi Swasta periode tahun 1967-1989
Penanaman modal oleh pihak swasta di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun seiring dengan situasi ekonomi di tanah air dan dunia internasional. Gairah investasi swasta manampakkan tanda-tanda menggembirakan mulai tahun 1980. Nilai investasi yang dimohonkan dan kemudian disetujui meningkat pesat sejak saat itu, terutama PMDN. Kemudian mulai tahun 1987 meningkat lebih pesat lagi. Data dapat terlihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.2
Persetujuan Investasi Swasta, 1967 - 1989
(PMDN dalam Rp miliar, PMA dalam US$ juta)
Tahun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Penanaman Modal Asing(PMA)
 Proyek Nilai Proyek Nilai
1967 - - 12 207,1
1968 26 38,0 35 264,4
1969 73 33,5 37 127,5
1970 176 112,6 83 166,8
1971 214 185,9 62 287,2
1972 268 185,9 47 163,0
1973 299 469,3 69 323,8
1974 134 170,2 53 542,4
1975 78 158,5 24 1.145,0
1976 75 22,4 22 221,0
1977 155 483,6 20 167,0
1978 188 678,8 23 207,1
1979 166 654,8 13 248,6
1980 159 2.817,3 20 1.074,4
1981 164 2.291,8 24 706,5
1982 205 3.616,0 31 2.416,9
1983 333 6.476,0 46 2.470,8
1984 145 2.109,0 23 1.096,9
1985 245 3.736,2 45 853,2
1986 315 4.411,5 93 847,6
1987 570 10.449,6 130 1.520,3
1988 843 14.201,8 145 4.410,7
1989 863 19.593,8 294 4.713,5
Sumber : BKPM dan indicator ekonomi, BPS

Secara grafik dapat terlihat pada gambar berikut ini yang menunjukan naik turunnya investasi periode 1967-1989.
 
Gambar 2.2
Persetujuan Investasi Swasta periode 1967 - 1989

Baik dalam pelita I maupun pelita II mayoritas penanaman modal tertuju ke sektor industri pengolahan. Selama pelita I persetujuan PMDN masih terpusat di Jawa. Baru sejak pelita II penyebaran ke luar pulau Jawa mulai terlaksana, terutama ke swasta. Walaupun demikian Jawa tetap dominan menyerap proyek-proyek PMDN dan PMA yang ada. Penanaman modal asing didominasi oleh investor-investor Jepang. Menjelang akhir pelita I meletus kerusuhan yang antara lain berbentuk perusakan produk-produk buatan Jepang dan unjuk rasa atas kedatangan perdana menteri kakuei Tanaka di Jakarta. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan peristiwa “Malari”, maksudnya 15 Januari 1974. Akan tetapi tidak mengendurkan semangat investor-investor Jepang untuk meningkatkan penanaman modal mereka di Indonesia dalam pelita II, bahkan dalam pelita-pelita berikutnya.
Selama pelita III, jumlah PMDN berkembang pesat, baik dalam hal jumlah proyek maupun nilai investasinya. Dalam pelita ini mayoritas PMA bukan berasal dari Jepang melainkan Luxemburg. Periode pelita ini merupakan satu-satunya kurun waktu sepanjang era PJP I dimana dominasi PMA yang disetujui bukan berasal dari jepang.

2.2.3 Perkembangan Investasi Swasta periode 1990 - Februari 2009
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memprediksikan pertumbuhan investasi 2009 mencapai 10,7-11,2 persen yang akan banyak disumbang oleh investor lokal. Untuk 2009 pertumbuhan investasi dalam negeri akan lebih tinggi karena investasi riil di 2009 banyak yang merupakan kelanjutan dari komitmen investasi pada 2005 dan 2006.
Selama 2008, realisasi investasi tumbuh sekitar 20,5 persen dibanding 2007. Total realisasi investasi 2008 mencapai Rp 154,19 triliun. Target 2008 sebelumnya hanya diperkirakan sebesar Rp 80,30 triliun. Investasi dalam negeri turun 41,6 persen dibanding 2007 menjadi Rp 20,36 triliun sedangkan penanaman modal asing tumbuh 43,8 persen dibanding 2007 atau mencapai 14,87 miliar dolar AS (Rp133,83 triliun).
Untuk mencapai target pertumbuhan investasi 10,7-11,2 persen itu BKPM memfokuskan promosi investasi pada tiga sektor yaitu energi, pangan dan infrastruktur. BKPM juga telah menyusun buku "Roadmap Investasi" yang akan dijadikan sebagai acuan/arahan promosi investasi dan pelayanan. Peta inilah yang akan membagi kira-kira berapa pertambahan dari komoditas dasar kita, energi dan pangan.
Contohnya investasi bidang penyulingan minyak bumi (refinery) akan menggerakkan 42 sektor terkait lainnya. Dengan investasi enam juta dolar AS akan menciptakan setidaknya 930 ribu tenaga kerja baru. (M. Lutfi dalam http://www.jakartapress.com/news/Iklim-Investasi-di-Indonesia-Akan-Meningkat.jp.htm). Diperkirakan tahun ini investasi akan didominasi sektor telekomunikasi, agribisnis dan infrastruktur. Target pertumbuhan investasi memang dipatok lebih rendah dari pencapaian 2008 mengingat ada pengaruh krisis ekonomi dan likuiditas perbankan yang sedang jelek.
Meski demikian, pertumbuhan realisasi investasi masih ada karena komitmennya telah dibuat sejak 2006 lalu. Jadi mungkin karena ada beberapa segmen yang menghambat bisa saja yang harusnya direalisaikan 2009 jadi molor, bisa di 2010. Tetapi meski fokus promosi investasi dilakukan pada tiga sektor yaitu pangan, energi dan infrastruktur namun tidak menutup kemungkinan untuk investor masuk ke sektor lainnya (Lucky Eko Wuryanto dalam http://www.jakartapress.com/news/Iklim-Investasi-di-Indonesia-Akan-Meningkat.jp.htm)









Tabel 2.3
Persetujuan Realisasi Investasi 1990-28 Feb 2009
 

.Catatan / Note :
1. Diluar Investasi Sektor Minyak & Gas Bumi, Perbankan, Lembaga Keuangan Non Bank, Asuransi, Sewa Guna Usaha, Pertambangan dalam rangka Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, investasi yang perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor, Investasi Porto Folio (Pasar Modal) dan Investasi Rumah Tangga / Excluding of Oil & Gas, Banking, Non Bank Financial Institution, Insurance, Leasing, Mining in Terms of Contracts of Work, Coal Mining in Terms of Agreement of Work, Investment which licenses issued by technical/sectoral agency, Porto Folio as well as Household Investment
2. Proyek : Jumlah Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan / Projects : Total of issued Permanent Licenses
3. Data sementara, termasuk Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan oleh daerah yang diterima BKPM sampai dengan 28 Februari 2009 /Tentative data, including Permanent Licenses issued by regions received by BKPM until February 28, 2009.

Secara grafik perkembangan realisasi investasi di Indonesia dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
 
Gambar 2.3
Persetujuan Realisasi PMDN 1990-Feb 2009

Untuk PMA dapat dilihat pada gambar berikut ini:
 
Gambar 2.4
Persetujuan Realisasi PMA 1990-Feb 2009
Dilihat dari tabel diatas persetujuan investasi dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2008 perkembangan investasi dari PMDN sangat berfluktuatif, hal tersebut dapat terlihat dari nilai PMDN dan PMA yang ditanamkan. Investasi terbesar dari PMDN adalah pada tahun 2007, dimana dengan jumlah proyek yang diizinkan sebanyak 159 didapat dana investasi sebesar Rp 34.878,7 miliar, sedangkan nilai investasi PMDN terendah adalah pada tahun 1994 dengan jumlah proyek yang diizinkan sebanyak 582 dana investasi yang didapat hanya sebesar Rp 12786,9 miliar. Sedangkan perkembangan investasi dari PMA yang terbesar adalah pada tahun 1993 karena dengan jumlah proyek yang diizinkan hanya sebanyak 183 dapat memperoleh dana investasi sebesar Rp 5653,1 miliar dan dana investasi PMA yang terkecil adalah pada tahun 2008 karena dengan jumlah proyek yang diizinkan sebanyak 1.138 hanya memperoleh dana investasi dari PMA sebesar Rp 14871,4 miliar.
 
2.2.4 Investasi dan Sektor Riil Pasca Krisis 1997
Pada tahun 1998 Indonesia mengalami hard landing, kebangkrutan masal. Hampir 20 juta tenaga kerja di PHK dan menglami pertumbuhan minus 18 persen, terburuk sepanjang sejarah ekonomi Indonesia. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau notabene bangkrut. Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan sehingga melahirkan gelombang besar PHK. Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Perbankan mengalami negatif spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana sektor riil. Disisi lain, sektor ekspor yang diharapkan menjadi sektor penyelamat ditengah krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar terhadap komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global. Selama periode januari – juni 1998 ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode 1997, sementara ekspor non migas hanya tumbuh 5,36 persen. Investasi PMA menurun drastis mencapai US$1,833.

Tabel 2.4
Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara Asean
(posisi Desember)
Negara 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Indonesia 2,4 -18,26 5,36 6,91 1,6 3,8 4,4 6,7 6,1 6
Malaysia 6,9 -8,1 10,6 6,5 -0,5 5,5 6,4 5,2 5,7 5,3
Singapura 7,4 -1,5 7,1 10,5 -0,7 2,6 4,9 6,5 8,7 6,6
Filiphina 4,7 -1,9 4,6 3,6 3,8 5,8 4,5 5,4 6,1 Na
Sumber: Bank Indonesia, diolah.

Data pada tabel 2.4 di atas menunjukkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara ASEAN. Tampak pada bulan Desember 1997 dampak krisis sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, bila dibandingkan dengan negara lain angka pertumbuhan menunjukkan nilai kecil, hanya 2,4. Selanjutnya setahun kemudian yaitu desember 1998 Indonesia mengalami penurunan yang luar biasa dibandingkan dengan malysia,Singapura dan Filiphina hingga mencapai 18,26. Sebetulnya pada tahun berikutnya angka pertumbuhan Indonesia meningkat cukup baik, bahkan pada tahun 2001 pertumbuhannya positif dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang negatif. Pada tahun 2006 pertumbuhan Malaysia lebih rendah dibandingkan Indonesia yaitu sebesar 5,3 dan Singapura berkisar 6. Bila dibandingkan dengan kenyataan yang ada yaitu kemajuan ekonomi antara Malaysia dan Indonesia, rasanya tidak pantas jika kita memiliki angka pertumbuhan yang lebih tinggi.

2.2.5 Kondisi Investasi tahun 2007
Dampak krisis 1997 dirasakan belum pulih, bahkan kondisi sepuluh tahun pasca krisis pemerintah belum dapat mencari solusi secara komprehensip. Sudah ada usaha-usaha yang dilakukan pemerintah untuk melihat secara komprehensip seluruh permasalahan yang ada di negeri ini dengan mengeluarkan Inpres No. 6/2007 tentang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Tetapi masih perlu menunggu keseriusan dan konsistensi dalam penerapannya, mengingat berbagai kebijakan yang dikeluarkan secara parsial sebelumnya sebenarnya memiliki substansi yang hampir sama. Artinya semua sudah mengetahui apa permasalahan, penyebab, dan solusinya hanya pada saat implementasi tidak berjalan mulus. Penyebab tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi salah satunya disebabkan oleh sulitnya menarik investor serta belum bergeraknya sektor riil. Pada tahun 2007 data BKPM menunjukkan terjadinya kenaikan nilai investasi dibandingkan tahun 2006 seperti ditunjukkan pada tabel 2.4 berikut ini:

Tabel 2.5
Perbandingan Nilai Investasi PMA dan PMDN 2006 dan 2007
 1 Jan-31 Mei 2006 1 Jan-31 Mei 2007 RASIO / Ratio (%)
 PMA PMDN PMA PMDN PMA PMDN
Realisasi Investasi (dalam US$ juta) 3.136.6 10.467.4 3.706,0 18.616.9 118,1 177,8
Realisasi Penggunaan Tenaga Kerja (PMDN) 37.783 orang/person 48.692 orqng / person 128.8
Realisasi Penggunaan Tenaga Kerja (PMA) 114.114 orang / person 69.123 orang / person 60,6
Sumber : BKPM

Berdasarkan data nilai investasi tersebut, sektor yang diminati untuk PMDN dan PMA terdapat perbedaan seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.5

Tabel 2.6
Ranking Realisasi Investasi 2007 Menurut Sektor
PMDN PMA
Sektor % Nilai Sektor % Nilai
Industri Kertas Dan Percetakan 29,3 Rp 5,450,3 M (5 Proyek) Industri Kimia dan Farmasi 41,1 US$ 1.524,0 Juta (19 Proyek)
Industri logam,Mesin dan Elektronik 17,7 Rp 3.295,8 M (9 Proyek) Industri Kertas dan Percetakan 10,6 US$ 394,5 Juta (4 Proyek)
Industri Makanan 16,5 Rp 3.075,8 M (10 Proyek) Industri Makanan 7,1 US$ 263,9 Juta (28 Proyek)
Tanaman Pangan dan Perkebunan 11,1 Rp 2.062,1 M (8 Proyek) Pertambangan 6,9 US$ 255,3 Juta (10 Proyek)
Konstruksi 7,6 Rp 1.411,3 M (1 Proyek) Perdagangan dan Reparasi 5,9 US$ 220.0 Juta (122 Proyek)
Sumber : Bank Indonesia, diolah

Empat sektor yang diminati untuk PMDN dan PMA memiliki ranking yang berbeda. Tetapi daerah yang menjadi tujuan investasi ada perbedaan untuk PMA dan PMDN kecuali DKI Jakarta dan Jawa Barat yang mana baik PMA maupun PMDN memiliki minat yang sama. Daerah lainnya untuk tujuan investasi PMDN yang menonjol adalah Jambi, Sulawesi Tenggara, DKI Jakarta, Riau dan Jawa Barat. Sedangkan untuk PMA Jawa timur, DKI Jakarta, Riau, Jawa Barat dan Banten. Adapun investasi yang menonjol berdasarkan negara adalah dari Amerika Serikat,Singapura, Malaysia, Inggris dan Thailand. Keadaan ini sebenarnya dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk terus berupaya mempertahankan dan meningkatkan sektor atau industri agar dapat tumbuh dan berbagai komoditas hasil perkebunan yang menguasai pasar dunia seperti cacao, kelapa sawit, dan sebagainya dan secara perlahan-lahan akan mati akibat keterlambatan penerapan strategi bersaing.( Ina Primiana Sagir dalam Suharsono Sagir, 2009:622-627) 
Berikut tabel peringkat realisasi PMA dari berbagai Negara, yaitu:
Tabel 2.7
Peringkat Realisasi PMA, 1 Januari - 28 Februari 2009
 

Dapat dilihat dari tabel diatas bahwa Negara yang paling banyak berinvestasi di Indonesia adalah Negara Seychel dengan proyek yang diizinkan hanya sebanyak 2 proyek, tetapi investasi yang diberikan sebesar US$ 316,7 juta sedangkan Negara yang paling sedikit berinvestasi di Indonesia antara lain ialah Negara Selandia baru, Polandia, dan Filipina yang masing-masing Negara tersebut hanya memberikan investasi sebesar US$ 0,2 juta dengan 1 proyek yang diizinkan. Secara keseluruhan jumlah investasi yang diterima adalah sebesar US$ 1.970,9 pada 1 Januari-28 Februari 2009.
Secara garis besar perkembangan realisasi PMA di Indonesia berdasarkan peringkat Negara, menurut sector adalah sebagai berikut:
Tabel 2.8
Perkembangan Realisasi PMA Berdasarkan 5 Besar Peringkat Negara Menurut Sektor, 1 Januari - 28 Februari 2009
 
CATATAN / Note :
1. Diluar Investasi Sektor Minyak & Gas Bumi, Perbankan, Lembaga Keuangan Non Bank, Asuransi, Sewa Guna Usaha, Pertambangan dalam rangka Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, Investasi yang perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor, Investasi Porto Folio (Pasar Modal) dan Investasi Rumah Tangga / Excluding of Oil & Gas, Banking, Non Bank Financial Institution, Insurance, Leasing, Mining in Terms of Contracts of Work, Coal Mining in Terms of Agreement of Work, Investment which licenses issued by technical/sectoral agency, Porto Folio as well as Household Investment.
2. P : Jumlah Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan / Total of issued Permanent Licenses
3. I : Nilai Realisasi Investasi dalam US$. Juta / Value of Direct Investment Realization in Million US$.
4. Data sementara, termasuk Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan oleh daerah yang diterima BKPM sampai dengan 28 Ferbruari 2009 / Tentative data, including Permanent Licenses issued by regions received by BKPM until February 28, 2009.

Secara grafik dapat dilihat perkembangan realisasi PMA di Indonesia berdasarkan peringkat Negara menurut sector dibawah ini:

 
Gambar 2.5
Perkembangan Realisasi Investasi Menurut Sektor, 2006-Feb 2009

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa negara asing banyak menginvestasikan modalnya dalam bidang pertambangan, konstruksi, perdagangan dan reparasi, industri kendaraan bermotor dan transportasi lainnya. Sedangkan untuk penanaman modal dalam negeri, dibagi menjadi tiga kelompok yaitu sektor primer, sektor sekunder dan sektor tersier. Dan para investor dalam negeri lebih banyak menanamkan modalnya dalam sektor sekunder yaitu industri makanan, dan tidak kalah banyak juga pada sektor primer yaitu pada tanaman pangan dan perkebunan.
Secara total investasi PMDN maupun PMA yang ada di Indonesia dari 1967 sampai 28 Februari 2009 adalah sebagai berikut:

Tabel 2.9
Total Investasi periode 1967-28 Februari 2009
Investasi Proyek Nilai
PMDN 10659 (Rp. Miliar)
367780.5
PMA 10944 (US$. Juta)
426037.7

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa jumlah proyek paling banyak dimiliki oleh PMA begitu pun dengan nilai secara keseluruhan, PMDN hanya sebesar Rp. 367.780,5 Miliar sedangkan PMA sebesar US$. 426.037,7 Juta.

1.3 Peranan Investasi Asing di Indonesia
2.3.1 Peranan Modal Asing
Memang investasi, khususnya investasi langsung (jangka panjang), sangat penting bagi bagi salah satu motor penggerak pembangunan ekonomi. Di dalam teori-teori pembangunan ekonomi, peranan investasi itu dibahas dalam model-model pertumbuhan seperti misalnya Robert Solow, Rostow dan Harrod-Domar. Di dalam model-model tersebut, tabungan dalam negeri merupakan satu-satunya sumber pembiayaan kebutuhan investasi. Sayangnya di banyak negara yang sedang berkembang (LDCs), khususnya dari golongan negara miskin, sumber tersebut sangat terbatas. Oleh karena itu banyak LCDs harus bergantung pada modal asing, baik dalam bentuk pinjaman, bantuan atau investasi langsung (PMA).
Masalah yang sama juga dihadapi oleh Indonesia. Karena tabungan nasional pada saat itu sangat kecil atau praktis tidak ada, sedangkan kebutuhan dana untuk investasi sangat besar untuk membiayai proses pembangunan ekonomi yang kondisinya waktu itu sangat porak-poranda, peninggalan rezim Orde Lama, maka pemerintahan Orde Baru sejak berdirinya segera menerapkan kebijaksanaan ekonomi terbuka (outward looking policy) terhadap investasi dari luar. Sejak itu arus modal asing terus mengalir ke Indonesia yang jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya. Hingga menjelang pertengahan tahun 1980-an, modal asing yang masuk masih didominasi oleh investasi langsung atau penanaman modal asing (PMA) dan pinjaman luar negeri (terutama pinjaman pemerintah). Baru seteleh pemerintah melakukan deregulasi di sekitar keuangan/perbankan yang dimulai sejak awal tahun 1980-an, yang antara lain membuat sektor tersebut, termasuk pasar modal, berkembang dengan pesat, arus modal swasta jangka pendek dari luar negeri mulai mengalir ke dalam negeri. Sejak itu hingga menjelang munculnya krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang lalu, jumlah modal asing jangka pendek bertambah terus setiap tahun dalam jumlah yang semakin besar.
Sebenarnya tujuan-tujuan dari deregulasi tersebut juga untuk meningkatkan tabungan nasional, sehingga lambat laun ketergantungan ekonomi nasional terhadap modal asing, khususnya utang luar negeri (ULN) dapat dikurangi. Sayangnya, hingga krisis ekonomi terjadi, tabungan nasional walaupun tumbuh terus setiap tahun belum mampu membiayai sepenuhnya kebutuhan investasi di dalam negeri. Kalai dibandingkan dengan negara-negara maju, paling tidak ada tiga alasan kenapa pertumbuhan tabungan nasional relatif lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan investasi di dalam negeri, yakni (1) kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya menabung (saving behaviour) pada semakin dominannya modal asing jangka pendek di dalam negeri karena semakin terbukanya sistem perekonomian Indonesia dan kebijaksanaan-kebijaksanaa pemerintah selama periode Orde Baru dikatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi di umumnya masih rendah; (2) Kemampuan menabung yang sangat mendukung perkembangan jenis modal asing tersebut, termasuk kebijaksanaan-kebijaksanaan perbankan, pasar modal dan perdagangan valuta asing. Dan dari sebagian besar masyarakat masih kecil karena pendapatan masyarakat Indonesia rata-rata rendah; dan (3) Sistem perbankan nasional dengan segala macam infrastruktur pendukungnya masih relatif under-develoved, walaupun sudah mulai berkembangpesat sejak pertengahan tahun 1980.
Akibatnya, Indonesia sangat bergantung pada modal asing, dan yang parah bukan dalam bentu PMA melainkan utang luar negeri dan modal jangka pendek. Salah satu kemungkinan Indonesia adalah karena terlalu tergangtungnya ekonomi nasional terhadap modal asing, khususnya modal jangka pendek (portofolio investment), yang setiap saat dapat lari ke luar, dan Utang Luar Negeri (ULN). Andaikan ketergantungan Indonesia selama itu (sebelum krisis terjadi) lebih banyak pada PMA, bukan pada modal asing jangka penedek atau ULN, mungkin ekinomi Indonesia tidak akan mengalami krisis seperti sekarang ini. Kalau memang itu idealnya, maka pertanyaan sekarang adalah apakah di masa yang akan datang PMA akan menggantikan peranan ULN atau modal jangka pendek untuk membiayai investasi di dalam negeri?(Sjahrir, 1995: 89-91)

2.3.2 Perkembangan Arus Modal Masuk Periode 1985-1994
Secara garis besar, arus modal neto (arus modal masuk (capital inflows)-/- arus modal keluar (capital outflows)) yang masuk ke Indonesia selama periode 1985-1995 meningkat cukup besar. Net Capital Inflow mencapai nilai 110 miliar dolar AS, yang dimiliki sebagian oleh pemerintah dan bagian lainnya oleh swasta. Pemerintah menyumbangkan arus modal masuk sebesar 5,4 miliar dolar AS, sedangkan arus modal keluar sebanyak 6,2 miliar dolar AS, sehingga menciptakan defisit dalam arus modal asing sebanyak 0,8 miliar dolar AS. Arus modal asing yang dimiliki modal swasta sebanyak 20,9 miliar dolar AS, dengan pemasukan dalam bentuk Foreign Direct Investment (PMAinvestasi jangka pendek) sebesar 8.6 miliar dolar AS, investasi jangka pendek (portofolio investment atau portofolio equity) dalam bentuk saham dan obligasi sebanyak 1.7 miliar dolar AS. Ini artinya, porsi terbesar dalam arus modal masuk masih dalam bentuk arus modal jangka pendek yang terutama ditujuka untuk pembelian SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan SPBU (Surat Berharga Pasar Uang) maupun dalam bentuk deposito berjangka (Indrawati, 1997). Komposisi modal asing yang masuk ke Indonesia seperti ini sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian Indonesia, khususnya dari aspek eksternalnya seperti gejolak nilai rupiah atau dolar AS setiap saat (Indrawati dalam Sjahrir, 1997). 
Dalam hal utang luar negeri, masalah ini sebenarnya tidak hanya dihadapi oleh Indonesia tetapi juga oleh banyak negara yang sedang berkembang lainnya, terutama negara-negara Amerika Latin, afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Bahkan beberapa negara industri Amerika Serikat (AS) juga mempunyai Utang Luar Negeri yang besar, terutama dari pemerintah Jepang (lewat pembelian obligasi pemerintah AS). Hanya saja bedanya dengan negara-negara sedang berkembang yang mempunyai utang luar negeri yang besar, ekonomi AS kuat, baik dalam arti likuiditas maupun solvabilitas, sehingga walaupun jumlah utang luar negerinya besar hal itu tidak akan menjerumuskan negara adidaya itu ke krisis utang luar negeri atau kebangkrutan.
Berikut data mengenai arus modal asing neto dan komposisinya pada periode 1985-1994 dapat dilihat dibawah ini:
Tabel 2.10
Arus Modal Asing Neto Dan Komposisinya: 1985-1994
(juta dolar AS)
No Komposisi 1985-1989 1990-1994
1 ULN Jangka Panjang (tidak termasuk IMF) yang dimiliki oleh sektor swasta dan sektor pemerintah. 2343.0 3516.8
2 Investasi Jangka Panjang (PMA) 442.2 1693.0
3 Investasi Jangka Pendek 39.8 1187.8
4 Grants (tidak termasuk bantuan teknis) 176.4 255.8
 TOTAL 3001.4 6653.6
Sumber: Indrawati (1997)

Secara grafik mengenai arus modal asing neto dan komposisinya dapat dilihat dibawah ini:

 


Gambar 2.6
Arus Modal Asing Neto Dan Komposisinya: 1985-1994


Kemudian secara kawasan nilai jumlah utang luar negeri dapat dilihat pada table dibawah ini:

Tabel 2.11
Jumlah Utang Luar Negeri LCDs Menurut Kawasan dan Kategori: 1994-1996 (miliar dolar AS)
No Negara 1994 1995 1996
1 Afrika 268,2 283,4 282,0
2 Asia 586,8 664,6 729,6
3 Eropa da Timur Tengah 277,0 289,5 290,1
4 Amerika Latin 576,5 628,7 654,3
   
I. LCD secara keseluruhan 1.708,5 1.866,2 1.956,0
II. LCD kredit neto 46,9 50,1 56,5
III. LCD pengutang neto 1.661,6 1.816,1 1.899,5
IV. LCD yang mengalami kesulitan membayar utang 800,3 859,2 880,5
V. LCD yang tidak mengalami kesulitan membayar utang 861,3 956,9 1.019
Sumber: Depkeu (1998), Jakarta
Dapat dilihat dari table di atas bahwa secara keseluruhan pada tahun 1996 memiliki nilai LCD yang sangat besar jika dibandingkan dengan tahun 1994 maupun 1995. Begitu pula mengenai LCD kredit neto, pengutang neto, yang mengalami kesulitan membayar utang dan yang tidak mengalami kesulitan dalam membayar utang.

2.3.3 Arus PMA ke Negara Sedang Berkembang (LDCs)
Data sekunder dari lembaga-lembaga Internasional seperti Bank Dunia, UNDP, UNCTAD, dan hasil dari studi-studi menunjukan bahwa dalam dekade 1980-an hingga saat ini perkembangan PMA ke LDCs sangat pesat. Tahun 1995, dibandingkan ke negara-negara industri maju (DCs), arus PMA ke LDCs hampir mencapai 100 miliar dollar AS. Dengan arus PMA keluar yang mencapai 47 miliar dollar AS, maka arus masuk netto ke LDCs pada tahuntersebut mencapai 52,7 miliar dollar AS, lebih besar daripada arus netto PMA pada tahun 1994 yakni 48,4 miliar dollar AS. Dibandingkan dengan tahun 1993 dan 1994, laju pertumbuhan arus masuk PMA pada tahun 1995 lebih rendah. Selama periode 1993-1995, pangsa LDCs untuk arus PMA turun dari 35 % pada tahun 1993 menjadi 32 % pada tahun 1995.
Khususnya ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia, arus modal masuk dalam bentuk PMA sangat pesat, yang terutama disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut yang tinggi, dan liberalisasi perekonomian dalam negeri serta kebijaksanaan ekonomi di negara-negara tersebut yang sangat menarik minat investor-investor asing untuk menanam modal mereka di Asia (Yusof , 1997). Dengan perkiraan arus masuk PMA sebesar 65 miliar dollar AS atau sekitar seperlima(1/5) pada tahun 1995, negara-negara Asia adalah penerima terbesar PMA sekitar 2/3 dari jumlah PMA ke LDCs masuk ke Asia. 
Tabel 2.12
Arus Masuk dan Keluar PMA di LDCs dan DCS, 1983-1995
Tahun DCs LDCs Semua Negara
 Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar
 Volume (miliar dolar AS)
1983-1987 58.7 72.6 18.3 4.2 77.1 76.8
1988-1992 139.1 193.3 36.8 15.2 177.3 208.5
1993 129.3 192.4 73.1 33.0 207.9 225.5
1994 132.8 190.9 87.0 38.6 225.7 230.0
1995 203.2 270.5 99.7 47.0 314.9 317.8
 Pangsa dari total (%)
1983-1987 76 95 24 5 100 100
1988-1992 78 93 21 7 100 100
1993 62 85 35 15 100 100
1994 59 83 39 17 100 100
1995 65 85 32 15 100 100
 Laju Pertumbuhan (%)
1983-1987 37 35 9 24 29 35
1988-1992 -4 3 15 16 1 4
1993 13 6 45 52 24 11
1994 3 -1 19 17 9 2
1995 53 42 15 22 40 38
Sumber: UNCTAD (1996)
Dalam konteks ASEAN, data terakhir menunjukan bahwa walaupun PMA dalam nilai absolut di dalam kelompok ekonomi tersebut meningkat selama ini, pangsa ASEAN dari total PMA menurun. Ada beberapa hal menyangkut perkembangan arus masuk PMA ke ASEAN. Pertama, laju pertumbuhan rata-rata arus masuk netto PMA pertahun pada setengah tahun pertama dalam periode 1990-an lebih tinggi dibandingkan pada setengah tahun kedua dalam periode 1980-an. Kedua, karena laju pertumbuhan arus masuk netto PMA ke negara-negara lain, khususnya China, sangat pesat, pangsa ASEAN dari total arus masuk PMA ke LDCs menurun dari sekitar 35,5 % pada tahun 1990 ke hampir seperlima (19,6%) pada tahun 1995. Pada tahun 1993, arus masuk PMA ke China sebesar 27, 5 miliar dollar AS melebihi yang masuk ke ASEAN, yakni sebesar 14,2 miliar dollar AS. Atau, pada tahun 1994, arus masuk PMA ke China telah melewati 30 miliar dollar AS, sedangkan ke negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Indonesia, dan Fhilipina masih lebih rendah daripada 5 miliar dollar AS. Ketiga, pengalaman masing-masing negara anggota ASEAN dalam hal arus modal PMA berbeda, sehingga penurunan pangsa ASEAN sebagai persentase dari jumlah arus PMA ke LDCs juga berbeda antara negara-negara tersebut. 

2.4 Permasalahan Investasi di Indonesia
2.4.1 Iklim Investasi Di Indonesia 
• Perizinan di Indonesia, pemodal harus menghabiskan waktu 224 hari. Biaya minimal yang dikeluarkan 364,9% dari PDB per kapita dan modal minimum yang dihabiskan 97,8% dari PDB per kapita.
• Korupsi yang merebak di mana-mana, di berbagai level. Untuk memperlancarkan proses perizinan, pemodal terpaksa menyerahkan sejumlah uang. Tidak jarang, setelah menerima uang, permintaan pemodal tidak segera diselesaikan. 
• Regulasi di Indonesia dinilai sangat lemah dan ini nyaris mencakup semua aspek. Sebutlah regulasi di bidang perpajakan, ketenagakerjaan, perizinan, kepemilikan properti, investasi, dsb. Regulasi yang lemah menyebabkan ketakpastian hukum dan dalam ketakpastian hukum pungutan liar dan berbagai tindak korupsi merajalela.
• Tarif pajak yang terlalu tinggi, jenis pajak yang terlampau banyak, pajak berganda (double taxation), dan posisi petugas pajak yang terlampau tinggi. Sistem perpajakan di Indonesia sama sekali tidak mencerminkan kesetaraan antara wajib pajak dengan petugas pajak.
• Peraturan ketenagakerjaan juga terlampau memberatkan pemodal. Pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan uang pesangon meski si pekerja dipecat lantaran tindak kriminal atau pelanggaran berat. Tidak heran bila Indonesia tertinggi dalam soal biaya untuk mem-PHK karyawan, yaitu mencapai 145 gaji mingguan.
• Masalah buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah terasa semakin parah sejak pelaksanaan otonomi daerah. Buruknya koordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat juga diungkapkan oleh Astuti dan Astono (2007: 21) berdasarkan pengamatan mereka selain itu pemerintah, khususnya pemerintah daerah, kerap kali membuat kebijakan yang menabrak aturan yang telah dibuat. Mereka pula yang memersepsikan setiap kebijakan menjadi berdeda-beda ketika dilaksanakan oleh pengusaha di lapangan.

2.4.1.1 Kebijakan Pemerintah mengenai iklim investasi.
• Untuk menarik minat investor, peraturan ketenagakerjaan memang tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak, tapi membuat regulasi yang benar dan harus diusahakan pemerintah, adalah peraturan ketenagakerjaan yang menguntungkan semua pihak. Menguntungkan pekerja, pengusaha, dan konsumen.
• Pemerintah bisa membentuk tim ahli untuk mempelajari berbagai regulasi di negara-negara maju seperti di Eropa, AS, dan Jepang. Juga regulasi di negara-negara Asia yang sudah mencapai tahapan kemajuan lebih baik dibanding Indonesia namun memiliki karakteristik yang hampir sama dengan Indonesia. Hanya dengan sedikit modifikasi, Indonesia akan memiliki regulasi yang baik di berbagai bidang.
• Perbaikan iklim investasi (PMK No.60/04/2005), pemerintah memberikan kemudahan bagi para investor di pulau batam, Bintan, Karimun, selain memperbaiki iklim investasi, fasilitas yang dimaksud untuk memberikan kepastian berusaha. Fasilitas tersebut diantaranya kemudahan prosedur dalam berinvestasi dalam bidang perizinan pendirian kawasan berikat, kemudahan prosedur kepabeanan fasilitas perpajakan dan fasilitas perdagangan. (Hendra Halwani, 2005:459)
• Dalam membahas atau mengidentifikasi masalah perizinan penanaman modal di Indonesia, ada tiga hal yang perlu dipahami, yaitu: 
- Izin investasi tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu paket dengan izin-izin lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kegiatan usaha atau menentukan untung rugi suatu usaha. 
- Perlu dilakukan mengenai masalah koordinasi oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus tegas bahwa koordinasi nasional mengenai penanaman modal di Indonesia adalah BKPM, walaupun sekarang ini dalam era otonomi daerah, Pemda punya hak mengaturnya di lapangan, seperti yang tercantum dalam pasal 1 no. 11 baba 1 (ketentuan umum) dari UU PM No.25/2007 sebagai berikut: otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan msyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
- Pemerintah pusat membantu sungguh-sungguh upaya pemerintah daerah dalam menyederhanakan proses perizinan penanaman modal di daerah. Walaupun ada sejumlah daerah, seperti Jepara dan Jogjakarta, telah berhasil membuat pelayanan satu atap, tetapi masih lebih banyak lagi daerah yang bahkan sama sekali tidak tahu bagiman memulai pembangunan satu atap.juga di daerah-daerah yang sama sekali tidak ada kesamaan visi dari lembaga-lembaga pemerintah, ditambah lagi tidak ada keseriusan bupati, sangan sulit diharapkan daerah-daerah tersebut bisa membangun pelayan satu atap. 

Tiada solusi lain untuk membuka lapangan pekerjaan selain memperbaiki iklim investasi. Hanya dengan iklim investasi yang kondusif, para pemodal, dalam dan luar negeri, berani menanamkan modalnya. 
(http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/WBI/WBIPROGRAMS/ICLP/0,,contentMDK:20741014~isCURL:Y~menuPK:461190~pagePK:64156158~piPK:64152884~theSitePK:461150,00.html)  
2.4.1.2 Upaya Menciptakan Iklim Investasi Yang Kondusif
Menciptakan iklim investasi yang kondusif sebenarnya merupakan conditio sine qua non bagi Indonesia, dalam menghadapi krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak 11 Juli 1997 dalam era globalisasi, dimana terjadi arus lalu lintas barang, jasa, modal, hak cipta, intelektul (iptek) bebas masuk tanpa hambatan. Sebagai negara berkembang yang mengalami krisis ekonomi berlanjut kita membutuhkan “payung” undang-undang atau peraturan yang menjamin terjadinya proses pundamental ekonomi makro kuat bersasaran Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, didukung perluasan kesempatan kerja, perkembangan harga dan nilai tukar stabil, neraca pembayaran favorable (ekspor lebih besar dari impor) sektor moneter (perbankan) dan fiskal (keuangan negara) prudent (hati-hati), dan sehat. 
Menjelang krisis ekonomi 11 Juli 1997, bulan April 1997 Bank Dunia telah memberikan ‘warning” (peringatan) yang cukup keras (World Bank Report on Indonesia) berupa rekomendasi kebijakan ekonomi: 
1. Memperkuat kondisi makroekonomi stabil, terutama terjaminnya pertumbuhan ekonomi tinggi, yang didukung oleh perluasan kesempatan kerja dan perkembangan harga stabil, tidak terganggu oleh inflasi dan depresiasi.
2. Dipacunya simpanan masyarakat di Bank, hingga cukup dana untuk investasi dalam negeri (PMDN) berkurangnya kesenjangan tabungan-investasi (saving gap)
3. Perlunya tata kelola institusi moneter (Bank) dan birokrasi pemerintah yang efektif dan efisien (Good Governance) dijauhkan dari moral hazard.
4. Perlu program peningkatan kualitas SDM, agar kompeten, profesional dan kompetitif, siap memasuki era globalisasi.
5. Perlu meningkatkan kemampuan daya saing global, terutama terkait dengan komoditas ekspor non-migas (atau manufaktur) dan mampu bersaing terhadap barang impor.

Baik berupa UU yang tiap tahun disahkan DPR (UU APBN)/kebijakan fiskal maupun UU yang terkai dengan kebijakan moneter, yang berkali-kali dekeluarkan disertai peraturan pemerintah sebagai petunjuk pelaksanaan atau surat edaran dari Bank Indonesia sebagai Bank Sentral atau otoritas moneter, dalam kebijakan moneter; masa Orde Baru (1967-1998) maupun Orde Reformasi (1998-2006) dengan empat presiden (Habiebie, Gusdur, Megawati dan SBY) belum pernah ada kebijakan publik yang notabene dilakukan berdasarkan UU yang disahkan secara konsisten dan konsekuaen, tanpa perubahan atau amandemen pada saat UU atau kebijakan publik (public policy) diimplementasikan.
Bagaimana menciptakan iklim yang kondusif agar arus investasi kembali mengalir ke Indonesia; bai investasi langsung PMA maupun modal dalam negeri yang parkir di luar negeri (kasus BLBI/1997) merupaka upaya pemerintah (SBY) melalui instruksi presiden RI, no.3/27 Februari 2006, yang masih perlu disiapkan UU atau peraturan berupa paket kebijakan perbaikan iklim investasi yang meliputi:
I. Memperkuat kelembagaan pelayanan investasi
• Mengubah UU penanaman modal
• Mengubah peraturan yang terkait dengan penanaman modal
• Revitalisasi Tema Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi
• Percepatan perizinan kegiatan usaha, penanaman mopdal serta pembentukan perusahaan
• Sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah: jangan sampai PERDA menghambat investasi

II. Penataan Kembali Kepabeanan Dan Cukai
• Percepatan arus barang
• Percepatan pemrosesan kargo
• Pengembangan Peranan Kawasan Berikat (Bounded Warehouse)
• Pemberantasan Penyelundupan.
• Debirokratisasi dalam Kebijakan Cukai

III. Penataan Kembali Perpajakan.
• Insentif Perpajakan untuk investasi
• Pemberian fasilitas pajaj penghasilan untuk bidang usaha tertentu.
• Menurunkan tarif pajak daerah yang berpotensi menaikan harga/jasa.
• Melaksanakan “self assesment” secara konsisten
• Mengubah pajak pertambahan nilai untuk promosi ekspor
• Meningkatkan daya saing ekspor jasa
• Meningkatkan daya saing produk pertanian
• Melindungi hak wajib pajak
• Mempromosikan transparasi dan disclosure

IV. Penataan Kembali Ketenagakerjaan
• Menciptakan iklim hubungan industrial yang mendukung perluasan kesempata kerja
• Mengubah peraturan pelaksanaan UU nomor 13/2003 tentang ketenagakerjaan
• Perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri
• Penyelesaian berbagai perselisihan hubungan industrial secara cepat, murah, berkeadilan
• Mempercepat proses penerbitan perizinan ketenagakerjaan
• Penciptaan pasar tenaga kerja fleksibel dan produktif
• Terobosan paradigma pembangunan transmigrasi dalam rangka perluasan kesempatan kerja

V. Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi
• Pemberdayaan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi/ UKMK
• Penyehmpurnaan peraturan yang terkait dengan perizinan bagi UKMK 
• Pengembangan Jasa Konsultasi bagi industri Kecil dan Menengah.
• Peningkatan akses UKMK kepada sumber daya finansial dan sumber daya produktif lainnya.

2.4.2 Kesenjangan realisasi investasi
Masalah yang timbul dalam percaturaninvestasi swasta di tanah air bukan semata-mata persoalan ketimpangan sektoral dan regional, akan tetapi juga masalah kesenjangan antar rencana yang disetujui dengan realisasi investasinya. Banyak factor bias dikemukakan untuk menjelaskan sebab-sebab rendahnya tingkat realisasi investasi swasta, diantaranya:
- Factor yang bersifat subjektif-internal, artinya berkaitan dengan situasi perekonomian di dalam negeri Indonesia sendiri, termasuk keadaan si calon investor. Misalnya gejala ekonomi biaya tinggi di tanah air, Seringkali calon investor harus mengeluarkan ongkos ekstra yang tidak sedikit akibat semua itu. Penyebab lain ialah rendahnya kapasitas si calon investor. Kemampuan modal sendirinya kurang memadai bagi investasi yang direncanakan.
- Faktor yang bersifat objektif-eksternal, yakni berkaitan dengan konstelasi perekonomian internasional atau dunia pada umumnya. Misalnya berupa lebih menariknya investasi di luar negeri daripada di dalam negeri. Baik karena hasil balik yang lebih besar di luar negeri, ataupun karena fasilitas atau kemudahan berinvestasi di sana, atau karena kemudahan dan kemurahan sumberdaya di Negara lain(misalnya bahan baku dan tenaga kerja). 

2.4.2.1 Kebijakan pemerintah tentang kesenjangan realisasi investasi.
Sebenarnya pemerintah telah banyak berupaya meningkatkan investasi riil di Indonesia. Terakhir adalah dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi 2008-2009 yang tertuang dalam inpres no. 5 tahun 2008 tentang fokus program ekonomi 2008-2009. Pada akhir Februari 2006, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan investasi dalam bentuk inpres no 3 tahun 2006. Paket kebijakan perbaikan iklim investasi itu mencakup lima aspek yaitu: 
1. Bidang umum, termasuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi, sinkronisasi peraturan daerah dan pusat, dan kejelasan ketentuan mengenai kewajiban amdal; 
2. Bidang kepabean dan cukai, termasuk percepatan arus barang, pengembangan peranan kawasan berikat, pemberantasan penyelundupan, dan debirokratisasi di bidang cukai; 
3. Perpajakan, termasuk insentif perpajakan untuk investasi, melaksanakan sistem “melakukan pengkajian sendiri” secara konsisten, revisi pajak pertambahan nilai untuk mempromosikn ekspor, melindungi hak wajib pajak, dan mempromosikan transparansi dan “disclosure”; 
4. Ketenagakerjaan yang mencakup penciptan iklim hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan tenaga kerja, perlindungan, dan penempatan TKI di luar negeri, penyelesaian berbagai perselisihan hubungan industrial secara cepat, murah dan berkeadilan, mempercepat proses penerbitan perizinan ketenagakerjaan, penciptaan pasar tenaga kerja fleksibel dan produktif, dan terobosan paradigma pembangunan transmigrasi dalam rangka perluasan lapangan kerja;
5. Bidang usaha kecil, menengah dan koperasi.

Adanya bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing (Keppres No. 118 tahun 2008). Aturan ini dibuat dalam rangka menghadapi perkembangan ekonomi global untuk mewujudkan perekonomian nasional yang kokoh, dengan memberikan kesempatan pada dunia usaha untuk melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia. Adapu 8 bidang usaha yang tertutup bagi PMA antara lain: sector kehutanan dan perkebunan (Benih plasma nutfah, hak pengusahaan hutan alam, kontraktor dalam pembalakan hutan), sector perhubungan (angkutan taksi/bus, pelayaran rakyat), sector perdagangan (jasa perdagangan), sector penerangan (penyiaran radio dan TV. perfilman). Sementara itu bidang usaha yang terbuka bagi PMA meliputi 9 sektor, di antaranya: pembangunan dan pengusahaan pelabuhan, produksi, transmisi, distribusi tenaga listrik, serta pelayaran, pengolahan dan penyediaan air bersih, kereta api umum, pembangkit tenaga listrik.
Penyederhanaan peraturan di bidang penanaman modal berlanjut terus sepanjang tahun 1990-an. Pada bulan April 1992 keluar peraturan pemerintah No. 17 Tahun 1992. Isinya khusus menyangkut upaya-upaya untuk lebih memikat lagi penanaman modal asing. Peraturan yang dikenal sebagai ketentuan “disinvestasi” ini mengatur antara lain:
• Investor asing dapat mendirikan perusahaan patungan dengan ketentuan modal minimal US$ 1 juta dan 20% yang membutuhkannya atas ijin dirjen. Perdagangan luar negeri atau kakanwil setempat saham nya dimiliki oleh mitra Indonesia, tapi dalam 20 tahun setelah berproduksi pangsa modal Indonesia harus ditingkatkan menjadi sekurang-kurangnya 51%.
• Pembukaan kesempatan penanaman modal asing 100% bersyarat. Adapun syaratnya adalah modal minimal US$ 50 juta dan berlokasi di kawasan Indonesia timur, Bengkulu atau Jambi; atau berlokasi di kawasan berikat dengan hasil produksi seluruhnya untuk ekspor; lalu dalam waktu 5 tahun setelah produksi komersial 5% sahamnya wajib dialihkan kepada pihak Indonesia. Selanjutnya untuk PMA 100% yang berdiri di kawasan berikat, dalam waktu 20 tahun 20% sahamnya harus dialihkan menjadi milik pihak Indonesia.

Paket 10 Juli 1992 ini mengatur 10 bidang. Dua bidang menyangkut impor, sedangkan 8 bidang berkaitan dengan investasi atau produksi, yaitu:
• Impor mesin, peralatan mesin dan barang modal lainnya dalam keadaan bekas dapat diimpor sendiri oleh perusahaan; atau melalui PT Dharma Niaga, Kerta Niaga, Mega Eltra, Pantja Niaga atau Tjipta Niaga. Sebelum deregulasi, hanya persero niaga tertentu saja yang boleh mengimpornya.
• Rencana penggunaan tenaga kerja asing tidak lagi memerlukan rekomendasi dari departemen teknis. Ijin perpanjangan yang sebelumnya hanya dikeluarkan oleh departemen tenaga kerja di Jakarta dilimpahkan ke kanwil. Depnaker, untuk non-PMA/PMDN, ke BKPMD untuk PMA dan PMDN, serta cukup ke kanwil. Depparpostel untuk tenaga kerja di hotel dan restoran.
• Daftar negative investasi, yang dalam kebijaksanaan tahun sebelumnya tercantum 60 macam, dikurangi lagi menjadi 51 macam. Ini ditetapkan dengan keppres. No. 32/Tahun 1992.
• Hak guna usaha dapat diberikan kepada PMA patungan untuk jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, serta dapat dijadikan jaminan. Ketentuan ini ditetapkan dengan keppres. No. 14/Tahun 1992. Dalam keputusan presiden No. 23/tahun 1980 HGU hanya diberikan kepada mitra Indonesia dari perusahaan patungan.
• Penerbitan peraturan Menteri Dalam Negeri tentang rencana tapak tanah dan tata tertip pengusahaan kawasan industry, serta prosedur pemberian IMB dan Undang-undang Gangguan/HO di kawasan industry. Kedua hal ini tercantum dalam Keppres. No. 33/Tahun 1992, kemudian di atur lebih lanjut dengan peraturan menteri dalam negeri No. 5 dan No. 7/Tahun 1992, serta peraturan kepala badan pertahanan nasional No. 3/Tahun 1992.
• IMB di kawasan industry diberikan langsung oleh Bupati/kepala daerah tingkat dua dalam waktu 7-14 hari kerja. Ijin UUG/HO perusahaan terkait dengan ijin UUG/HO kawasan industry, diberikan juga oleh kepala daerah dalam waktu 32 hari kerja. Sebelumnya, belum ada ketentuan tentang IMB dan UUG di kawasan industry.
• Pelayanan IMB dan ijin UUG diperlakukan sama intuk perusahaan PMA/PMDN maupun yang non-PMA/PMDN. IMB diberikan oleh Bupati/walikota dengan waktu yang lebih cepat.
• Pengaturan mengenai ijin lokasi dan perolehan tanah dikeluarkan oleh kepala badan pertahanan nasional. Sebelumnya, hal tersebut di atur oleh menteri dalam negeri untuk PMA/PMDN dan oleh masing-masing daerah untuk non-PMA/PMDN.

2.4.2.2 BKPM dan Peraturan Investasi
Pada tahun-tahun awal menjalankan tugasnya, BKPM (badan koordinasi penanaman modal) banyak dikeluhkan oleh para penanam modal baik asing maupun domestic. Keluhan umumnya berkisar masalah terlalu berbelit-belitnya prosedur investasi yang harus ditempuh sehingga membuat mereka menjadi tidak tertarik. Pemantapan institusional dalam rangka merangsang penanaman modal diiringi dengan berbagai ketentuan di bidang peraturan dan perundang-undangan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan investasi pada umumnya berkisar dimasalah pengaturan penguasaan saham; prosedur perijinan; penggunaan tenaga kerja; kaitan dengan peningkatan ekspor; keringanan pajak; serta ketentuan mengenai sector atau bidang usaha yang boleh (masih terbuka) dan tidak boleh (sudah tertutup) untuk dimasuki oleh investasi baru. Perihal terakhir, pemerintah mengumumkannya melalui sebuah daftar bernama daftar skala prioritas (DSP, sebutannya dulu) atau daftar negative investasi (DNI, sebutannya kini).
Daftar skala prioritas mulai dirasionalisasi pada tahun 1989, melalui keputusan presiden No. 21 Tahun tersebut, jumlah bidang usaha yang dinyatakan sudah jenuh berkurang menjadi hanya 75 macam. Dua tahun kemudian, melalui Keppres. No. 23/1991 daftar negative investasi dirasionalisasikan lagi, jumlah bidang usaha yang dinyatakan sudah tertutup bagi investasi baru tinggal 60 macam. Pengurangan-pengurangan DNI dimaksudkan agar peluang investasi lebih terbuka, agar investor tertarik menanam modal di bidang-bidang yang sebelumnya sudah dinyatakan tertutup.
Sejak terjadi krisis ekonomi (Juli 1997) telah mengalami empat kali penggantian presiden, masalah Capital Short Age untuk investasi demi perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan nasional tanpa gangguan inflasi, depresiasi, defisit APBN yang makin meningkat dan sektor perbankan yang tidak kunjung sehat, belum dapat terselesaikan karena semuanya masih diatur denga terbitnya UU atau peraturan yang selalu tertinggal atau ketinggalan.
Untuk menutup defisit APBN yang berkepanjangan; jelas-jelas tidak mungkin dengan cara menaikan harga BBM (untuk menekan subsidi/Pengeluaran Ruti APBN) toh terus dilakukan oleh presiden pengganti Suharto; demikian pula prinsip yang telah digariskan dalam GBHN (sejak 1986) bahwa utang luar negeri untuk menutup defisit, bersifat sementara (tidak permanen) dan bersifat pelengkap, disertai tekat makin lama makin berkurang baik absolut maupun rationya tidak pernah dilaksanakan. Hutang luar negeri terus bertambah/membengkak-bukan sebagai pelengkap, untuk belanja pembangunan, tetapi juga penutup defisit belanja rutin- itupun belum mencukupi sehingga sejak masa Gusdur, menutup defisit APBN bertambah dengan penerimaan dari penjualan aset da privatisasi BUMN.
Dalam kebijaksanaan moneter-atas petunjuk IMF (letter of intent) telah terbit UU nomor 10/ 1998 pasal 8 ayat1, yang menyatakan bahwa “Dalam memberikan kredit atau pembiayan berdasarkan prinsip Syariah, Bank wajib mempunyai keyakinan berdasar analisis yang mendalam atas iktikad, kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sedsuai dengan yang diperjanjikan (akad kredit) masih tetap dilanggar, tanpa adanya sangsi/hukuman baik untuk Bank (karena kurang hati-hati, melanggar ketentuan: character, capacity, capital, colateral, condition, atau C5 debitor) maupun bagi debitor karena melakukan kebohongan/pelanggaran dalam studi kelayakan yang diajukan untuk memperoleh kredit (kasus terakhir Bank Mandiri, yang akhirnya diputus bebas bagi direksinya, Nelu cs, sedang untuk debitor belum ada keputusan hakim). 
Untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, dari dalam negeri (PMDN) maupun luar negeri (PMA) kita perlu menatap kembali kebijakan fiskal (APBN) dan kebijakan moneter, agar benar-benar mampu menciptakan kondisi ekonomi makro yang sehat dan dinamis (pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dalam kondisi stabil, bebas inflasi dan depresiasi).
Investasi akan masuk ke indonesia, jika kita berhasil: menciptakan kondisi ekonomi domestik kuat, financial kuat(tidak tergantung pada utang;utang luar negeri benar-benar pelengkap), sektor bank sehat dan prudent, tatakelola efektif dan efisien (good governance), SDM kompeten dan kompetitif, sarana dan prasarana prima; dan komunitas Indonesia memiliki unggulan daya saing di pasar luar negeri.(Suharsono Sagir dalam Kapita Selekta Perekonomian Indonesia, 2009).
Pada tahun 2007, beberapa langkah kebijakan yang telah diambil pemerintah untuk menarik investor sebenarnya sudah lebih dari cukup, tetapi kenyataannya belum menunjukan hasil. Kebijakan tersebut antara lain:
a. Pada tahun 2004 pemerintah pusat melalui BKPM telah mengeluarkan berbagai kebijakan investasi.
b. Pada tanggal 25 April 2007 dikeluarkan UU penanaman modal nomor 25 tahun 2007.
c. Pada tanggal 12 Juni 2007, pemerintah telah menerbitkan instruksi presiden (inpres) nomor 6 tahun 2007 tentang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
d. Membuat kesepakatan yang selama ini masih digodok ditingkat menteri antara pemerintahan Iindonesia dan pemerintahan singapura untuk mendirikan kawasan khusus (KEK) di batam, bintan dan karimun dengan memberikanbebrbagai kemudahan atau insentif.

2.4.3 Beberapa Kecenderungan Ekonomi Dunia
1. Tahun 1992 tercatat sebagai tahun dimana resesi ekonomi masih melanda dunia. Pertumbuhan ekonomi di Jepang dan Jerman belum menunjukkan gejala yang menggembirakan. Amerika Serikat sendiri memang terlihat mulai bangkit, tetapi belum mampu untuk mengkompensasi kondisi resesi ekonomi dunia.
2. Kondisi tingkat bunga yang tinggi akibat Tight Money Policy di Jerman dacn Jepang tampaknya memang menjadi salah satu sebab mengapa pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut melambat. 
3. Terbentuknya blok-blok perdagangan regional. Di Eropa kita kenal EC, kemudian di amerika kita kenal NAFTA, sedangkan untuk ASEAN juga mulai dilakukan usaha untuk merealisasikan AFTA. Terbentuknya blok perdagangan ini tentu saja membawa akibat pada bergesernya pola perdagangan bilateral menjadi perdagangan intra dan antar blok. 
4. Begesernya pola investasi dunia. Bila pada periode 1970-an kita kenal sikap dari banyak negar berkembang yang tidak ramah terhadap modal asing, maka dalam dekade terakhir ini tampaknya hal tersebut mulai hilang. Dan muncul fenomena bahwa negara berkembang kemudian berlomba-lomba untuk menarik investasi asing. Sehingga dalam dekade terakhir ini kita kenal ungkapan capital carries no flag.
Kebijakan dalam hal ekonomi dunia:
 
2.4.3.1 Kebijakan Pemerintah terhadap kecenderungan dunia.
 Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas sat ini selain kerjasama dalam bentuk BFTA atau EFA, membentuk suatu kawasan bebas (FTZ) atau kawasan ekonomi khusus (KEK) juga merupakan salah satu cara yang popeler untuk meningkatkan ekspor dan investasi. Dengan fasilitas-fasilitas khusus di harapkan pembentukan suatu FTZ atau KEK disuatu wilayah akan menarik banyak investor untuk menanam modalnya di FTZ tersbut yang selanjutnya akan meningkatkan ekspor dari wilayah tersebut pada khususnya dan negar bersngkutan pada umumnya. 
Selain mengembangkan FTZ, pemerintah juga mengembangkan sejumah kawasan ekonomi khusus KEK. Untuk KEK pemerintah akan memberikan tambahan insentif yang lengkap. Menurut pemerintah desain untuk menarik investor asing jauh lebih lengkap dalam konsep KEK dibandingkan FTZ. Salah satu keunggulan yang akan dikembangkan di KEK adalah 7 zona eksklusif yang dapat dibangun sesuai klasifikasinya, yakni pengolahan ekspor, technopark, logistik, industri, pariwisata, jasa keuangan, dan olah raga. Setiap zona pasti akan mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan klasifikasinya, misalnya industri-industri yang ada di zona pengolahan ekspor akan mendapatkan keringanan bea keluar yang lebih besar dibandingkan dengan zona lainnya. 
Tentu KEK atau FTZ akan berhasil dikembangkan apabial memiliki keunggulan dalam jaring distribusi global, selain tentu tergantung faktor-faktor lain, seperti kualitas SDM, kebijakan-kebijakan ekonomi makro, maupun kebijakan sektoral, dan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), diwilayah bersangkutan yang kondusif dalam arti mendukung pelaksanaan KEK atau FTZ, dan keunggulan-keunggulan komparatif lainnya yang dimiliki oleh KEK atau FTZ. Ada dua masalah utama yang juga harus ditangani secara serius yang hingga saat ini oleh FTZ yang bersifat mendasar dan sekaligus merupakan syarat utama dari keberhasilan suatu KEK atau FTZ. (Tambunan, 2009)

2.4.4 Arus Masuk Modal Asing Jangka Pendek
Besarnya arus modal asing jangka pendek ke Indonesia selain dekade 1980-an hingga krisis terjadi disebabkan antara lain oleh:
1. Tingkat suku bunga pinjaman maupun deposito (dalam nilai nominal maupun riil) di Indonesia selama periode tersebut terlalu tinggi dibandingkan dengan di negara-negara industri maju, bahkan tertinggi di dunia. 
2. Pemerintah terlalu lama mempertahankan rezim nilai tukar tetap (pegged floating), dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS selama itu terlalu overvalued, dengan laju depresiasi rata-rata per tahun hanya 5 persen.
3. Kesamaan penyebab krisis di Amerika Latin dengan di Indonesia adalah rapuhnya sistem perbankan dengan strategi investasi yang buruk yang ditujukan dengan banyaknya pinjaman dalam bentuk portofolio yang tidak dapat ditagih (Harberger, 1997)
4. Defisit saldo transaksi berjalan yang besar setiap tahun yang membuat semakin banyaknya modal asing yang masuk, terutama dalam bentuk pinjaman, yang memang sangat diperlukan untuk membiayai defisit eksternal tersebut. 
5. Banyaknya pembelian saham-saham dari perusahaan-perusahaan nasional oleh investor-investor asing juga sebagai salah satu pendorong arus modal asing jangka pendek membanjiri Indonesia. 

2.4.4.1 Kebijakan Pemerintah mengenai arus modal asing
 Dalam hal ULN, tentu usaha utama yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan ekspor dari produk-produk dimana Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetititf yang tinggi, yakni terutama produk-produk agroindustri. Tentu dalam pemilihan produk-produk ekspor andalan, selain memperhatikan faktor-faktor keunggulan tersebut, perlu juga diperhatikan bahwa produk-produk ekspor yang akan dikembangkan adalah produk-produk yang selain memiliki nilai tambah yang besar juga memiliki harga pasar dunia yang stabil dan prospek permintaan dunia yang bagus. Dalam waktu yang bersamaan, impor khususnya barang-barang konsumsi, modal, dan pembantu harus dikurangi secara bertahap dala suatu kurun waktu yang pasti. Untuk maksud ini, perlu dikembangkan industri-industri di dalam negeri yang membuat produk-produk tersebut, tidak dengan proteksi seperti halnya yang pernah dilakukan terutama pada era 1970-an (import substitution policy), tetapi berdasarkan faktor-faktor keunggulan komparatif dan kompetitif yang ada.
Sedangkan, untuk mengurangi ketergantungan pada investasi asing jangka pendek perlu ditingkatkan tabungan nasional. Untuk maksud itu, selain pendapatan riil masyarakat perlu ditingkatkan, perlu juga dikembangkan sektor perbankan/keuangan, termasuk pasar modal yang baik dengan struktur yang kuat dan mekanisme pelaksanaannya yang efisien, yang didukung oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi (khususnya moneter) yang menciptakan iklim menabung dan investasi di dalam negeri yang kondusif. 
Di sektor keuangan, untuk mendorong bergeraknya sektor usaha atau sektor riil, Bank Indonesia harus menurunkan BI rate hingga mencapai 8.25, tetapi ini juga belum mendorong perbankan untuk segera menyalurkan dananya ke sektor produktif tetapi masih ke sektor konsumtif yang resiko macetnya rendah serta menyimpannya di SBI. Saat ini tampak rupiah menjadi komoditas perdagangan, lepas dari sektor riil. Kondisi ini berdampak pada berkurangnya pelayanan publik yang diberikan pemerintah pada rakyat, biaya hidup semakin tinggi, sementara tingkat GNP malahan semakin turun dan berada di bawah rata-rata sebelum krisis yang menambah jumlah masyarkat miskin. Selain itu, banyak kekayaan negara (telekomunikasi dan perbankan) yang berpindah tangan ke pihak swasta asing juga menjadi fenomena yang terjadi akhir-akhir ini.
Untuk menggairahkan kegiatan investasi dan pelayanan investasi, pemerintah menawarkan konsep pelayanan satu atap. Kegiatan investasi pelayanan satu atap ini lahir dengan keluarnya keppres no. 29 tahun 2003. Lahirnya keppres tersebut dilatarbelakangi suasana euforia UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Desentralisasi disemangati secara berlebih, sehingga daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) mengeluarkan berbagai Perda pajak dan retribusi daerah, yang pada akhirnya memberatkan dunia usaha dan investasi. 
Mungkin upaya pemerintah meningkatkan investasi riil di dalam negeri mencapai klimaksnya pada saat UU penanmn modal no. 25/2007 diterbitkan. Dalam pasal 4-nya, perintah menetapkan kebijakn dasar penanaman modal untuk: 
(a) Mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional;
(b) Mempercepat peningkatan penanaman modal. 

UU PM No.25 tahun 2007 dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek penting (termasuk soal pelayanan, kordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan dan sektor-sektor yang bisa dimasuki oleh investor) yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/ investor. Dua di antara aspek-espek tersebut berpengaruh positif terhadap kegiatan penanaman modal, diantaranya yaitu: 
o Bab 1 pasal 1 no. 10 mengenai ketentuan umum: pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyehlenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Memang membangun sistem pelayanan satu atap tidak mudah, karena sangat memerlukan visi yang sama dan koordinasi yang baik antar lembaga-lembaga pemerintah yang berkepentingan dalam penanaman modal (Tambunan, 2007).
o Bab 3 pasal 4 no.2b mengenai kebijakan dasar penanaman modal: Menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum yang tidak ada di Indonesia sejak berlalunya era orde baru sering dikatakan sebagai salah satu penghambat investasi, khususnya PMA di dalam negeri. 

Pemerintah sengaja membuat undang-undang tentang modal asing dengan persyaratan yang amat ringan mengingat pada saat itu investasi diperlukan sekali untuk membantu memulihkan perekonomian dalam negeri yang porak poranda. Dalam UU No.1/tahun 1967 antara lain ditetapkan:
• Penanaman modal dibebaskan dari pajak deviden serta pajak perusahaan selama lima tahun; keringanan pajak perusahaan PMA sebesar lebih dari 50% selama lima Tahun; ijin untuk menutup kerugian-kerugian perusahaan sampai periode sesudah tax holiday itu; dan pembebasan penanaman modal asing dari bea impor atas mesin serta perlengkapan dan bahan baku.
• Jaminan tidak akan dinasionalisasikannya perusahaan-perusahaan asing dan kalaupun dinasionalisasi akan diganti rugi.
• Masa operasi PMA adalah 30 Tahun dengan perpanjangannya tergantung pada hasil perundingan ulang.
• Keleluasaan bagi penanam modal asing untuk membawa serta atau memilih personil manajemennya dan untuk menggunakan tenaga ahli asing bagi pekerjaan-pekerjaan yang belum bisa ditangani oleh tenaga-tenaga Indonesia.
• Kebebasan untuk mentransfer dalam bentuk uang semula (valuta asing) keuntungan dan dana penyusutan yang diperoleh dari penjualan saham yang disediakan bagi orang-orang Indonesia.
• Sector-sektor atau bidang usaha yang dinyatakan tertutup bagi modal asing, yaitu meliputi pekerjaan umum (seperti pelabuahan dan pembangkit tenaga listrik); msdia massa; pengangkutan (palayaran dan penerbangan); prasarana; serta segala industry yang berhubungan dengan kegiatan produksi untuk keperluan pertahanan Negara.

Undang-undang yang berisi 13 bab dan 31 pasal ini, di undangkan per 10 Januari 1967, kemudian dilengkapi dengan UU No. 11/Tahun 1970. Undang-undang penyempurnaan ini lebih merinci lagi berbagai kelonggaran dalam bidang perpajakan bagi PMA. UU No. 6/Tahun 1968 tentang PMDN berintikan pemberian sejumlah kemudahan dalam bidang perpajakan dan kredit kepada para penanam modal dalam negeri. Undang-undang ini pun kemudian disempurnakan, yakni dengan UU No. 12/Tahun 1970, tetapi perundangan tersebut sudah jauh berbeda dengan perundangan-perundangan pemerintah sekarang yang sudah disesuaikan dengan perkembangan jaman. 
Dari uraian di atas maka diperlukan langkah bersama, nyata, terukur, dan tidak bisa ditunda. Kelesuan perekonomian yang sudah berlangsung lama harus segera diakhiri. Indonesi sudah tertinggal dengan hampir semua negara ASEAN. Kuncinya adalah kebersamaan, keseriusan dan konsistensi untuk mengakhiri ini semua. Adanya dua visi yaitu visi yang dibuat oleh pemerintah (2005-2025) dan visi 2030 yang dibuat oleh Indonesia forum dapat berdamapak dua yaitu memberikan arah yang lebih pasti masa depan Indonesia 10 atau 20 tahun atau keadaan yang semakin buruk dari saat ini karena implementasinya yang tidak sesuai rencana. Seluruh perangkat kebijakan sudah tersedia hanya tinggal menjalankannya secara benar dengan penuh tanggung jawab dan konsisten. Pemerintah baik pusat, provinsi, kabupaten/kota saat ini memang harus kerja ekstra keras dan fokus untuk memperbaiki struktur perekonomian yang kuat. Harus ada skala prioritas, fokus, komprehensif dan berpihak kepada rakyat. 
Hal lain mempertegas kewenangan pusat dan daerah atau membuka pelayanan terpadu pusat didaerah untuk mempercepat dan mempermudah perizinan bagi investor. Hindari kebijakan yang berubah-ubah seperti pada saat Batam dijadikan Otorita Batam dengan memberikan berbagai keistimewaan dan selanjutnya setelah otonomi daerah keistimewaan tersebut dicabut. Ini salah satu contoh ketidakpastian hukum berinvestasi di Indonesia.
Iklim investasi di Indonesia akan semakin membaik jika pemerintah dapat memperbaiki 10.000 peraturan daerah (perda), yang menjadi penghambat penanaman modal oleh investor dalam negeri dan asing selama ini. Sepanjang tahun 2008, pemerintah hanya mampu memperbaiki 30 persen dari 10.000 perda yang menghambat laju investasi. (Teddy Reinier Sondakh, ANTARA News).

2.5 Strategi dan Regulasi Investasi di Indonesia
2.5.1 Strategi Investasi di Indonesia
(Rabu, 15 Oktober 2008 09:58 KB Finance )
Jakarta: Bagaimana strategi investasi di tengah kondisi krisis terkini? Investor Indonesia, layaknya investor Asia lainnya, ternyata masih cukup konservatif. Mereka umumnya tak mau mengambil investasi yang terlalu berisiko. Apa saja pilihan investasi orang Indonesia? Menurut survei dari ING Securities Indonesia, investor Indonesia selama triwulan III-2009 ternyata masih memilik investasi dalam bentuk uang tunai (95%) dan emas (76%). Sementara untuk periode triwulan IV-2008, hanya sedikit yang ingin berinvestasi dalam saham lokal. Bagaimana sisanya?
• Sebanyak 37% investor Indonesia mengatakan berminat untuk investasi pada uang tunai pada triwulan IV-2008
• 14% berminat untuk investasi sektor properti
• 29% berniat investasi emas
• 10% akan berinvestasi pada dana pensiun.
"Kami menganjurkan investor untuk tetap mempertahankan rencana investasi jangka panjang mereka ditengah gelombang pasar yang kita saksikan sekarang ini," kata Alan Harden, CEO ING Investment Management Asia/Pasifik dalam siaran persnya, Rabu (15/10/2008).
Ia mengaku tetap optimistis dengan kondisi ekonomi dan keuangan Asia, dan dalam jangka panjang pasar-pasar di Asia masih akan memiliki kinerja yang lebih baik ketimbang AS ataupun Eropa.
• Indeks Sentimen Investor
Sementara survei triwulanan ING menunjukkan, indeks sentimen investor di Asia turun hingga 39% ke posisi 86 di triwulan III-2008, dibandingkan posisi 141 di triwulan III-2008. Secara quarter to quarter, indeks ini juga turun 21%.
Untuk investor Indonesia, indeks juga menunjukkan penurunan hingga 7,5% dalam 12 bulan terakhir. Padahal pada triwulan III-2008, indeks sentimen investor Indonesia sempat naik 15% menjadi 123 pada triwulan III-2008.
Selain itu, mayoritas investor Indonesia juga masih khawatir terhadap inflasi, meski cukup banyak yang berpendapat angkanya akan turun pada triwulan IV-2008. Data juga menunjukkan bahwa masalah kelangkaan likuiditas dan perlambatan ekonomi AS mulai mempengaruhi sentimen investor.
• Sebanyak 54% keputusan investasi investor Indonesia mulai terpengaruh oleh ketatnya likuiditas pada triwulan III.
• 51% keputusan investasi lumayan terpengaruh oleh situasi ekonomi AS pada triwulan III.
"Sampai batasan tertentu, ekonomi domestik telah melindungi Indonesia dari dampak langsung kondisi global dan ekonomi domestik tertopang oleh kuatnya harga-harga komoditas sepanjang tahun ini," ujar Robert Scholten, Presdir ING Securities Indonesia.
Namun menurutnya, semakin bergejolaknya situasi dai AS, Eropa serta penurunan drastis di beberapa pasar Asia, menyebabkan sentimen investor lokal mulai menurun. Hal itu terlihat dari bergejolaknya pasar Indonesia 2 pekan belakangan ini sebagai reaksi pasar global.
"Memasuki triwulan terakhir 2008, kami melihat sentimen investor Indonesia akan terus menurun, seperti negara-negara Asia lainnya, investor Indonesia akan lebih memilik berinvestasi pada uang tunai, simpanan dan emas meskipun adanya potensi peningkatan di pasar saham," urai Scholten. (kilasberita.com/amz/dtc).
http://www.kilasberita.com/kb-finance/ekonomi-a-moneter/8174-strategi-investasi-orang-indonesia

• Sultan Hamengkubuwono X menawarkan ‘restorasi’ terhadap sejumlah kebijakan selama era reformasi yang dinilai merugikan bangsa Indonesia.
Sebagai salah seorang deklarator Ciganjur yang menuntut reformasi tahun 1998, dia merasa reformasi semakin menjauh dari cita-cita awal. “Kalau konstitusi menyatakan segala yang terkandung di dalam tanah udara, air dan sebagainya menjadi miliki negara, sekarang tak ada ketentuan yang megatur itu. Siapa pun boleh punya,” kata Sri Sultan kepada BBC baru-baru ini.
Akibat kebijakan tersebut, kata Sultan, kekayaan Indonesia dikeruk dan dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan asing tanpa memberikan nilai lebih bagi rakyat Indonesia, selain sebagai buruh.
Menurutnya, investasi asing perlu dikendalikan untuk memastikan investasi tersebut memberikan kontribusi bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dia berjanji akan mendorong perubahan undang-undang yang mengatur kekayaan negara tersebut, apabila terpilih menjadi presiden tahun 2009.
“Kenapa kita tidak bisa mengatakan, misalnya, bahwa semua transaksi yang terjadi pada penggundulan hutan, pada tanah yang digali, pada proses laut, harus dilakukan di bumi Indonesia dengan perbankan Indonesia. Kenapa kita tidak berani melakukan itu?”, tanya Sultan.
Selain itu, dia berencana menjadikan semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai strategi olah kreatif untuk menjadikan masyarakat rukun dan bersatu.
http://sxpriyan.wordpress.com/2009/01/21/sultan-ingin-ubah-strategi-investasi/

2.5.2 Regulasi Investasi di Indonesia
“Berhadapan dengan kepentingan investasi, posisi pemerintah dinilai lemah. Lemahnya posisi tawar itu diantaranya berdampak negatif pada persoalan sosial dan lingkungan. Pemerintah terkesan tidak tegas dan ”takut” saat berhadapan dengan investor.”
”Pemerintah tidak tegas dam jadi ketakutan ketika berhadapan dengan investor. Karena takut di-abritasekan, keluarlah peraturan pemerintah pengganti undang-undang( perpu) bagi 13 perusahaan di kawasan hutan lindung,” kata pemerhati lingkungan dan peneliti senior Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan (ICEL), Mas Achmad Sentosa, di Jakarta, awal pekan ini.
Misalnya, Perpu nomor 1 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 14/1999 tentang Kehutanan yang memungkinkan 13 perusahaan pertambangan beroperasi di hutan lindung. Turunannya adalah PP No.2/2008, yang mengatur jenis dan tarif atas permintaan negara bukan pajak dari alih fungsi hutan.
Posisi pemerintah semakin lemah karena negara asal investor asing menerapkan stándar ganda. Di satu sisi menolak kecerobohan, disisi lain membela investornya yang bermasalah di Indonesia. Ekonom dari Tim Indonesia Bangkit, Hendri Saparini, menyatakan, di tengah iklim investasi yang sedang “nervous” seperti saat ini, dampak negatif dari aktifitas ekonomi tak akan masuk pertimbangan penting. Yang penting, pertumbuhan ekonomi dahulu.
“Jangankan memberi regulasi investasi yang lebih ketat, untuk memberi arahan saja tidak ada”, ujarnya. Menurut Hendri, setiap departemen barangkali memiliki syarat-syarat terkait perlindungan sosial dan lingkungan. Namun implementasinya jauh dari ideal.
Mas Achmad menjelaskan, pengaturan ketat soal lingkungan dan perlindungan sosial dalam aktifitas ekonomi sebenarnya bukan halangan berinvestasi. Di negara maju-asal investor-investor asing-investasi terus tumbuh sekalipun persyaratan ramah lingkungannya jauh lebih ketat dibandingkan di Indonesia.
Ketidak jelasan seperti bidang penegakan hukum dan transparansi birokrasi itulah yang sebenarnya menjadi halangan, bukan soal syarat ketat pada aspek lingkungan,” kata dia. Hambatan lain, lanjut Hendri, adalah ketidak jelasan penataan dibidang investasi. Sementara itu, sebahagian besar investor terus menerus mengimpor bahan baku yang idealnya dikembangkan oleh pemerintah. Menurut Achmad, ”Pandangan bahwa pengetatan berbagai syarat berinvestasi itu sebagai hambatan patut diluruskan”. (GSA). (Sumber: Kompas, Jumat, 30 Mei 2008)
http://osscenter.net/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Itemid=2
YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah bakal merevisi berbagai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang selama ini dinilai belum ramah investasi. Pemerintah mendorong pengusaha dan pekerja berdialog intensif untuk mencari solusi dan formula yang efektif agar peraturan ketenagakerjaan yang ada mampu melindungi kedua pihak secara adil.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengungkapkan hal ini seusai meninjau lembaga kerja sama (LKS) bipartit dan pabrik I PT Sari Husada di Yogyakarta, Senin (2/11). Turut hadir, Wakil Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti, Presiden Direktur Sari Husada Budi Isman, Chusnunia selaku anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Depnakertrans Myra Maria Hanartani.
"Perlu ada aturan hukum yang kondusif agar tercipta hubungan industrial yang baik sehingga kesejahteraan karyawan pun meningkat. Penyempurnaan sistem perlindungan dan tata perundang-undangan harus terus dilakukan agar investor tertarik untuk masuk," kata Muhaimin.
Namun, pemerintah belum akan mengambil langkah proaktif untuk memulai penyempurnaan regulasi tersebut. Menakertrans memilih menunggu serikat pekerja dan asosiasi pengusaha membicarakan lebih rinci mengenai peta masalah ketenagakerjaan hasil rembuk nasional di Jakarta, pekan lalu.
Pemerintah ingin melakukan berbagai terobosan demi menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga dapat tercipta lebih banyak pekerjaan bagi 95,8 juta angkatan kerja. Pemerintah juga terus berupaya menekan pengangguran terbuka yang mencapai 9,2 juta orang.
Menurut Muhaimin, syarat utama menjaga hubungan industrial yang baik antara perusahaan dan karyawan adalah penghargaan terhadap komitmen dan memelihara komunikasi bipartit. Hal ini menjadikan hubungan industrial tidak hanya berfungsi mengembangkan perusahaan, tetapi juga meningkatkan investasi untuk mengurangi pengangguran.
Menurut catatan Kompas, polemik yang tak kunjung usai saat ini adalah soal pesangon dan sistem kerja kontrak dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kemudahan pendirian serikat pekerja menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan undang-undang yang berkait dengan jaminan sosial tenaga kerja. Pengusaha keberatan dengan pesangon senilai 32 kali upah dan serikat pekerja terus menolak sistem kerja kontrak.
Pemerintah pernah berupaya merevisi UU Nomor 13 Tahun 2003 pada akhir tahun 2005. Namun, rencana ini gagal karena ditolak pekerja. Sedikitnya 100.000 pekerja berunjuk rasa di Jakarta dan seluruh Indonesia menentang revisi tersebut bertepatan dengan hari buruh internasional pada 1 Mei 2006 (Mayday).
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Rekson Silaban mengatakan, serikat buruh siap saja berdialog, baik di forum bipartit, maupun tripartit nasional. Rekson menawarkan, solusi sistem kontrak kerja harus dihapus bila pemerintah ingin menurunkan nilai pesangon.
"Selama ini, pesangon menjadi pegangan bagi buruh jika sewaktu-waktu mereka terkena PHK. Kalau mau diturunkan, pemerintah harus menghapus sistem kerja kontrak yang semakin lama semakin parah dan tidak memberikan masa depan yang sejahtera bagi buruh," kata Rekson.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/11/02/21113013/Regulasi.yang.Hambat.Investasi.Bakal.Direvisi/all

 


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Investasi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh para penanam modal sebagai bentuk penanaman modal dalam bentuk barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi yang berfungsi untuk meningkatkan/menambah kemampuan memproduksi (produktivitas) barang-barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian dan diharapkan akan membawa keuntungan di masa depan. 
2. Menurut Sadono Sukirno (2003: 109) menyatakan bahwa tingkat investasi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: tingkat keuntungan investasi yang diramalkan akan diperoleh, tingkat bunga, ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa depan, perubahan dan perkembangan teknologi, tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya.
3. Perkembangan investasi di Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup tajam terhitung dari tahun 1967 sampai sekarang. Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi yang didorong oleh peningkatan investasi dan perluasan sektor industri. Akan tetapi pada pertengahan tahun 1997 sampai tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang parah dan berkepanjanagan sehingga menyebabkan penurunan investasi. Dampak krisis 1997 dirasakan belum pulih, bahkan kondisi sepuluh tahun pasca krisis pemerintah belum dapat mencari solusi secara komprehensip untuk memperbaiki dan meningkatkan investasi di Indonesia. Tetapi secara perlahan investasi di Indonesia mulai menunjukan peningkatan ditandai dengan meningkatnya penanaman modal oleh investor asing dan lokal di Indonesia.
4. Dalam perkembangannya, investasi di Indonesia mengalami kendala-kendala yang menyebabkan penurunan investasi, kendala tersebut antara lain sulitnya investor asing untuk menanamkan modalnya karena proses pelayanan perizinan yang berbelit-belit, selama beberapa tahun belakangan ini memang sering dikeluhkan oleh pengusaha karena pelayanan perizinan di Indonesia sebelum dan sesudah otonomi daerah membawa implikasi pada pungutan yang lebih besar dan biaya resmi. Biaya pungutan dan mekanisme prosedur perizinan ini merupakan biaya transaksi. Karena biaya transaksi terlalu tinggi dampaknya menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Selain itu ketimpangan investasi dan kesenjangan realisasi investasi menjadi kendala karena akan menyebakan ketimpangan pertumbuhan antar sektor.
5. Kebijakan pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan investasi di Indonesia salah satunya adalah dengan menawarkan konsep pelayanan satu atap. Kegiatan investasi pelayanan satu atap ini lahir dengan keluarnya keppres No. 29 tahun 2003. Lahirnya keppres tersebut dilatarbelakangi suasala euforia UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah. UUPM No.25 tahun 2007 dapt dikatakan sudah mencakup semua aspek penting (termasuk soal pelayanan, kordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan dan sektor-sektor yang bisa dimasuki oleh investor) yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/ investor.

3.2 Saran
Untuk mendorong lebih lanjut peningkatan investasi penanaman modal di Indonesia, perlu diciptakan iklim investasi dan usaha yang lebih menarik. Strategi kebijakan yang harus dilakukan perlu kiranya dipertimbangkan, pertumbuhan Investasi yang semakin pesat menunjukan bahwa potensi sumber pembiayaan asing ini relatif besar dan masih terbuka. Hal ini sejalan dengan kemampuan dan keunggulan yang dimiliki yang terbukti memberikan konstribusi bagi percepatan pembangunan di suatu negara.
Untuk mengurangi dampak negatif dari kehadiran PMA dan PMDN di Indonesia, maka Pemerintah Pusat dan Daerah perlu merevisi berbagai ketentuan-ketentuan yang melindungi kepentingan peliharaan kelestarian dan kualitas lingkungan hidup dan lingkungan alam. Perusahaan-perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut wajib menggantikan kerugian dengan jumlah penalti yang besarnya cukup untuk memperbaharui kerusakan-kerusakan yang dilakukan. Bagi para pengusaha lokal dan asing hendaknya perlu semakin sadar dan mulai menyisihkan anggaran yang memadai bagi terselenggaranya kesejahteraan masyarakat di sekitar pabrik dan lokasi usaha.


 

DAFTAR PUSTAKA

Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Jhingan, M L. 1996. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Muana, Nanga. 2001. Makro Ekonomi. Jakarta: PT Raja Persada Grafindo.
Suharsono, Sagir. 2009. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kencana Perdana Media Grup.
Samuelson, Paul A. dan Nordhaus, William D. (1997). Makro-Ekonomi, Edisi Keempatbelas. Jakarta: Erlangga
Sjahrir. 1995. Catatan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Adhiprint Indonesia
Sjahrir. 1995. Formasi Mikro-Makro Ekonomi Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.
Tulus, Tambunan. 1998. Krisis Ekonomi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI
Tulus, Tambunan. 2009. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
http://www.jakartapress.com/news/Iklim-Investasi-di-Indonesia-Akan Meningkat.jp.htm
http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/WBI/WBIPROGRAMS/ICLP/0,,contentMDK:20741014~isCURL:Y~menuPK:461190~pagePK:64156158~piPK:64152884~theSitePK:461150,00.html
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/11/02/21113013/Regulasi.yang.Hambat.Investasi.Bakal.Direvisi/all
http://www.kilasberita.com/kb-finance/ekonomi-a-moneter/8174-strategi-investasi-orang-indonesia
http://sxpriyan.wordpress.com/2009/01/21/sultan-ingin-ubah-strategi-investasi/
http://osscenter.net/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Itemid=2


Tidak ada komentar: