Halaman

Senin, 11 Januari 2010

PI_Nisa_C dab G

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sasaran pokok pembangunan khususnya dalam bidang ekonomi adalah penciptaan suatu pertumbuhan ekonomi. Perekonomian mengalami pertumbuhan bila perekonomian tersebut terus menerus tumbuh tanpa ada satu tahun pun mengalami penurunan. Kinerja suatu negara dapat dilihat dari kemampuan investasi untuk menciptakan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dan pendapatan nasional merupakan indikator yang digunakan untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu negara. PDB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara dalam periode waktu tertentu. Perhitungan PDB yang dilihat dari sisi pengeluaran membedakan pengeluaran menjadi empat komponen, yaitu konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, pembentukan modal sektor swasta (investasi), dan ekspor neto sehingga perubahan PDB akan sangat dipengaruhi oleh komponen tersebut di samping juga dari faktor lain. Pertumbuhan PDB kurun waktu 1980-2007 sangat fluktuatif, namun pertumbuhannya masih positif. Dari sisi pertumbuhan, baik pengeluaran rumah tangga atau masyarakat, maupun pengeluaran pemerintah juga berfluktuasi, tetapi masih tetap dalam kondisi pertumbuhan positif.
Pembangunan nasional merupakan proses pertumbuhan yang terencana dalam upaya untuk mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat di berbagai sektor. Pembangunan ekonomi suatu negara merupakan salah satu aspek dari pembangunan nasional pada hakikatnya merupakan serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas kesempatan kerja, pemerataan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan hubungan ekonomi regional, dan mengusahakan pergeseran aktivitas ekonomi dari sektor primer yang berbasis pertanian menuju sektor tersier yang berbasis jasa. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui perekonomian suatu daerah adalah Produk Domestik Bruto (PDB), baik secara nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota (BPS, 2006). Pertumbuhan ekonomi dicerminkan dari adanya perubahan PDB dari satu periode ke periode berikutnya, yang merupakan salah satu petunjuk nyata pembangunan suatu daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan keberhasilan implementasi kebijakan suatu daerah. Upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pemerintah menerapkan kebijakan ekonomi makro yang bertujuan untuk menciptakan kondisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kegiatan-kegiatan produktif untuk pelaku ekonomi.
Menurut Sukirno (2004) penghitungan PDB dengan cara pengeluaran membedakan pengeluaran barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu perekonomian menjadi empat komponen, yaitu konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, pembentukan modal sektor swasta (investasi), dan ekspor neto (ekspor–impor). Dengan demikian, pertumbuhan PDB akan sangat dipengaruhi oleh perubahan keempat komponen tersebut. 
Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah pembelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhannya untuk satu tahun tertentu atau dalam analisis makro ekonomi lebih sering disebut dengan konsumsi rumsh tangga. 
Pengeluaran pemerintah secara garis besar dikelompokkan menjadi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin pada dasarnya terdiri atas pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan roda pemerintahan sehari-hari, yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga barang), angsuran dan bunga utang pemerintah, serta sejumlah pengeluaran lain. Pengeluaran pemerintah dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah karena semua kegiatan pemerintah selalu membutuhkan pembiayaan yang bersumber dari berbagai penerimaan daerah. Oleh karena itu, kemampuan dan kesanggupan daerah dalam melaksanakan pembangunan ekonomi akan sangat ditentukan oleh berbagai sumber penerimaan daerah tersebut terutama dari pendapatan asli daerahnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.
1. Apa pengertian dari konsumsi dan fungsi konsumsi?
2. Bagaimanakah konsep pengeluaran konsumsi masyarakat dan pemerintah?
3. Apa akibat-akibat dari pengeluaran pemerintah dalam perekonomian?
4. Bagaimanakah pola perilaku konsumsi masyarakat?
5. Apa iIndikator pengeluaran pemerintah?
6. Bagaimanakah pola konsumsi masyarakat?
7. Bagaimanakah dimensi ketimpangan pengeluaran konsumsi?
8. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi?




















BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsumsi dan Fungsi konsumsi
2.1.1 Konsep Pengeluaran Konsumsi  
a. Pengertian Konsumsi 
Konsumsi adalah pembelanjaan barang dan jasa oleh rumah tanggga. “Barang” mencakup pembelanjaan rumah tangga pada barang tahan lama, seperti kendaraan dan perlengkapan, dan barang tidak tahan lama seperti makanan. “Jasa” mencakup barang yang tidak berwujud konkret, seperti potong rambut dan perawatan kesehatan. Pembelanjaan rumah tangga atas pendidikan juga dimasukan sebagai konsumsi jasa (walapun seseorng dapat saja berpendapt bagwa hal tersebut lebuh cocok berada di konponen selanjutnya), Mankiw (2006:11).
Konsumsi adalah nilai perbelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhannya dalam satu tahun tertentu, Sadono Sukirno (2004:38). 
Konsep konsumsi, yang merupakan konsep yang di Indonesiakan dari bahasa inggris ”Consumtion”. Konsumsi adalah pembelanjaan atas barangbarang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barangkebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang di produksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi. (Dumairy, 1996) Fungsi konsumsi adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan di antara tingkat konsumsi rumah tangga dalam perekonomian dengan pendapatan nasional (pendapatan disposebel) perekonomian tersebut. Fungsi konsumsi dapat dinyatakan dalam persamaan : 
Fungsi konsumsi ialah : C = a + bY
Dimana a adalah konsumsi rumah tangga ketika pendapatan nasional adalah 0, b adalah kecondongan konsumsi marginal, C adalah tingkat konsumsi dan Y adalah tingkat pendapatan nasional. Ada dua konsep untuk mengetahui sifat hubungan antara pendapatan disposibel dengan konsumsi dan pendapatan diposebel dengan tabungan yaitu kosep kecondongan mengkonsumsi dan kecondongan menabung. Kecondongan mengkonsumsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu kecondongan mengkonsumsi marginal dan kecondongan mengkonsumsi ratarata. Kencondongan mengkonsumsi marginal dapat dinyatakan sebagai MPC (berasal dari istilah inggrisnya Marginal Propensity to Consume), dapat didefinisikan sebagai perbandingan di antara pertambahan konsumsi (ΔC) yang dilakukan dengan pertambahan pendapatan disposebel (ΔYd) yang diperoleh. 
Nilai MPC dapat dihitung dengan menggunakan formula :
 
Kencondongan mengkonsumsi rata-rata dinyatakan dengan APC (Average Propensity to Consume), dapat didefinisikan sebagai perbandingan di antara tingkat pengeluaran konsumsi (C) dengan tingkat pendapatan disposebel pada ketika konsumen tersebut dilakukan (Yd). Nilai APC dapat dihitung dengan menggunakan formula :
 
Kecondongan menabung dapat dibedakan menjadi dua yaitu kencondongan menabung marginal dan kecondongan menabung rata-rata. Kecondongan menabung marginal dinyatakan dengan MPS (Marginal Propensity to Save) adalah perbandingan di antara pertambahan tabungan (ΔS) dengan pertambahan pendapatan disposebel (ΔYd). Nilai MPS dapat dihitung dengan menggunakan formula :
 
Kecondongan menabung rata-rata dinyatakan dengan APS (Average Propensity to Save), menunjukan perbandingan di antara tabungan (S) dengan pendapatan disposebel (Yd). Nilai APS dapat dihitung dengan menggunakan formula :
 
(Sadono Sukirno, 2003: 94-101)
b. Ciri-ciri Kegiatan Konsumsi  
Kegiatan konsumsi yang dilakukan manusia secara umum memiliki ciri-ciri, antara lain:
1. Barang yang dikonsumsi merupakan barang hasil buatan manusia.
Misalnya: sepeda motor atau mobil.
2. Barang yang dikonsumsi ditujukan langsung untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia. Misalnya: manusia mengkonsumsi (membeli) motor untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu sebagai alat transportasi dari rumah ke tempat kerja. 
3. Barang yang dikonsumsi akan habis atau akan mengalami penyusutan yang pada akhirnya barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Misalnya: manusia menggunakan motor sebagai alat transportasi, lama kelamaan nilai guna ekonomi dari motor tersebut akan berkurang
c. Penggolongan Barang dan Jasa untuk Konsumsi
Penggolongan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi terbagi atas:
1. Barang yang habis dalam satu kali pakai, misalnya makanan dan minuman.
2. Barang yang habis untuk beberapa kali pakai, misalnya pasta gigi, shampo, dan sabun cuci.
3. Barang yang habis dipakai dalam jangka waktu lama, misalnya rumah, motor, mobil.
2.1.2. Teori Konsumsi
2.1.2.1. Teori Konsumsi John Maynard Keynes
Dalam teorinya Keynes mengandalkan analisis statistik, dan juga membuat dugaan-dugaan tentang konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi casual. Pertama dan terpenting Keynes menduga bahwa, kecenderungan mengkonsumsi marginal (marginal propensity to consume) jumlah yang dikonsumsi dalam setiap tambahan pendapatan adalah antara nol dan satu. Kecenderungan mengkonsumsi marginal adalah krusial bagi rekomendasi kebijakan Keynes untuk menurunkan pengangguran yang kian meluas. Kekuatan kibijakan fiskal, untuk mempengaruhi perekonomian seperti ditunjukkan oleh pengganda kebijakan fiskal muncul dari umpan balik antara pendapatan dan konsumsi.
Kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan, yang disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (avarage prospensity to consume), turun ketika pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah kemewahan, sehingga ia barharap orang kaya menabung dalam proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan
mereka ketimbang si miskin.
Ketiga, keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peranan penting. Keynes menyatakan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori. Kesimpulannya bahwa pengaruh jangka pendek dari tingkat bunga terhadap pengeluaran individu dari pendapatannya bersifat sekunder dan relatif tidak penting.Berdasarkan tiga dugaan ini,fungsi konsumsi keynes sering ditulis sebagai
C = C + cY, C > 0, 0 < c < 1
Keterangan :
C = konsumsi
Y = pendapatan disposebel
C = konstanta
c = kecenderungan mengkonsumsi marginal
(N.G Mankiw, 2003 : 425-426)
Secara singkat di bawah ini beberapa catatan mengenai fungsi konsumsi Keynes :
1. Variabel nyata adalah bahwa fungsi konsumsi Keynes menunjukkan hubungan antara pendapatan nasional dengan pengeluaran konsumsi yang keduanya dinyatakan dengan menggunakan tingkat harga konstan.
2. Pendapatan yang terjadi disebutkan bahwa pendapatan nasional yang menentukan besar kecilnya pengeluaran konsumsi adalah pendapatan nasional yang terjadi atau current national income.
3. Pendapatan absolute disebutkan bahwa fungsi konsumsi Keynes variabel pendapatan nasionalnya perlu diinterpretasikan sebagai pendapatan nasional absolut, yang dapat dilawankan dengan pendapatan relatif, pendapatan permanen dan sebagainya.
4. Bentuk fungsi konsumsi menggunakan fungsi konsumsi dengan bentuk garis lurus. Keynes berpendapat bahwa fungsi konsumsi berbentuk lengkung. (Soediyono Reksoprayitno, 2000: 146 ).

2.1.2.2. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Permanen (Milton Friedman)
Teori dengan hipotesis pendapatan permanen dikemukakan oleh M Friedman. Menurut teori ini pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi 2 yaitu pendapatan permanen (permanent income) dan pendapatan sementara (transitory income). Pengertian dari pendapatan permanen adalah :
1. Pendapatan yang selalu diterima pada setiap periode tertentu dan dapat diperkirakan sebelumnya, misalnya pendapatan dari gaji, upah.
2. Pendapatan yang diperoleh dari semua faktor yang menentukan kekayaan seseorang (yang menciptakan kekayaan).
Pengertian pendapatan sementara adalah pendapatan yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya. (Guritno Mangkoesoebroto, 1998: 72). Friedman menganggap pula bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan sementara dengan pendapatan permanen, juga antara konsumsi sementara dengan konsumsi permanen, maupun konsumsi sementara dengan pendapatan sementara. Sehingga MPC dari pendapatan sementara sama dengan nol yang berarti bila konsumen menerima pendapatan sementara yang positif maka tidak akan mempengaruhi konsumsi. Demikian pula bila konsumen menerima pendapatan sementara yang negatif maka tidak akan mengurangi konsumsi. (Suparmoko, 1991: 70).

2.1.2.3. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Siklus Hidup (Franco Modigliani)
Teori dengan hipotesis siklus hidup dikemukaan oleh Franco Modigliani. Franco Modigliani menerangkan bahwa pola pengeluaran konsumsi masyarakat mendasarkan kepada kenyataan bahwa pola penerimaan dan pola pengeluaran konsumsi seseorang pada umumnya dipengaruhi oleh masa dalam siklus hidupnya. Karena orang cenderung menerima penghasilan / pendapatan yang rendah pada usia muda, tinggi pada usia menengah dan rendah pada usia tua, maka rasio tabungan akan berfluktuasi sejalan dengan perkembangan umur mereka yaitu orang muda akan mempunyai tabungan negative (dissaving), orang berumur menengah menabung dan membayar kembali pinjaman pada masa muda mereka, dan orang usia tua akan mengambil tabungan yang dibuatnya di masa usia menengah. Selanjutnya Modigliani menganggap penting peranan kekayaan (assets) sebagai penentu tingkah laku konsumsi. Konsumsi akan meningkat apabila terjadi kenaikan nilai kekayaan seperti karena adanya inflasi maka nilai rumah dan tanah meningkat, karena adanya kenaikan harga surat-surat berharga, atau karena peningkatan dalam jumlah uang beredar. Sesungguhnya dalam kenyataan orang menumpuk kekayaan sepanjang hidup mereka, dan tidak hanya orang yang sudah pensiun saja. Apabila terjadi kenaikan dalam nilai kekayaan, maka konsumsi akan meningkat atau dapat dipertahankan lebih lama. Akhirnya hipotesis siklus kehidupan ini akan berarti menekan hasrat konsumsi, menekan koefisien pengganda, dan melindungi perekonomian dari perubahan-perubahan yang tidak diharapkan, seperti perubahan dalam investasi, ekspor, maupun pengeluaran-pengeluaran lain. (Suparmoko, 1991: 73-74).

2.1.2.4. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Relatif (James Dusenberry)
James Dusenberry mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi suatu masyarakat ditentukan terutama oleh tingginya pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya. Pendapatan berkurang, konsumen tidak akan banyak mengurangi pengeluaran untuk konsumsi. Untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi, terpaksa mengurangi besarnya saving. Apabila pendapatan bertambah maka konsumsi mereka juga akan betambah, tetapi brtambahnya tidak terlalu besar. Sedangkan saving akan bertambah besar dengan pesatnya. Kenyataan ini terus kita jumpai sampai tingkat pendapatan tertinggi yang telah kita capai tercapai kembali. Sesudah puncak dari pendapatan sebelumnya telah dilalui, maka tambahan pendapatan akan banyak menyebabkan bertambahnya pengeluaran untuk konsumsi, sedangkan di lain pihak bertambahnya saving tidak begitu cepat. (Soediyono Reksoprayitno, 2000).
Dalam teorinya, Dusenberry menggunakan dua asumsi yaitu:
1. Selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran yang dilakukan oleh orang sekitarnya.
2. Pengeluaran konsumsi adalah irreversibel. Artinya pola pengeluaran seseorang pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan mengalami
3. penurunan.(Guritno Mangkoesoebroto, 1998: 70).

2.1.2.5. Pilihan Antar Waktu (Irving Fisher)
Ekonom Irving Fisher mengembangkan model yang digunakan para ekonom untuk menganalisis bagaimana konsumen yang berpandangan ke depan dan rasional membuat pilihan antar waktu yaitu, pilihan yang meliputi periode waktu yang berbeda. Model Fisher menghilangkan hambatan-hambatan yang dihadapi konsumen, preferensi yang mereka miliki, dan bagaimana hambatan-hambatan serta preferensi ini bersama-sama menentukan pilihan mereka terhadap konsumsi dan tabungan.
Dengan kata lain konsumen menghadapi batasan atas beberapa banyak yang mereka bisa belanjakan, yang disebut batal atau kendala anggaran (budget constraint). Ketika mereka memutuskan berapa banyak akan menkonsumsi hari ini versus berapa banyak akan menabung untuk masa depan, mereka menghadapi batasan anggaran antar waktu (intertemporal budget constaint), yang mengukur sumber daya total yang tersedia untuk konsumsi hari ini, dan dimasa depan. (Mankiw, 2003: 429)



2.1. 3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi
Menurut Tulus Tambunan (2001), perkembangan ekonomi yang terjadi mengakibatkan bertambahnya variabel yang dapat mempengaruhi pengeluaran konsumsi selain pendapatan nasional, inflasi, suku bunga, dan jumlah uang beredar seperti sebagai berikut:
a. Selera
Di antara orang-orang yang berumur sama dan berpendapatan sama, beberapa orang dari mereka mengkonsumsi lebih banyak dari pada yang lain. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan sikap dalam penghematan (thrift).
b. Faktor sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan dan keadaan keluarga. Biasanya pendapatan akan tinggi pada kelompok umur muda dan terus meninggi dan mencapai puncaknya pada umur pertengahan, dan akhirnya turun pada kelompok tua. Demikian juga dengan pendapatan yang ia sisihkan (tabung) pada kelompok umur tua adalah rendah. Yang berarti bagian pendapatan yang dikonsumsi relatif tinggi pada kelompok muda dan tua, tetapi rendah pada umur pertengahan. Dengan adanya perbedaan proporsi pendapatan untuk konsumsi diantara kelompok umur, maka naiknya umur rata-rata penduduk akan mengubah fungsi konsumsi agregat.
c. Kekayaan
Kekayaan secara eksplisit maupun implisit, sering dimasukan dalam fungsi konsumsi agregat sebagai faktor yang menentukan konsumsi. Seperti dalam hipotesis pendapatan permanen yang dikemukakan oleh Friedman, Albert Ando dan Franco Modigliani menyatakan bahwa hasil bersih (net worth) dari suatu kekayaan merupakan faktor penting dalam menentukan konsumsi.
d. Keuntungan / Kerugian Capital
Keuntungan kapital yaitu dengan naiknya hasil bersih dari kapital akan mendorong tambahnya konsumsi, sebaliknya dengan adanya kerugian kapital akan mengurangi konsumsi. Menurut John J. Arena menemukan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi agregat dan keuntungan kapital karena sebagian saham dipegang oleh orang-orang yang berpendapatan tinggi dan konsumsi mereka tidak terpengaruh oleh perubahan perubahan jangka pendek dalam harga surat berharga tersebut. Sebaliknya Kul B. Bhatia dan Barry Bosworth menemukan hubungan yang positif antara konsumsi dengan keuntungan kapital.
e. Tingkat harga
Naiknya pendapatan nominal yang disertai dengan naiknya tingkat harga dengan proporsi yang sama tidak akan mengubah konsumsi riil. Bila seseorang tidak mengubah konsumsi riilnya walaupun ada kenaikan pendapatan nominal dan tingkat harga secara proposional, maka ia dinamakan bebas dari ilusi uang (money illusion) seperti halnya pendapat ekonomi kasik. Sebaliknya bila mereka mengubah konsumsi riilnya maka dikatakan mengalami “ilusi uang” seperti yang dikemukakan Keynes.
f. Barang tahan lama
Barang tahan lama adalah barang yang dapat dinikmati sampai pada masa yang akan datang (biasanya lebih dari satu tahun). Adanya barang tahan lama ini menyebabkan timbulnya fluktuasi pengeluaran konsumsi. Seseorang yang memiliki banyak barang tahan lama, seperti lemari es, perabotan, mobil, sepeda motor, tidak membelinya lagi dalam waktu dekat. Akibatnya pengeluaran konsumsi untuk jenis barang seperti ini cenderung menurun pada masa (tahun) yang akan datang. Pengeluaran konsumsi untuk jenis barang ini menjadi berfluktuasi sepanjang waktu, sehingga pada periode tersebut pengeluaran konsumsi secara keseluruhan juga berfluktuasi.
g. Kredit
Kredit yang diberikan oleh sektor perbankan sangat erat hubungannya dengan pengeluaran konsumsi yang dilakukan rumah tangga. Adanya kredit menyebabkan rumah tangga dapat membeli barang pada waktu sekarang dan pembayarannya dilakukan di kemudian hari. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa adanya fasilitas kredit menyebabkan rumah tangga akan melakukan konsumsi yang lebih banyak, karena apa yang mereka beli sekarang harus dibayar dengan penghasilan yang akan datang. Konsumen akan memperhitungkan beberapa hal dalam melakukan pembayaran dengan cara kredit, misalnya tingkat bunga, uang muka dan waktu pelunasannya. Tingkat bunga tidak merupakan factor dominan dalam memutuskan pembelian dengan cara kredit, sebagaimana faktor-faktor yang lain seperti uang muka dan waktu pelunasan. Kenaikan uang muka akan menurunkan jumlah uang yang hurus dibayar secara kredit. Sedangkan semakin panjang waktu pelunasan akan meningkatkan jumlah uang yang harus dibayardengan kredit. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak adanya kejelasan mengenai pengaruh kredit terhadap pengeluaran konsumsi. (Suparmoko, 1991: 74-77).

2.2 Konsep Konsumsi Rumah Tangga
Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah total nilai pasar dari barang-barang dan jasa-jasa yang dibeli oleh rumah tangga dan lembaga-lembaga nirlaba. Pengeluaran konsumsi rumah tangga terdiri atas tiga komponen utama, yaitu (a) pengeluaran untuk membeli barang-barang tahan lama seperti mobil, mesin cuci, tv, dan yang lainnya; (b) pengeluaran untuk barangbarang yang tidak tahan lama, seperti makanan, pakaian, sabun, dan jasa lainnya (Herlambang dkk., 2001).
Konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatan. Secara makroagregat, pengeluaran konsumsi masyarakat berbanding lurus dengan pendapatan nasional. Semakin besar pendapatan semakin besar pula pengeluarannya untuk konsumsi. Perilaku konsumsi masyarakat tidak bisa dilepaskan dari perilaku tabungannya. Bilamana pendapatan bertambah, baik konsumsi maupun tabungan, akan sama-sama bertambah. Pola konsumsi masyarakat yang kurang mapan biasanya didominasi oleh konsumsi kebutuhan-kebutuhan pokok atau primer. Sebaliknya, yang sudah mapan cenderung lebih banyak teralokasikan ke kebutuhan sekunder atau tersier (Dumairy,1997).
Salah satu bentuk kebijakan ekonomi yang dapat dijalankan pemerintah untuk kestabilan ekonomi adalah kebijakan di bidang perpajakan (kebijakan fiskal) (Sukirno, 2004). Langkah yang perlu dilaksanakan adalah dengan mengurangi pajak pendapatan. Pengurangan pajak ini akan menambah kemampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa dan akan meningkatkan pengeluaran agregat.
Mangkoesoebroto (1993) mengatakan bahwa selain peranan alokasi dan distribusi pemerintah mempunyai peranan utama sebagai alat stabilisasi perekonomian. Tanpa adanya campur tangan pemerintah, penurunan permintaan akan mobil menyebabkan pengusaha mobil mengurangi pegawainya. Pegawai yang menganggur akan memperkecil pengeluaran untuk barang-barang konsumsi.

2.3 Konsep Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah menyangkut seluruh pengeluaran untuk membiayai kegiatan-kegiatanya, dimana pengeluaran-pengeluaran itu ditujukan agar tercapainya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam kegiatan ini meliputi jual beli human resources dan non-human resources, dan transfer payment (pajak, subsidi, dan denda). 
 Kegiatan-kegiatan pemerintah ada yang murni dan ada pula yang tidak murni. Yang termasuk kedalam kegiatan-kegiatan pemerintah yang murni berupa kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat barang dan barang-barang serat jasa-jasa yang dihasilkan oleh pemerintah tidak diperjualbelikan atau hanya dipungut dibawah harga pasar yang berlaku. 
 Sedangkan kegiatan-kegiatan pemerintah yang tidak murni yaitu kegiatan yang dilakukan untuk masyarakat banyak dimana hasil-hasilnya diperjual belikan oleh pemerintah sesuai dengan tingkat harga yang berlaku dipasar bebas. Kegiatan-kegiatan dari segi pengeluaran ini dilakukan dengan menggunakan sejumlah sumber daya dan produk, baik dalam melaksanakan tugasnya untuk kemakmuran masyarakat, dengan mengunakan uang. Pengeluaran uang inilah yang dinamakan pengeluaran pemerintah. Dalam hal ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan dilihat dari segi keuangannya saja seperti pembelian, penjualan dan melakukan transfer baik itu transfer yang bersifat positif maupun transfer yang bersifat negatif. 
 Transfer yang bersifat positif merupakan kegiatan pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat, dapat berupa pembayaran pensiun, bantuan yang diberikan pada bencana alam, pembayaran tingkat bunga atas hutang-hutang pemerintah dan subsidi. Sedangkan transfer yang bersifat negatif yaitu kegiatan pembayaran yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah, dapat berupa pembayaran pajak dan denda-denda. 
 Dalam melaksanakan fungsinya, pemerintah membeli sumber daya manusia misalnya tenaga kerja, keterampilan, pengetahuan dan sebagainya dari masyarakat. Disamping itu, pemerintah juga melakukan penjualan barang dan jasa yang dihasilkan, misalnya dengan memperjualbelikan surat berharga kepada masyarakat. 
Seandainya pemerintah menggunakan barang-barang dan jasa-jasa dalam masyarakat dengan melalui pengeluaran-pengerluarannya maka barang dan jasa tersebut tidak dapat dipergunakan bagi keperluan lainnya misalnya tenaga pegawai negeri, anggota militer dan sejenisnya. Dalam pengeluaran ini diharapkan kesempatan kerja menjadi lebih meningkat, kegiatan swasta bertambah, produksi meningkat pula, sehingga kemungkinan pemerintah akan mengurangi pajak dan menaikan transfer payment, sehingga jumlah pendapatan yang diterima dari masyarakat secara keseluruhan akan meningkat. Salah satu tujuan yang penting dalam pengeluaran pemerintah ini adalah agar tercapainya pembagian pedaptan yang merata (income distribution) dalam masyrakat, yaitu dengan cara membeli barang dan jasa tadi. 
Pengeluaran pemerintah menurut Sadono Sukirno (1994) adalah konsumsi barang dan jasa yang dilakukan pemerintah serta pembiayaan yang dilakukan pemerintah untuk keperluan administrasi pemerintah dan kegiatan-kegiatan pembangunan. Secara sederhana pengeluaran pemerintah digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan negara yang akhirnya akan memberikan manfaat untuk masyarakat, seperti membayar gaji pegawai pemerintah, membiayai system pendidikan dan kesehatan masyaraka, membiayai pernelanjaan angkatan bersenhata dan membiaai berbagai infrastruktur dalam proses pembangunan. 
Definisi diatas senada dengan Marzuki (1989:38) bahwa pengeluaran pemerintah menyangkut seluruh pengeluaran untuk membiayai kegiatan-kegiatnnya, dimana pengeluaran-pengeluaran itu ditujukan agar tercapainya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam kegiatn ini meliputi juak beli human resources dan transfer payment (pajak, subsidi, denda)
Christoper Pass (1999:268-269). Dalam kamus lengkap ekonomi menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah komponen penting dari permintaan agregat dalam arus-arus sirkulasi pendapatan dan digunakan sebagai alat kebijakan fiscal untuk pengaturan tingkat pengeluaran dalam ekonomi. Permasalahan yang dihadapi negara berkembang adalah pembentukan modal, pendapatan dan tabungan perkapita dinegara sangat rendah. Beberapa orang kaya justru menyukai mengkonsumsi barang mewah. Sebagian besar dari tabungan disalurkan pada jalur-jalur tidak produktif seperti perumahan, penimbunan intan permata, emas, spekulasi dan sebagainya. Kebijkan fiscal mengalihkan semua ini kesaluran-saluran yang lebih produktif. 
Kegiatan-kegiatan pemerintah ada yang murni dan ada pula yang tidak murni. Yang termasuk kedalam kegiatan-kegiatan pemerintah yang murni berupa kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat banyak dan barang-barang serta jasa-jasa yang dihasilkan oleh pemerintah tidak diperjual belikan atau hanya dipungut dibawah harga pasar yang berlaku. Sedangkan kegiatan-kegiatan pemerintah yang tidak murni yaitu kegiatan yang dilakukan untuk masyarakat banyak dimana hasil-hasilnya diperjual belikan oleh pemerintah sesuai dengan tingkat harga yang berlaku di pasar bebas. 
Dalam neraca anggaran pendapatan dan belanja negara, pengeluaran pemerintah Indonesia secara garis besar dikelompokkan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Klasifikasi penggolongan ini mirip seperti klasifikasi pengeluaran ke dalam pos-pos pengeluaran lancar dan pos-pos pengeluaran kapital. Pengeluaran rutin pada dasarnya berunsurkan pos-pos pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan roda pemerintahan sehari-hari, meliputi belanja pegawai, belanja barang, berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga barang), angsuran dan bunga utang pemerintah, serta sejumlah pengeluaran lain. Sedangkan pengeluaran pembangunan maksudnya pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk prasarana fisik, dibedakan atas pengeluaran pembangunan yang dibiayai dengan dana rupiah dan bantuan proyek. Agak sulit untuk membedakan dengan tegas apakah suatu pengeluaran termasuk ke dalam pengeluaran rutin ataukah sebagai pengeluaran pembangunan, karena batas perbedaan antara keduanya relatif kabur. Sebagai contoh: berbagai macam upah dan gaji tambahan yang menurut logika awam termasuk pengeluaran rutin oleh pemerintah digolongkan sebagai pengeluaran pembangunan.
Neraca permintaan dan pengeluaran pemerintah memperlihatkan bagaimana proses kegiatan pemerintah pusat dalam menciptakan tabungannya. Dalam neraca penerimaan dan pengeluaran pemerintah disajikan dalam transaksi lancar (current) yang dilakukan pemerintah. 
Adapun transaksi yang dilakukan oleh pemerintah pusat terdiri dari: 
 Transaksi antar pemerintah pusat sendiri
 Transaksi pemerintah pusat dengan swasta
 Transaksi pemerintah pusat dengan Badan Usaha Milik Negara
 Transaksi pemerintah pusat dengan rumah tangga
 Transaksi pemerintah pusat dengan pihak luar negeri
Pengeluaran pemerintah pusat itu sendiri dikeluarkan untuk:
 Subsidi-subsidi
 Pengeluaran konsumsi pemerintah
 Property Income dibayarkan 
 Bantuan social
 Imputasi kesejahteraan karyawan
 Tabungan pemerintah
 Tranfer-transfer

2.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Pemerintah 
 Jumlah pengeluaran pemerintah yang akan dilakukan dalam suatu periode tertentu tergantung kepada banyak faktor. Faktor yang penting diantaranya adalah 
1. Proyeksi Jumlah Pajak Yang Diterima
 Salah satu faktor penting yang menentukan besarnya pengeluaran pemerintah adalah jumlah pajak yang diramalkan. Dalam menyusun anggaran belanjanya pemerintah harus terlebih dahulu membuat proyeksi mengenai jumlah pajak yang akan diterimanya. Makin banyak jumlah pajak yang dapat dikumpulkan maka makin banyak pula perbelanjaan pemerintah yang akan dilakukan. 
2. Tujuan-Tujuan Ekonomi Yang Ingin Dicapai
 Faktor yang lebih penting dalam penentuan pengeluaran pemerintah adalah tujuan-tujuan ekonomi yang ingin dicapai pemerintah. Pemerintah penting sekali peranannya dalam perekonomian. Kegiatannya dapat memanipulasi/mengatur kegiatan ekonomi kearah yang diiginkan. Beberapa tujuan penting dari kegiatan pemerintah adalah mengatasi masalah pengangguran, menghindari inflasi, dan mempercepat pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut sering sekali pemerintah membelanjakan uang yang jauh lebih besar dari pendapatan yang diperoleh dari pajak. Untuk mengatasi pengangguran dan pertumbuhan ekonomi yang lambat, misalnya pemerintah perlu membiayai pembangunan infrastuktur, irigasi, jalan-jalan, pelabuhan, dan pengembangan pendidikan. Usaha seperti itu memerlukan banyak uang, dan pendapatan dari pajak saja tidak cukup untuk membiayainya. Maka untuk memperoleh dana yang diperlukan pemerintah terpaksa meminjam atau mencetak uang.
3. Pertimbangan Politik dan Keamanan 
 Petimbangan-pertimbangan politik dan kestabilan Negara selalu menjadi salah satu tujuan penting dalam menyusun anggaran belanja pemerintah. Kekacauan politik, perselisihan diantara berbagai golongan masyarakat dan daerah sering berlaku di berbagai Negara di dunia. Keadaan seperti itu akan menyebabkan kenaikkan perbelanjaan pemerintah yang sangat besar, terutama apabila operasi militer perlu dilakukan. Ancaman kestabilan dari Negara luar juga dapat menimbulkan kenaikkan yang besar dalam pengeluaran ketentaraan dan akan memaksa pemerintah membelanjakan uang yang jauh lebih besar dari pendapatan pajak. (Sadono Sukirno 2006 :168-169)
Selanjutnya, menurut Suparmoko pengeluaran pemerintah selalu meningkat karena disebabkan oleh hal-hal berikut ini:
a. Sekali pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan perang itu diadakan akan sulit sekali untuk dikurangi meskipun perang tersebut sudah selesai. Pengeluaran harus tetap diadakan bagi tentara-tentara yang sudah terlanjur diangkat sebagai pegawai negeri, di mana mereka ini sebelumnya adalah menganggur dan tidak menjadi tanggungan pemerintah. Akibatnya baik pengeluaran maupun penerimaan negara tetap cenderung meningkat, kecenderungan ini disebut "displacement effect". Harus ada pengembalian pinjaman selama perang, yang sekarang justru harus disertai dengan bunganya. Harus pula ada subsidi bagi para veteran, dan lain sebagainya.
b. Dengan meningkatnya tingkat penghasilan, maka jelas kebutuhan akan konsumsi barang-barang maupun jasa-jasa akan meningkat. banyak barang-barang dan jasa-jasa yang tidak mungkin diusahakan oleh swasta, seperti misalnya kegiatan pendidikan, kesehatan umum, pemeliharaan prasarana jalan–jalan dan jembatan. Ini jelas harus ditangani oleh pemerintah. Meningkatnya penghasilan menuntut jumlah barang dan jasa yang lebih banyak serta kualitas barang dan jasa yang lebih baik.
c. Urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota. Perlu dilayani oleh pemerintah dalam penyediaan lapangan kerja, kebutuhan listrik, air minum, perumahan, keamanan dan kesehatan. Urbanisasi biasanya terjadi bersama - sama dengan industrialisasi dan perkembangan ekonomi. Orang mau pindah dari desa ke kota karena banyak hal yang menarik di kota seperti tingkat upah yang lebih tinggi, adanya kesempatan kerja, serta hiburan. Tetapi hal ini tidak selalu benar di negara sedang berkembang, karena perpindahan penduduk dari desa ke kota lebih disebabkan oleh adanya tekanan di desa seperti kurang adanya kesempatan kerja dan belum tentu karena ada lapangan kerja di kota.
d. Perkembangan demokrasi memerlukan biaya yang sangat besar, terutama untuk mengadakan musyawarah - musyawarah, pemungutan suara, rapat - rapat dan sebagainya. Dan pemerintahlah yang harus mengusahakan ini semua, karena pemerintah yang memiliki kemampuan untuk menjaga kepentingan semua pihak atau individu dalam masyarakat.
e. Seringkali semakin berkembangnya peranan pemerintah itu sendiri justru mengakibatkan adanya ketidakefisienan, pemborosan dan birokrasi sehingga pengeluaran pemerintah itu menjadi semakin besar.
f. Untuk negara sedang berkembang peranan pemerintah dalam pembangunan ekonomi semakin menyolok karena pemerintah bertindak sebagai penggerak dan pelopor pembangunan ekonomi. Pemerintah mengarahkan usaha pembangunan melalui rencana - rencana pembangunan. Misalnya pemerintah Indonesia mempunyai Garis-garis Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan Lima Tahun I, II, III dan seterusnya.
g. Timbulnya program kesejahteraan masyarakat, seperti Program Panti Asuhan, Rumah Jompo dan sebagainya. 

2.5 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Perekonomian
Pengeluaran pemerintah berhubungan dengan bemacam-macam kegiatan yang dilakukan, yang secara umum ada kaitannya dengan berbagai departemen, lembaga-lembaga, berhubungan dengan provinsi-provinsi, kabupaten-kabupaten dan juga dengan barang-barang dan jasa-jasa yang diperjualbelikan. 
Pengeluaran lainnya yang berkenaan dengan kemanan, ketertiban masyarakat, memberikan bantuan-bantuan social dan sebagainya. Akan tetapi pembiayaan utama dari kegiatan pemerintah adalah pengeluaran yang berhubungan dengan kepentingan pemerintah sendiri. 
Jika dilihat secara keseluruhan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pengeluaran pemerintah yaitu melakukan upaya sedemikian rupa sehingga dapat mempengaruhi bidang-bidang swasta untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam masyarakat. Kegiatan ini akan mempunyai kaitan dengan kegiatan ekonomi dan memberikan insentif pula pada bidang-bidang lainnya, membuka lapangan kerja baru, meningkatkan produksi, menambah pendapatan, tercapainya kestabilan harga serta kemajuan dalam pembangunan disegala bidang. Diharapkan dari pengeluaran-pengeluaran pemerintah ini akan membawa dampak yang positif didalam perekonomian secara menyeluruh. 
a. Terjadinya Keseimbangan Politik. 
Pengeluaran pemerintah mengakibatkan terjadinya keseimbangan diantara barang-barang dan jasa-jasa pemerintah serta tergantung juga kepada kebijakan dalam penetapan pajak dari barang dan jasa itu sendiri. Kebijakan system perpajakan yang terlalu sangat mempengaruhi masyarakat terutama pada masa pemilihan umum. 
b. Terjadinya keseimbangan pasar pada umumnya dan adanya efisiensi dari sumber daya yang dipakai masyarakat.
  Setiap pengeluaran pemerintah, akan mempengaruhi harga barang dan jasa yang berlaku di pasar bebas sehingga akan mempengaruhi tingkat efisiensi di dalam pengelolaan sumber-sumber yang digunakan masyarakat. 
c. Pendistribusian pendapatan. 
Pendistribusian yang dilakukan pemerintah bukanlah berarti diperoleh dengan cara mengambil pendpatan seseorng kemudian membagikannya kepada orang lain. Jika hal ini terjadi maka daya beli orangh tersebut menjadi berkurang sehingga akan mempengaruhi pula harga pasar. Dalam kenyataannya pemerintah menggunakan kebijakan pengeluaran-pengeluaran sedemikian rupa dalam mempengaruhi barang dan jasa, tidak mengurangi penghasilan masyaraka serta terjadinya pendistribusian pendapatan yang lebih merata. 

 Ada empat akibat atau pengaruh dari pengeluaran pemerintah, antara lain:
a. Pengeluaran pemerintah mempengaruhi alokasi faktor produksi. 
Pada negara-negara yang menganut system mekanisme harga selalu diusahakan bagaimana caranya untuk mencapai alokasi sumber daya yang optimum. Hal itu dijumpai dalam kegiatan-kegiatan ekonomi dimana fungsi untuk mengalokasikan sumber-sumber daya ditentukan oleh kekuatan pasar.
Pengeluaran pemerintah akan membawa perubahan dalam kehidupan perekonomian suatu negara, mempengaruhi jumlah factor-faktor produksi dengan bermacam-macam cara sehingga mencapai tingkat pertumbuhan yang full employment, mengalokasikan sumber-sumber produksi, pendistribusian pendapatan dalam masyarakat serta melakukan perubahan-perubahan tingkat harga pada umumnya. 
Di negara-negara yang sudah maju dan juga negara yang sedang berkembang dengan meningkatnya pengeluaran negara akan meningkatkan jumlah permintaan terhadap barang-barang dan jasa-jasa yang diminta. Keadaan ini memberikan dorongan kepada pihak swasta terutama perusahaan-perusahaan akan memperluas jumlah investasi dalam rangka mengimbangi jumlah persediaan barang-barang dan kebutuhan lainnya yang semakin meningkat.
Perluasan investasi dalam rangka meningkatkan produksi mungkin kurang bermanfaat apabila lapangan kerja dan kesempatan kerja tidak mencukupi. Jumlah penduduk yang terus meningkat tiap tahun harus diusahakan pula lapangan kerja yang baru, karena jika hal ini tidak mampu diatasi akan terjadi pengangguran (unemployment). Hal ini dapat saja terjadi karena pihak swasta berusaha semaksimal mungkin dalam menambah investasinya dengan modal yang lebih besar (capital intensive) dan mengurangi tenaga kerja manusia, misalnya dengan menggunakan teknolog yang modern. Dari satu segi terlihat dengan pertambahan pengeluaran pemerintah bermaksud menaikkan penghasilan masyarakat tetapi dari segi lain dengan bertambahnya pengeluaran akan terjadi pengangguran didalam masyarakat. 
Jalan keluar harus dicari dalam mengatasi pengangguran ini, misalnya dengan menggunakan teknologi yang menggunakan tenaga kerja yang lebih banyak, akan tetapi penambahan tenaga kerja harus juga mempertimbangkan mutu dari tenaga kerja, pendidikan keahlian serta keterampilan dengan melalui berbagai latihan. 
Pengeluaran pemerintah dapat membawa pengaruh pada tenaga kerja yang ahli dalam menyediakan jasa-jasanya untuk bekerja lebih giat sehingga akan berguna dalam meningkatkan produksi untuk jangka waktu yang panjang. Orang-orang akan senang bekerja bila upahnya naik dan akan menggunakan waktu senggangnya (leisure time) guna meningkatkan penambahan pendapatan demi kesejahteraan hidupnya. Akan tetapi setelah sampai pada suatu tingkat upah tertentu, yaitu pada tingkat kepuasan yang tinggi maka orang-orang akan lebih senang menikmati waktu senggangnya daripada bekerja, karena dengan penghasilan yang lebih tinggi ia akan bekerja dalam waktu yang lebih sedikit. 
Waktu senggang itu seolah-olah dianggap sebagai barang yang dapat dibeli, orang akan membeli lebih banyak jika pendapatannya naik sebaliknya bila orang menginginkan pendapatannya lebih besar atau ingin menambah penghasilannya maka waktu senggang akan digunakan lebih banyak. Dengan kata lain makin makmurnya seseorang permintaan untuk leisurenya pun semakin besar pula. Bertambah makmurnya seseorang menyebabkan permintaan barang dan jasa meningkat pula, ia akan mencari pembantu rumah tangga, berolahraga, rekreasi dan bermacam-macam hiburan lainnya. Waktu untuk bekerja diikurangi atau suplai tenaga kerja dikurangi apabila kemakmurannya bertambah. 
Di negara-negara yang sedang berkembang keadaan infrastruktur atau prsarana, akumulasi modal, tenaga-tenaga ahli, investasi pengembangan pasar dan sebagainya belum berkembang dengan baik. Perkembangan prasarana antara suatu daerah dengan daerah lainnya akan memperlancar arus perekonomian dalam pengangkutan barang-barang. Demikian pula dengan pengembangan pasar memudahkan dalam penyaluran barang-barang lebih cepat sampai pada konsumen akhir. 
Pengeluaran pemerintah akan sangat berguna dalam menunjang penambahan investasi masyarakat dan dapat pula menurunkan ongkos produksi dari barang dan jasa dengan cara pengembangan berbagai industri kecil dan menengah, sehingga akan mempercepat lajunya proses perkembangan perekonomian. 
Industri besar dan kecil dapat berkembang dengan baik pula melalui bantuan dari pemerintah. Pemerintah dapat memberikan bantuan berupa keuangan serta perlindungan lainnya demi kelangsungan hidup suatu industri, tetapi dengan suatu pertimbangan bahwa produksi dari industri itu sangat bermanfaat bagi masyarakat. Keikutsertaan pemerintah dalam kegiatan industri akan mudah dalam melakukan pengontrolan terutama mengenai harga dari barang-barang yang dihasilkan, sehingga industri tersebut tidak dapat menentukan harga dengan sewenang-wenang.
b. Pengeluaran Pemerintah Mempengaruhi Distribusi
Pendistribusian pendapatan dan kemakmuran dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor termasuk kedalamnya hukum-hukum yang berlaku, tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang, mobilitas social, susunan pasarm kesempatan kerja dan lain-lainnya. Dalam pembagian pendapatan pemerintah berusaha agar jenjangan perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin tidak terlalu mencolok. 
Layanan kesehatan yang kadang-kadang diberikan secara cuma-cuma dibebaskan pembayaran uang pendidikan ditingkat sekolah dasar juga merupakan suatu sumbangan pemerintah kepada masyarakat bagi yang mempergunakan jasa-jasa ini serta menambah pendapatan mereka seandainya jasa-jasa tersebut harus dibayar sesuai dengan harga yang belaku. Banyak sekali pengeluaran pemerintah dengan tidak memperhitungkan berapa besar keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari pengeluaran yang berupa bantuan cuma-cuma. Dalam memberikan bantuan semacam ini bukan memakai ukuran untung rugi atau marginal social cost dan marginal social benefit, akan tetapi yang ingin dicapai adalah kesejahteraan masyarakat atau manfaat social yang lebih besar. 
Pemerataan terhadap hasil-hasil produksi dilakukan misalnya melalui koperasi, yang merupakan gerakan ekonomi rakyat dalam rangka meningkatkan kemampuan berusaha untuk memperoleh kredit, tenaga trampil dan keahlian. Melalui koperasi akan memudahkan tatanan kehidupan ekonomi yang adil terutama bagi golongan ekonomi lemah. Oleh sebab itu, pengeluaran pemerintah juga banyak dicurhkan dalam bidang koperasi ini. 
Berbagai upaya dilakukan pemerintah guna menjaga agar pembagian pendapatan dan kemakmuran lebih merata sehingga tidak menimbulkan kerawanan social dan ekonomi, membuka lapangan kerja baru, meningkatkan produksi sehingga tercapai kestabilan disegala bidang. Kesulitan yang timbul adalah untuk menentukan apa yang sesuai untuk didistribusikan itu, karena dalam proses pasar terjadinya perubahan-perubahan. 
Sahni (1972) berepndapat bahwa suatu proses politik dalam mengambil keputusan memang diperlukan dan sebelum dapat berfungsinya mesti ada beberapa proses yang dilakukan sesuai dengan peraturan-peraturan. 
Masalah yang timbul sekarang bagaimana prosese politik itu ditentukan yang berkenaan dengan pendistribusian ini. Pemikiran yang democrat berdasarkan dlil terhadap kekayaan individu yang melihat bahwa setiap manusia itu sama, baik politik naupun dari segi ekonomi. Pendekatan dari segi ekonomi mungkin ditafsirkan dengan cara yang berbeda demikian pila dengan penafsiran yang dilakukan terhadap nilai-nilai ang ada. Pengertian yang sama disini mungkin sama dalam kemakmuran atau kesejahteraan ekonomi padasuatu saat tertentu sedangkan lainnya mungkin mengandung pengertian yang berbeda dari konsep yang ada dan masih banyak lagi penafsiran yabg dilakukan didalam mencapai kemakmuran.
Sekiranya pengertian kemkmuran atau kesejahteraan itu dapat diterima. Hal ini bukan berarti adanya kesamaan dalam pendistribusian pendapatan tetapi harus diikuti pula oleh masyarakat seolah-olah sama didalam menikmati pendapatannya. Akan tetapi hal ini tidak mungkin terjadi, yang mungkin ada hanyalah terdapatnya persamaan dari beberapa segi saja. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu terjadinya ketidakmerataan didalam pendistribusian dan agak sukar dalam pengertian yang berhubungan dengan kesaman serta pemerataan pendapatan ini.
Para ahli melihat lebih luas lagi dalam hubungannya serta membanding-bandingkan dengan peraturan yang ada misalnya mereka memberikan konsep tentang kesamaan apakah kesamaan ini berhubungan dengan pendapatan kesehatan atau kesamaan didalam mendapatkan kesejahteraan. Jadi dalam masalah ini kebijaksanaan social yang berkenaan dengan gejala dari kemampuan bersama untuk menikmati pendapatan dalam kenyataanya adalah tidak mungkin terjadi. 
Sekiranya ukuran kesamaan dari kesempatan yang diperoleh dapat diterima, masih terdapat pula sejumlah perbedan didalam mengartikannya. Misalnya kesempatan didalam memperoleh fasilitas pendidikan, kesempatan kerja karena adanya hubungan keluarga dan lain-lain sebagainya.
Pendapat mengennai kesamaan kesempatan juga terjadi berbagai variasi dalam ukuran penilaian masyarakat. Pada kenyataannya jumlah pendapatan termasuk barang-barang serta waktu senggang yang tersedia untuk didistribusikan mungkin sangat tergantung pada keadaan dan juga keikutsertaan pemerintah dalam menanganinya.
Oleh sebab itu konsep yang jelas terhadap distribusi itu harus ada, diperlukan rumusan yang jelas berkenaan dengan masalah sosial, etika dan masalah-masalah ekonomi.

c. Pengeluaran Pemerintah Mempengaruhi Stabilisasi Ekonomi
Kebijakan stabilisasi atau keseimabngan sangat erat hubungannya dengan fiscal dan oneter, jadi ada hubungan dengan pajak, tingkat bunga, persedioaan uang serta juga denga pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Analisa dari Jhon Maynard Keynes yang sederhana dalam masalah stabilisasi atau keseimbangan pendapatan nasional ditentukan oleh permintan masyarakat secara keseluruhan (aggregate demand), pengeluaran pemerintah berhubungan dengan keadaan full employment, surplus atau deficit dari pendapatan dan belanja negara (agregate consumption function) adalah:
C = a + b Y
I merupakan symbol dari investasi, yang sangat berhubungan erat dengan pendapatan dan konsumsi. Y adalah symbol dari pendapatan (income).
Oleh Singer (1972) memberikn contoh, apabila I = 15, a = 10 dan b = 0,8 maka dapat diperhitungkan bahwa tigkat keseimabungan pendapatan dalam keadaan full employment 150. Pemerintah mengenakan pajak maka pendapatan akan berkurang, dengan demikian rumusnya menjadi : C = a + b (Y - T). Seandainya I tidak mengalami perubahan, tetapi yang berubah adalah nilai dari a dan b, mak misalkan T 6,25 tingkat pendapatan, Y 150 dengan catatan, apabila transfer adalah 5 akan menyebabkan kenaikan keseimbangan dari aggregate demand 20, maka dalam hal ini diperlukan 25 untuk mencapai keadaan full employment. Pada contoh ini hasrat utnuk melakukan konsumsi (marginal propensity to consume = MPC) dan transfer pendapatan 0,8. 
Ini berarti pengeluaran pemerintah mesti ditingkatkan didalam agrergate demand dengan transfer 6,25 kepada konsumen, maka produksi menjadi berkurang sebesar 6,25. Apabila aggregate demand melebihi tingkat pendapatan dalam masa full employment maka pemerintah dapat melakukan stabilisasi ekonomi melalui pajak atau transfer yang akan mempengaruhi pendistribusian pendapatan, misalnya T = t Y, dimana t menjadi positif didalam pajak dan menjadi negatif didalam transfer.
Dari model diatas maka fungsi konsumsi akan mengalami perubahan:
C = a + b (1 - t) Y
Apabila keseimbangan pendapatan masih tetap 150 dan semua factor lain tidak mengalami perubahan, maka nilai keseimbangan dari t = 5/120 atau 0,0417. Dalam hal ini pemerintah harus mengadakan keseimbangan tingkat full employment pada tingkat perbandingan transfer 0,0417.
Model dari Keynes yang terkenal dan sederhana kita tinggalkan demikian pula penentuan dari kebijakan stabilisasi yang berhubungan dengn keseimbangan dalam full employment.
Dalam model yang sangat kompleks dan mendekati kenyataan, konsumsi dan investasi sangat erat kaitannya dengan berbagai kebijakan lainnya yang kadang-ladang sukar untuk dimengerti. Para sarjana kadang-kadang tidak mampu menjelaskan secara rinci pengaruh dari kebijakan moneter melalui tingkat pendapatan dan employment.
Kebijakan stabilisasi banyak digunakan oleh pemerintah sekrang terutama dalam hubungannya dengan pajak, bermacam-macam pengeluaran pemerintah sera masalah transfer, tetapi yang lebih banyak menyangkut masalah moneter dan tingkat bunga (interest rate).
Tujuan daripada kebijakan stabilitas berbeda dalam kenyataannya dari pemakaian model sederhana yang diatas jika dihubungkan antara keseimbangan full employment dengan stabilisasi harga-harga karena adanya perbedaan dalam menggabungkan pengangguran (unemployment) dengan inflasi harga tetapi pada tingkat pengangguran yang rendah selalu dikaitkan dengan tingkat inflasi yang tinggi.  
Salah satu masalah yang dibahas dalam kebijakan stabilisasi adalah memilih diantara berbagai alternative, yang membawa pengaruh dalam perdagangan yaitu hilangnya output disebabkan terjadi unemployment serta pendistribusian ongkos-ongkos selama terjadinya inflasi. Tujuan lainnya adalah agar tercapai perkembangan ekonomi yang lebih cepat, serta terdapatnya keseimbangan dalam neraca pembayaran. Misalkan keadaan perekonomian mendekati full employment, suatu kebijaksanaan yang mendorong perkembangan yang lebih cepat akan menyebabkan penekanan terhadap inflasi sehingga sekotor-sektor industri akan berkembang lebih cepat lagi. 
Dalam pembahasan ini hanya menyangkut masalah-masalah yang berhubungan dengan kebijakan stabilisasi saja. Sebenarnya masih banyak sekali peralatan-peralatan dan tujuannya saling bertentangan serta sedikitnya pengetahuan tentang cara-cara dengan melalui berbagai kebijakan lagi pula terdapat berbagai keterbatasan untuk mengatasi masalah stabilisasi ini. Peralatan-peralatan tersebut dengan melalui kebijakan stabilisasi, tidak mungkin dapat diselesaikan oleh fungsi alokasi dan stabilisasi sektor pemerintah saja akan tetapi melalui berbagai fungsi yang ada. 
Perhatian yang ditujukan untuk mencapai produksi yang maksimum (maximum production) serta penyesuaian dengan produksi secara keseluruhan bukan hanya merupakan tujuan tetapi juga sesuatu yang ingin dicapai dalam keadaan full employment. Hubungan antara produksi dan full employment saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Employment, produksi ataupun kesejahteraan tidak mesti bergerak secara bersama-sama, karena dalam rangka memaksimumkan produksi dan employment menyangkut pula masalah social lainnya. 
Untuk menjaga stabilisasi tingkat harga diusahakan cara untuk memaksimumkan daya beli masyarakat biasanya dengan kemampuan dalam membeli barang-barang, jasa-jasa dan juga kekayaan lainnya. Konsumsi yang dilakukan seseorang sangat dipengaruhi oleh pola pengeluarannya serta perubahan dari harga barang dan jasa yang akan membawa pengaruh bagi kesejahteraan hidupnya. Semua orang menginginkan kesehatan yang sempurna karena kesejahteraan seseorang juga tergantung pada kesehatannya.
Keseimbangan dalam neraca pembayaran adalah sangat sukar dalam mencapai stabilisasi, karena dalam neraca pembayaran menyangkut dengan system moneter internasional, perdagangan barang-barang dalam lalu lintas dunia, serta juga dapat dipengaruhi keadaan pembayaran besarnya anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membeli barang-barang keperluan pemerintah dan sebagainya. Barang-barang keperluan ini dapat diperoleh yang tidak ada dalam negeri melalui impor dan akan mengalami kesukaran dalam neraca pembayaran jika tidak dapat diimbangi dengan jumlah barang-barang yang diekspor. Sekiranya terjadi perubahan harga dari barang-barang yang diimpor sedangkan yang diekspor sedikit hal ini akan menambah ketidakstabilan dalam neraca pembayaran. 

d. Pengeluaran pemerintah mempengaruhi pembangunan ekonomi. 
Kenaikan dalam pengeluaran pemerintah mempengaruhi permintaan hasil produksi dan terjadi perubahan dalam jumlah maupun kualitas terhadap layanan kepada masyarakat, perubahan social dan juga dibidang ekonomi. Permasalahan yang sering dibahas berkaitan dengan politik yaitu diantara keperluan pemerintah dan keperluan individu untuk tujuan konsumsi. Keseimbangan diantara sektor-sektor ini serta alokasi sumberdaya oleh pemerintah memperlihatkan kebijaksanaan dalam politik dan administrasi. 
Kaum Marxist berpendapat, kenaikan pengeluaran pemerintah memang sangat diperlukan sebagai tonggak untuk melawan monopoli kaum kapitalis yang tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi masyarakanya. Dalam pandangan mereka, pengeluaran pemerintah sangat penting dalam merubah pola sosial dan ekonomi. Perubahan-perubahan harus melalui proses secara menyeluruh, baik secara jelas ataupun tidak karena perbedaan social dan ekonomi sebenarnya disebabkan oleh perbedaan kelas yang diciptakan oleh kaum kapitalis. 
Dari penjelasan ini terlihat ada dua titik pandangan yaitu, 
1. Dari segi politik, yang dapat menentukan terjadinya perubahan-perubahan social, ini dipengaruhi pula oleh perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi. Jadi, dengan kata lain perubahan teknologi membawa akibat dalam pendistribusian kesejahteraan, organisasi social dan lain sebagainya. 
2. Pengeluaran pemerintah sangat erat hubungannya dengan bidang ekonomi, perubahan social serta hasil produksi, karena semuanya ini menyangkut dengan dana yang dikeluarkan dan menjadi sangat komplek. 
Hubungan pengeluaran pemerintah dengan perkembangan ekonomi sangat erat, dan masyarakat mengharapkan agar lebih banyak lagi pengeluaran-pengeluaran yang yang dapat dilakukan demi meningkatkan layanan yang lebih baik lagi. Berbagai pertanyaan terkadang timbul misalnya mengapa pengeluaran pemerintah itu perkembangannya itu lebih cepat daripada konsumsi swasta, mengapa adanya perbedaan tingkat perkembangan akselerasi yang lebih cepat terutama di negara-negara maju dan sebagainya.
Salah satu dari pertanyaan tadi adalah untuk membuktikan bahwa kualitas dari jasa-jasa pemerintah dapat meningkatkan dengan lebih baik dan masyarakat menginginkan peningkatan yang lebih banyak lagi, seperti pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Peningkatan bidang pendidikan akan menguntungkan bagi guru-guru, tenaga pengajar, karyawan di bidang pendidikan, anak-anak sekolah dan melalui pendidikan pulalah dapat meningkatkan pendapatan seseorang. Demikian pula dengan jasa-jasa yang diberikan pemerintah akan memberikan kesejahteraan dalam fungsi social misalnya jasa polisi, mengurangi tingkat kejahatan dalam masyarakat. 
Peningkatan pengeluaran pemerintah membawa bermacam-macam perubahan dalam masyarakat dan juga perubahan ekonomi. Misalnya perubahan dalam konsumsi pemakaian kendaraan-kendaraan mengakibatkan bertambahnya beban yang makin berat bagi pemerintah. Bertambahnya orang-orang yang memakai mobil, maka pemerintah hrus memikirkan perkembangan dan perluasan jalan-jalan raya, memperbaiki jalan yang rusak, membangun jembatan-jembatan dan juga menambah jalan-jalan baru. Dalam hal ini tentu saja para pemakai kendaraan akan membayar kepada pemerintah berupa pajak kendaraan, bea balik nama dan lain-lain. Akan tetapi pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah pun bertambah besar seperti rambu-rambu lalu lintas, menambah jalan baru, membayar polisi lalu lintas, membayar untuk petugas-petugas pajak dan lainnya yang berkenaan dengan kendaraan pemerintah, mengeluarkan berbagai biaya yang berkenaan dengan transpotasi dan jalan raya. 
Di negara-negara barat terjadinya hubungan perubahan antara social system ekonomi dan pengeluaran pemerintah, misalnya kurangnya rasa ketertarikan dan menurunnya hubungan kekeluargaan diantara tetangga dan dengan familinya sendiri. Menurunnya nilai-nilai social ini ada kegiatannya dengan perubahan yang terjadi didalam teknologi dan perubahan yang terjadi dari berbagai-bagai variabel lainnya serta mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.  
Perubahan dibidang ekonomi juga membawa perubahan dalam bidang-bidang social misalnya terbukanya berbagai-bagai lapangan kerja. Persamaan hak antara pria dan wanita, anak-anak yang sudah dewasa tidak tinggal lagi bersama orang tuanya, orang tua tinggal di asrama yang semua ini meningkatnya mobilitas social dan meningkat pula sifat individualistis. Pengaruh yang demikian membawa akibat peningkatan permintaan jasa-jasa yang semakin besar, ibu-ibu yang bekerja memerlukan perawat yang mengasuh anak-anak mereka, orang-orang jompo memerlukan rawatan khusus dan layanan kesehatan. Meningkatnya mobilitas social ditambah lagi dengan adanya hasrat untuk melebihi standar konsumsi akibat iklan, majalah, hiburan-hiburan maka meningkat pula akibat dari kurangnya perhatian orang tua pada anak-anak dan mungkin juga karena pergaulan didalam masyarakat. Semua biaya dari gejala social ini menjadi tanggungan pemerintah termasuk biaya perbaikan, pengobatan, memberikan saran-saran dan lainnya demikian pula misalnya perubahan social yang ada kaitannya dengan politik seperti masalah perumahan. Permintaan rumah tempat tinggal terus meningkat, apakah untuk disewakan atau untuk dimiliki karena pertambahan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam menanganinya.
Di negara-negara maju ada kecenderungan orang-orang ingin memiliki rumah sendiri karena ini merupakan suatu symbol dari kemakmuran dari orang yang memiliknya. Pemerintah banyak mencurahkan bantuan dalam pembangunan rumah-rumah ini, akan tetapi dalam kenyataannya kadang-kadang tindakan pemerintah dalam membangun rumah kurang memperhatikan mengenai pola dan kepadatannya, lebih-lebih lagi kekuatannya dari bangunan rumah itu. Kadang-ladang harga rumah menjadi sangat mahal dan bentuk rumah susun yang kurang disukai oleh masyarakat. Pemabngunan perumahn di suatu tempat tertentu mungkin saja dengan alasan-alasan politik dari anggaran pengeluarannya, dengan harapan pada sesuatu waktu tertentu secara perlahan-lahan akan adanya perubahan-perubahan social. 
Beban lainnya yang harus dipikul oleh pemerintah adalah berupa polusi atau pencemaran lingkungan dari kemajuan-kemajuan teknologi dibidang pertanian dan industri. Pemerintah mengeluarkan dana untuk membersihkan sungai-sungai, mengelola tanah-tanah yang tak bertuan, mencegah polusi sekitar lapangan terbang dan sebagainya.
Secara keseluruhan terlihat pengeluaran dana itu memperkuat dan memperkokoh kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang baik secara langsung maupun membawa pengaruh yang tidak langsung. Didalam beberapa hal kebijakan pemerintah untuk menigkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat seperti menanganai masalah sampah, mengatasi polusi lingkungan, mencegah kejahatan serta gangguan-gangguan keamanan. Masalah lainnya berupa mengatasi perubahan social yang berhubungan dengan orang usia lanjut, masalah remaja yang juga merupakan hambatan jika tidak ditangani secara sungguh-sungguh.
Berdasarkan data yang dipelajari dari berbagai negara baik negara maju atau pun negara sedang berkembang dapat dilihat bahwa hubungan pengeluaran pemerintah dengan pembangunan negara adalah berupa hubungan yang positif, misalnya dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, meningkat pula tingkat konsumsinya dan juga meningkat pula produksi barang dan jasa secara keseluruhan.
Di negara-negara yang sedang berkembang sebagian besar pengeluaran pemerintah ditujukan unutk public investment dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, sehingga hasilnya dapat dirasakan secara keseluruhan, dimana merupakan penyebab terjadinya pertumbuhan yang cepat yang semakin besar.
Pembangunan yang terjadi akibat pengeluran dana pemerintah memang banyak sekali sehingga hubungan antara saru factor dengan lainnya kadang-kadang tidak nampak jelas karena saling kait mengait antra factor-faktor tersebut, misalnya yang terjadi antra perubahan social dan ekonomi, perubahan gaya hidup, perubahan permintaan, perkembangan pendidikan dengan tingkat kelahiran, pertahanan dan keamanan, trnsportasi, kominikasi serta berbagai kemajuan dibidang lainnya.
Negara dalam rangka menjaga kelangsungan kedaulatan negara (pemerintah) dan meningkatkan kemakmuran masyarakat, mencakup: mempersiapkan, memelihara, dan melaksanakan keamanan negara, menyediakan dan memelihara fasilitas untuk kesejahteraan sosial dan perlindungan sosial, termasuk fakir miskin, jompo, yatim piatu, masyarakat miskin, pengangguran, menyediakan dan memelihara fasilitas kesehatan, menyediakan dan memelihara fasilitas pendidikan. Sebagai konsekuensi pelaksanaan kewajibannya, pemerintah perlu dana yang memadai, dianggarkan melalui APBN/APBD, dan pada saatnya harus dikeluarkan melalui Kas Negara/Kas Daerah.
Dalam APBN, pengeluaran Pemerintah Pusat dibedakan menjadi Pengeluaran untuk Belanja dan Pengeluaran untuk Pembiayaan. Pengeluaran untuk belanja terdiri dari: Belanja Pemerintah Pusat seperti Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Pembayaran Bunga Utang, Subsidi, Belanja Hibah, Bantuan Sosial, Belanja Lain-lain, dan Dana yang dialokasikan ke Daerah seperti Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Sedangkan Pengeluaran untu Pembiayaan tediri dari Pengeluaran untuk Obligasi Pemerintah, Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri, dan Pembiayaan lain-lain.
Adapun jenis-jenis Pengeluaran Negara menurut sifatnya terdiri dari Pengeluaran Investasi, Pengeluaran Penciptaan Lapangan Kerja, Pengeluaran Kesejahteraan, Pengeluaran untuk Penghematan Masa Depan, dan Pengularan Lainnya. Pengeluaran Investasi merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa datang, misalnya, pengeluaran untuk pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara, satelit, peningkatan kapasitas SDM, dll. Pengeluaran Penciptaan Lapangan Kerja merupakan pengeluaran untuk menciptakan lapangan kerja, serta memicu peningkatan kegiatan perekonomian masyarakat. Pengeluaran Kesejahteraan Rakyat merupakan pengeluaran yang mempunyai pengaruh langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, atau pengeluaran yang dan membuat masyarakat menjadi bergembira, misalnya pengeluaran untuk pembangunan tempat rekreasi, subsidi, bantuan langsung tunai, bantuan korban bencana. Sedangkan Pengeluaran untuk masa depan merupakan pengeluaran yang tidak memberikan manfaat langsung bagi negara, namun bila dikeluarkan saat ini akan mengurangi pengeluaran pemerintah yang lebih besar di masa yang akan datang, pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan masyarakat, dan pengeluaran untuk anak-anak yatim. Sedangkan Pengeluaran Lain-lain merupakan pengeluaran tidak produktif yang tidak memberikan manfaat secara langsung kepada masyarakat, namun diperlukan oleh pemerintah, misalnya pengeluaran untuk biaya perang.
Peningkatan belanja pemerintah dapat memperluas permintaan agregat dalam jangka pendek tetapi juga dapat meningkatkan tingkat suku bunga sehingga akan menurunkan investasi swasta dalam jangka panjang. Belanja pemerintah dibagi menjadi dua komponen: konsumsi masyarakat dan investasi publik. Efek jangka pendek dari peningkatan belanja pemerintah adalah sama untuk kedua komponen tetapi berbeda untuk efek jangka panjang.
Belanja sektor publik dapat diklasifikasikan berdasar produktivitas. Membedakan antara pengeluaran pemerintah yang mempengaruhi produktivitas dan untuk konsumsi penting untuk dipahami sebagai konsekuensi intervensi fiskal melalui perubahan dalam pengeluaran pemerintah. Dampak pengeluaran pemerintah dalam jangka panjang terhadap kinerja agregat ekonomi tergantung pada kinerja pemerintah. Dalam jangka pendek belanja pemerintah akan memperluas permintaan agregat tetapi peningkatan belanja pemerintah atas biaya dana pinjaman, akan menyempitkan beberapa investasi swasta dan menghambat pertumbuhan permintaan agregat.
Crowding Out akhirnya dapat menurunkan stok modal swasta, dan pada gilirannya, dalam jangka panjang akan menurunkan produktivitas sehingga akan mengurangi output dan kapasitas produksi. Oleh karena itu diperlukan treatment ketidakseimbangan kebijakan fiskal dalam bentuk pengeluaran pemerintah yang memisahkan kedalam pengeluaran untuk konsumsi dan investasi.
Pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan dengan mengubah komposisi pengeluaran kedalam kegiatan berbasis produktivitas, tanpa mengubah tingkat pengeluaran atau pajak penghasilan. Pendekatan pasar modal dan obligasi digunakan untuk menggambarkan pengeluaran pemerintah (kebijakan moneter), selain dengan kebijakan fiskal (pada pasar barang).
Kegiatan-kegiatan dari segi pengeluaran ini dilakukan dengan menggunakan sejumlah resources dan produk, baik dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk kemakmuran masyarakat dengan menggunakan uang. Pengeluaran dengan menggunkan uang ini adalah yang dinamakn pengeluaran pemerintah. Dalam hal ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan dilihat dari segi keuangannya saja seperti pembelian, penjualan, melakukan transparan yang positif dan juga transfer negatif. 
Kegiatan pengeluaran pemerintah terhadap barang-barang dan jasa-jasa ditujukkan agar terjadi kenaikkan dalam penadapatan nasional, terjadinya perluasan kesempatan dan lapangan pekerjaan serta menjaga adanya kestabilan dalam tingkat harga pada umumnya. 
Kunarjo (1993) mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah berperan untuk mempertemukan permintaan masyarakat dengan penyediaan sarana dan prasarana yang tidak dapat dipenuhi oleh swasta. Dikatakan pula bahwa pengeluaran pemerintah yang dinyatakan dalam belanja pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam proyek-proyek yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, peningkatan kesejahteraan, dan program yang menyentuh langsung kawasan yang terbelakang. Pemerintah daerah dituntut dapat berperan aktif dalam mengelola dan mengembangkan sektor publik dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Pendekatan pada upaya peningkatan pertumbuhan tidak semata-mata menentukan pertumbuhan sebagai satu-satunya tujuan pembangunan daerah, namun pertumbuhan merupakan salah satu ciri pokok terjadinya proses pembangunan. Terdapat berbagai instrumen yang digunakan pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian. Salah satu diantaranya adalah pembelanjaan atau pengeluaran pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
Menurut Budiono (1981), pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut. Pertama, pembelian faktor-faktor produksi (input) dan pembelian produk (output). Kedua, untuk pengeluaran konsumsi pemerintah (belanja rutin) serta untuk investasi pemerintah (belanja pembangunan/barang-barang modal). Pengeluaran pemerintah yang diukur dari pengeluaran rutin dan pembangunan mempunyai peranan dan fungsi cukup besar mendukung sasaran pembangunan dalam menunjang kegiatan pemerintah serta peningkatan jangkauan dan misi pelayanan yang secara langsung berkaitan dengan pembentukan modal untuk tujuan peningkatan produksi.
Layaknya pengeluaran masyarakat, maka pengeluaran pemerintah akan memperbesar permintaan agregat melalui multiplier effect dan selanjutnya akan meningkatkan produksi atau penawaran agregat, sehingga PDB akan meningkat. Meningkatnya PDB merupakan indikasi timbulnya suatu perekonomian yang akan menambah penerimaan. Menurut Susanti (2000), pengeluaran pemerintah akan meningkat seiring dengan peningkatan kegiatan perekonomian suatu negara. Kaidah ini dikenal dengan hukum Wagner, yaitu adanya korelasi positif antara pengeluaran pemerintah dengan tingkat pendapatan nasional. Walaupun demikian, peningkatan pengeluaran pemerintah belum tentu berakibat baik terhadap aktivitas perekonomian. Oleh karena itu, perlu juga dilihat efisiensi penggunaan pengeluaran pemerintah tersebut.


2.6 Indikator Pengeluaran Pemerintah 
I. Belanja Pemerintah Pusat
1. Pengeluaran rutin
a. Belanja pegawai, diantaranya :
- Tunjangan Beras
- Gaji dan Pensiun
- Uang makan (lauk-pauk)
- Belanja Pegawai Dalam Negeri
- Belanja Pegawai Luar Negeri
b. Belanja barang
c. Pembayaran bunga utang
d. Subsidi
e. Pengeluaran rutin lainnya
2. Pengeluaran pembangunan
a. Pembiayaan rupiah
b. Pembiayaan proyek
II. Anggaran biaya untuk daerah
1. Dana Perimbangan
2. Dana otonomi khusus dan peyeimbang

 Sedangkan Menurut jenisnya Pengeluaran Negara dapat dibagi menjadi :
1. Pengeluaran Investasi
• Pengeluaran yang ditujukan untuk menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa datang
• Misalnya, pengeluaran untuk pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara, satelit, peningkatan kapasitas SDM, dll
2. Pengeluaran Penciptaan Lapangan Kerja
 Pengeluaran untuk menciptakan lapangan kerja, serta memicu peningkatan kegiatan perekonomian masyarakat


3. Pengeluaran Kesejahteraan Rakyat
• Pengeluaran yang mempunyai pengaruh langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, atau pengeluaran yang dan membuat masyarakat menjadi bergembira.
• Misalnya pengeluaran untuk pembangunan tempat rekreasi, subsidi, bantuan langsung tunai, bantuan korban bencana, dll
4. Pengeluaran Penghematan Masa Depan
• Pengeluaran yang tidak memberikan manfaat langsung bagi negara, namun bila dikeluarkan saat ini akan mengurangi pengeluaran pemerintah yang lebih besar di masa yang akan datang.
• Pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan masyarakat, pengeluaran untuk anak-anak yatim, dll
5. Pengeluaran yang Tidak Produktif
 Pengeluaran yang tidak memberikan manfaat secara langsung kepada masyarakat, namun diperlukan oleh pemerintah
 Misalnya pengeluaran untuk biaya perang

2.7 Pola Konsumsi Masyarakat
Secara umum data konsumsi/pengeluaran masyarakat di bagi menjadi dua kelompok yaitu pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Tingkat kebutuhan terhadap kedua kelompok pengeluaran tersebut pada dasarnya berbeda. Dalam kondisi pendapatan terbatas kita akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan jumlah pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan jumlah pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makanan.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa pola pengeluaran dapat dipakai sebagai salah satu alat untuk menilai tingkat kesejahteraan (ekonomi) penduduk, dan perubahan komposisinya sebagai indikator perubahan tingkat kesejahteraan penduduk.

Tabel 1. Persentase Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Menurut Jenis Pengeluaran
Tahun 1993, 1996, 1999, 2002, 2005, 2008
Jenis Pengeluaran 1993 1996 1999 2002 2005 2008
Perkotaan (Rupiah) 64.063 100.639 180.500 273.294 396.876 496.000
Makanan (%)
Bukan Makanan (%) 49.81
50.19 47.97
52.03 56.17
43.83 52.82
47.18 45.11
54.89 44.96
55.04
Perdesaan (Rupiah) 33.385 52.711 109.523 152.784 200.203 283.912
Makanan (%)
Bukan Makanan (%) 63.59
36.41 63.26
36.74 70.17
29.83 66.56
33.44 61.13
38.87 58.67
41.33
Perkotaan+Perdesaan(Rupiah) 43.565 69.977 137.453 206.336 286.741 386.370
Makanan (%)
Bukan Makanan (%) 56.86
43.14 55.34
44.66 62.94
37.06 58.47
41.53 51.37
48.63 50.17
49.83

Tabel diatas mengulas persentase pengeluaran per kapita per bulan menurut jenis pengeluaran, yaitu untuk makanan dan bukan makanan menurut tipe daerah, yaitu perkotaan, pedesaan dan penggabungan antara perkotaan+pedesaan. Pada umumnya pendduk perkotaan membelanjakan sebagian besar pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan, yaitu sebesar 55.04%, sedangkan sebaliknya penduduk perdesaan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan, yaitu sebesar 58.67%. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan penduduk perdesaan.



Tabel 2. Persentase Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Menurut Jenis
Pengeluaran Tahun 1993, 1996, 1999, 2002, 2005, dan 2008
Perkotaan
Jenis Pengeluaran 1993 1996 1999 2002 2005 2008
Makanan 49.81 47.97 56.17 52.82 45.11 44.96
1. Padi-Padian 9.00 8.47 11.83 8.64 5.61 6.65
2. Umbi-Umbian 0.47 0.42 0.53 0.47 0.35 0.34
3. Ikan 4.41 4.03 4.82 4.50 3.87 3.34
4. Daging 3.54 3.70 2.71 3.31 2.57 1.91
5. Telur 3.42 3.20 3.31 3.60 3.23 3.37
6. Sayur-Sayuran 4.05 4.08 5.28 4.01 3.21 3.20
7. Kacang-Kacangan 2.04 1.67 2.16 1.77 1.41 1.38
8. Buah-Buahan 2.76 2.98 2.05 2.87 2.10 2.18
9. Minyak dan Lemak 1.95 1.85 2.39 1.82 1.48 1.72
10. Bahan Minuman 2.52 2.31 2.48 2.20 1.70 1.64
11. Bumbu-Bumbuan 1.47 1.15 1.36 1.34 1.08 0.93
12. Konsumsi Lainnya 0.98 1.42 1.43 1.41 1.24 1.26
13. Makanan dan Minuman Jadi 9.06 9.19 11.37 11.19 12.23 12.66
14. Minuman Mengandung Alkohol 0.08 0.07 0.03 0.06 *) *)
15. Tembakau dan Sirih 4.08 3.43 4.44 5.64 5.04 4.37
Bukan Makanan 50.19 52.03 43.83 47.18 54.89 55.04
1. Perumahan dan Fasilitas Rumah Tangga 21.29 24.15 20.18 21.01 26.25 23.20
2. Barang dan Jasa 16.02 14.14 13.81 14.73 17.82 19.36
3. Pakaian, Alas Kaki, dan Tutup Kepala 5.75 5.00 5.02 4.99 3.59 3.25
4. Barang Tahan Lama 3.32 4.73 2.29 3.90 4.67 6.16
5. Pajak dan Asuransi 1.85 1.85 1.15 1.01 1.53 1.56
6. Keperluan Pesta dan Rumah Tangga 1.96 1.85 1.37 1.54 1.02 1.52
Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita Per Bulan (Rupiah) 64.063 100.639 180.500 273.294 396.876 496.000
Catatan: *) tergabung dalam kelompok makanan dan minuman jadi

Tabel 3. Persentase Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Menurut Jenis Pengeluaran Tahun 1993, 1996, 1999, 2002, 2005, dan 2008
Perdesaan
Jenis Pengeluaran 1993 1996 1999 2002 2005 2008
Makanan 63.59 63.26 70.17 66.56 61.13 58.67
1. Padi-Padian 18.41 17.45 22.08 17.95 13.10 14.33
2. Umbi-Umbian 1.20 0.95 1.05 0.90 0.94 0.84
3. Ikan 5.96 5.60 6.40 6.14 5.91 4.98
4. Daging 2.43 2.74 1.83 2.22 2.23 1.71
5. Telur 2.41 2.70 2.49 2.81 2.95 2.71
6. Sayur-Sayuran 5.84 5.90 7.26 5.75 5.35 5.36
7. Kacang-Kacangan 2.42 2.23 2.52 2.38 21.7 1.82
8. Buah-Buahan 2.71 2.79 2.09 2.80 2.26 2.42
9. Minyak dan Lemak 3.10 2.99 3.74 2.86 2.63 2.87
10. Bahan Minuman 3.82 3.72 3.80 3.44 3.05 2.93
11. Bumbu-Bumbuan 2.25 1.68 1.95 1.86 1.73 1.41
12. Konsumsi Lainnya 0.75 1.14 1.15 1.31 1.50 1.59
13. Makanan dan Minuman Jadi 6.37 7.74 7.47 7.56 9.36 9.45
14. Minuman Mengandung Alkohol 0.13 0.09 0.07 0.11 *) *)
15. Tembakau dan Sirih 5.78 5.54 6.28 8.47 7.96 6.24
Bukan Makanan 36.41 36.74 29.83 33.34 38.87 41.33
1. Perumahan dan Fasilitas Rumah Tangga 14.84 14.29 11.36 13.22 16.73 15.33
2. Barang dan Jasa 7.53 7.98 7.44 8.26 11.68 13.46
3. Pakaian, Alas Kaki, dan Tutup Kepala 6.34 5.67 5.46 5.45 4.18 3.56
4. Barang Tahan Lama 3.87 5.67 3.49 4.40 4.28 6.73
5. Pajak dan Asuransi 0.92 1.01 0.54 0.50 0.75 0.76
6. Keperluan Pesta dan Rumah Tangga 2.93 2.12 1.54 1.61 1.25 1.49
Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita Per Bulan (Rupiah) 33.385 52.711 109.523 152.784 200.203 283.912
Catatan: *) tergabung dalam kelompok makanan dan

Tabel diatas mengulas proporsi pembagian pengeluaran menurut jenis pengeluaran. Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa proporsi pengeluaran menurut jenis pengeluaran bagi penduduk perkotaan dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp 496.000,- dengan proporsi 55.04% digunakan untuk pengeluaran bukan makanan, dan sisanya 44.96% digunakan untuk pengeluaran makanan. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar pengeluaran penduduk perkotaan digunakan untuk pengeluaran bukan makanan, yang menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan tinggi.
Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan untuk penduduk perdesaan sebesar Rp 283.912,- dengan proporsi 58.67% digunakan untuk pengeluaran makanan dan sisanya 41.33% digunakan untuk pengeluaran bukan makanan. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar pengeluaran penduduk perdesaan digunakan untuk pengeluaran makanan, yang menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk perdesaan masih rendah.
Tabel diatas mengulas persentase pengeluaran per kapita per bulan untuk makanan menurut tipe daerah, yaitu perkotaan, pedesaan dan penggabungan antara perkotaan+pedesaan. Pada umumnya penduduk perkotaan membelanjakan sebagian besar pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan, sedangkan sebaliknya penduduk perdesaan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan.
Secara nasional, penduduk perkotaan membelanjakan 44.96% pengeluarannya untuk makanan, sedangkan penduduk daerah perdesaan mencapai 58.67%. keadaan ini mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan penduduk perdesaan.
Bila diperhatikan daerah perkotaan di setiap provinsi, terdapat 8 provinsi yang penduduknya membelanjakan lebih dari separuh pengeluarannya untuk makanan, yaitu Sulawesi Barat (56.29%), Kalimantan Tengah (54.23%), Papua Barat (52.96%), Nusa Tenggara Barat (51.98%), Kepulauan Bangka Belitung (51.77%), Sumatera Barat (51.28%), Nanggroe Aceh Darussalam (50.87%), dan Sumatera Selatan (50.20%). Hal ini menunjukan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan masih rendah pada kedelapan provinsi tersebut.
Penduduk perkotaan di provinsi DKI Jakarta hanya membelanjakan sebagian kecil pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan makanan, yaitu 36.34%, selanjutnya provinsi Kalimantan Timur (40.06%), dan DI Yogyakarta (40.40%). Keadaan ini jelas mengindikasikan tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan pada ketiga provinsi tersebut lebih baik disbanding provinsi lain.
Pola hidup penduduk perdesaan yang masih bersifat sederhana, juga didukung fasilitas, sarana, dan prasarana yang masih terbatas, sehingga sebagian besar penduduk perdesaan masih mengutamakan kebutuhan makanan. Berdasarkan tabel di atas, secara umum penduduk perdesaan pada seluruh provinsi di Indonesia menggunakan pengeluarannya lebih dari 50% untuk makanan.
Pengeluaran tertinggi untuk konsumsi makanan bagi penduduk perdesaan terdapat di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu 66.04%%, selanjutnya Nusa Tenggara Timur (65.30%), dan Kalimantan Tengah (64.64%), sedangkan yang terendah adalah penduduk perdesaan diprovinsi Bali, yaitu 49.60%.
Secara umum, pengeluaran penduduk perdesaan untuk memenuhi kebutuhan makanan, tetapi penduduk perkotaan terjadi keadaan yang sebaliknya, sehingga tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan jauh lebih baik dibandingkan penduduk perdesaan. Hal ini terjadi hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali provinsi Bali yang mempunyai pola pengeluaran antara perkotaan dan perdesaan yang hampir sama, yaitu lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan bukan makanan, masing-masing 56.40% diperdesaan.

Pendapat Para Ahli Ekonomi Tentang Analisa Konsumsi di Indonesia
Perubahan Pola Konsumsi Dunia
Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad, mengharapkan upaya dan kerjasama seluruh negara untuk menyelesaikan berbagai masalah dunia di berbagai sektor. Pernyataan itu dikemukakan oleh Ahmadinejad (17/12) dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, di sela-sela sidang perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark. Seraya menjelaskan kondisi saat ini terikat erat dengan kepentingan sejumlah negara, Ahmadinejad mengatakan, “Masalah berlanjutnya perundingan dan mekanisme pelaksanaan komitmen serta pertanggung jawaban terhadapnya, harus ditindaklanjuti oleh negara-negara besar.” Presiden Iran menilai perubahan gaya hidup sangat penting dilakukan serta menegaskan, “Kontrol konsumsi bahan bakar dan peningkatan secara efesien terhadap bahan bakar fosil, dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 
Adapun dalam sidang di Kopenhagen, Ahmadinejad mengusulkan penetapan tahun 2011 sebagai tahun perubahan pola konsumsi seraya mengajukan berbagai program untuk memelihara dan memanfaatkan lingkungan hidup secara efesien. 
Sejalan dengan pernyataan diatas, menurut Luthfi (2007), pola struktur konsumsi pemanfaatan energi nasional dikalangan masyarakat, industri, transportasi dan listrik harus diubah. Di sektor transportasi, misalnya, kebutuhan energi sekitar 99,9% masih menggunakan bahan bakar minyak, baik premium maupun solar. Hanya 0,1% yang menggunakan biofuel dan bahan bakar gas. Di sektor rumah tangga dan komersial masih 53,1% yang menggunakan bahan baker minyak, 36% menggunakan listrik dan baru 10,6% yang menggunakan elpiji. Tahun 2006 di sektor industri ada sekitar 43,8% yang menggunakan bahan bakar minyak. Sekitar 22,5% dan 19,6% menggunakan batubara dan gas. Untuk pembangkit listrik sekitar 23,7% masih menggunakan bahan bakar minyak meski tidak ekonomis.
Melihat itu semua Pemerintah harus berani melakukan perubahan pola konsumsi energi agar tidak terlalu tergantung kepada bahan bakar minyak. Jika dikembangkan energi alternative semua pihak baik masyarakat maupun negara sangat diuntungkan. Banyak pilihan dalam penerapan energi alternatif ini sesuai dengan kondisi setiap wilayah. Potensi panas bumi Indonesia tersebar di 151 lokasi sebesar 27.000 MW (atau sekitar 40% dari potensi panas bumi dunia) dan potensi terbesarnya ada di Pulau Sumatera sebesar 5.433 MW dan Indonesia baru mengembangkan hanya sebesar 4% saja. Untuk wilayah Kalimantan Barat sangat sesuai jika dikembangkan pembangkit listrik tenaga air. Sebesar 6% potensi pembangkit listrik tenaga air Indonesia sebesar 75.760 MW berada di Kalimantan Barat.
Tetapi perubahan pola konsumsi minyak masyarakat akan berubah bila pemerintah bersikap konsisten dan serius dalam masalah ini. Contoh kasus ialah dalam penerapan biofuel. Eropa pada tahun 2010 telah mewajibkan setiap SPBU disana untuk menyiapkan biofuel sebanyak 10% dari BBM yang tersedia di SPBU tersebut. Hal ini akan membuat setiap pengusaha yang akan terjun dalam bisnis. tersebut mempunyai perkiraan pasar yang jelas dan dukungan untuk program tersebut akan lebih nyata dari berbagai kalangan.

2.8 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
 2.8.1 Analisa Realisasi Pengeluaran Rutin Dan Pembangunan
 Di bawah ini ditampilkan sejumlah data mengenai realisasi pengeluaran rutin pemerintah.
Tabel 4. Realisasi Pengeluaran Rutin Pemerintah Pada Tahun 1993-2008
(Nilai dalam Milyar Rupiah, proporsi dalam persen)
Tahun Anggaran Persentase masing-masing unsur pengeluaran rutin
 Belanja pegawai Belanja barang Subsidi daerah Angsuran utang Lain-lain Jumlah pengeluran rutin
1993 27.66 7.53 17.15 42.60 5.07 40290
1994 28.58 9.80 16.50 41.76 3.36 44069
1995 25.78 10.26 16.31 43.84 3.81 50435
1996 23.11 12.96 14.96 43.99 5.03 62561
1997 19.27 10.04 12.34 34.72 23.62 89610
1998 16.57 7.49 9.61 37.77 28.56 147717
1999 20.15 6.51 11.49 23.93 37.89 166881
 2000 18.21 5.91 30.80 38.59 6.49 162578
2001 17.68 4.54 39.80 34.00 2.60 218924
2002 21.15 6.85 46.97 23.37 1.66 186651
2003 25.50 8.02 34.96 23.48 8.05 186944
2004 22.35 6.58 26.48 38.78 5.82 236015
2005 18.67 11.10 19.36 40.53 10.34 297802
2006 21.52 15.24 22.45 29.29 11.50 367451
2007 25.83 16.30 22.03 27.70 8.14 379293
2008 24,71 1,91 15,54 11.04 13,34 619758
Sumber: Laporan tahunan BI, diolah

 
Grafik 1. Realisasi Pengeluaran Rutin Pemerintah Pada Tahun 1993-2008
(Nilai dalam Milyar Rupiah, proporsi dalam persen)
 Berdasarkan data di atas, menunjukkan komponen dari pengeluaran rutin pemerintah yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah, angsuran utang dan lain-lain. Untuk belanja pegawai dan belanja barang nilai pengeluarannya selalu berfluktuasi. Sedangkan untuk subsidi daerah mengalami peningkatan yang cukup signifikan pasca krisis ekonomi tahun 1998. Namun setelah itu mengalami penurunan hingga tahun 2005 dan pada tahun 2006, 2007 dan 2008 alokasi untuk subsidi daerah mengalami peningkatan kembali walaupun dalam proporsi yang tidak begitu besar. Total subsidi ini lebih besar daripada biaya pembangunan. Kemudian untuk angsuran utang nilainya juga mengalami fluktuasi.  

2.8.2 Analisa Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Adapun data perkembangan pengeluaran pemerintah di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah di Indonesia
Periode 1993 - 2008 (%)
Tahun Pengeluran Pemerintah (Milyar Rp) %
1993 68,718 14.32
1994 74,761 8.79
1995 79,216 5.96
1996 98,513 24.36
1997 127,969 29.90
1998 215,586 68.47
1999 245,912 14.07
2000 231,878 -5.71
2001 341,564 47.30
2002 322,180 -5.68
2003 376,505 16.86
2004 427,177 13.46
2005 509,419 19.25
2006 699,099 37.23
2007 752,373 7.62
2008 985,663 31.01
 Sumber : Laporan Tahunan BI 






 
Grafik 2. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah di Indonesia
Periode 1993 - 2008 (%)

Berdasarkan data di atas, pengeluaran pemerintah (G) di Indonesia bersifat fluktuatif yang cenderung meningkat, hal ini disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia itu sendiri. Dari tahun ke tahun belanja negara mengalami peningkatan hal ini dikarenakan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang cenderung meningkat dan juga disesuaikan dengan keadaan jaman yang semakin canggih dan modern sehingga harga - harga melonjak tinggi. Selain itu, masyarakat Indonesia yang memiliki sifat konsumtif, ingin memiliki barang yang tidak memiliki kepentingan yang cukup besar mereka lebih bersifat pada pamer dalam memenuhi kebutuhan tersiernya itu. Hal ini dilakukan oleh orang kaya, sedangkan untuk kalangan miskin mereka lebih sedikit mengkonsuminya. Untuk memenuhi semua itu, pada tahun 1990-an pemerintah lebih meningkatkan pengeluaran rutin seperti pembelanjaan gaji. Karena pada saat itu pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan juga mengentaskan kemiskinan. 
Terutama untuk tahun terakhir ini pemerintah SBY mencoba melakukan subsidi BBM, untuk program pengentasan kemiskinan dan sebagai jalan untuk menciptakan lapangan pekerjaan dengan uang subsidi tersebut. Sehingga, pengeluaran pemerintah tinggi dalam pemberian subsidi, program tersebut dialokasikan kepada warga miskin di Indonesia. Namun, banyak terjadi kesenjangan dalam pemberian subsidi tersebut, seharusnya warga miskin yang memperoleh subsidi tetapi tidak sedikit orang yang tidak tergolong miskin juga mendapat subsidi BBM atau yang dikenal dengan sebutan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Kemudian, pemanfaatan BLT tersebut banyak digunakn oleh kebanyakan masyarakat untuk mengkonsumsi barang bukan untuk modal dalam menciptakan usaha baru.
Perlu di garis bawahi, pada tahun 1998 pengeluaran pemerintah melejit tinggi sebesar 68%, dimana pengeluaran sebelumnya sebesar Rp 127.969 milyar menjadi Rp 215.586 milyar. Hal ini terkait dengan pembiayaan perbankan, yaitu pengeluaran dana BLBI sebesar Rp 140 triliun. Untuk tahun berikutnya 1999, pertumbuhan pengeluaran pemerintah kembali normal yaitu berkisar sebesar 14%. Pada tahun 1999 ini, realisasi pengeluaran operasional pemerintah mencapai Rp 2,0 triliun. Pembayaran bunga utang merupakan komponen pengeluaran operasional terbesar yang mencapai Rp 27,6 triliun, pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 15,3 triliun dan pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 12,3 triliun. Untuk membiayai restrukturisasi perbankan, pengeluaran belanja pegawai juga menunjukkan realisasi yang cukup tinggi yaitu sebesar Rp 24,3 triliun yang disebabkan oleh adanya tambahan pembiayaan gaji bagi pegawai dan pensiunan. Sementara itu, pengeluaran subsidi mencapai Rp 14 triliun terutama untuk realisasi pembayaran subsidi BBM. Meningkatnya harga minyak ikut mendorong pengeluaran subsidi BBM sehingga melampaui target anggarannya. Peningkatan pengeluaran subsidi BBM juga disebabkan oleh pembayaran beban anggaran subsidi BBM dari tahun anggaran sebelumnya.
Hal ini merupakan bukti dari krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 - 1998. Pada tahun 2000 kondisi keuangan pemerintah telah stabil kembali sehingga tidak terlalu banyak pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemerintah, penurunan tersebut terjadi dari Rp 245,912 milyar menjadi Rp 231,878 milyar . Tahun 2002 juga pengeluaran pemerintah kembali merosot sebesar 19.384 milyar dari 341,564 milyar menjadi 322.180 milyar. Tahun 2000 dan 2002 pengeluaran pemerintah mengalami penurunan, dikarenakan adanya penurunan dana yang cukup signifikan dalam alokasi subsidi. Turunnya subsidi ini mengacu pada kebijakan subsidi umum yaitu secara bertahap mengalihkan subsidi harga menjadi subsidi langsung kepada masyarakat kurang mampu, serta subsidi bahan dan kebutuhan pokok tertentu. Sedangkan di tahun 2001, 2003, dan 2004 pengeluaran pemerintah meningkat kembali akibat dari peningkatan stimulus fiskal yang lebih ekspansif serta tingginya harga minyak internasional.
Bila kita cermati Pengeluaran pemerintah semakin meningkat setelah krisis moneter tahun 1997, pada tahun 1997 pengeluaran pemerintah berjumlah Rp. 215,586,dan pada tahun 2008 pengeluara pemerintah naik menjadi Rp 985,663 mengalami kenaikan sebesar 317 %, hal ini terjadi karena inflasi besar yang menimpa Indonesia pada tahun 1997, inflasi semakin membuat harga semakin mahal dan memperlelmah nilai tukar rupiah terhadap uang asing.

Tabel 6. Perkembangan Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan di Indonesia (dalam milyar rupiah)
Tahun Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan
1993
1994
1995
1996
1997
1998 40290
44069
50435
62561
84607
103261 28428
30692
28781
35952
46938
42759
1999 156756 45187
2000 162577 25815
2001 218923 41585
2002 186651 37325
2003 186944 69247
2004 236003 61450
2005 301557 57601
2006 385266 58931
2007 439570 64407
2008 619758 73273
Sumber : Keuangantahunan Bank Indonesia
 
Grafik 3 . Perkembangan Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran 
Pembangunan di Indonesia

Pada tahun 1993 sampai sekarang pengeluaran pemerintah lebih berorientasi pada pengeluaran rutin, sebab pada tahun tersebut program pemerintah ialah meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Seperti pada pemberian gaji pegawai, pemberian subsidi pemerintah dan pembayaran hutang kepada luar negeri. Tetapi baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan befluktuafif cenderung meningkat, terutama setelah terjadi krisis moneter 1997, pengeluaran rutin pemerintah semakin meningkat tajam.
Pada tahun 2008 juga terjadi kenaikan dalam alokasi dana perimbangan, dan dana otonomi khusus dan penyesuaian. Total dana perimbangan mencapai Rp 266,8 triliun, dan dana otonomi khusus dan penyesuaian sebesar Rp 14,4 triliun. Adapun rincian Dana Perimbangan itu terdiri dari Dana Bagi Hasil sebesar Rp 66,1 triliun, Dana Alokasi Umum sebesar Rp 179,5 triliun, dan Dana Alokasi Khusus sebesar Rp 21,2 triliun. Hal ini dilakukan untuk mendukung program otonomi daerah yang merangsang pemerintah daerah untuk mandiri melakukan pembanguunan ekonomi di daerahnya.

2.8.3 Analisa Budget Dan Realisasi Pengeluaran Pemerintah
Tabel 7. Budget dan Realisasi Pengeluaran Pemerintah di Indonesia
Tahun Pengeluran Pemerintah (Milyar Rp) %
1993 68,718 14.32
1994 74,761 8.79
1995 79,216 5.96
1996 98,513 24.36
1997 127,969 29.90
1998 215,586 68.47
1999 245,912 14.07
2000 231,878 -5.71
2001 341,564 47.30
2002 322,180 -5.68
2003 376,505 16.86
2004 427,177 13.46
2005 509,419 19.25
2006 699,099 37.23
2007 752,373 7.62
2008 985,663 31.01
 
Sumber : Laporan Tahunan BI
 
 
Grafik 4. Budget dan Realisasi Pengeluaran Pemerintah di Indonesia
Berdasarkan data di atas, untuk tahun anggaran 1984/85 antara budget dan realisasi pengeluaran pemerintah mengalami perubahan. Di mana budget untuk tahun anggaran 1984 / 85 lebih besar daripada realisasi pengeluaran pemerintah pada tahun anggaran tersebut. Begitu juga untuk tahun anggaran 1985 / 86 juga mengalami hal yang sama di mana budget untuk anggaran pemerintah lebih besar daripada realisasinya hal ini menguntungkan pemerintah sebab pemerintah mengalami surplus. Sedangkan untuk tahun anggaran 1997 / 98 antara budget dan realisasi mengalami perubahan, di mana budget untuk tahun anggaran ini lebih kecil daripada realisasi pengeluaran pemerintah yang terjadi. Sehingga pemerintah mengalami defisit, hal ini dilakukan untuk menutupi krisis ekonomi / moneter yang terjadi di Indonesia pada saat itu dan untuk menutupi hutang Indonesia pada luar negeri.
Pada tahun anggaran 2003, terjadi perbedaan antara budget dan realisasi dari pengeluaran pemerintah, di mana budget lebih besar daripada realisasi yaitu sebesar Rp 743 milyar. Namun pada tahun anggaran 2004 budget untuk tahun anggaran saat itu lebih kecil daripada realisasi dari pengeluaran pemerintah. Hal ini dilakukan untuk memberikan subsidi kepada golongan miskin di Indonesia sehingga pemerintah lebih meningkatkan pengeluarannya untuk membantu masyarakat miskin di Indonesia. Pada tahun selanjutnya realisasi pengeluaran pemerintah selalu lebih besar dibandingkan budget, kecuali pada tahun 2008 budget lebih besar dibandingkan realisasi pengeluaran. Budget pengeluaran pemerintah yaitu Rp 1.017.389 milyar sedangkan realisasinya hanya Rp. 985.663.
Pada tahun 2007 terjadi suatu krisis yang disebut “ Subprime Mortgage ” yang efeknya masih terasa hingga tahun 2009. Subprime mortgage adalah salah satu sebab mengapa realisasi pengeluaran Negara lebih besar dibandingkan budget yang telah dianggarkan.Subprime mortgage adalah paket kredit kepemilikan rumah yang ditujukan untuk orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk pengajuan kredit atau bisa disimpulkan kredit bagi orang – orang yang kurang memiliki kapasitas untuk membayar kredit dan pernah mempunyai catatan buruk dalam perkreditan. Program kredit ini menjadi bermasalah karena para reditur ridak mampu membayar kredit, maka EBA yang berasal dari subprime mortgage pun ambruk. Nilai jualnya jadi terkoreksi. Otomatis, para investor yang menanamkan modalnya di EBA subprime mortgage juga ikutan merugi. Parahnya lagi, banyak perusahaan kredit perumahan yang juga bangkrut, karena tidak ada putaran uang yang terjadi.. kepanikan pun mulai melanda para investor di lantai bursa New York. Investor lalu mulai menjual saham-saham yang bergerak dalam industri properti. Karena kabar kegagalan sub prime mortgage ini ditaksir a sekitar $35 trilyun. Krisis ini menjadi krisis global sebab Gerak arus modal yang semakin negatif , membuat pasar keuangan dunia menjadi saling terkait dan saling berketergantungan satu sama lain. Sentimen negatif dan kepanikan dari Wall Street yang notabene merupakan pasar saham terbesar di dunia dengan cepatnya menjalar ke mana-mana. Investor-investor global raksasa yang tergabung dalam hedge fund ataupun investment bank baik yang secara kebetulan memiliki investasi di subprime mortgage atau tidak, mulai menarik dananya dari pasar modal dan mulai memasukkannya ke dalam investasi yang berisiko lebih rendah. Maka, bursa-bursa saham regional dan dunia juga ikut bertumbangan. Kekurangan investasi ini mendorong orang untuk mengurangi investasi dan konsumsi.
Subprime mortgage juga disinyalir menjadi sebab bangkrutnya perusahan – perusahaan besar dunia seperti General Motors dan Lehman Brothers. Krisis ini juga menjalar ke seluruh dunia termasuk Negara berkembang seperti Indonesia. Atas landasan tersebut budget pengeluaran pemerintah pada tahun 2008 dinaikan 35 % dari anggaran tahun 2007.

2.9 Perkembangan PDB, Konsumsi Rumah Tangga, dan Pengeluaran Pemerintah
Tabel 8. Proporsi Konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah terhadap PDB Riel Tahun 1993-2007 (dalam %)
Tahun Proporsi Konsumsi Rumah Tangga terhadap PDB Proporsi Pengeluaran pemerintah terhadap PDB
1993 51,9% 9,2%
1994 58,7% 8,6%
1995 61,0% 8,0%
1996 62,1% 7,7%
1997 64,0% 7,3%
1998 69,1% 7,1%
1999 70,6% 7,1%
2000 69,4% 7,2%
2001 61,5% 6,8%
2002 61,1% 7,3%
2003 60,6% 7,7%
2004 60,4% 7,5%
2005 59,6% 7,7%
2006 58,3% 8,0%
2007 57,6% 7,8%
 Sumber: BPS (diolah) 
Penjelasan :
Pada periode 1993-2007 proprosi konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah terhadap PDB Riel Indonesia relatif mengalami perkembangan yang berlawanan. Apabila kosumsi rumah tangga relatif mengalami peningkatan maka pengeluaran pemerintah sebaliknya malah relatif mengalami penurunan. Pada awal tahun periode ini proporsi konsumsi rumah tangga hanya sebesar 53,9% dan proporsinya terus mengalami peningkatan hingga mencapai 70,6% pada tahun 1999, sebelum akhirnya menurun turun pada tingkat pertumbuhan 57,6% di tahun 2007. Sementara proporsi pengeluaran pemerintah pada periode ini terus mengalami penurunan pada tahun 1990 proporsinya sebesar 9,8% terus menurun hingga mencapai 7,8% pada tahun 2007.

Tabel 9. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto menurut penggunaan atas dasar harga konstan, Konsumsi Rumah Tangga, dan Pengeluaran Pemerintah Tahun 1993-2007 (dalam %)

Tahun Pertumbuhan PDB Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Pertumbuhan Pengeluran Pemerintah
1993 6,5% 12,4% 0,1%
1994 7,5% 7,8% 2,3%
1995 8,2% 12,6% 1,3%
1996 7,8% 9,7% 2,7%
1997 4,7% 7,8% 0,1%
1998 -13,1% -6,1% -15,4%
1999 0,8% 3,0% 0,7%
2000 4,9% 3,1% 6,5%
2001 3,8% 3,5% 7,6%
2002 4,4% 3,8% 13,0%
2003 4,9% 3,9% 10,0%
2004 5,1% 4,9% 1,9%
2005 5,4% 4,0% 8,8%
2006 5,5% 3,2% 9,6%
2007 6,3% 5,0% 3,9%
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Penjelasan :
Dilihat pada pertumbuahan PDB Riel periode 1993-2007, pertumbuhannya berfluktuatif, namun tren-nya meningkat. Pada awal tahun 1993 pertumbuhannya 6,5%. Peningkatan pertumbuhan terlihat pada tahun 1994 sebesar 7,5% dan mencapai puncaknya pada tahun 1995 sebesar 8,2%. Peningkatan pertumbuhan ini tentunya tidak lepas dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga selama tahun1990-1998 cukup berfluktuatif. Semenjak tahun 1999, pertumbuhan konsumsi rumah tangga terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun, penurunan hanya terjadi sekali yaitu pada tahun 2006 sebesar 3,2%, dan pada tahun 2007 mencapai pertumbuhan tertingginya pada periode ini sebesar 5%. Sementara dilihat dari pertumbuhan pengeluaran pemerintah pertumbuhanya sangat berfluktuatif, pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2003 sebesar 13,0% dan mengalami penurunan yang sangat tajam pada tahun 1998 sebesar 15,4%.
 Perkembangan PDB Pada awal periode 1998 diwarnai dengan Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Pada tahun 2005 terjadi pergantian kekuasaan pemerintahan dari Megawati ke pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negeri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.

Pendapat Para Ahli Ekonomi Tentang Analisa Budget Dan Realisasi Pengeluaran Pemerintah
Dalam pesannya, Presiden meminta semua satuan kerja di lembaga negara, departemen, hingga pemerintah daerah tidak menunda penggunaan anggaran karena setiap penundaan realisasi anggaran akan menimbulkan beban dalam aliran dana pemerintah. Permintaan Presiden tersebut wajar karena selama ini realisasi DIPA, yang sesungguhnya baru berupa daftar program, selalu tertunda.
Yoke Muelgini (2008) mencoba mengkritik keterlambatan realisasi DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) dan APBD. Salah satu penyebab tertundanya APBD selama ini adalah akibat keterlambatan penyelesaian APBN yang kemudian menyulitkan pemda memasukkan program dalam anggaran APBD mereka. Akibatnya, setiap menjelang akhir tahun atau ketika memasuki kuartal keempat, selalu terjadi pelonjakan realisasi pengeluaran anggaran besar-besaran untuk proyek-proyek pemerintah daerah.


 Dampak Keterlambatan Realisasi Anggaran
Ada beberapa kerugian yang harus ditanggung akibat perilaku membiarkan terlambatnya realisasi anggaran atau DIPA. 
1. Keterlambatan realisasi anggaran akan menimbulkan beban dalam aliran dana pemerintah.
2. Akan menghambat berjalannya realisasi tiga fungsi anggaran, yaitu fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. 
3. Terlambatnya realisasi anggaran juga menghambat terjadinya multiplier effects (efek pengganda) ekonomi yang dapat dihasilkan dari penggunaan anggaran sebagai suatu pengeluaran.
Artinya, setiap rupiah pengeluaran (konsumsi) pemerintah daerah akan direspons dalam bentuk pelipatgandaan dalam jumlah tertentu oleh perekonomian daerah dalam bentuk nilai tambah terhadap besarnya PDRB.
Keterlambatan realisasi anggaran (APBN dan/atau APBD) dapat mengakibatkan tertundanya pembentukan produksi domestik. Ketepatan waktu realisasi anggaran dapat membuat perekonomian daerah menerima multiplier effects dari pengeluaran pemerintah dalam bentuk penerimaan pendapatan dan pembukaan lapangan kerja. Oleh sebab itu, pemerintah daerah perlu meningkatkan upayanya menjaga agar keterlambatan realisasi anggaran tidak terulang.
Sementara itu, Yunan Syaifullah, Peneliti pada Economic Reform Institute (ECORIST) dalam Current Article (Sabtu, 9 Januari 2010) membahas mengenai peran pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dengan analisa budget/anggaran pemerintah. 
Menurutnya di antara pangkal masalah berbagai kebijakan dan strategi kurang berarti karena kini ekonomi bergerak pada model ekonomi jangka pendek. Hal ini yang luput dan tidak diperhatikan oleh pengambil kebijakan.  
Sebagai contoh untuk menggolkan satu program tertentu, pemerintah mengeluarkan budget yang cukup fantastis. Kendati anggaran yang dikucurkan sangat besar hingga kini belum ada tanda-tanda mengembirakan. Misalnya, angka pengangguran dalam 2006 memang turun menjadi 10 juta orang dari 11 juta orang. Laju pertumbuhan angkatan kerja baru mencapai 1,5 juta orang. Sedangkan angka kemiskinan masih ada 31,92 juta orang di Indonesia. 
Ekonomi jangka pendek tidak akan menghasilkan perekonomian kokoh dan tidak dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Orientasi pada investasi portofolio tidak memberi sumbangan pada penciptaan kesempatan kerja. 
Sudah saatnya, babak baru dijalani dengan membangun dan mengoptimalkan suatu kebijakan yang bermata rantai dengan kepentingan yang jauh ke depan. Berbagai retorika yang sarat dengan ketidakjelasan dan inkonsistensi perlu diakhiri agar tidak makin memperpuruk ekonomi di Indonesia. 
Kritik Terhadap Pengeluaran Sosial (Jurnal Edi Suharto, PhD, Pembangunan Sosial Di Negara Maju Dan Berkembang) 
 Berdasarkan jurnal yang ditulis Edi Suharto, menyatakan bahwa praktik pembangunan di negara-negara berkembang di Asia Tenggara menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi berhubungan secara positif dengan tingkat pengeluaran sosial. Namun demikian, melihat masih kecilnya pengeluaran sosial di negara-negara ini (antara 2–6 persen) dapat dinyatakan bahwa komitmen pemerintah terhadap pembangunan sosial masih rendah.  
Memang benar, pembangunan sosial adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Namun, bila kita cermati praktik di negara lain, baik negara maju maupun berkembang, pemerintah mengemban amanat yang besar untuk mengalokasikan dananya bagi sektor sosial secara lebih proporsional. 
Keterbatasan dana sudah tidak memadai lagi dijadikan alasan ketertinggalan ini. Dengan komitmen dan pengaturan yang baik, pemerintah di negara-negara berkembang sesungguhnya sudah mampu untuk meningkatkan anggarannya lebih besar lagi bagi pembangunan sosial. Persoalannya kerapkali terletak pada misalokasi dan mismanajemen anggaran pembangunan. 
Seperti banyak dilaporkan mass media, anggaran belanja pemerintah pusat maupun daerah seringkali tidak mengedepankan kepentingan masyarakat banyak (lihat Utomo, 2003a). Pada KTT ASEAN di Bali 7-8 Oktober nanti, pemerintah berencana menyediakan mobil BMW Seri 7 untuk para kepala negara dan Seri 5 untuk pejabat setingkat menteri. Jumlah kepala negara yang akan diundang (berikut negara tamu Cina, Jepang, Korea, dan India) adalah sebanyak 14 orang. Apabila setiap negara membawa dua menteri, maka akan hadir 28 menteri. Harga BMW Seri 7 yang termurah (735Li) adalah Rp. 1,88 miliar. Sedangkan harga termurah BMW Seri 5 (tipe 530) adalah Rp. 815 juta. Dengan demikian, dana yang diperlukan untuk kendaraan kepala negara adalah Rp. 26,32 miliar dan untuk para menteri sebesar Rp. 22,82 miliar.  
Anggapan bahwa pengeluaran sosial yang tinggi merupakan “kemewahan” dan hanya mampu dilakukan oleh negara-negara kaya ternyata tidak terbukti. Kenyataan di banyak negara menunjukkan bahwa tingginya pengeluaran sosial tidak selalu ditentukan oleh tingginya GDP, seperti diperlihatkan model negara lemah versus negara sejahtera. Sebagai contoh, GDP AS, Australia dan Jepang lebih besar dari Yunani dan Portugal, tetapi pengeluaran sosial ketiga negara tersebut jauh di bawah Portugal dan Yunani. GDP Malaysia (US$ 7.730) juga lebih besar dari GDP Yunani (US$ 6.505) dan Portugal (US$ 6.085), tetapi pengeluaran sosial Malaysia (5,8%) jauh di bawah kedua negara tersebut (20,9% dan 15,3%). Pendapatan Thailand (US$ 6,490) hanya terpaut sedikit di bawah Portugal dan Yunani, namun pengeluaran sosial Thailand (4,2) jauh tertinggal oleh Portugal dan Yunani. 











BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di tarik benang merah, bahwa tingkat pengeluaran konsumsi mempunyai hubungan yang positif dengan pendapatan. Berbeda dengan negara-negara berkembang, ketika pendapatan meningkat negara-negara maju akan lebih sedikit menambah porsi pendapatan untuk konsumsi, sebab sebagian besar akan dialoksikan untuk memperkuat kemampuan saving, sehingga persediaan investasi dalam negeri untuk pembangunan meningkat juga. Golongan ekonomi dalam masyarakat yang ingin menambah pendapatan relatif, haruslah diimbangi dengan tingkat produktivitas yang tinggi agar tidak menimbulkan tingkat inflasi dan mengurangi pribadi konsumtif dalam masyarakat.
Besarnya konsumsi seseorang akan dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut: 
1. Kemampuan masyarakat dalam menyediakan barang-barang konsumsi, 
2. Besarnya penghasilan, khususnya yang tersedia untuk dibelanjakan, dan 
3. Tingkat harga barang-barang. 
4. Selera dan intensitas kebutuhannya 
5. Adanya barang substitusi. 
Pengeluaran pemerintah berperan untuk mempertemukan permintaan masyarakat dengan penyediaan sarana dan prasarana yang tidak dapat dipenuhi oleh swasta. Dikatakan pula bahwa pengeluaran pemerintah yang dinyatakan dalam belanja pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam proyek-proyek yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, peningkatan kesejahteraan, dan program yang menyentuh langsung kawasan yang terbelakang
Menurut Wagner, ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran 
pemerintah selalu meningkat yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan 
dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang 
mengiringi pertumbuhan ekonomi, perkembangan demokrasi, dan 
ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintah. (Dumairy, 1996:161-164). 
Pengeluaran pemerintah Indonesia yang relative berkembang dari tiap tahun adalah implementasi pemerintah untuk mensejahterakan ekonomi negara. Dalam aplikasinya pengeluaran pemerintah akan berbanding lurus dengan pendapatan pemerintah. Oleh karena itu pengalokasian dan penyerapan dari pengeluran pemerintah menjadi focus guna mencapai pengeluaran pemerintah yang efektif,efisien dan tepat sasaran. 

3.2 Saran 
 Menimbang fenomena ekonomi yang terjadi, saran yang dapat penyusun berikan untuk membantu mengendalikan konsumsi masyarakat dan pengeluaran pemerintah, adalah sebagai berikut:
• Bagi masyarakat, hendaknya membuat anggaran belanja dengan memperhatikan skala prioritas dan bila pendapatan atau penghasilan meningkat, hendaklah kemampuan saving diperkuat lagi, agar investasi dalam negeri meningkat yang berdampak membaiknya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. 
• Pemerintah hendaknya mengimbangi dalam hal pengeluaran konsumsi pemerintah. Pemerintah juga diharapkan untuk bisa mewujudkan masyarakat yang berproduktivitas tinggi agar masyarakat Indonesia tidak menjadi pribadi-pribadi yang konsumtif, tetapi menjadi masyarakat yang produktif. 
• Pemerintah perlu melakukan upaya menaikkan pendapatan nasional sebagai salah satu faktor yang menentukan besarnya pengeluarann konsumsi masyarakat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, mengingat pengeluaran konsumsi masyarakat semakin hari semakin besar jumlahnya.
• Penegakan hokum dalam segala aspek, karena dengan penegakan hokum akan memperkecil kemungkinan tidak terserapnya anggaran karena penyimpangan dan mengefisienkan alur birokrasi.




























LAMPIRAN

Tabel 1. Persentase Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Menurut Jenis Pengeluaran
Tahun 1993, 1996, 1999, 2002, 2005, dan 2008
Perkotaan dan Perdesaan
Jenis Pengeluaran 1993 1996 1999 2002 2005 2008
Makanan 56.86 55.34 62.94 58.47 51.37 50.17
1. Padi-Padian 13.82 12.80 16.78 12.47 8.54 9.57
2. Umbi-Umbian 0.85 0.67 0.78 0.64 0.58 0.53
3. Ikan 5.20 4.78 5.58 5.17 4.66 3.96
4. Daging 2.97 3.24 2.29 2.86 2.44 1.84
5. Telur 2.90 2.96 2.91 3.28 3.12 3.12
6. Sayur-Sayuran 4.69 4.96 6.23 4.73 4.05 4.02
7. Kacang-Kacangan 2.23 1.94 2.33 2.02 1.70 1.55
8. Buah-Buahan 2.73 2.88 2.07 2.84 2.16 2.27
9. Minyak dan Lemak 2.54 2.40 3.04 2.25 1.93 2.16
10. Bahan Minuman 3.19 2.99 3.12 2.71 2.23 2.13
11. Bumbu-Bumbuan 1.87 1.41 1.65 1.55 1.33 1.12
12. Konsumsi Lainnya 0.86 1.29 1.29 1.37 1.34 1.39
13. Makanan dan Minuman Jadi 7.68 8.49 9.48 9.70 11.11 11.44
14. Minuman Mengandung Alkohol 0.11 0.08 0.05 0.08 *) *)
15. Tembakau dan Sirih 4.95 4.44 5.33 6.80 6.18 5.08
Bukan Makanan 43.14 44.66 37.06 41.53 48.63 49.83
1. Perumahan dan Fasilitas Rumah Tangga 17.98 19.40 15.92 17.80 22.53 20.21
2. Barang dan Jasa 11.67 11.33 10.74 12.07 15.42 17.12
3. Pakaian, Alas Kaki, dan Tutup Kepala 6.05 5.32 5.23 5.18 3.82 3.37
4. Barang Tahan Lama 3.60 5.18 2.87 4.10 4.52 6.37
5. Pajak dan Asuransi 1.37 1.45 0.85 0.80 1.22 1.25
6. Keperluan Pesta dan Rumah Tangga 2.46 1.98 1.45 1.57 1.11 1.51
Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita Per Bulan (Rupiah) 43.565 69.977 137.453 206.336 286.741 386.370
Catatan: *) tergabung dalam kelompok makanan dan minuman jadi


Tabel 2. Persentase Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Untuk Bukan Makanan Menurut Propinsi Tahun 1993, 1996, 1999, 2002, 2005, dan 2008
Perkotaan+perdesaan
No Provinsi Tahun
  1993 1996 1999 2002 2005 2008
1 Nanggroe Aceh Darussalam 36.30 34.86 28.10 1) 23.68 39.76
2 Sumatera Utara 39.62 37.87 31.67 34.48 44.39 45.94
3 Sumatera Barat 39.13 37.88 31.01 35.37 40.85 42.81
4 Riau 37.36 39.35 30.47 38.01 44.19 49.70
5 Jambi 35.19 35.50 28.77 33.78 42.59 46.62
6 Sumatera Selatan 36.76 37.05 29.65 36.25 40.38 45.20
7 Bengkulu 36.90 38.39 32.63 31.92 43.42 47.61
8 Lampung 36.13 37.06 31.09 34.78 47.63 48.11
9 Bangka Bclitung 2) 2) 2) 34.50 42.53 46.18
10 Kepulauan Riau 3) 3) 3) 3) 52.81 51.04
11 DKI Jakarta 57.23 62.25 53.78 59.47 62.28 63.66
12 Jawa Rarat 43.23 46.95 38.97 40.84 49.58 49.77
13 Jawa Tengah 42.62 41.86 35.83 40.69 47.39 48.45
14 Daerah Istimewa Yogyakarta 52.48 50.01 44.66 49.59 59.87 57.14
15 Jawa Timur 44.54 44.77 36.24 42.13 49.25 50.39
16 Banten 4) 4) 4) 43.38 51.02 53.05
17 Bali 45.41 49.67 41.06 49.04 56.19 54.40
18 Nusa Tenggara Barat 35.11 34.47 29.42 32.11 40.69 44.23
19 Nusa Tenggara Timur 32.76 33.35 29.82 32.72 37.66 40.34
20 Kalimantan Barat 33.26 32.44 28.56 34.82 37.26 42.32
21 Kalimantan Tengah 30.15 31.01 26.44 30.07 35.47 39.79
22 Kalimantan Selatan 35.98 36.29 30.81 34.86 40.04 46.87
23 Kalimantan Timur 47.39 46.85 37.83 43.41 50.43 56.62
24 Sulawesi Utara 39.08 43.13 33.88 39.81 44.57 46.34
25 Sulawesi Tengah 37.53 39.14 33.97 36.70 42.25 45.45
26 Sulawesi Selatan 38.48 41.38 35.55 37.68 44.49 47.65
27 Sulawesi Tenggara 38.85 38.28 33.17 35.82 44.80 45.98
28 Gorontalo 5) 5) 5) 29.99 45.61 45.63
29 Sulawesi Barat 6) 6) 6) 6) 6) 42.66
30 Maluku 41.29 40.85 36.55 1) 37.62 42.53
31 Maluku Utara 7) 7) 7) 7) 37.66 47.20
32 Papua Barat 8) 8) 8) 8) 8) 40.81
33 Papua 43.16 40.98 33.78 1) 41.19 44.03
INDONESIA 43.14 44.66 37.06 41.53 48.63 49.83
Catatan:
1) hanya mengumpulkan data kor di ibu kota provinsi 5) Masih Bagian Provinsi Sulawesi Utara
2) Masih Bagian Provinsi Sumatera Selatan 6) Masih Bagian Provinsi Sulawesi Selatan
3) Masih Bagian Provinsi Riau 7) Masih Bagian Provinsi Maluku
4) Masih Bagian Provinsi Jawa Barat 8) Masih Bagian Provinsi Papua





Tabel 3. Persentase Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Untuk Bukan Makanan Menurut Propinsi Tahun 1993, 1996, 1999, 2002, 2005, dan 2008
Perkotaan
No Provinsi Tahun
  1993 1996 1999 2002 2005 2008
1 Nanggroe Aceh Darussalam 47.91 41.93 35.97 1) 28.34 49.13
2 Sumatera Utara 46.71 43.63 37.89 40.73 52.12 52.37
3 Sumatera Barat 48.54 44.94 35.51 41.54 48.33 48.72
4 Riau 42.32 47.16 37.79 42.62 52.97 53.54
5 Jambi 43.97 44.22 36.70 38.76 52.93 52.88
6 Sumatera Selatan 46.31 46.24 36.04 44.19 49.97 49.80
7 Bengkulu 46.93 44.59 39.18 37.54 55.13 53.62
8 Lampung 44.44 44.35 36.75 41.06 61.04 57.91
9 Bangka Bclitung 2) 2) 2) 40.03 46.24 48.23
10 Kepulauan Riau 3) 3) 3) 3) 55.08 55.87
11 DKI Jakarta 57.23 62.25 53.78 59.47 62.28 63.66
12 Jawa Rarat 47.85 52.88 44.58 44.92 54.34 53.36
13 Jawa Tengah 46.27 47.69 40.15 44.46 51.29 51.91
14 Daerah Istimewa Yogyakarta 56.60 53.16 47.39 53.33 63.38 59.60
15 Jawa Timur 51.52 49.04 41.36 45.64 54.09 54.01
16 Banten 4) 4) 4) 47.55 55.78 58.01
17 Bali 50.98 53.30 45.12 52.68 60.18 56.40
18 Nusa Tenggara Barat 43.41 42.43 35.91 36.37 45.25 48.02
19 Nusa Tenggara Timur 47.57 45.78 37.39 43.38 47.09 52.15
20 Kalimantan Barat 46.48 40.99 39.02 47.28 46.25 51.36
21 Kalimantan Tengah 41.17 40.43 36.35 40.86 45.47 45.77
22 Kalimantan Selatan 42.16 45.79 36.00 39.59 45.40 53.72
23 Kalimantan Timur 52.81 50.08 41.68 47.36 55.53 59.94
24 Sulawesi Utara 45.35 51.44 39.76 44.80 46.80 51.19
25 Sulawesi Tengah 46.63 47.84 40.83 44.75 51.65 52.23
26 Sulawesi Selatan 46.44 48.89 43.40 43.97 53.54 55.14
27 Sulawesi Tenggara 46.04 47.99 41.23 45.45 53.43 53.95
28 Gorontalo 5) 5) 5) 33.30 52.51 52.15
29 Sulawesi Barat 6) 6) 6) 6) 6) 43.71
30 Maluku 50.34 50.69 44.08 1) 46.21 50.19
31 Maluku Utara 7) 7) 7) 7) 42.09 54.57
32 Papua Barat 8) 8) 8) 8) 8) 47.04
33 Papua 48.57 49.10 38.03 1) 51.80 52.21
INDONESIA 50.19 52.03 43.83 47.18 54.89 55.04
Catatan: 1) hanya mengumpulkan data kor di ibu kota provinsi 5) Masih Bagian Provinsi Sulawesi Utara
2) Masih Bagian Provinsi Sumatera Selatan 6) Masih Bagian Provinsi Sulawesi Selatan
3) Masih Bagian Provinsi Riau 7) Masih Bagian Provinsi Maluku
4) Masih Bagian Provinsi Jawa Barat 8) Masih Bagian Provinsi Papua

Tabel.4 Persentase Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Untuk Bukan Makanan Menurut Propinsi Tahun 1993, 1996, 1999, 2002, 2005, dan 2008
Perdesaan
No Provinsi Tahun
  1993 1996 1999 2002 2005 2008
1 Nanggroe Aceh Darussalam 31.67 31.87 24.09 1) 18.09 33.96
2 Sumatera Utara 32.05 31.05 24.40 26.71 33.03 37.70
3 Sumatera Barat 34.16 34.32 28.62 31.52 35.03 38.20
4 Riau 33.59 32.54 24.35 31.74 70.86 44.07
5 Jambi 31.29 30.93 23.92 30.79 35.41 42.82
6 Sumatera Selatan 29.40 29.77 25.72 28.36 31.68 41.24
7 Bengkulu 31.21 35.40 28.80 28.12 33.62 43.30
8 Lampung 33.98 35.03 29.15 31.98 38.45 41.51
9 Bangka Bclitung 2) 2) 2) 28.41 38.93 44.09
10 Kepulauan Riau 3) 3) 3) 3) 38.20 42.30
11 DKI Jakarta  
12 Jawa Rarat 38.77 39.15 31.54 33.75 39.88 41.03
13 Jawa Tengah 40.24 37.50 32.48 36.58 43.12 43.51
14 Daerah Istimewa Yogyakarta 45.42 45.13 35.87 39.49 48.35 49.33
15 Jawa Timur 38.80 41.53 31.90 38.01 42.63 44.67
16 Banten 4) 4) 4) 32.22 37.70 38.87
17 Bali 41.26 46.97 37.21 42.04 48.97 50.40
18 Nusa Tenggara Barat 32.15 31.43 27.07 28.66 36.28 40.44
19 Nusa Tenggara Timur 28.60 29.24 27.84 28.80 33.22 34.70
20 Kalimantan Barat 26.54 27.99 22.59 26.33 31.12 37.29
21 Kalimantan Tengah 25.61 26.00 20.58 23.93 28.41 35.36
22 Kalimantan Selatan 32.29 29.36 27.25 30.51 35.46 38.67
23 Kalimantan Timur 38.21 41.74 31.96 35.00 38.66 46.82
24 Sulawesi Utara 35.59 37.33 30.29 35.03 42.53 41.77
25 Sulawesi Tengah 33.94 35.19 30.37 33.60 38.17 42.55
26 Sulawesi Selatan 34.22 36.49 30.75 32.88 36.28 40.53
27 Sulawesi Tenggara 35.68 32.70 28.89 31.61 39.99 41.29
28 Gorontalo 5) 5) 5) 28.22 40.46 40.47
29 Sulawesi Barat 6) 6) 6) 6) 6) 42.01
30 Maluku 36.58 34.99 32.01 1) 32.41 37.45
31 Maluku Utara 7) 7) 7) 7) 35.12 41.41
32 Papua Barat 8) 8) 8) 8) 8) 37.48
33 Papua 39.90 34.12 30.16 1) 33.04 38.45
INDONESIA 36.41 36.74 29.83 33.44 38.87 41.33
Catatan: 1) hanya mengumpulkan data kor di ibu kota provinsi 5) Masih Bagian Provinsi Sulawesi Utara
2) Masih Bagian Provinsi Sumatera Selatan 6) Masih Bagian Provinsi Sulawesi Selatan
3) Masih Bagian Provinsi Riau 7) Masih Bagian Provinsi Maluku
4) Masih Bagian Provinsi Jawa Barat 8) Masih Bagian Provinsi Papua


Tabel. 5 Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Menurut Provinsi (Rupiah)
Tahun 1993, 1996, 1999, 2002, 2005, dan 2008
Perkotaan+perdesaan
No Provinsi Pengeluaran Per Kapita (Rupiah/Bulan)
  1993 1996 1999 2002 2005 2008
1 NAD 44.278 58.986 124.305 1) 509.09* 382.076
2 Sumatera Utara 42.539 66.401 135.763 192.632 291.267 391.767
3 Sumatera Barat 43.940 75.038 155.243 225.191 293.378 402.002
4 Riau 50.811 79.002 156.321 256.040 349.594 520.258
5 Jambi 41.121 64.263 124.456 186.361 290.482 381.042
6 Sumatera Selatan 39.721 63.299 127.141 167.104 240.198 361.314
7 Bengkulu 36.773 62.947 133.825 151.835 231.503 363.602
8 Lampung 31.092 51.055 112.590 148.116 246.135 334.055
9 Bangka Bclitung 2) 2) 2) 224.042 436.253 521.091
10 Kepulauan Riau 3) 3) 3) 3) 474.531 560.188
11 DKI Jakarta 101.775 165.279 303.160 481.585 658.764 863.667
12 Jawa Rarat 47.403 83.729 141.872 209.078 296.283 396.929
13 Jawa Tengah 34.497 55.095 114.302 172.686 228.602 306.254
14 DI Yogyakarta 49.978 75.609 155.468 231.885 367.297 416.912
15 Jawa Timur 38.329 57.486 120.406 186.665 253.183 331.954
16 Banten 4) 4) 4) 260.237 343.538 454.453
17 Bali 49.571 83.031 178.301 300.671 397.157 429.018
18 Nusa Tenggara Barat 31.759 47.261 109.577 150.817 203.176 300.443
19 Nusa Tenggara Timur 28.775 41.442 83.669 129.643 162.929 237.323
20 Kalimantan Barat 40.208 61.204 129.938 186.117 235.487 349.180
21 Kalimantan Tengah 44.863 72.136 153.643 205.681 268.172 418.161.
22 Kalimantan Selatan 47.071 71.857 138.411 211.688 282.632 443.508
23 Kalimantan Timur 68.915 93.107 160.214 284.833 418.953 585.302
24 Sulawesi Utara 41.229 62.469 139.960 220.780 285.316 341.496
25 Sulawesi Tengah 36.640 59.219 121.453 170.796 226.899 319.637
26 Sulawesi Selatan 35.408 58.299 134.323 169.639 225.951 321.043
27 Sulawesi Tenggara 33.343 52.274 116.613 161.444 227.582 274.619
28 Gorontalo 5) 5) 5) 127.774 209.689 275.924
29 Sulawesi Barat 6) 6) 6) 6) 6) 286.585
30 Maluku 40.591 53.666 115.878 1) 226.798 305.380
31 Maluku Utara 7) 7) 7) 7) 231.871 409.363
32 Papua Barat 8) 8) 8) 8) 8) 346.929
33 Papua 44.783 60.883 117.704 1) 260.667 392.173
INDONESIA 43.565 69.977 137.453 206.336 286.741 386.173
Catatan: 1) hanya mengumpulkan data kor di ibu kota provinsi 5) Masih Bagian Provinsi Sulawesi Utara
2) Masih Bagian Provinsi Sumatera Selatan 6) Masih Bagian Provinsi Sulawesi Selatan
3) Masih Bagian Provinsi Riau 7) Masih Bagian Provinsi Maluku
4) Masih Bagian Provinsi Jawa Barat 8) Masih Bagian Provinsi Papua
*) Tidak diikutkan dalam estimasi angka Indonesia, disebabkan keterlambatan data akibat bencan tsunami



Tabel 6. Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Menurut Provinsi (Rupiah)
Tahun 1993, 1996, 1999, 2002, 2005, dan 2008
Perkotaan

No Provinsi Pengeluaran Per Kapita (Rupiah/Bulan)
  1993 1996 1999 2002 2005 2008
1 NAD 70.462 84.263 165.961 1) 627.737*) 507.609
2 Sumatera Utara 57.650 86.938 162.618 247.177 391.159 477.669
3 Sumatera Barat 67.860 99.957 187.814 285.230 418.575 513.794
4 Riau 66.247 106.632 190.269 335.930 451.452 613.623
5 Jambi 52.788 80.466 151.715 238.407 410.708 444.326
6 Sumatera Selatan 58.036 92.078 157.952 235.603 330.234 431.971
7 Bengkulu 58.592 78.804 169.949 198.381 360.035 431.371
8 Lampung 46.376 69.995 157.231 203.382 441.276 497.672
9 Bangka Bclitung 2) 2) 2) 275.727 504.523 548.917
10 Kepulauan Riau 3) 3) 3) 3) 518.286 682.181
11 DKI Jakarta 101.775 165.279 303.160 481.585 658.764 963.667
12 Jawa Rarat 60.891 110.397 169.664 252.238 375.222 478.538
13 Jawa Tengah 46.603 73.442 140.995 212.034 285.949 370.549
14 DI Yogyakarta 62.092 92.708 176.897 284.583 476.144 493.245
15 Jawa Timur 58.497 76.687 156.074 233.911 345.498 415.864
16 Banten 4) 4) 4) 341.910 459.706 559.219
17 Bali 70.715 102.316 215.682 368.264 492.359 495.302
18 Nusa Tenggara Barat 46.731 69.268 144.470 176.604 264.303 358.731
19 Nusa Tenggara Timur 51.000 73.376 131.704 217.154 315.677 427.016
20 Kalimantan Barat 65.432 96.342 206.611 295.838 352.914 448.532
21 Kalimantan Tengah 66.377 110.328 211.461 255.289 378.340 523.575
22 Kalimantan Selatan 61.773 100.142 180.644 269.514 345.397 582.135
23 Kalimantan Timur 87.421 113.490 190.320 344.328 538.408 702.914
24 Sulawesi Utara 60.459 96.905 184.413 281.360 354.415 381.873
25 Sulawesi Tengah 55.000 83.731 160.112 242.248 350.885 456.522
26 Sulawesi Selatan 47.569 80.853 165.993 244.718 357.903 485.376
27 Sulawesi Tenggara 52.715 84.270 158.632 231.248 375.329 442.801
28 Gorontalo 5) 5) 5) 164.958 330.180 389.240
29 Sulawesi Barat 6) 6) 6) 6) 6) 324.217
30 Maluku 64.492 80.721 156.285 1) 307.277 465.812
31 Maluku Utara 7) 7) 7) 7) 309.659 606.056
32 Papua Barat 8) 8) 8) 8) 8) 530.625
33 Papua 67.604 108.328 206.718 1) 471.068 697.979
INDONESIA 64.063 100.639 180.500 273.294 396.876 496.000
Catatan: 1) hanya mengumpulkan data kor di ibu kota provinsi 5) Masih Bagian Provinsi Sulawesi Utara
2) Masih Bagian Provinsi Sumatera Selatan 6) Masih Bagian Provinsi Sulawesi Selatan
3) Masih Bagian Provinsi Riau 7) Masih Bagian Provinsi Maluku
4) Masih Bagian Provinsi Jawa Barat 8) Masih Bagian Provinsi Papua
*) Tidak diikutkan dalam estimasi angka Indonesia, disebabkan keterlambatan data akibat bencan tsunami



Tabel 7. Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Menurut Provinsi (Rupiah)
Tahun 1993, 1996, 1999, 2002, 2005, dan 2008
Perdesaan

No Provinsi Pengeluaran Per Kapita (Rupiah/Bulan)
  1993 1996 1999 2002 2005 2008
1 NAD 38.563 52.339 110.222 1) 414.777*) 331.288
2 Sumatera Utara 33.521 51.892 113.819 151.131 211.756 318.276
3 Sumatera Barat 37.050 66.652 142.145 199.044 238.067 343.647
4 Riau 43.181 64.451 136.044 193.500 294.262 425.393
5 Jambi 37.446 58.123 112.122 164.774 241.378 350.711
6 Sumatera Selatan 31.944 50.751 113.544 129.650 192.566 316.710
7 Bengkulu 30.362 57.396 119.030 131.081 178.289 326.796
8 Lampung 28.645 47.474 102.618 132.133 189.002 273.531
9 Bangka Bclitung 2) 2) 2) 185.634 385.590 495.602
10 Kepulauan Riau 3) 3) 3) 3) 307.458 423.212
11 DKI Jakarta  
12 Jawa Rarat 39.047 63.539 116.547 161.128 207.422 280.454
13 Jawa Tengah 29.504 46.404 99.641 142.572 187.359 245.461
14 DI Yogyakarta 37.458 58.807 111.813 154.472 209.832 279.469
15 Jawa Timur 29.876 48.328 100.884 150.984 185.392 251.672
16 Banten 4) 4) 4) 158.841 201.065 295.983
17 Bali 40.543 72.792 153.142 222.218 294.182 338.563
18 Nusa Tenggara Barat 28.501 42.145 100.772 134.892 165.988 258.410
19 Nusa Tenggara Timur 25.643 36.226 76.388 112.929 132.673 195.775
20 Kalimantan Barat 33.615 51.453 107.252 148.597 191.883 310.925
21 Kalimantan Tengah 39.578 60.912 132.259 185.235 222.513 363.845
22 Kalimantan Selatan 41.211 59.589 119.272 176.852 244.678 345.121
23 Kalimantan Timur 50.727 72.477 129.021 208.261 277.087 391.743
24 Sulawesi Utara 35.027 50.060 121.996 182.998 241.878 310.536
25 Sulawesi Tengah 32.375 52.274 107.796 153.359 196.736 283.242
26 Sulawesi Selatan 31.147 49.332 120.299 157.483 169.327 242.995
27 Sulawesi Tenggara 28.696 42.900 102.222 142.603 186.608 224.380
28 Gorontalo 5) 5) 5) 114.030 164.785 224.270
29 Sulawesi Barat 6) 6) 6) 6) 6) 267.710
30 Maluku 34.025 44.736 100.259 1) 195.699 248.707
31 Maluku Utara 7) 7) 7) 7) 202.609 326.247
32 Papua Barat 8) 8) 8) 8) 8) 292.703
33 Papua 37.202 44.455 86.160 1) 194.094 301.857
INDONESIA 33.385 52.711 109.523 152.784 200.203 283.912
Catatan: 1) hanya mengumpulkan data kor di ibu kota provinsi 5) Masih Bagian Provinsi Sulawesi Utara
2) Masih Bagian Provinsi Sumatera Selatan 6) Masih Bagian Provinsi Sulawesi Selatan
3) Masih Bagian Provinsi Riau 7) Masih Bagian Provinsi Maluku
4) Masih Bagian Provinsi Jawa Barat 8) Masih Bagian Provinsi Papua
*) Tidak diikutkan dalam estimasi angka Indonesia, disebabkan keterlambatan data akibat bencana tsunami



Tabel 7. Data PDB nominal, konsumsi rumah tangga, dan pengeluran pemerintah

Tahun PDB Konsumsi Rumah Tangga Pengeluran Pemerintah Pertumbuhan PDB Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Pertumbuhan Pengeluran Pemerintah
1990 195597.2 106312.3 17572.6 17.0% 19.8% 11.9%
1991 227450.2 125035.8 20784.6 16.3% 17.6% 18.3%
1992 259884.5 135880.3 24731.3 14.3% 8.7% 19.0%
1993 302017.8 158342.7 29756.7 16.2% 16.5% 20.3%
1994 382219.7 228119.3 31014.0 26.6% 44.1% 4.2%
1995 454514.1 279876.4 35584.2 18.9% 22.7% 14.7%
1996 532568.0 332094.4 40299.2 17.2% 18.7% 13.3%
1997 627695.4 387170.7 42952.1 17.9% 16.6% 6.6%
1998 955753.5 647823.6 54415.9 52.3% 67.3% 26.7%
1999 1099731.6 838097.2 72631.3 15.1% 29.4% 33.5%
2000 1264918.7 850818.7 90779.7 15.0% 1.5% 25.0%
2001 1467654.8 972938.3 113416.1 16.0% 14.4% 24.9%
2002 1619062.4 1121317.2 132218.7 10.3% 15.3% 16.6%
2003 2013674.6 1372078.0 163701.4 24.4% 22.4% 23.8%
2004 2295826.2 1532888.3 191055.6 14.0% 11.7% 16.7%
2005 2774281.1 1785596.4 224980.5 20.8% 16.5% 17.8%
2006 3339479.6 2092655.7 288079.9 20.4% 17.2% 28.0%
2007 3957403.9 2511308.2 329760.1 18.5% 20.0% 14.5%






Tabel 8. Proporsi Konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah terhadap PDB Riel Tahun 1993-2007 (dalam %)
Tahun Proporsi Konsumsi Rumah Tangga terhadap PDB Proporsi Pengeluaran pemerintah terhadap PDB
1993 51,9% 9,2%
1994 58,7% 8,6%
1995 61,0% 8,0%
1996 62,1% 7,7%
1997 64,0% 7,3%
1998 69,1% 7,1%
1999 70,6% 7,1%
2000 69,4% 7,2%
2001 61,5% 6,8%
2002 61,1% 7,3%
2003 60,6% 7,7%
2004 60,4% 7,5%
2005 59,6% 7,7%
2006 58,3% 8,0%
2007 57,6% 7,8%
 Sumber: BPS (diolah) 









Tabel 9. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto menurut penggunaan atas dasar harga konstan, Konsumsi Rumah Tangga, dan Pengeluaran Pemerintah Tahun 1990-2007 (dalam %)

Tahun Pertumbuhan PDB Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Pertumbuhan Pengeluran Pemerintah
1990 7,2% 9,9% 3,2%
1991 7,0% 7,3% 7,0%
1992 6,5% -3,2% 5,8%
1993 6,5% 12,4% 0,1%
1994 7,5% 7,8% 2,3%
1995 8,2% 12,6% 1,3%
1996 7,8% 9,7% 2,7%
1997 4,7% 7,8% 0,1%
1998 -13,1% -6,1% -15,4%
1999 0,8% 3,0% 0,7%
2000 4,9% 3,1% 6,5%
2001 3,8% 3,5% 7,6%
2002 4,4% 3,8% 13,0%
2003 4,9% 3,9% 10,0%
2004 5,1% 4,9% 1,9%
2005 5,4% 4,0% 8,8%
2006 5,5% 3,2% 9,6%
2007 6,3% 5,0% 3,9%



Tidak ada komentar: