Halaman

Senin, 11 Januari 2010

PI_Topan_Industri

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dewasa ini hingga tahun 2008, fokus penanganan pengembangan sektor industri diarahkan kepada dua hal. Pertama upaya mempercepat pemulihan kinerja dan daya saing beberapa sektor industri yang masih menurun akibat krisis ekonomi 1998, yang ternyata berkepanjangan. Yang kedua membantu cabang industri yang menyerap banyak tenaga kerja (padat karya) dan industri-industri pengekspor yang kinerjanya tengah menurun, akibat krisis ekonomi global yang terjadi di akhir tahun 2008 ini.
Selain kedua upaya tersebut, dalam rangka memperkokoh struktur industri, mengembangkan industri andalan masa depan serta mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor, pengembangan sektor industri diarahkan pada pembangunan industri prioritas yang dilaksanakan melalui pendekatan klaster sebagaimana yang diamanatkan pada RPJMN 2004 – 2009 serta RENSTRA
Departemen Perindustrian 2004 – 2009 Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) telah menetapkan target-target pertumbuhan ekonomi yang harus menjadi sasaran bersama, di antaranya pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6 persen per tahun yang harus ditunjang oleh pertumbuhan industri sebesar 8,6 persen per tahun. Dalam mencapai sasaran ini, bagi Departemen Perindustrian sebagai instansi yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pengembangan sektor industri maupun industri sebagai pelaku usaha terdapat berbagai faktor yang berpengaruh, baik yang terkendali (controllable) maupun yang tak terkendali (uncontrollable). Faktor-faktor yang tidak terkendali misalnya bencana alam, tinggi serta berfluktuasi nya harga minyak dunia, kenaikan harga pangan dan komoditi primer dunia, penyelundupan, tuntutan negara-negara tujuan ekspor terkait dengan lingkungan hidup dan HAM, dan lainnya. Departemen Perindustrian dalam rangka menjalankan tugasnya hanya mampu berupaya secara maksimal untuk menyelesaikan tugas-tugas pokoknya terhadap faktor yang dapat dikendalikan.
Berbagai kondisi yang terjadi pada awal tahun 2007, memperlihatkan perkembangan yang baik, ditinjau dari sisi ekonomi makro seperti inflasi yang terkendali, rupiah semakin kuat, dan cadangan devisa cukup baik. Namun demikian, keberhasilan di sisi ekonomi makro ini belum dapat secara signifikan diikuti oleh sektor riil khususnya sektor industri. Dalam hal ini, diluar masalah seperti kepastian hukum, perburuhan, tingginya bunga bank, penyelundupan, yang merupakan isu nasional, banyak permasalahan di sektor industri yang harus diatasi khususnya dalam upaya meningkatkan investasi dan meningkatkan daya saing produk Indonesia baik di pasar domestik menghadapi persaingan produk impor maupun menghadapi persaingan di pasar internasional. Masalah-masalah mendasar yang perlu diselesaikan di sektor industri antara lain meliputi:
1. Masih tingginya impor bahan baku, barang setengah jadi dan komponen.
2. Masih terbatasnya jenis dan ragam industri serta keterkaitan antar dan intra industri (struktur yg lemah).
3. Masih terbatasnya ragam dan jenis produk ekpor industri, termasuk tujuan ekspornya.
4. Masih terbatasnya penguasaan teknologi, khususnya di bidang engineering dan desain.
5. Belum kuatnya peran Industri Kecil dan Menengah (IKM)
6. Masih terpusatnya industri di pulau Jawa.
Gambaran di atas menunjukkan masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh seluruh unit di dalam Departemen Perindustrian baik di pusat, di daerah, maupun instansi-instansi terkait lainnya tanpa kecuali. Sehingga untuk itu dibutuhkan penyamaan visi agar kebijakan yang dijalankan antara unit-unit tersebut dapat tersinkronisasi dan tersinergi dengan upaya pencapaian sasaran bidang perindustrian.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
• Bagaimana konsep industri di Indonesia?
• Bagaimana perkembangan sektor industri manufaktur nasional?
• Komoditi apa saja yang dihasilkan oleh industri di Indonesia?
• faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat industri nasional?
• Masalah-masalah apa saja yang timbul pada sektor industri?
• Kebijakan-kebijakan apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan sektor industri?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
 Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya sebagai berikut:
• Untuk mengetahui konsep industri
• Untuk mengetahui perkembangan sektor industri manufaktur nasional
• Untuk mengetahui komoditi apa saja yang dihasilkan oleh industri di Indonesia
• Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat industri nasional
• Untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang timbul pada sektor industri
• Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan sektor industri




Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah:
1. secara praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran serta informasi mengenai pertanian dan industri di Indonesia, permasalahan serta perkembangannya
2. secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk memperkaya khasanah ilmu ekonomi 
 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KONSEP INDUSTRI
 Dalam sejarah pembangunan ekonomi, konsep industrialisasi berawal dari revolusi industri pertama pada pertengahan abad ke-18 di Inggris, yang ditandai dengan penemuan metode baru untuk pemintalan, dan penemuan kapas yang menciptakan sepesialisasi dalam produksi, serta peningkatan produktivitas dari faktor produksi yang digunakan. Setelah itu, inovasi dan penemuan baru dalam pengelolaan besi dan mesin uap, yang mendorong inovasi dalam pembuatan beberapa produk seperti besi baja, kereta api, dan kapal tenaga uap. Perkembangan berlanjut saat terjadinya revolusi industri ke dua yaitu pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 dengan berbagai perkembangan di bidang teknologi dan inovasi. Baru setelah perang dunia II, muncul berbagai teknologi baru seperti sistem produksi masal dengan menggunakan jalur asembling, tenaga listrik, kendaraan bermotor, penemuan barang sintesis, dan revolusi teknologi telekomunikasi, elektronik, bio, komputer dan penggunaan robot. Semua perkembangan yang terjadi itu mengubah pola produksi industri, meningkatkan volume perdagangan dunia, dan memacu proses industrialisasi di dunia.
 Sejarah ekonomi dunia pun mencatat bahwa industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengemabngan teknologi, inovasi, sepesialisasi produksi dan perdagangan antarnegara, yang pada akhirnya mendorong perubahan struktur ekonomi di banyak negara, dari yang tadinya berbasis pertanian menjadi berbasis industri. Adanya kombinasi antara dua pendorong dari sisi penawaran agregat (produksi) yakni proses teknologi dan inovasi produk serta proses produksi, dan peningkatan pendapatan masyarakat yang mengubah volume dan komposisi konsumsi sisi permintaan agregat, merupakan kekuatan utama dibalik akumulasi proses industrialisasi di dunia.
 Pengalaman di hampir semua negara menunjukan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Namun, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir dari pembangunan ekonomi, melainkan hanya ssalah satu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan perkapita yang tinggi dan berkelanjutan (Riedel,1992).

2.1.1 Pengertian Industri
Industri secara umum adalah kelompok bisnis tertentu yang memiliki teknik dan metode yang sama dalam menghasilkan laba. Istilah industri juga digunakan bagi suatu bagian produksi ekonomi yang terfokus pada proses manufakturisasi tertentu yang harus memiliki permodalan yang besar sebelum bisa meraih keuntungan atau lebih disebut industri besar (www.wikipedia.com).
Adapun pengertian industri bisa lebih luas lagi jika disangkut pautkan dengan fabrikasi industri di perusahaan contohnya ialah industri secara mekanisme kerja pengertiannya berarti mekanika-mekanika yang terjadi pada suatu mesin misalkan mesin bubut atau mesin las industri berkembang pesat seiring dengan perubahan teknologi mesin modern.
Menurut Dumairy (1996:227), industri memiliki dua arti. Pertama, industri dapat berarti himpunan perusahaan-perusahaan sejenis. kedua, industri dapat pula merujuk ke suatu sector ekonomi yang di dalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi. 
Selanjutnya menurut Nurimansjah Hasibuan (1993), istilah industri juga memiliki dua arti, secara mikro industri adalah perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang homogen, atau barang-barang yang mempunyai sifat saling mengganti sangat erat. Secara makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah. Dari tiga pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa industri adalah salah satu sektor ekonomi di dalamnya terdapat kegiatan produktif.
Istilah industri biasanya menimbulkan gambaran dalam pikiran akan adanya pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi dengan menggunakan alat-alat seperti mesin-mesin dan lain-lain, yang dilayani karyawan dengan kecakapan tertentu. Pengertian industri sering dihubungkan dengan adanya mekanisasi, teknologi dan hal-hal lain yang datang dari negara yang sudah lebih maju. Jadi dapat dikatakan bahwa sebuah industri merupakan suatu kelompok perusahaan yang memproduksi barang yang sama, untuk pasar yang sama pula. Sedangkan perusahaan itu sendiri tidak selalu menggunakan material atau proses produksi yang sama dengan yang lainnya. (Basu Swastha & Ibnu Sukotjo, 1993:10-11)
Sedangkan menurut Suyadi Prawirosentono (2002:19) mengatakan bahwa kata industri berasal dari kata industry. Dalam kamus The Scribner Bantam English Dictionary, cetakan ke-18 tahun 1980, tertera sebagai berikut, dimana industri juga berasal dari kata Latin industria yang bermakna sebagai berikut:
1. Steady application to a task, business or labor.
2. Any form of economic activity.
3. Productive enterprises generally.
4. Productive occupations as distinguished from finance and commerce.
5. Particular branch of work or trade.

2.1.2 FAKTOR-FAKTOR PENDORONG INDUSTRIALISASI 
 Ada beberapa faktor yang akan mendorong terjadinya industrialisasi di suatu negara, diantaranya adalah pengembangan teknologi dan inovasi serta laju pertumbuhan pendapatan nasional perkapita. Namun berbeda negara tentu berbeda pula kemampuan dalam mengembnagkan ketiga faktor tersebut, dan selain ketiga faktor tadi ada beberapa faktor lainnya yang akan mempengaruhi proses industrialisasi di suatu negara. Faktor-faktor itu diantaranya: 


1. Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. 
2. Besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat pendapatan nasional riil perkapita. 
3. Ciri industrialisasi.
4. Keberadaan Sumber Daya Alam (SDA).
5. Kebijakan atau strategi pemerintah yang ditetapkan, termasuk instrumen-instrumen dari kebijakan yang digunakan dan cara implementasinya.

2.1.3 Klasifikasi Industri
Dalam masyarakat terdapat berbagai ragam jenis industri. Oleh karena itu, menurut Suyadi Prawirosentono (2002:24) menyatakan bahwa jenis industri tersebut dapat digolongkan atau diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Klasifikasi industri berdasarkan hubungan vertikal.
b. Klasifikasi industri berdasarkan hubungan horizontal.
c. Klasifikasi industri atas dasar skala usahanya.
d. Klasifikasi industri atas dasar tingkatan jenis produksinya.

 Klasifikasi industri berdasarkan hubungan vertikal.
 Hubungan vertikal adalah adanya hubungan dalam bentuk penggunaan produk hasil akhir suatu kelompok perusahaan sebagai bahan baku pada kelompok perusahaan lain. Misalnya, hasil barang yang dibuat suatu perusahaan X dijadikan bahan baku oleh perusahaan lain. Dalam hal ini, antara perusahaan X dengan perusahaan Y mempunyai hubungan vertikal. Hubungan vertikal tersebut terdiri dari industri Hulu dan Industri Hilir.
 Industri Hulu
 Perusahaan yang membuat produk yang dapat digunakan oleh perusahaan lain disebut kelompok industri hulu. Contoh perusahaan yang termasuk industri hulu adalah sebagai berikut; perusahaan yang membuat bata/batako, genteng, kayu (papan dan balok). Hasil produksi dari perusahaan-perusahaan tersebut dapat digunakan pada perusahan yang membangun rumah (real estate dan sebagainya).
 Industri Hilir
 Industri hilir adalah kelompok perusahaan yang menggunakan produk perusahaan lain sebagai bahan baku untuk kemudian di proses menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Misalnya, perusahaan X menggunakan produk perusahaan Y maka perusahaan X tersebut merupakan pabrik industri hilir dari perusahaan Y. Contohnya; perusahaan atau pabrik roti dan kue menggunakan terigu sebagai salah satu bahan untuk proses pembuatan roti dan kue.
 Klasifikasi industri berdasarkan hubungan horizontal.
 Pengertian horizontal adalah peninjauan atas dasar hubungan sejajar antara produk yang dihasilkan masing-masing perusahaan. Contohnya; Garuda Indonesia Airways (GIA), Sempati Airline, Bouraq, Cathay Pasific, Perusahaan Pelabuhan, Pelni dimana kesemuanya itu merupakan kelompok industri jasa angkutan.
 Klasifikasi industri atas dasar skala usahanya.
 Industri dapat juga diklasifikasikan atas dasar skala atau besar kecilnya usaha. Menurut Suyadi Prawirosentono (2002:27) besar kecilnya usaha bisnis ditentukan oleh besar kecilnya modal yang ditanamkan. Oleh karena itu, kalsifikasi industri berdasarkan skala usaha dapat dibagi menjadi 3 kriteria yaitu sebagai berikut:
 Industri skala usaha kecil (small scale industri), bila modal usahanya lebih kecil dari Rp 100 juta.
 Industri skala usaha menengah (medium scale industri), bila modal usahanya antara Rp 100 juta sampai dengan Rp 500 juta.
 Industri skala usaha besar (large scale industri), bila modal usahanya di atas Rp 500 juta.


 Klasifikasi industri atas dasar tingkatan jenis produksinya.
Selain klasifikasi industri atas dasar skalanya, ternyata industri pun dapat digolongkan menurut tingkatan jenis produksinya, yakni:
 Industri Ringan
Jenis industri ringan adalah kelompok perusahaan yang memproduksi barang-barang konsumsi. Misalnya industri makanan ternak, industri mainan anak-anak, industri bahan-bahan bangunan, industri sepatu, industri jasa angkutan dan lain sebagainya.
 Industri Menengah
Jenis industri yang termasuk industri menengah antara lain adalah industri ban mobil, industri semen, industri kimia, industri jasa angkutan jasa udara dan lain sebagainya.
 Industri Berat
Jenis industri yang termasuk dalam industri berat antara lain adalah industri pembuatan traktor, industri pembuatan mesin-mesin mobil, industri pembuat pesawat terbang dan lain sebagainya.
Selain itu juga penggolongan industri dengan pendekatan besar kecilnya skala usaha dilakukan oleh beberapa lembaga, dengan kriteria yang berbeda. Adapun menurut Lincolin Arsyad (2004:366) dalam bukunya Ekonomi Pembangunan, dimana beliau menyatakan bahwa, Biro Pusat Statistik membedakan skala industri menjadi 4 lapisan berdasarkan jumlah tenaga kerja per unit usaha, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Industri besar: berpekerja 100 orang atau lebih.
2. Industri sedang: berpekerja antara 20 sampai 99 orang.
3. Industri kecil: berpekerja antara 5 sampai 19 orang dan
4. Industri/kerajinan rumah tangga: berpekerja kurang dari 3 orang (termasuk tenaga kerja yang tidak dibayar).
Selain itu juga Bank Indonesia, untuk keperluan perbankan, menetapkan batasan tersendiri mengenai besar kecilnya skala usaha suatu perusahaan/industri. Dasar kriteri yang digunakan BI adalah besar kecilnya kekayaan (assets) yang dimiliki. Klasifikasinya berdasarkan penetapan pada tahun 1990 adalah sebagai berikut:
 Perusahaan besar: perusahaan yang memiliki asset (tidak termasuk nilai tanah dan bangunan) ≥ Rp 600 juta.
 Perusahaan kecil: perusahaan yang memiliki asset (tidak termasuk nilai tanah dan bangunan) < Rp 600 juta.
Selain itu, industri juga dapat dikelompokan menurut industri sub sektor yaitu industri produk makanan dan minuman; tembakau; tekstil; pakaian jadi; kulit dan barang dari kulit; kayu, barang dari kayu dan barang anyaman; kertas dan barang dari krtas; penerbitan, percetakan, dan reproduksi media rekaman; batu bara, pengilangan minyak bumi, pengolahan gas bumi, barang-barang dari hasil pngilangan minyak bumi, dan bahan bakar nuklir; kimia dan barang dari kimia; karet dan barang dari karet; barang galian bukan logam; logam dasar; barang dari logam, mesin, dan peralatannya; mesin dan perlengkapannya; mesin dan peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data; mesin listrik lainnya dan perlngkapannya; radio, televisi, dan peralatan komunikasi, serta perlengkapannya; peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam, dan lonceng; kendaraan bermotor; alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih; mebel dan industri pengolahan lainnya; serta daur ulang.

2.1.3 Pembangunan Industri
Teori Perroux yang dikenal dengan istilah pusat pertumbuhan (pole of growth) merupakan teori yang menjadi dasar dari strategi kebijaksanaan pembangunan industri daerah yang banyak diterapkan di berbagai negara dewasa ini. Perruox mengatakan, pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah pada waktu yang sama. Pertumbuhan hanya akan terjadi di beberapa tempat yang disebut pusat pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda. Inti dari teori Perruox adalah sebagai berikut:
• Dalam proses pembangunan akan timbul industri pemimpin yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan suatu daerah. Karena keterkaitan antar industri sangat erat, maka perkembangan industri pemimpin akan mempengaruhi perkembangan industri lain yang berhubungan erat dengan industri pemimpin tersebut.
• Pemusatan industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan perekonomian karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri didaerah tersebut akan mempengaruhi perkembangan daerah-daerah lainnya.
• Perekonomian merupakan gabungan dari sistem industri yang relatif aktif (industri pemimpin) dan industri-industri yang relatif pasif yaitu industri yang tergantung dari industri pemimpin atau pusat pertumbuhan. Daerah yang relatif maju atau aktif akan mempengaruhi daerah-daerah yang relatif pasif.

2.1.4 Industrialisasi 
Sektor industri diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Produk-produk industrial selalu memiliki terms of trade (nilai tukar) yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan dengan produk-produk sektor lain. Industrialisasi dianggap sebagai solusi yang tepat dalam pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. Kebijaksanaan yang ditempuh oleh negara-negara berkembang sering kali dipaksakan, dalam arti hanya sekedar meniru pola kebijaksanaan pembangunan di negara-negara maju tanpa memperhatikan keadaan dan kondisi lingkungan yang ada, seperti masalah ketersediaan bahan mentah, ketersediaan teknologi, kecakapan tenaga kerja, kecukupan modal, dan sebagainya. 
Hasil pembangunan paling nyata yang dapat dilihat di negara-negara maju, kemudian banyak dijadikan cermin pola pembangunan oleh negara-negara berkembang adalah kadar keindustrian, yang dianggap merupakan sumber kekayaan, kekuataan, dan keadaan seimbang negara-negara maju. Atas dasar itulah sebagian negara miskin beranggapan bahwa sektor industri merupakan solusi yang sangat ampuh untuk memperbaiki keadaan mereka.
Selain perbedaan kemampuan dalam mengembangkan teknologi dan inovasi serta laju pertumbuhan pendapatan nasional perkapita terdapat sejumlah faktor lain yang membuat intensitas dari proses industrialisasi berbeda antar negara. Menurut Tulus Tambunan (2001) faktor-faktor lain tersebut adalah sebagai berikut:
• Kondisi struktur awal ekonomi dalam negeri. Suatu negara yang pada awal pembangunan ekonomi atau industrialisasinya telah memiliki industri-industri dasar (industri hulu) akan mengalami proses industrialisasi yang lebih pesat dibandingkan dengan negara yang hanya memiliki industri-industri hilir atau ringan.
• Besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat pendapatan riil per kapita. Jika pasar domestik kecil, maka ekspor merupakan alternatif satu-satunya untuk mencapai produksi optimal. Namun tidak mudah untuk melakukan ekspor, terutama pada awal industrialisasi.
• Ciri industrialisasi, yang dimaksud dalam hal ini antara lain cara pelaksanaan industrialisasi, seperti tahapan implementasi, jenis industri yang diunggulkan, pola pembangunan sektor industri, dan insentif yang diberikan termasuk intensif kepada para investor.
• Keberadaan SDA, ada kecenderungan bahwa negara-negara yang kaya SDA, tingkat diversifikasi dan laju pertumbuhan ekonominya relatif lebih rendah, dan negara tersebut cenderung tidak atau terlambat melakukan industrialisasi atau prosesnya berjalan relatif lebih lambat dibandingkan dengan negar-negar miskin SDA.
• Kebijakan atau strategi pemerintah yang diterapkan, termasuk instrumen-instrumen dan kebijakan yang digunakan serta cara implementasinya.  
Sedikit sekali negara-negara berkembang yang menyadari bahwa usaha untuk memajukan dan memperluas sektor industri haruslah sejajar dengan pengembangan sektor-sektor lain terutama sektor pertanian. Kedua sektor tersebut berkaitan sangat erat. Sektor pertanian yang lebih maju dibutuhkan oleh sektor industri, baik sebagai penyedia masukan maupun sebagai pasar bagi produk-produk industri. Setiap peningkatan daya beli petani akan merupakan rangsangan bagi pembangunan sektor industri pula. Maka kelancaran program industrialisasi tergantung pula pada perbaikan-perbaikan di sektor lain, dan seberapa jauh perbaikan-perbaikan yang dilakukan mampu mengarahkan dan bertindak sebagai pendorong bagi kemunculan industri-industri baru. Dengan demikian kebijaksanaan yang ditempuh akan dapat mewujudkan mekanisme saling dukung antar sektor. 
Dalam implementasinya ada empat teori dasar yang melandasi suatu kebijakan industrialisasi. Teori-teorti yang dimaksud adalah teori keunggulan komparatif, teori keterkaitan industri, teori penciptaan kesempatan kerja, dan teori loncatan teknologi. Pola pengembangan sektor industri di suatu negara sangat dipengaruhi oleh teori-teori yang melandasinya. Negara-negara yang menganut teori dasar keunggulan komparatif akan mengembangkan subsektor atau jenis-jenis industri yang memiliki keunggulan komparatif baginya. Negara yang bertolak pada teori keterkaitan industri akan lebih mengutamakan bidang-bidang industri yang paling luas mengait perkembangan bidang-bidang kegiatan atau sektor-sektor ekonomi lain.
Negara yang industrialisasinya dilandasi argumentasi penciptaan kesempatan kerja akan lebih memprioritaskan pengembangan industri-industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Jenis industri yang dimajukan bertumpu pada industri-industri yang relatif padat karya dan industri kecil. Adapun negeri yang menganut teori loncatan teknologi yakin bahwa industri yang menggunakan teknologi tinggi akan memberikan nilai tambah yang sangat besar, diiringi dengan kemajuan teknologi bagi industri-industri dan sektor-sektor lain. Masing-masing teori tadi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. 
Teori keunggulan komparatif misalnya, memiliki kelebihan dalam hal efisiensi alokasi sumber daya. Dengan mengutamakan pengembangan industri-industri yang secara komparatif unggul, sumber daya ekonomi akan teralokasi ke penggunaan-penggunaan yang paling menguntungkan. Kelemahannya terletak pada pendekatannya yang menyandarkan pada sisi produksi. Produk dari industri yang memiliki keunggulan komparatif boleh jadi adalah produk yang kurang diminati konsumen, sehingga walaupun efisien diproduksi, kemungkinan akan sulit dipasarkan. Pendekatan produksi itu bersifat statis pula sehingga tidak dapat menyesuaikan dengan perubahan-perubahan pola atau dinamika konsumsi.
Teori keterikatan industri sangat peduli akan kemungkinan-kemungkinan berkembangnya sektor-sektor lain. Bertolak dari keterikatan itu, baik kaitan ke depan maupun kaitan ke belakang, sektor industri diharapkan bisa berperan sebagai motor yang menggerakan perkembangan sektor lain. Kelemahan teori adalah kurang menghiraukan pertimbangan efisiensi. Industri yang memiliki kaitan luas diprioritas untuk dikembangkan, bisa jadi adalah industri yang memerlukan modal besar atau sangat menyerap devisa, atau jenis industri yang justru tidak memiliki keunggulan komparatif.
Teori penciptaan kesempatan kerja memiliki keunggulan karena titik tolaknya yang sangat manusiawi, teori sangat cocok bagi negara-negara berkembang yang memiliki penduduk dalam jumlah besar. Namun industri-industri yang dikembangkan berdasarkan penciptaan kesempatan kerja bisa saja industri-industri yang tidak memiliki kaitan luas sektor-sektor lain,sehingga tidak dapat bergerak sebagai sektor yang memimpin. Sedangkan teori loncatan teknologi merupakan pandangan baru dalam jajaran teori indutrialisasi, kelebihan teori ini terletak pada optimisme teknologinya, bahwa pengembangan industrialisasi berteknologi tinggi akan dengan sendirinya memacu kemajuan teknologi di sektor-sektor lain. Namun, teori ini bersifat tidak “peduli biaya”, tidak menghiraukan masalah ketersediaan modal, sehingga berpotensi boros devisa. Teori ini, ironisnya juga kurang peduli akan kesiapan kultural masyarakat dalam menghadapi loncatan tekonologi.  

2.1.5 Strategi Industrialisasi
Dalam strategi industrialisasi dikenal dua macam pola, kedua macam pola tersebut adalah subtitusi impor dan promosi ekspor. Pola subitusi impor dikenal juga dengan istilah “orientasi ke dalam” atau inward looking strategy, ialah suatu strategi industrialisasi yang mengutamakan pengembangan jenis-jenis produksi untuk menggantikan kebutuhan akan impor produk-produk sejenis. Pada tahap awal yang dikembangkan adalah industri-industri ringan yang menghasilkan barang-barang konsumtif. Untuk memungkinkannya tumbuh besar, industri-industri yang masih bayi ini (infant industri) ini biasanya sangat dilindungi pemerintah dari persaingan tak setara dari produk-produk impor. Akan tetapi proteksi itu walaupun bisa menumbuhkannya menjadi besar, sering kali membuat industri yang bersangkutan tak kunjung dewasa, melainkan justru menjadikannya manja. 
Sedangkan strategi promosi ekspor dikenal juga dengan istilah “orientasi ke luar” atau outward looking strategy ialah strategi industrialisasi yang mengutamakan pengembangan jenis-jenis industri yang menghasilkan produk-produk untuk diekspor. Strategi promosi ekspor biasanya ditempuh sebagai kelanjutan dari strategi subtitusi impor. Dalam proses industrialisasi bisa saja strategi promosi ekspor dijalankan tanpa harus didahului dengan subtitusi impor. Hal itu bergantung antara lain pada potensi relatif pasar dalam negeri di negara yang bersangkutan. Agar penerapan strategi promosi ekspor membawa hasil yang baik adalah jika:
• Pasar harus menciptakan signal harga yang benar, yang sepenuhnya merefleksikan kelangkaan dari barang yang bersangkutan, baik di pasar output maupun di pasar input
• Tingkat proteksi dari impor harus rendah
• Nilai tukar mata uang harus realistis, sepenuhnya merefleksikan keterbatasan uang asing yang bersangkutan
• Lebih penting lagi harus ada intensif untuk meningkatkan ekspor
Untuk lebih jelasnya, berikut perbandingan antara strategi subtitusi impor dan promosi ekspor
tabel.2.1 perbandingan strategi substitusi impor dan promosi ekspor
Substitusi Impor Promosi Ekspor
 Sangat proteksionis  Melakukan perdagangan bebas
 Menganut paham ekonomi tertutup  Menganut paham ekonomi terbuka
 Berdikari dalam semua kebutuhan  Tidak menolak menerima bantuan luar negeri
 Tidak memperkenankan penanaman modal asing  Membuka pintu masuk penanaman modal asing
 Tidak mengizinkan imigrasi  Mengizinkan imigrasi

Di Indonesia sebagaimana halnya di banyak negara berkembang lain, sektor industri disiapkan untuk mampu menjadi motor yang menggerakan kemajuan-kemajuan sektor lain, diharapkan bisa jadi sektor yang memimpin (the leading sektor), itulah sebabnya industrialisasi senantiasa mewarnai perjalanan pembangunan ekonomi. Ditinjau berdasarkan pola pengembangannya, industrialisasi Indonesia bermula dari strategi subtitusi impor, dan kini pola itu beralih ke strategi promosi ekspor.  

2.2 PERKEMBANGAN INDUSTRI
Sesuai sifat alamiah dari prosesnya, industri dibagi menjadi dua jenis, yaitu industri primer atau hulu yang mengolah output dari sektor pertambangan (bahan mentah) menjadi bahan baku siap pakai untuk kebutuhan proses produksi pada tahap-tahap selanjutnya, dan industri sekunder atau indutri manufaktur yang terdiri dari industri tengah yang membuat barang-barang modal (mesin,traktor, dan sebagainya), barang-barang setengah jadi dan alat-alat produksi, serta industri hilir yang membuat barang-barang jadi yang kebanyakan adalah barang-barang konsumen rumah tangga. 
Perkembangan sektor industri di Indonesia sejak orde baru, atau tepatnya semasa pembangunan jangka panjang tahap pertama, sangat mengesankan. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai ukuran perbandingan seperti, jumlah unit usaha atau perusahaan, jumlah tenaga kerja yang diserap, nilai keluaran yang dihasilkan (output), sumbangan dalam perolehan devisa, kontribusi dalam pendapatan nasional, serta tingkat pertumbuhannya. Menurut Dumairy (1996), sebagai gambaran ekstrem: keluaran atau industri pengolahan yang pada tahun 1969 baru bernilai Rp. 251 miliar telah melambung menjadi sekitar Rp. 418 triliun pada tahun 1993. Jumlah tenaga kerja yang diserap bertambah dari sekitar 4.9 juta orang pada tahun 1974-1975 menjadi 8.3juta orang pada tahun 1993. Perkembangan sektor industri sesungguhnya dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Produk-produk industrial buatan Indonesia dewasa ini jauh lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu.

2.2.1 Jumlah Perusahaan pada Sektor Industri
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menunjang keberhasilan adalah dari banyaknya perusahaan. Oleh karena itu, untuk melihat keberhasilan sektor industri dapat dilihat dari jumlah perusahaan pada table 3.5 dibawah ini, yaitu:  
Tabel 2.2
Banyaknya Perusahaan Pada sektor Industri
Periode 1970-2007
TAHUN 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979
JUMLAH 17,900 21,975 24,992 28,089 18,199 13,255 8,310 7,950 7,775 7,600
   
   
TAHUN 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989
JUMLAH 8,087 7,942 8,020 8,027 8,006 12,509 12,765 12,778 14,664 14,676
   
   
TAHUN 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
JUMLAH 16,536 16,494 17,648 18,163 19,017 21,551 22,997 22,386 21,423 22,070
   
   
TAHUN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007  
JUMLAH 22,174 21,396 21,146 20,324 20,685 20,729 23,224 26,521  
Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia, BI berbagai edisi 
 
Gambar 2.1. jumlah perusahaan industri
Dari grafik terlihat bahwa pada periode 1970-1973, jumlah perusahaan di Indonesia mengalami peningkatan yang masing-masing sebesar 20.185 pada tahun 1971, 3.017 pada tahun 1972, dan 3.097 pada tahun 1973. Hal ini dikarenakan pada waktu itu, investasi di dalam negeri masih sangat tinggi dan potensi yang bisa dimanfaatkan masih sangat banyak sehingga para investor pun tertarik menanamkan modalnya dengan cara mendirikan perusahaan. Akan tetapi pada tahun 1974, jumlah perusahaan menurun drastis hingga mencapai jumlah sebesar 18.199. Penurunan jumlah ini berlangsung hingga tahun 1984. Pada masa krisis moneter tahun 1998, jumlah perusahaan di Indonesia mengalami penurunan, dikarenakan kondisi perekonomian Indonesia yang tidak stabil. Di tengah krisis, perusahaan-perusahaan harus mengurangi jumlah produksi karena tingginya harga bahan baku pada waktu itu, sedangkan permintaan akan produknya semakin berkurang. Akibatnya untuk menutup biaya produksi tersebut, perusahaan banyak yang mem-PHK karyawannya bahkan perusahaan tersebut harus gulung tikar. Untuk tahun selanjutnya hingga tahun 2007, jumlahnya mengalami peningkatan kembali meskipun kenaikannnya tidak terlalu besar. Hal ini didorong oleh kondisi perekonomian di Indonesia mulai membaik semenjak terjadinya krisis. 

2.3.4 Jumlah Tenaga Kerja pada Sektor Industri
 Perkembangan jumlah tenaga kerja pada sektor industri dari tahun 1970-2007 dapat dilihat dari table 3.6 di bawah ini:
 
Tabel.2.3
Banyaknya Tenaga Kerja Pada sektor Industri
Periode 1970-2007
TAHUN 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979
JUMLAH 849,941 972,029 1,001,445 1,048,768 924,257 862,002 799,746 784,934 827,477 870,019
   
   
TAHUN 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989
JUMLAH 97,579 1,011,784 1,067,017 1,119,630 1,197,799 1,684,726 1,691,435 1,788,325 2,064,689 2,247,668
   
   
TAHUN 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
JUMLAH 2,662,804 2,993,967 3,312,882 3,574,809 3,813,670 4,174,142 4,214,967 4,170,093 4,123,612 4,234,408
   
   
TAHUN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007  
JUMLAH 4,366,816 4,382,788 4,364,869 4,273,880 4,324,979 4,226,572 4,730,125 4,855,128  

Sumber:Laporan Tahunan Bank Indonesia, berbagai edisi 
 Untuk jumlah tenaga kerja, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sektor industri merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak diantara sektor-sektor lainnya. Hal ini dikarenakan sektor industri lebih bersifat padat karya. Dari data di atas, jumlah tenaga kerja yang terendah adalah pada tahun 1980 yaitu sebesar 97.579 yang artinya mengalami penurunan sebesar kurang lebih 78% dari tahun sebelumnya. Namun pada tahun berikutnya jumlah tenaga kerja pada sektor industri mengalami peningkatan yang sangat tinggi yaitu sebesar 914.205 dari tahun sebelumnya.
 Pada periode tahun 1997, jumlah tenaga kerja sebanyak 4,170,093 orang berkurang sebesar 44.874 dari tahun 1996 yang mencapai 4.214.967 orang. Penurunan ini berlangsung hingga tahun 1998, hal ini dikarenakan terjadinya krisis pada tahun tersebut sehingga terjadi PHK besar-besaran. Namun seiring dnegan membaiknya kondisi perekonomian dalam negeri, jumlah tenaga kerjapun cenderung mengalami peningkatan kembali hingga tahun 2002, dan selanjutnya jumlah tenaga kerja pada tahun-tahun berikutnya cenderung berfluktuasi.








Gambar 2.2
Banyaknya Tenaga Kerja Pada sektor Industri Periode 1970-2007


2.3 KONTRIBUSI INDUSTRI TERHADAP EKONOMI
Prestasi ekonomi suatu bangsa dapat dilihat dan dinilai dengan berbagai ukuran agregat. Secara umum, prestasi tersebut diukur melalui sebuah besaran dengan istilah pendapatan nasional. Banyak sektor yang memberikan kontribusinya terhadap pendapatan nasional seperti sektor industri pertanian dan industri. Distribusi PDB menurut subsektor industri juga bagus sebagai suatu indicator untuk mengukur tingkat diversifikasi industri. Secara hipotesis, semakin besar kontribusi output dari kelompok-kelompok industri berteknologi tinggi terhadap pembentukan PDB. Perkembangan peranan industri dan pertanian dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah ini:
 
Tabel 2.4
Perkembangan PDB atas dasar harga konstan 2000 berdasarkan lapangan Usaha (miliar rupiah)

No Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan 66,208.90 225,685.20 232,973.40 240,387.30 247,163.60 253,720.00 261,296.80
  a. Tanaman bahan makanan 34,533.80 113,019.60 115,925.50 119,164.70 122,611.70 125,801.80 129,211.20
  b. Tanaman perkebunan 10,722.00 34,845.20 36,585.60 38,693.90 38,849.30 39,810.90 41,081.80
  c. Peternakan dan hasil-hasilnya 7,061.30 27,770.10 29,393.50 30,647.00 31,672.50 32,346.50 33,309.90
  d. Kehutanan 6,338.90 17,609.80 17,986.50 17,213.70 17,433.80 17,176.90 16,784.10
  e. Perikanan 7,502.90 32,441.00 33,082.30 34,667.90 36,596.30 38,589.90 40,909.80
2 Pertambangan dan penggalian 38,896.40 168,244.30 169,932.00 167,603.80 160,100.50 165,085.40 168,729.90
  a. Minyak dan gas bumi 22,658.30 111,450.80 108,130.60 103,087.20 98,636.30 96,889.30 95,640.80
  b. Pertambangan bukan gas 11,619.20 44,720.30 49,066.50 51,007.30 46,947.10 52,604.60 56,097.30
  c. Penggalian 4,618.90 12,073.20 12,734.90 13,509.30 14,517.10 15,591.50 16,991.80
3 Industri pengolahan 104,986.90 398,323.90 419,388.10 441,754.90 469,952.40 491,421.80 514,192.20
  a. Industri Migas 11,599.90 50,894.90 52,179.50 52,609.30 51,583.90 48,519.20 47,928.10
  1) Pengilangan Minyak bumi 6,843.10 22,670.00 21,820.00 22,374.10 22,322.30 21,207.20 21,002.30
  2) Gas alam cair 4,756.90 28,224.90 30,359.50 30,235.20 29,261.60 27,312.00 26,925.80
  b. Industri bukan gas 93,387.00 347,429.00 367,208.60 389,145.60 418,368.50 442,902.60 466,264.10
  1) Makanan, minuman dan tembakau 52,929.00 113,256.60 113,474.80 116,528.60 118,149.30 121,395.60 130,163.90
  2) Tekstil, barang kulit dan alas kaki 8,394.10 46,966.10 48,484.90 51,483.60 53,576.30 54,277.10 54,944.20
  3) Barang kayu dan hasil hutan 3,930.60 20,384.00 20,510.00 20,754.30 20,325.50 20,138.50 20,006.20
  4) Kertas dan barang cetakan 3,981.40 19,042.90 20,045.20 21,731.00 23,384.20 23,944.20 24,444.80
  5) Pupuk, kinia dan barang dari karet 11,816.80 43,132.70 45,171.40 50,008.70 54,513.60 59,293.10 61,947.90
  6) Semen dan barang galian bukan logam 2,552.20 12,041.10 12,830.60 13,735.90 15,045.20 5,618.10 15,700.10
  7) Logam dasar besi dan baja 2,595.90 9,050.90 8,935.50 8,222.90 8,008.00 7,712.00 8,076.80
  8) Alat angkutan, mesin dan peralatan 6,796.20 80,435.10 94,982.00 103,414.70 121,683.30 136,744.60 147,063.80
  9) Barang lainnya 392 3,119.60 2,773.90 3,265.90 3,683.10 3,779.40 3,916.40
4 Listrik, gas dan air bersih 6,574.80 9,058.30 9,868.30 10,349.20 10,897.60 11,584.10 12,263.60
  a. Listrik 5,394.70 6,386.00 6,769.10 7,104.10 7,468.50 7,967.60 8,487.30
  b. Gas kota 268 1,189.80 1,358.40 1,498.60 1,639.50 1,745.80 1,838.90
  c. Air bersih 912.1 1,482.50 1,740.70 1,746.50 1,789.60 1,870.70 1,937.40
5 Konstruksi 23,278.70 80,080.40 84,469.80 89,621.80 96,334.40 103,483.70 112,762.20
6 Perdagangan, hotel dan restaurant 63,498.30 234,273.00 243,409.30 256,516.60 271,142.20 293,877.20 311,903.50
  a. Perdagangan 50,333.20 192,541.40 199,649.10 210,653.30 222,290.00 242,084.30 257,623.10
  b. Hotel 2,669.20 9,642.10 10,107.90 10,738.60 11,590.70 12,365.60 12,723.80
  c. Restauran 10,495.30 32,089.50 33,652.30 35,124.40 37,261.50 39,427.30 41,556.60
7 Pengangkutan dan komunikasi 29,072.10 77,187.60 97,970.30 85,458.40 96,896.70 109,467.10 124,399.00
  a. Pengangkutan 21,176.30 56,467.30 66,117.70 57,463.00 62,495.70 66,445.90 70,880.20
  1) Angkutan rel 371.1 814.2 1,002.90 608.9 603.3 585.3 620.3
  2) Angkutan jalan raya 10,485.40 28,079.80 32,645.40 25,771.50 27,056.60 28,388.80 29,824.30
  3) Angkutan laut 3,162.70 7,564.30 9,596.90 7,857.60 8,142.90 8,855.80 9,497.20
  4) Angkutan sungai, danau dan penyebrangan 1,596.70 2,385.20 2,623.50 2,165.00 2,254.00 2,350.80 2,444.30
  5) Angkutan udara 1,211.30 5,046.10 5,712.00 7,214.60 9,384.30 10,362.30 11,466.20
  6) Jasa penunjang angkutan 4,349.10 12,577.70 14,537.00 13,845.40 15,054.60 15,902.90 17,027.90
  b. Komunikasi 7,895.80 20,720.30 31,852.60 27,995.40 34,401.00 43,021.20 53,518.80
8 Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 27,449.40 135,369.80 154,442.20 140,374.40 151,123.30 161,384.30 170,495.60
  a. Bank 9,167.90 64,408.50 68,306.70 64,418.30 68,295.00 71,462.10 72,678.70
  b. Lembaga Keuangan Bukan Bank 3,064.60 10,342.20 12,603.70 11,046.80 12,067.30 13,043.30 13,958.10
  c. Jasa Penunujang Keuangan 235.1 919.3 1,006.30 968.9 1,057.80 1,104.90 1,185.40
  d. Real estat 9,214.80 38,227.80 47,873.10 40,511.50 44,111.70 47,780.00 51,950.80
  e. Jasa Perusahaan 5,767.00 21,472.00 24,652.40 23,428.90 25,591.50 27,994.00 30,722.60
9 Jasa-Jasa 38,051.50 152,258.00 165,602.80 145,104.90 152,906.10 160,626.50 170,612.10
  a. Pemerintahan Umum 22,555.10 81,850.90 83,293.40 71,147.70 72,323.60 73,700.10 76,618.40
  1) Administrasi, pemerintahan dan pertahanan 16,681.60 51,817.60 52,508.60 45,394.20 46,055.10 46,889.60 48,644.30
  2) Jasa pemerintahan lainnya 5,873.50 30,033.30 30,784.80 25,753.50 26,268.50 26,268.50 27,974.10
  b. Swasta 15,496.40 70,407.10 82,309.40 73,957.20 80,582.50 80,582.50 93,993.70
  1) Sosial kemasyarakatan 2,758.70 20,158.40 24,931.50 19,561.30 21,082.70 21,082.70 24,295.70
  2) Hiburan dan rekreasi 684.4 5,411.60 6,170.20 5,816.80 6,302.10 6,302.10 7,158.30
  3) Perorangan dan rumah tangga 12,053.30 44,837.10 51,207.20 48,579.10 53,197.70 53,197.70 62,539.70
   
  Produk Domestik Bruto (PDB) 398,016.90 1,684,280.50 1,863,274.70 1,577,171.30 1,656,516.80 1,750,656.10 1,846,654.90
   
  Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa Migas 363,758.70 1,505,600.80 1,700,522.70 1,421,474.80 1,506,296.60 1,605,247.60 1,703,086.00
Sumber:Laporan Tahunan Bank Indonesia, BI
 
 
 
Gambar 2.3 Pertumbuhan PDB

Berdasarkan tabel tersebut industri merupakan penyumbang terbesar pertumbuhan PDB dalam setiap tahunnya. Pada awal penelitian sektor industri memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan nasional yakni sebesar 104,986.90; Begitu pula pada tahun kedua penelitian (2001) penyumbang terbesar sektor industri yaitu sebesar 398,323.90 
Pertumbuhan ekonomi meningkat dari 3,7% pada 2002 menjadi 4,1% pada 2003, sedikit di atas kisaran proyeksi di awal 2003. Pada sisi permintaan agregat, seluruh komponen tumbuh positif dengan konsumsi masih menjadi pendorong utama pertumbuhan permintaan. Pertumbuhan investasi sedikit meningkat dibandingkan tahun sebelumnya tetapi masih pada level yang sangat rendah. Bahkan, investasi dalam bentuk mesin dan perlengkapan mencatat pertumbuhan negatif. Permintaan ekspor juga mengalami perbaikan
Pada setiap tahunnya industri selalu memberikan kontribusi yang cukup baik terhadap PDB, namun pada tahun 2003 pertumbuhan Sektor Industri Pengolahan mendapat tantangan yang berat, sebagaimana terlihat dari masih rendahnya pertumbuhan sektor ini. Pada 2003, sektor ini hanya tumbuh sebesar 3,5%, jauh di bawah angka rata-rata pertumbuhan. Kecenderungan penurunan laju pertumbuhan ini terjadi baik untuk Subsektor Industri Migas dan Subsektor Industri Nonmigas. Untuk industri nonmigas, memburuknya kinerja yang terjadi merupakan konsekuensi penurunan pertumbuhan nilai tambah pada industri makanan, minuman dan tembakau yang mencakup 50% dari pangsa Subsektor Industri Nonmigas. Pertumbuhan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran relatif stabil dengan laju sebesar 3,7%. Pertumbuhan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi relatif meningkat tajam dengan laju pertumbuhan mencapai 10,7%. Sektor ini merupakan satu-satunya sektor yang laju pertumbuhannya telah melampui rata-rata pertumbuhan pada periode sebelum krisis. 
Untuk tahun 2006 sektor pertumbuhan industri mengalami kenaikan. sektor ini tumbuh sebesar 4,6%. Seiring dengan itu, sektor perdagangan mengalami peningkatan pertumbuhan dari 6,1% pada tahun 2006 menjadi 8,5%. Tingginya pertumbuhan kedua sektor tersebut terutama ditopang oleh meningkatnya permintaan domestik dan membaiknya keyakinan dunia usaha terhadap kondisi perekonomian. 
Pertumbuhan ekonomi, terutama dilihat dari ekspor komoditas manufaktur, sering ditafsirkan sebagai proses pemantapan industrialisasi nasional. Penafsiran semacam ini, kalau tidak hati-hati, dapat menyederhanakan proses industrialisasi sebagai proses yang hanya berkiblat pada pemecahan masalah pasar (market-pull) jangka pendek. Pengamat ekonomi menilai kebijakan ini sangat berhasil dan pertumbuhan sektor manufaktur terus meningkat (The Kwian Wie, 1994). Sejak itu pula pangsa sumbangan industri sudah melebihi pangsa sumbangan pertanian dan semakin dominan dalam pembangunan nasional. Bahkan, laporan pertumbuhan produk domestik bruto di atas 7 persen dari Bank Pembangunan Asia dan Dana Moneter Internasional (Jawa Pos, 19 April 1996) ikut memperkuat pernyataan keberhasilan kebijakan tersebut. 




PERKEMBANGAN BEBERAPA INDUSTRI PENTING

1. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
Industri TPT merupakan salah satu industri penting di Indonesia karena kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja, meraih devisa ekspor, dan memenuhi kebutuhan sandang di dalam negeri. Industri TPT Nasional pada tahun 2007 berjumlah 2.726 unit usaha naik 1 persen dibandingkan denga tahun 2006; Sementara itu, nilai investasi mencapai sebesar Rp.136,2 triliun (naik 0,4 persen); tenaga kerja yang diserap sebanyak 1,2 juta orang (naik 2 persen); dan nilai ekspornya diperkirakan mencapai US$ 10,25 miliar (naik 8,5 persen). Secara rinci perkembangan kapasitas, volume dan utilisasi kapasitas produksi industri TPT dapat dilihat pada Tabel 25. 
Dalam rangka meremajakan mesin mesin industri TPT yang menurut survey telah 70 persen-nya berumur diatas 20 tahun, pada tahun 2007 telah diluncurkan Program Peningkatan Teknologi ITPT (restrukturisasi mesin/peralatan) dengan jumlah dana sebesar Rp.255 miliar yang terbagi menjadi 2 yaitu skim I dalam bentuk bantuan potongan harga dan skim II dalam bentuk bantuan kredit dengan modal padanan. Untuk skim I dana yang tersedia sebesar Rp 175 miliar dan skim II sebesar Rp 80 miliar. Selanjutnya untuk tahun 2008 dana yang tersedia sebesar Rp 330 miliar atau apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya meningkat menjadi 22,72 persen. Program restrukturisasi permesinan tersebut dikoordinasikan dengan Bank Indonesia dan beberapa bank pelaksana. Program tersebut diharapkan akan berlanjut pada tahun 2009.








Tabel 2.5
 
Dalam rangka mengurangi ketergantungan penyediaan bahan baku kapas yang 99 persen masih diimpor telah dilakukan kerjasama dengan Departemen Pertanian untuk mengembangkan tanaman kapas pada daerah daerah yang iklimnya cukup mendukung seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB dan beberapa daerah di Jawa Tengah, yang diperkirakan dapat mengurangi ketergantungan impor sebesar 4,5 persen. Selain itu telah dilakukan upaya mencari bahan baku alternatif kapas, melalui pengembangan industri serat rami yang pada saat ini telah diuji coba di 21 lokasi (meliputi 6 Provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu dan Jambi). Dalam rangka meningkatkan keterampilan SDM industri TPT, telah dilakukan pelatihan-pelatihan peningkatan kemampuan SDM, sedangkan untuk mengatasi permasalahan illegal import dan transhipment telah dilakukan koordinasi dengan Dep.Perdagangan dan Ditjen Bea Cukai untuk menyempurnakan aturan tata niaga ekspor dan impor yang nampaknya menunjukkan perubahanperubahan yang menggembirakan.

2. Industri Alas Kaki
Pada tahun 2007 (s/d November 2007) industri alas kaki masih menunjukkan pertumbuhan dibandingkan dengan tahun 2006, hal ini disebabkan telah mulai berproduksinya beberapa investasi baru maupun perluasan disamping peluang ekspor yang semakin membaik. Perkembangan industri alas kaki dalam tahun 2007 adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 2.6 dibawah ini.

Tabel. 2.6
 

3. Industri Besi Baja
Tingkat utilisasi industri besi baja nasional pada tahun 2008 meningkat 1,1 persen menjadi 61,6 persen dari 60,5 persen pada tahun 2007. Perkembangannya dapat dilihat pada Tabel 2.7 berikut.





Tabel 2.7
 
Pengamatan yang dilakukan terhadap 11 jenis produk baja menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sekitar 1,07 persen sampai 12,50 persen, walaupun 7 jenis produk diantaranya mengalami penurunan sekitar 0,27 persen sampai 20,86 persen yaitu antara lain Besi Spon (-20,86 persen), HRC/Plate (-0,88 persen) dan Pipa Las (-0.90 persen), Billet/Ingot/Bloom (-3,55 persen). Penurunan tersebut disebabkan oleh adanya perbaikan rutin mesin-mesin produksi, pemogokan buruh, dan tingginya persediaan produk tahun-tahun sebelumnya serta menurunnya permintaan dalam negeri. Kecenderungan meningkatnya persediaan ini terutama disebabkan adanya kekhawatiran harga energi akan terus meningkat sehingga perusahaan memproduksi pada harga sebelum naik, hal ini terlihat dari meningkatnya produksi Tin Plate (12,50 persen).

4. Industri Mesin
Industri mesin mempunyai peran yang sangat penting di dalam mendukung perkembangan sektor industri manufaktur maupun sektorsektor perekonomian lainnya seperti konstruksi, pertambangan, energi,pertanian dan lain-lain. Industri Mesin yang akan diuraikan meliputi: Industri Mesin/Peralatan Pabrik, Industri Mesin/Peralatan Listrik, Industri Mesin/Peralatan Pertanian dan Industri Alat Berat. Perkembangan investasi industri mesin dapat dilihat pada Tabel 2.8. berikut :

Tabel 2.8
 


5. Industri Perkapalan
Industri perkapalan atau galangan kapal merupakan industri yang memiliki keterkaitan yang sangat luas baik ke industri hulunya maupun ke industri hilirnya sehingga dikategorikan sebagai industri strategis dan merupakan industri masa depan yang mempunyai prospek yang cerah. Saat ini terdapat sekitar 250 perusahaan industri perkapalan/galangan kapal yang mampu memproduksi kapal baru dan memperbaiki/reparasi kapal. Meskipun jumlah perusahaan cukup banyak, namun sebagian besar hanya mampu membangun dan mereparasi kapal kapal berukuran kecil atau kurang dari 10.000 DWT serta mesin/peralatan produksinya relatif sudah tua. Industri galangan kapal dalam negeri memiliki fasilitas produksi terbesar berupa dok gali (graving dock) dengan kapasitas 150.000 DWT yang dapat dipergunakan untuk membangun kapal baru maupun untuk memperbaiki/reparasi kapal. Pengalaman industri galangan kapal dalam negeri membangun kapal baru berbagai jenis, tipe dan ukuran sampai dengan ukuran/kapasitas 50.000 DWT. Dalam tiga tahun terakhir industri galangan kapal mengalami perkembangan yang menggembirakan dimana terjadi pertumbuhan investasi yang sangat pesat khususnya di Pulau Batam yang sampai saat ini telah mencapai sekitar 65 perusahaan. Hal ini disebabkan karena iklim investasi (insentif fiskal dan tata niaga) yang dikembangkan di Pulau Batam, Bintan, dan Karimun (Bonded Zone / Kawasan Berikat, dan KEK / Kawasan Ekonomi Khusus) menarik minat investor asing, juga karena pulau Batam dekat dengan sumber bahan baku/perdagangan, yaitu Singapura. Faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan investasi industri galangan kapal cukup besar adalah dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional yang intinya adalah penerapan azas, yang didalamnya juga diamanatkan pengembangan industri perkapalan nasional untuk mendukung pelaksanaan pemberdayaan industri pelayaran nasional.

Tabel 2.9
 

6. Industri Kendaraan Bermotor
Saat ini telah terdapat 15 perusahaan industri perakit kendaraan bermotor roda empat, 16 perusahaan perakit sepeda motor, yang didukung oleh sekitar 250 perusahaan industri komponen yang memproduksi berbagai jenis komponen mulai dari komponen universal sampai komponen utama seperti engine dan transmisi. Perkembangan industri kendaraan bermotor di Indonesia saat ini menunjukkan peningkatan yang sangat baik sehingga memberikan rasa optimis untuk dapat melangkah lebih jauh. Perkembangan ini diperkirakan akan bergerak terus dalam beberapa tahun mendatang. Walaupun terjadi penurunan pasar dalam negeri pada tahun 2006 yang mencapai kurang lebih 40 persen untuk kendaraan roda empat dan sekitar 15 persen untuk kendaraan roda dua namun perkembangan ekspor kendaraan CBU melonjak lebih kurang 70 persen. Hal ini menunjukkan daya saing produk otomotif Indonesia yang cukup baik. Investasi yang tertanam di sektor otomotif pada tahun 2007 telah mencapai sekitar Rp. 18,054 triliun dengan kumulatif tenaga kerja mencapai 186.000 orang. Dalam kurun waktu 2 tahun terakhir beberapa perusahaan otomotif melakukan penambahan investasi diantaranya adalah PT. Astra Daihatsu Motor dengan nilai investasi sekitar Rp. 3 triliun untuk meningkatkan kapasitas produksinya menjadi 150.000 unit/tahun, PT. Astra Honda Motor dengan investasi sekitar US$ 101 juta, PT. Yamaha Motor Manufacturing dan PT. Yamaha Motor Manufacturing West Java dengan nilai investasi sekitar 7 miliar Yen untuk meningkatkan kemampuan peralatan produksi kedua pabrik tersebut. 
Disamping penambahan investasi tersebut diatas, PT. TVS Motor Company Indonesia – sebuah perusahaan industri sepeda motor milik TVS Motor Ltd. Singapura dan investor dari India, saat ini sedang dalam proses merealisasikan investasi sebesar US$ 42,6 juta di Indonesia yang diproyeksikan akan menyerap tenaga kerja sekitar 500 orang.
Produksi kendaraan bermotor roda empat pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 420.000 unit, mengalami kenaikan sebesar 35,14 persen bila dibandingkan dengan tahun 2006 sebanyak 296.008 unit. Dalam periode yang sama produksi kendaraan bermotor roda dua diperkirakan mencapai 4.900.000 unit, meningkat sekitar 450.000 unit atau naik sebesar 10,1 persen dibanding pada tahun 2006. 
Perkembangan tersebut diperkirakan akan meningkat terus dalam beberapa tahun kedepan, sejalan dengan makin membaiknya indicator makro ekonomi nasional serta adanya upaya untuk terus meningkatkan kualitas infrastruktur perhubungan.
Dengan memanfaatkan pasar domestik sebagai Base Load diharapkan industri otomotif nasional dapat lebih berperan sebagai salah satu basis produksi otomotif di ASEAN, khususnya untuk kendaraan MPV dan menjadi produsen ke-3 terbesar kendaraan bermotor roda dua di dunia setelah China dan India. Sejalan dengan pertumbuhan pasar dalam negeri yang cukup menggembirakan, kegiatan ekspor produk industri otomotif juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Nilai ekspor produk otomotif tahun 2007 mencapai lebih dari US$ 2,50 miliar, naik sebesar 35,0 persen dibanding total nilai ekspor sebesar US$ 1,85 miliar pada tahun 2006. Beberapa produk kendaraan bermotor utuh (CBU) yang telah masuk ke pasar global diantaranya adalah Toyota (Avanza dan Innova), dan Daihatsu, dengan perkiraan volume ekspor sebesar 60.000 unit/tahun. Sedangkan total nilai impor produk otomotif pada tahun 2007 mencapai US$ 3,30 miliar sehingga bila dibandingkan dengan nilai ekspor, industri otomotif nasional mengalami deficit sebesar US$.0,8 miliar. 
Perkembangan pasar domestik produk industri otomotif khususnya untuk kendaraan bermotor roda-4 pada tahun 2007 mengalami peningkatan yang cukup tajam. Selama tahun 2007 diprediksi penjualan akan mencapai 380.000 unit, atau terjadi peningkatan sebesar 19,12 persen dibanding penjualan tahun 2006 yakni sebesar 319.000 unit. Untuk menekan dampak dari kenaikan BBM terutama untuk yang non subsidi dan tingginya premi asuransi sebagaimana ditetapkan oleh kebijakan Menkeu yang baru, saat ini sedang dilakukan berbagai upaya untuk membantu perusahaan menurunkan biaya produksi, diantaranya melalui pemberian fasilitas keringanan BM atas impor bahan baku untuk pembuatan komponen dalam negeri serta
penurunan PPn-BM. 
Disamping itu juga telah dilakukan pemberian bantuan berupa bimbingan peningkatan produktivitas kepada industri-industri komponen baik dengan memanfaatkan bantuan asing maupun dengan menggunakan tenaga-tenaga dari dalam negeri. Dari sisi penguasaan teknologi, industri kendaraan bermotor dalam negeri khususnya sepeda motor telah mampu menghasilkan produk sepeda motor yang benar-benar dirancang dan direkayasa sepenuhnya oleh perusahaan dan tenaga ahli Indonesia, yaitu oleh PT. Kanzen Motor Indonesia yang sahamnya sepenuhnya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Namun demikian secara umum pengembangan industri kendaraan bermotor nasional masih mengalami berbagai kendala diantaranya masih lemahnya dukungan industri pendukung seperti industri bahan baku dan komponen dalam negeri yang menyebabkan masih tingginya ketergantungan industri otomotif terhadap impor bahan baku dan komponen, disamping keterbatasan kemampuan design & engineering serta infrastruktur yang tersedia.

7. Industri Petrokimia
Perkembangan kapasitas produksi industri petrokimia pada tahun 2008 menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan yaitu sebesar 20,7 persen, namun peningkatan tersebut tidak diikuti oleh peningkatan realisasi produksi, sehingga utilisasi kapasitas produksi menurun dari 92,8 persen di tahun 2007 menjadi 84,7 persen pada tahun 2008. 
Perkembangan nilai ekspor industri petrokimia tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2007 menunjukkan penurunan yang cukup signifikan yaitu sebesar (8,6 persen). Sedangkan nilai investasi (PMA) meningkat sebesar 0,1 persen dan untuk PMDN menurun sebesar (5,6 persen). Kinerja petrokimia secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.10. di bawah ini;
Tabel 2.10
 
8. Industri Pupuk
Pupuk merupakan salah satu sarana produksi pertanian yang memiliki peranan penting dalam rangka mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional. Oleh karena itu produksi pupuk di dalam negeri sampai saat ini diutamakan untukmemenuhi kebutuhan pupuk sector pertanian.
Perkembangan industri pupuk (urea, ZA, TSP, NPK ) di Indonesia sangat tergantung dari pasokan bahan baku gas dalam negeri, sehingga beberapa pabrik pupuk seperti PT PIM, PT Pupuk Kujang dan PT Pupuk Kaltim tidak dapat beroperasi secara optimal. 
Pada tahun 2008 diperkirakan kapasitas produksi pupuk urea mencapai 7,87 juta ton per tahun dengan utilisasi sekitar 75,06 persen; pupuk ZA 650 ribu ton per tahun; pupuk TSP 1,00 juta ton per tahun; dan NPK 1,64 juta ton per tahun. 
Tabel 2.11.
 
9. Industri Pengolahan Kelapa Sawit (CPO)
Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen CPO terbesar dunia setelah pada tahun 2006 dapat mengungguli Malaysia. Perkembangan produksi dan ekspor CPO dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 menunjukan trend yang meningkat seperti pada Tabel 2.12 dibawah ini.
Tabel 2.12
 

Ekspor CPO dan produk olahannya terus meningkat setiap tahunnya, yaitu sebesar 9,26 juta ton (75,7 persen dari produksi CPO) pada tahun 2004 dan diperkirakan menjadi 18,64 juta ton (87,2 persen dari produksi CPO) pada tahun 2008. Konsumsi CPO dalam negeri sebagian besar digunakan untuk industri minyak goreng (konsumen utama), industri margarin dan sabun. Sementara konsumsi CPO untuk industri oleokimia masih relatif rendah, begitu juga pemanfaatan CPO untuk bahan bakar kendaraan bermotor (biodiesel) masih relatif rendah sekitar 1000 ton. Konsumsi CPO untuk industri olekimia dasar (Fatty Acid) pada tahun 2007 sebesar 769 ribu ton dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2008 sebesar 778 ribu ton.

10. Industri Pengolahan Kakao
Indonesia merupakan negara produsen kakao ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Produksi biji kakao Indonesia sebesar 456.000 ton pada tahun 2006; 517.000 ton pada tahun 2007 dan pada akhir tahun 2008 diperkirakan produksi biji kakao akan mencapai 573.000 ton. 
Jumlah industri pengolahan kakao di Indonesia terdapat 15 pabrik, yang mengolah biji kakao menjadi berbagai produk seperti : cacao liquor, cacao butter, cacao cake dan cacao powder dengan total kapasitas terpasang pada tahun 2007 sebesar 303.400 ton dan utilisasinya mencapai 50 persen (151.700 ton). Tahun 2008 terdapat penambahan kapasitas 30.000 ton, sehingga total kapasitas pada tahun 2008 menjadi 333.400 ton. Pada tahun 2008 utilisasinya diperkirakan mencapai 60 persen atau menjadi 200.040 ton. Peningkatan utilisasi tersebut terjadi karena adanya penghapusan PPN, sehingga daya saing industri kakao olahan di dalam negeri meningkat. 
Berbagai produk olahan biji kakao tersebut sebagian besar di ekspor ke berbagai negara yang jumlahnya pada tahun 2006 mencapai 74.413 ton dengan nilai US$ 160,73 juta dan sisanya digunakan untuk kebutuhan industri cokelat dalam negeri. Pada akhir tahun 2007 ekspor produk olahan kakao mencapai 93.447 ton dengan nilai US$ 201,85 juta. 
Diperkirakan tahun 2008 ekspor kakao olahan mencapai 112.137 ton dengan nilai US$ 242,22 juta. Jumlah penyerapan tenaga kerja pada industri kakao tahun 2006 sebesar 7.004 orang, dan pada tahun 2007 mencapai 8.392 orang, dan pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 8.882 orang, hal ini karena terjadi peningkatan investasi baru pada industri kakao.
Tabel 2.13
 



Pertumbuhan Industri 
Tabel 2.14
 
  Tabel 2.15
 
Dari beberapa pemaparan jenis industri di atas memperlihatkan keunggulan tiap jenis industri, meski masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki. Meski dapat dilihat bahwa dalam perkembangannya begitu baik, namun untuk dapat memberikan kontribusi terbaik bagi industri nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional dari sector industri masih belum cukup. 
Daya saing industri nasional hingga tahun lalu masih memprihatinkan. Indonesia masih berada di peringkat 69, sementara dua tetangga dekat Indonesia, Thailand dan Malaysia masing-masing berada pada peringkat 34 dan 31. Padahal beberapa tahun sebelumnya, Indonesia justru mampu mengungguli kedua negara tersebut. Oleh karenanya, saat ini Indonesia harus berjuang keras agar bisa meningkatkan daya saing industri nya di dunia. Menteri Perindustrian, Andung A. Nitimihardja, mengungkapkan bahwa peringkat daya saing Indonesia ditargetkan akan menyamai atau bahkan melebihi Malaysia dan Thailand pada tahun 2009 nanti. Untuk itu, pemerintah menargetkan industri nasional bisa tumbuh 8,9 persen per tahun hingga 2009. 
(Industri Indonesia Ungguli Malaysia Pada Tahun 2009; Kamis, 19 Mei 2005)


 
2.3.1 Perkembangan Ekspor Industri di Indonesia
Tabel 2.16
Nilai Ekspor Nonmigas Menurut Komoditas
(Juta $)
Rincian 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Industri 33,157 32,678 40,623 35,628 39.819 41.981 47.416 55.872
Tekstil dan Produk Tekstil 7,034 6,291 7,317 6,752 7.158 7.294 7.507 8.554
Pakaian jadi 3,769 3,450 4,067 3,821 3.996 4.147 4.364 4.959
Produk Kayu 2,089 569 546 532 3.343 3.247 3.164 2.94
Kayu Lapis 4,245 4,526 4,495 3,962 1.797 1.708 1.501 1.798
Minyak Kelapa Sawit 2,328 2,259 1,996 1,725 2.151 2.521 3.353 3.708
Produk Kimia 39 255 296 272 1.308 1.576 1.896 4.45
Produk Logam 1,387 1,078 1,217 1,131 614 887 1.787 561
Barang-barang Listrik 2,813 3,365 6,366 6,115 2.776 3.205 3.396 9.774
Semen 87 143 141 170 115 92 100 184
Kertas 2,471 2,645 3,046 2,677 2.156 2.061 2.171 3.238
Lainnya 5,275 5,670 6,205 4,233 18.594 18.952 21.166 21.668
 
Tabel 2.17
 
Untuk komoditas sektor industri menyumbang 92.255 juta terhadap nilai ekspor terutama di tahun 2008. Sektor elektronik memberikan kontribusi yang cukup tinggi diantara subsektor lainnya dimana nilai tertinggi yang pernah dicapai yaitu pada tahun 2007 sebesar 12.652.3 juta, sedangkan nilai terendah dicapai oleh produk kimia pada tahun 1998 sebesar 87 juta. Berdasarkan data di atas juga terlihat bahwa sector migas dan non-migas memberi kontribusi yang cukup baik pada industri indonesia.


 
Tabel 2.18
Ekspor Sektor Industri berdasarkan barang

No Hs Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Trend (%) 03-07 Perub (%) 07/06 Peran (%) 2007 Jan-ags 2007 Jan-ags 2008 Perub (%) 08/07 Peran (%) 2008
1 84 Mesin-mesin/pesawat mekanik 4.297,1 6.311,0 8.076,2 7.403,6 9.518,7 19,13 28,57 18,12 6.102,3 12.290,5 101,41 18,43
2 85 Mesin/perlatan listrik 1.769,0 2.776,4 3.329,2 3.107,8 4.642,0 22,66 49,37 8,84 3.005,7 9.586,1 218,93 14,38
3 72 Besi dan baja 1.287,0 2.717,4 3.344,9 2.865,1 4.175,0 27,21 45,72 7,95 2.746,7 5.985,3 117,91 8,98
4 29 Bahan kimia organik 2.163,9 3.258,3 3.244,2 3.439,2 3.881,2 13,00 12,85 7,39 2.588,1 3.710,8 43,38 5,57
5 87 Kendaraan dan bagiannya 1.890,3 2.423,1 3.061,4 2.447,0 2.778,7 8,12 13,56 5,29 1.696,8 4.511,5 165,88 6,77
6 39 Plastik dan barang dari plastik 1.136,8 1.605,9 1.748,9 1.855,7 2.195,2 15,73 18,30 4,18 1.434,0 2.813,5 96,20 4,22
7 10 Gandum-ganduman 1.044,2 1.080,7 884,4 1.229,1 1.804,5 13,01 46,81 3,43 1.233,9 1.557,7 26,24 2,34
8 88 Kapal terbang dan bagiannya 120,2 299,1 479,7 971,3 1.607,3 88,98 65,48 3,06 803,9 917,7 14,16 1,38
9 73 Benda-benda dari besi dan baja 688,9 861,9 1.482,1 1.261,7 1.370,1 19,20 8,59 2,61 907,5 2.155,7 137,55 3,23
10 23 Ampas/sisa industri makanan 610,2 900,4 824,8 882,7 1.147,5 13,24 30,00 2,18 696,4 1.174,2 68,62 1,76
11 17 Gula dan kembang gula 373,4 321,2 654,7 640,0 1.116,4 33,37 74,45 2,12 761,7 335,4 -55,96 0,50
12 47 Bubur kayu/pulp 636,4 824,8 785,1 852,7 1.022,5 10,31 19,91 1,95 646,5 1.063,3 64,48 1,59
13 52 Kapas 800,5 843,1 731,1 782,4 953,0 2,78 21,81 1,81 649,8 1.374,2 111,49 2,06
14 28 Bahan kimia anorganik 465,0 604,0 737,3 814,7 908,2 17,80 11,47 1,73 599,4 979,6 63,43 1,47
15 04 Susu, mentega, telur 277,2 436,8 521,2 566,2 879,4 29,28 55,32 1,67 550,9 681,4 23,70 1,02
16 38 Berbagai produk kimia 438,3 592,2 675,5 781,8 848,7 17,34 8,55 1,62 543,4 826,7 52,13 1,24
17 76 Aluminium 332,8 485,0 565,9 674,1 815,1 23,62 20,92 1,55 564,1 845,7 49,94 1,27
18 40 Karet dan barang dari karet 347,0 467,5 610,8 698,4 790,7 22,73 13,21 1,50 514,7 948,5 84,27 1,42
19 31 Pupuk 230,2 385,7 459,3 564,3 729,5 30,83 29,28 1,39 462,6 1.498,9 224,00 2,25
20 90 Perangkat optik 306,1 456,5 486,5 523,4 643,7 17,63 22,99 1,23 396,5 938,9 136,81 1,41
21 48 Kertas/karton 329,3 446,7 478,2 507,3 602,6 14,29 18,78 1,15 384,0 673,1 75,30 1,01
22 32 Sari bahan samak & celup 352,4 476,6 482,1 495,6 574,2 10,69 15,87 1,09 379,3 576,7 52,07 0,86
23 12 Biji-bijian berminyak 390,7 468,3 372,0 375,9 568,4 5,44 51,22 1,08 373,8 550,0 47,12 0,82
24 89 Kapal laut 439,9 322,0 328,6 1.501,0 540,0 21,53 -64,03 1,03 285,0 519,8 82,41 0,78
25 33 Minyak atsiri, kosmetik wangi-wangian 193,1 289,6 320,2 358,5 435,6 20,20 21,48 0,83 291,6 390,2 33,84 0,59
26 08 Buah-buahan 189,0 216,4 217,5 327,8 435,4 23,18 32,82 0,83 307,6 327,1 6,33 0,49
27 25 Garam, belerang, kapur 229,5 302,9 355,5 399,6 429,2 16,51 7,41 0,82 288,0 513,5 78,32 0,77
28 55 Serat stafel buatan 221,7 299,3 243,2 241,2 355,5 7,55 47,42 0,68 221,3 435,0 96,51 0,65
29 79 Seng 80,0 115,0 141,6 268,7 349,3 46,19 30,01 0,66 241,5 216,6 -10,30 0,32
30 11 Hasil penggilingan 139,2 127,7 194,4 259,6 322,8 27,02 24,35 0,61 236,8 304,1 28,41 0,46
31 34 Sabun dan preparat pembersih 242,6 325,2 324,0 288,2 310,8 3,82 7,84 0,59 217,6 297,7 36,79 0,45
32 30 Produk industri farmasi 127,2 171,6 190,1 258,0 297,0 23,41 15,12 0,57 207,6 228,0 9,87 0,34
33 74 Tembaga 92,8 128,6 162,8 254,2 285,0 33,98 12,16 0,54 173,5 754,0 334,53 1,13
34 24 Tembakau 154,8 171,1 180,4 191,3 267,8 12,83 40,01 0,51 173,5 263,9 52,08 0,40
35 44 Kayu, barang dari kayu 107,7 150,0 188,3 222,4 258,3 23,89 16,14 0,49 180,2 240,0 33,22 0,36
36 21 Berbagai makanan olahan 96,4 167,0 186,6 208,9 255,8 24,29 22,42 0,49 172,8 325,2 88,15 0,49
37 07 Sayuran 92,4 109,3 127,4 190,6 245,1 28,49 28,55 0,47 179,0 227,8 27,30 0,34
38 82 Perkakas, perangkat potong 113,2 156,7 159,9 184,7 233,1 17,46 26,16 0,44 159,8 205,1 28,36 0,31
39 54 Filamen buatan 183,6 244,2 260,8 286,2 229,1 6,20 -19,95 0,44 162,9 503,8 209,25 0,76
40 01 Binatang hidup 82,8 100,4 118,5 117,3 228,1 24,40 94,53 0,43 152,8 248,5 62,65 0,37
41 26 Bijih, kerak,, dan abu logam 68,6 168,4 255,8 246,4 219,7 31,10 -10,83 0,42 159,6 261,2 63,67 0,39
42 83 Berbagai barang logam dasar 89,2 118,1 147,5 148,5 199,9 20,24 34,66 0,38 125,8 256,7 104,08 0,38
43 94 Perabot, penerangan rumah 44,2 69,9 104,8 135,9 190,5 43,14 40,19 0,36 120,5 216,4 79,53 0,32
44 35 Perekat, enzim 107,2 116,7 132,8 143,2 171,1 12,07 19,48 0,33 112,4 203,7 81,18 0,31
45 02 Daging hewan 44,9 55,7 84,7 99,0 164,3 37,30 65,93 0,31 107,5 146,2 36,04 0,22
46 78 Timah hitam 31,6 65,9 61,8 83,9 162,1 42,08 93,14 0,31 98,1 154,4 57,41 0,23
47 70 Kaca & barang dari kaca 64,3 86,3 88,4 100,9 134,3 17,71 33,04 0,26 88,4 200,6 127,02 0,30
48 96 Berbagai barang buatan pabrik 72,3 88,2 89,0 108,4 125,1 13,92 15,41 0,24 84,9 161,7 90,44 0,24
49 59 Kain ditenun berlapis 122,5 115,8 126,8 123,0 124,9 1,01 1,62 0,24 81,8 198,3 142,44 0,30
50 69 Produk keramik 98,7 136,3 110,8 124,1 112,9 1,77 -9,10 0,21 65,4 137,1 109,63 0,21
  Lainnya 1.123,4 1.331,5 1.305,5 1.491,0 1.885,4 12,17 26,46 3,59 1.255,6 2.749,0 118,93 4,12
  Non migas 24.939,8 34.792,5 40.243,2 42.102,6 52.540,6 18,30 24,79 100,00 33.993,4 66.681,3 96,16 
 
Dalam tahun 2000, total nilai ekspor barang industri meningkat sebesar 15,0% dari tahun sebelumnya sehingga mencapai $37,6 miliar. Tajamnya peningkatan ekspor barang industri tersebut terjadi pada peningkatan nilai ekspor mesin & pesawat mekanik (77,4%), barang-barang listrik (70,8%), kertas (14,1%) dan tekstil & produk tekstil (6,4%). Peningkatan nilai ekspor barang industri tersebut di samping disebabkan oleh naiknya harga kertas di pasar dunia, juga didorong kuatnya permintaan akan barang-barang tekstil & produk tekstil, barang-barang listrik, dan mesin & pesawat mekanik di pasar internasional.
Gambar 2.6
Ekspor sektor industri berdasarkan barang
 
2.3.2 Kontribusi Industri Terhadap PDB di Indonesia
Sektor industri memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan pembangunan ekonomi, karena sektor ini selain cepat meningkatkan nilai tambah juga sangat besar peranannya dalam penyerapan tenaga kerja, disamping itu sektor ini pun mampu merangsang kegiatan ekonomi sektor lainnya seperti jasa, angkutan dan perdagangan. Di bawah ini terdapat perkembangan kontribusi Industri terhadap PDB di Indonesia.
 
Tabel. 2.19
Kontribusi sektor Industri Pengolahan terhadap PDB
di Indonesia periode 1970-2007 (miliar Rupiah)

TAHUN 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979
JUMLAH 311.8 356.5 448 650 890 1,124 1,453 1,810 267 192
   
   
TAHUN 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989
JUMLAH 235.4 1,068,2 1,901 8,211 9,770 10,579 14,678.10 16,235.30 18,182.30 19,835.90
   
   
TAHUN 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
JUMLAH 22,276.60 24,585.00 26,963.60 73,556.30 82,649.00 91,637.10 102,259.70 107,629.70 95,320.60 99,058.50
   
   
TAHUN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007  
JUMLAH 248,691,15 398,323.80 419,388.10 441,754.90 469,952.40 491,561.40 514,100.30 538,077.90  

Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia, berbagai edisi
   
 
Pada awal perkembangannya, industri pengolahan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah industri pengolahan yang mengalami penambahan setiap tahunnya. Kontribusi jumlah industri pengolahan terhadap PDB terbesar terjadi pada tahun 2007 sebesar 538.077 milyar rupiah dan jumlah terkecil yakni pada tahun 1979sebesar 192 milyar rupiah. Pada tahun 1980, kontribusi terhadap PDB di Indonesia meningkat menjadi 235.4 milyar rupiah. Akan tetapi pada tahun 1982 jumlahnya mengalami penurunan kembali menjadi 1,901 milyar rupiah. Selama kurum waktu 25 tahun yaitu dari 1983-2007, besarnya kontribusi industri pengolahan terhadap PDB di Indonesia berturut-turut mengalami kenaikan yang relatif banyak sehingga berpengaruh juga terhadap perekonomian.. Periode tahun 1998, mengalami penurunan sehingga menjadi 95,320.60 milyar rupiah. hal ini disebabkan karena terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Akan tetapi penurunan jumlah tersebut tidak berlangsung terus menerus. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah industri pengolahan di Indonesia hingga sekarang hal itu berarti bahwa sumbangan dari industri pengolahan terhadap PDB semakin meningkat. Pun semakin meningkat. Hal ini membuktikan bahwa sektor industri pengolahan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia.
PDB yang didapat pun diperoleh juga dari kegiatan ekspor dari hasil industri, sehingga hasilnya dapat menambah pendapatan nasional dengan melakukan perdagangan internasional (ekspor) ke Negara lain. Komoditi yang di ekspor ke luar negeri pun bermacam-macam. Dari sector industri, komoditi yang diekspor bukan saja dari komoditi migas, akan tetapi komoditi dari sector non migas pun di ekspor (perhatikan tabel 2.18) . 



Perkembangan Nilai Input Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
Perkembangan nilai input industri kecil dan kerajinan rumah tangga dapat dilihat pada table 3.7 di bawah ini:
Tabel 2.20
Nilai Input Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
(Juta Rupiah)
Tahun Nilai Input
 Industri Kecil Industri Rumah Tangga
1992 1407517 2257080
1993 2869826 4018974
1994 6795166 5981000
1995 7837869 7449968
1996 9403229 6623747
1997 10055506 7019011
1998 14607338 13938554
1999 16600282 15413124
2000 20878680 17530167
2001 21537194 18696476
2002 27912112 22574651
2003 25719001 26967032
2004 31096194 31002064
2005 38834014 39848958
2006 47756754 47711244
Sumber: Statistik Indonesia, BPS. berbagai edisi
Seiring dengan naiknya nilai output di atas maka biaya input pun mengalami kenaikan. Kenaikan biaya input tertinggi terjadi di tahun 2006 yakni sebesar 16.785.026 yang terdiri dari 8.922.740 (22,98%) untuk industri kecil dan sebesar 7.862.286 (19,73%) untuk industri rumah tangga. Kenaikan ini dikarenakan pada tahun yang sama, nilai input untuk industri pun mengalami kenaikan yaitu dengan jumlah 7.677.016. Kenaikan tersebut lebih besar dibandingkan tahun 2005 dan 2004 yang hanya mengalami kenaikan sebesar 16.584.714. Pada tahun 2004 dimana masing-masing sektor industri baik itu industri kecil maupun rumah tangga industri kecil memerlukan tambahan input masing-masing sebesar 20,20% dan 14,33%. Pada dasarnya nilai input untuk industri setiap tahunnya mengalami peningkatan walaupun nilainya tidak begitu besar.
Gambar 2.7
Nilai Input Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
(Juta Rupiah)
 

2.3.6 Perkembangan Nilai Output Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
 Perkembangan nilai output industri kecil dan kerajinan rumah tangga dapat dilihat pada table 3.6 di bawah ini:
Tabel 2.21
Nilai Output Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
(Juta Rupiah)


Tahun Nilai Output
 Industri Kecil Industri Rumah Tangga
1992 2182821 3516632
1993 4378370 6537658
1994 10015906 9827540
1995 11726326 12368056
1996 14015667 10717722
1997 14857730 11311880
1998 21530760 22620273
1999 24784346 26297084
2000 28726191 28593071
2001 30574448 29821115
2002 41774263 39385424
2003 38106833 48093234
2004 48809187 52817662
2005 60935840 68677240
2006 74771044 82448060
Sumber: Statistik Indonesia, BPS
Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai output industri dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2004, nilai output industri mengalami kenaikan sebesar 37,91% , dimana untuk industri kecil sebesar 10.702.354 atau (28,09 %) dan industri kerajinan rumah tangga sebesar 4.724.428 (9,82 %) dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2005, nilai outpu mengalami kenaikan lagi sebesar 16,97% dari tahun 2004 menjadi 54,88% dimana untuk industri kecil sebesar 12.126.653 atau sekitar 24,85% dan 15.859.578 atau sekitar 30,03% nilai output untuk industri rumah tangga. Sampai pada tahun 2006, nilai output untuk industri meningkat kembali. Hal ini ditandai dengan nilai output untuk industri kecil naik sebesar 13.835.204 dan kerajinan rumah tangga meningkat juga senilai 13.770.820. 
Gambar 2.8
Nilai Output Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
 

2.3.8 Perkembangan Nilai Tambah (Harga Pasar) Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
Perkembangan nilai input industri kecil dan kerajinan rumah tangga dapat dilihat pada tabel 2.22 di bawah ini:

Tabel 2.22
Nilai Tambah (Harga pasar) Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
(Juta Rupiah)


Tahun Nilai Tambah
 Industri Kecil Industri Rumah Tangga
1992 775304 1254419
1993 1508544 2518684
1994 3220738 3846540
1995 3888457 4918088
1996 4612438 4093974
1997 4802224 4292869
1998 6923422 8681719
1999 8184064 10883960
2000 7847511 11062904
2001 9037254 11124639
2002 13862152 16810771
2003 12387832 21126202
2004 17712993 21815598
2005 22101826 28828282
2006 27014290 34736816
Sumber, Statistik Indonesia, BPS
 Nilai tambah industri pun cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya. Nilai tambah yang dihasilkan oleh industri kerajinan rumah tangga mengalami kenaikan sebesar 32,15% pada tahun 2005 dan pada tahun 2006 naik kembali sebesar 20,50%. Demikian pula nilai tambah industri kecil pada tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar 24,78% (4.389 milyar rupiah) dan tahun 2006 meningkat sekitar 22,23% atau sekitar 4.912 milyar rupiah. Tahun 2005 untuk industri kecil naik sebesar 1,68% sedangkan pada tahun 2004 mengalami kenaikan sebesar 44,44%. Sedangkan nilai tambah industri kerajinan rumah tangga pada tahun 2004 meningkat sebesar 4,07% atau sekitar 860,4 milyar rupiah) dan tahun 2005 meningkat kembali sekitar 15,90% atau senilai 3.941,8 milyar rupiah.
Gambar 2.9
Nilai Tambah (Harga pasar) Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
(Juta Rupiah)
 
2.4 Era Perkembangan Industri Indonesia
A. Perkembangan Industri Indonesia masa orde lama
 Pada masa orde lama ini terjadi beberapa fenomena ekonomi yang sebenarnya tidak menyenangkan (dilihatdari kacamata ekonomi) seperti nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, kekurangan capital, adanya kebijakan anti-investasi asing, hilangnya pangsa pasar sejumlah komoditas dalam perdagangan internasional, dan tekanan atas eraca pembayaran yang mengakibatkan depresiasi rupiah. 
 Selama dasawarsa 1950-an dan pertengahan pertama 1960-an Indonesia kehilangan peranan pentingnya dalam perdagangan internasional, baik dalam ukuran absolute maupun relative. Kedudukan sebagai produsen utama gula di dunia,terlepas. Begitu pula kedudukan sebagai produsen utama karet alam, digantikan oleh Malaysia. Ekspor komoditas-komoditas tradisional seperti kopra, teh, biji kelapa sawit, lada dan tembakau jauh lebih rendah daripada yang dicapai sebelum perang dunia kedua. Sesudah pertengahan 1950-an penerimaan ekspor senantiasa kurang dari 10 persen produk domestic bruto. Semua ini satu sama lain mengakibatkan kelangkaan kapitaln dan atas tekanan neraca pembayaran.
Pada tahun 1951 pemerintah meluncurkan kebijaksanaan RUP (Rencana Urgensi Perekonomian). Program utamanya menumbuhkan dan mendorong industri-industri kecil bagi pribumi sambil memberlakukan pembatasan-pembatasan untuk industri-industri besar atau industri modern yang banyak dimiliki oleh orang Eropa dan orang Cina kebijaksanaan RUP ternyata menyebabkan investasi asing berkurang, apalagi dengan adanya situasi politik yang sedang bergejolak. Pada masa itu, namun di lain pihak telah memacu tumbuh suburnya sektor bisnis oleh kalangan pribumi, kendati masih relatif kecil. Menyadari situasi demikian, pemerintah kemudian beralih ke pola kebijaksanaan yang menitikberatkan pengembangan industri-indutri yang dijalankan atau dimiliki pemerintah.
Sesudah tahun 1957 sektor industri mengalami stagnasi dan perekonomian mengalami masa teduh. Sepanjang tahun 1960-an sektor industri praktis tidak berkembang. Selain akibat situasi politik yang selalu bergolak, juga disebabkan karena kelangkaan modal dan tenaga ahli serta terampil. Aliran modal yang masuk mayoritas dari Negara-negara sosialis dalam bentuk pinjaman (hampir setengahnya dari Rusia). Pada masa iti perekonomian benar-benar dalam keadaan sulit akibat inflasi yang parah dan berkepanjangan, menurunnya produk domestik bruto, kecilnya peran sektor industri (hanya sekitar dari PDB 10%) dan tingginya angka pengangguran. Sektor industri didominasi oleh industri-industri berat seperti pabrik baja di Cilegon dan pabrik super-fosfat di Cilacap. Keadaan ini terwariskan ke pemerintahan orde baru, yang kemudian berusaha mengubah pola kebijaksanaan ekonomi yang demikian kompleks dengan mengundang investor asing untuk menanam modal.
B. Perkembangan Industri Indonesia masa orde baru
Dapat dikatakan bahwa proses industrialisasi di Indonesia mulai dilaksanakan pada awal dekade 1970-an, pada saat Repelita I dimulai. Namun jauh sebelumnya, sebelum kemerdekaan Indonesia memiliki sejumlah industri manufaktur, seperti industri makanan, minuman, industri tekstil dan lain-lain. Akan tetapi baru pada masa orde baru pemerintah Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan di bidang industri dan perdagangan di luar negeri yang secar eksplisit ditujukan pada upaya pengembangan sektor industri manufaktur nasional. Pada awalnya,kebijakan pembangunan industri tidak berorientasi ke luar (ekspor) dan tidak bertujuan untuk mengurangi ketergantungan ekonomi nasional terhadap ekspor komoditas-komoditas primer, melainkan lebih berorientasi ke dalam, yakni membangun berbagai macam industri khususnya industri hilir untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik agar tidak tergantung pada impor. Pada waktu itu dengan menerapkan kebijakan substitusi impor dengan proteksi yang tinggi, pemerintah berharap industri manufaktur di dalam negeri dapat berkembang dengan baik. Dan dalam waktu yang tidak lama Indonesia dapat segera mengurangi ketergantungannya terhadap barang-barang impor khususnya konsumsi.
Baru pada awal 1980-an, setelah periode oli boom kedua berakhir dan sebagai respon terhadap menurunnya harga dari sejumlah komoditas primer, pemerintah Indonesia mengubah orientasi kebijakan industrialisasinya dari substitusi impor ke promosi ekspor.
Proses industrialisasi di Indonesia sejak 1985 terkesan cepat. Namun sejak 1993 laju pertumbuhan output dua sektor industri manufaktur mulai menurun. Industrialisasi yang cepat itu ternyata tidak membuat sektor industri manufaktur nasional berkembang dengan baik. Hal ini terlihat pada saat terjadinya krisis ekonomi. Pada tahun 1998, sektor industri mengalami pertumbuhan yang negatif sekitar 12%. Penyebab utamanya adalah tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap impor barang modal, input perantara, bahan baku dan juga terhadap utang luar negeri. Pada saat itu nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang besar terhadap dollar AS. Banyak perusahaan manufaktur di dalam negeri terpaksa harus mengurangi vo;ume produksi atau sama sekali menghentikan kegiatan produksi mereka.
 Perkembangan-perkembangan di sector keuangan tersebut telah turut meningkatkan investasi dalam jumlah yang luar biasa, khususnya pada tahun 1989 dan 1990. Konsekuensi lanjutannya, permintaan dalam negeri pun meningkat sehingga menimbulkan tekanan inflasi. Seiring dengan itu, karen investasi tertumpu di sector industri barang ekspor non migas, peningkatannya telah mengakibatkan pula kenaikan impor, dan pada gilirannya menambah beban deficit transaksi berjalan. Dalam tahun anggaran 1993-1994 defisit transaksi berjalan indonesia masih cukup besar, yaitu senilai us$ 2.940 juta.
 Sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
a. REPELITA I (1969-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1april 1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
b. REPELITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sector pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. 
c. REPELITA III (1979-1984) 
Prioritas tetap pada pembangunan ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan, serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
d. REPELITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja. Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri. 
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap. 
Adapun perkembangan Repelita VI hingga repelita X dapat dilihat dalam tabel berikut: (dumairy,1996:11)
B. Perkembangan Industri Indonesia Masa Reformasi hingga kini.
Pada awal masa reformasi ini, pemerintah memberlakukan dua undang-undang baru dalam bidang penanaman modal, yakni tahun 1967 untuk PMA dan tahun 1968 untuk PMDN, ternyata mampu membangkitkan kembali gairah sektor industri. Sebagian besar penanaman modal baru baik PMDN maupun PMA tercurah ke sektor industri. Industri-industri baru bertumbuhan, utamanya jenis-jenis industri substitusi impor. Mulai tahun 1978 sumbangan sektor industri dalam membentuk PDB mulai menembus angka 10 persen. (Untuk perkembangannya dapat dilihat di poin 2.2 dan seterusnya)

2.5 Industri kreatif 
Industri Kreatif merupakan pilar utama dalam mengembangkan sektor ekonomi kreatif yang memberikan dampak yang positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Belum ada gambaran yang jelas mengenai kondisi industri kreatif di Indonesia yang dapat dijadikan bahan dasar untuk melakukan analisis, pembuatan kebijakan atau pengambilan keputusan yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi kreatif ini.
Definisi industri kreatif berdasarkan UK DCMS Task force 1998 :
“Creatives Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content” 
Sehingga Industri kreatif dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Industri yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut “.


Definisi Kelompok Industri Kreatif
1. Periklanan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan produksi iklan, antara lain: riset pasar, perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang, produksi material iklan, promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di media cetak dan elektronik.
2. Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan cetak biru bangunan dan informasi produksi antara lain: arsitektur taman, perencanaan kota, perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, dokumentasi lelang, dll. 
3. Pasar seni dan barang antik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan perdagangan, pekerjaan, produk antik dan hiasan melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan, dan internet. 
4. Kerajinan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan distribusi produk kerajinan antara lain barang kerajinan yang terbuat dari: batu berharga, aksesoris, pandai emas, perak, kayu, kaca, porselin, kain, marmer, kapur, dan besi. 
5. Desain: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, interior, produk, industri, pengemasan, dan konsultasi identitas perusahaan. 
6. Desain Fesyen: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen. 
7. Video, Film dan Fotografi: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi Video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video,film. Termasuk didalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan eksibisi film. 
8. Permainan interaktif: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi. 
9. Musik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi, dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik, pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi musik. 
10. Seni Pertunjukan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha yang berkaitan dengan pengembangan konten, produksi pertunjukan, pertunjukan balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera, termasuk tur musik etnik, desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan. 
11. Penerbitan & Percetakan : kegiatan kreatif yang terkait dengan dengan penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor berita. 
12. Layanan Komputer dan piranti lunak: kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem, desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak & piranti keras, serta desain portal.
13. Televisi & radio: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan, penyiaran, dan transmisi televisi dan radio.
14. Riset dan Pengembangan: kegiatan kreatif yang terkati dengan usaha inovatif yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan pasar.
Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, industri ekonomi kreatif saat ini tengah menggeliat ditargetkan dalam 5-8 tahun mendatang dapat menyumbang PDB sebesar 10%. Sementara tahun ini, industri kreatif baru menyumbang 5% ke PDB. Industri kreatif contohnya bergerak di sektor seni, musik, fashion, periklanan, kuliner, dan kerajinan. 
Namun saat ini hambatan yang dihadapi adalah konsistensi kualitas seperti pengemasan delivery yang sesuai standar dan mutu. Selain itu memenuhi order yang besar dalam waktu yang singkat mengingat rata-rata industri kreatif adalah UKM. Menurut Mari harus dibuat road map yang jelas untuk mengarahkan industri kreatif ini menyumbang 10% PDB dengan pembahasan inter departemen. "Dengan demikian produk Indonesia menjadi benar-benar dikenal dunia. Saat ini seperti mutiara sudah memasok 40% kebutuhan dunia," kata Mari. Untuk itu kata Mari, akan terus dilakukan pendidikan dan pengembangan SDM demi menciptakan produk yang sesuai permintaan pasar. Mari juga mengatakan perlunya peningkatan daya saing untuk bisa tembus pasar Eropa seiring terus menguatnya euro terhadap dolar AS. Saat ini baru empat negara utama di Uni Eropa yang jadi tujuan ekspor Indonesia yakni, Jerman, Prancis, Inggris dan Belanda. Mengenai target ekspor tahun depan menurutnya akan tumbuh 10-12 persen. Ekspor Indonesia tetap mengunggulkan produk yang berbasis sumber daya alam. Selain itu beberapa perusahaan sudah merealisasikan ekspansi investasinya diantaranya TPT, elektronik dan sepatu.

2.6 Analisis Industri dan Persaingan 
Bentuk-Bentuk Persaingan
Bentuk persaingan terbagi menjadi empat tingkatan:
1. Persaingan merek, adalah produk-produk/ jasa yang bersaing secara langsung menawarkan hal yang sama. Misalnya Teh Botol Sosro dan Fres Tea.
2. Persaingan industri, adalah persaingan dalam satu industri, tidak hanya satu produk saja. Misalnya Teh Botol Sosro industrinya tidak hanya industri teh dalam botol, tetapi semua industri minuman. Karena itu pesaingnya adalah juga Coca Cola, Aqua, dan lain-lain.
3. Persaingan bentuk, adalah persaingan dalam bentuk produk yang sama. Misalnya persaingan antara Teh Botol Sosro dengan Susu Ultra, Yogurt, dan lain-lain.
4. Persaingan generik. Adalah persaingan umum pada semua industri, misalnya antara Teh Botol Sosro dengan Sari Roti, dan lain-lain.


Teknik Analisis Pesaing
Untuk menganilis industri dan persaingan, ada empat cara yang harus dilakukan:
1. Definisikan pasar sasaran (target market). Mendefinisikan pasar sasaran akan memudahkan perusahaan untuk mengetahui produk atau jasa mana saja yang membidik sasaran yang sama. 
2. Identifikasi pesaing langsung. Pesaing langsung adalah perusahaan yang memberikan produk ataupun jasa yang relatif serupa dengan target market yang kurang lebih sama. Identifikasi pesaing langsung akan membantu untuk melihat peta persaingan, posisi perusahaan dibanding pesaing, dan apa yang harus dilakukan untuk memenangkan persaingan.
3. Ketahui kondisi persaingan. Peta persaingan bisa dilihat dengan menggunakan framework Porter Five Forces. Dari situ bisa dilihat daya tarik persaingannya apakah sudah ketat ataupun belum. 
4. Penilaian keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif adalah kemampuan utama yang dimiliki oleh perusahaan yang diyakini sebagai modal untuk memenangkan persaingan. 

Porter Five Forces
Porter Five Forces adalah alat ukur yang dikenalkan oleh Michael Porter untuk melihat daya tarik persaingan dalam suatu industri. Ada lima hal yang harus dianalisa untuk melihat daya tarik persaingan.
1. Persaingan dalam industri. Persaingan dalam industri meliputi banyaknya pesaing langsung dalam bisnis yang dijalankan. Banyaknya persaingan di sini dibandingkan dengan factor kebutuhan masyarakat akan produk ataupun jasa yang ditawarkan. Jika supply sudah terlalu banyak dan melebihi demand yang ada, maka kondisi persaingan sudah sangat ketat. 
2. Kekuatan tawar menawar pelaku bisnis yang baru (new entrance). Kekuatan tawar menawar pelaku bisnis yang baru terkait dengan apakah memasuki industri tersebut gampang atau tidak. Apakah ada hambatan yang besar (barrier to entry), misalnya dari sisi investasi, teknologi, orang, pengetahuan, dan lain-lain. Jika hambatan masuknya kecil, kemungkinan pemain baru akan masuk juga sangat besar, artinya setiap saat dalam suatu industri akan terjadi persaingan yang sangat ketat. 
3. Kekuatan tawar menawar pembeli. Di sini adalah bagaimana pembeli mendapatkan informasi dan penawaran yang beragam dari berbagai produsen. Dengan tawaran yang begitu banyak di pasar, pembeli memang akan mempunyai kekuatan tawar menawar yang lebih besar karena punya cukup banyak pilihan.
4. Kekuatan tawar pemasok. Pemasok dalam hal ini adalah perusahaan yang memberikan bahan bahan, orang, teknologi, dan lainnya yang menjadi bahan produksi. Pemasok akan memiliki kekuatan besar jika sesuatu yang dipasok merupakan hal penting dan tidak banyak perusahaan yang menyediakan. Tetapi jika banyak perusahaan lain yang menyediakan, kekuatan pemasok menjadi tidak terlalu besar.
5. Kekuatan tawar produk pengganti. Produk pengganti adalah produk lain di luar produk sejenis yang mempunyai fungsi hampir sama dengan produk atau jasa perusahaan yang bisa saling menggantikan. Jasa penerbangan misalnya, produk penggantinya adalah jasa transportasi darat dan laut. Kekuatan tawar produk pengganti besar jika terdapat harga yang sangat berbeda antara produk utama dengan produk pengganti. 

Strategi Bersaing
Michael Porter membagi strategi bersaing menjadi 3 strategi umum:
1. Differensiasi, adalah strategi memberikan penawaran yang berbeda dibandingkan penawaran yang diberikan oleh kompetitor. Strategi differensiasi mengisyaratkan perusahaan mempunyai jasa atau produk yang mempunyai kualitas ataupun fungsi yang bisa membedakan dirinya dengan pesaing. 
2. Keunggulan biaya (low cost), adalah strategi mengefisienkan seluruh biaya produksi sehingga menghasilkan produk atau jasa yang bisa dijual lebih murah dibandingkan pesaing. Strategi harga murah ini fokusnya pada harga, jadi biasanya produsen tidak terlalu perduli dengan berbagai faktor pendukung dari produk ataupun harga yang penting bisa menjual produk atau jasa dengan harga murah kepada konsumen. Warung Tegal misalnya mengandalkan strategi harga. Mereka tidak perduli dengan kenyamanan orang ketika makan, bahkan juga dengan kebersihan, yang penting bisa menawarkan menu makanan lengkap dengan harga yang sangat bersaing. 
3. Fokus, adalah strategi menggarap satu target market khusus. Strategi fokus biasanya dilakukan untuk produk ataupun jasa yang memang mempunyai karakteristik khusus. Beberapa produk misalnya hanya fokus ditargetkan untuk kaum muslim sehingga semua produknya memberikan benefit dan fungsi yang disesuaikan dengan aturan Islam. Produk yang fokus pada target market kaum muslim biasanya selalu mensyaratkan label halal, tanpa riba, dan berbagai aturan lain yang disesuaikan dengan ketentuan Islam.

Perusahaan biasanya memilih salah satu dari ketiga strategi ini yang akan diterapkan, karena bagaimanapun akan sulit menjalankan ketiga strategi ini secara bersamaan. Namun demikian, jika perusahaan memilih salah satu di antara tiga strategi ini, bukan berarti sama sekali meninggalkan yang lain, tetapi dua strategi lainnya biasanya diterapkan pada level yang paling standar.

Membangun Keunggulan Bersaing
Untuk bisa bertahan dalam persaingan, perusahaan harus mempunyai keunggulan bersaing (competitive advantage) dibandingkan dengan kompetitornya. Keunggulan bersaing akan menjadi senjata untuk menaklukkan pasar dan kompetisi. Untuk membangun keunggulan bersaing, perusahaan bisa melakukan beberapa langkah:
1. Mencari sumber-sumber keunggulan, misalnya keterampilan yang prima, sumber daya yang berkualitas, dan lain-lain.
2. Mencari keunggulan posisi dibanding pesaing, dengan mengefisienkan biaya produksi dan memberikan nilai tambah kepada konsumen.
3. Menghasilkan performa yang prima, dengan melihat kepuasan dan loyalitas pelanggan, pangsa pasar, dan juga kemampulabaan (profitabilty) dari produk ataupun jasa yang dihasilkan

2.7 FAKTOR-FAKTOR PENDORONG INDUSTRI INDONESIA 
 Ada beberapa faktor yang akan mendorong terjadinya industrialisasi di suatu negara, diantaranya adalah pengembangan teknologi dan inovasi serta laju pertumbuhan pendapatan nasional perkapita. Namun berbeda negara tentu berbeda pula kemampuan dalam mengembnagkan ketiga faktor tersebut, dan selain ketiga faktor tadi ada beberapa faktor lainnya yang akan mempengaruhi proses industrialisasi di suatu negara. Faktor-faktor itu diantaranya: 
1. Perbedaan kemampuan dalam mengembangkan teknologi dan inovasi 
2. Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. 
3. Besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat pendapatan nasional riil perkapita. 
4. Ciri industrialisasi.
5. Keberadaan Sumber Daya Alam (SDA).
6. Kebijakan atau strategi pemerintah yang ditetapkan, termasuk instrumen-instrumen dari kebijakan yang digunakan dan cara implementasinya.



2.7 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DALAM PEMBANGUNAN INDUSTRI
1 Keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia
Relatif terbelakangnya sektor industri disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah keterbatasan teknologi dan rendahnya kualitas SDM. Pada umumnya di Negara sedang berkembang termasuk Indonesia selain dana untuk pendidikan dan kegiatan penelitian dan pengembangan dari pemerintah sangat terbatas, sedikit sekali perusahaan swasta yang memiliki lembaga penelitian dan pengembangan atau yang menyediakan dana khusus untuk pendidikan lanjut bagi pegawainya. Selain itu, kerja sama antara perusahaan swasta dan universitas atau lembaga pendidikan dan Litbang yang ada masih sangat rendah jika dibandingkan dengan Negara-negara seperti AS, Jerman dan Inggris. 
Kualitas SDM dapat diukur dengan tingkat rata-rata pendidikan dari angkatan kerja atau masyarakat dari golongan umur produktiv (15-65 tahun). Berdasarkan data BPS sebagian besar jumlah angkatan kerja di Indonesia hanya berpendidikan rendah. Rendahnya kualitas SDM di Indonesia salah sartunya disebabkan oleh dana pembangunan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. 

2 Masalah-masalah structural dan organisasi
UNIDO (2000) dalam studinya mengelompokkan masalah-masalah yang dihadapi oleh industri di Indonesia ke dalam dua kategori, yaitu kelemahan yang bersifat structural dan yang bersifat organisasi. Kelemahan–kelemahan structural diantaranya adalah sebagai berikut :
• Basis ekspor dan pasarnya yang sempit 
Walaupun Indonesia memiliki banyak sumber daya alam dan tenaga kerja yang melimpah yang merupakan dua faktor utama keunggulan komparatifnya, namun produk dan pasar ekspor Indonesia sangat terkonsentrasi (tingkat difersifikasi ekspor menurut pasar tujuan rendah) : empat produk yakni kayu lapis, pakaian jadi, tekstil dan alas kaki bersama-sama memiliki pangsa 50% dari nilai total ekspor manufaktur, pasar untuk tekstil dan pakaian jadi sangat terbatas hanya ke Negara-negara yang menerapkan kuota. Nilai total ekspor manufaktur Indonesia diserap sekitar 50% dari AS dan Jepang, 10 produk penyumbang sekitar 80% dari seluruh ekspor manufaktur. Banyak produk-produk manufaktur pada tenaga kerja terpilih sebagai ekspor keunggulan Indonesia mengalami penurunan harga pasar di pasar dunia sebagai akibat dari persaingan yang semakin ketat, banyak produk-produk manufaktur yang merupakan ekspor tradisional mangalami penurunan daya saing yang terutama disebabkan oleh faktor-faktor ekstrenal.  
• Ketergantungan pada impor yang sangat tinggi
Sejak tahun 1990 telah banyak menarik investasi asing di industri-industri berteknologi tinggi seperti : farmasi, kimia, elektronik, alat-alat listrik dan otomotif akibatnya niali impor bahan baku, input perantara dan komponen berkisar dari 50-70%, bahkan industri padat karya sangat tergantung pada impor bahan baku hingga 56% ketergantungan ini disebabkan oleh tidak adanya supply domestic dan industri-industri pendukung serta lemahnya ketrekaitan produksi industri di dalam negeri. Ketergantungan pada PMA juga telah membuat proses peningkatan pada perusahaan local dalam proses manufaktur dan kemampuan untuk mengembangkan produk dalam negeri serta membangun jaringan pemasaran sendiri berjalan lambat.
• Tidak adanya industri berteknologi menengah
Kontribusi dari industri-industri berteknologi menengah terhadap pembanguna sektor industri manufaktur menurun demikian juga kontribusi produk yang padat modal terhadap total ekspor juga menurun. Sementara di pihak lain produksi dari industri-industri berteknologi rendah tumbuh pesat disebabkan oleh pertumbuhan pesat dari industri-industri padat karya.
• Konsentrasi regional
Industri-industri skala menengah dan besar sanagat terkonsentrasi di Jawa dan khususnya di Jabotabek . hal ini disebabkan karena adanya industri-industri pendukung dan pemasok, pasar yang relaif besar dan berkembang pesat mengikuti pertumbuhan pendapatan riil perkapita dan jumlah populasi, infrastruktur fisi yang baik dan berdekatan dengan kantor-kantor pemerintahan.  
Sedangkan kelemahan-kelemahan organisasi diantaranya adalah sebagi berikut :
• Industri skala kecil dan menengah masih terbelakang
Kontribusi skala kecil dan menengah terhadap pembentukan sektor manufaktur relative kecil, sedangkan terhadap kesempatan kerja sangat besar. Hal ini mencerminkan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja di industri skala kecil dan menengah dibandingkan industri skala besar.  
• Konsentrasi pasar
Tingkat konsentrasi pasar yang tinggi dapat dijumpai di banyak segmen subsektor manufaktur. Pangsa output dari empat perusahaan terbesar mencapai lebih dari 75% total output dari hampir setengah dari industrial branches yang ada.  
• Lemahnya kapasitas untuk menyerap dan mengembangkan teknologi
Transpormasi industri selama pemerintahan orde baru terutama oleh strategi-strategi bisnis dan hubungan internasional dari konglomerat Indonesia serta tidak adanya PMA dan juga lembaga-lembaga pemerintah yang begitu intensif memanfaatkan tenologi dan pengetahuan dari luar untuk memperbaiki daya saing dan efisiensi manufaktur dalam negeri .
• Lemahnya SDM
Sampai saat ini sebagian tenaga kerja di Indonesia masih berpendidikan rendah. Insinyur-insinyur yang dihasilkan pendidikan dalam negeri yang jumlahnya masih jauh lebih banyak dibandingkan lulusan luar negeri tidak semuanya berkualitas baik yang bias bekerja secara mandiri memiliki keahlian dalam pemecahan permasalahan, menganalisis masalah teknis, kurang mampu melakukan penelitian dan pengembangan. Di pihak lain pemerintah kurang memberi perhatian terhadap pengembangan pendidikan di Tanah Air, hal ini bias dilihat antara lain masih relative kecilnya porsi APBN untuk pendidikan dan penelitian serta pengembangan.  

2.8 SOLUSI BAGI PERMASALAHAN INDUSTRI
Dalam strategi industrialisasi dikenal dua macam pola, kedua macam pola tersebut adalah subtitusi impor dan promosi ekspor. Pola subitusi impor dikenal juga dengan istilah “orientasi ke dalam” atau inward looking strategy, ialah suatu strategi industrialisasi yang mengutamakan pengembangan jenis-jenis produksi untuk menggantikan kebutuhan akan impor produk-produk sejenis. Pada tahap awal yang dikembangkan adalah industri-industri ringan yang menghasilkan barang-barang konsumtif. Untuk memungkinkannya tumbuh besar, industri-industri yang masih bayi ini (infant industri) ini biasanya sangat dilindungi pemerintah dari persaingan tak setara dari produk-produk impor. Akan tetapi proteksi itu walaupun bisa menumbuhkannya menjadi besar, acapkali membuat industri yang bersangkutan tak kunjung dewasa, melainkan justru menjadikannya manja. Menurut Tulus Tambunan (2001), beberapa pertimbangan yang lazim digunakan dalam memilih strategi ini, terutama adalah:
• SDA dan faktor produksi terutama tenaga kerja cukup tersedia di dalam negeri. Sehingga secara teoretis, biaya produksi yang intensitas penggunaan sumber-sumber ekonomi tersebut tinggi bisa rendah
• Potensi permintaan di dalam negeri memadai
• Untuk mendorong perkembangan industri manufaktur di dalam negeri
• Dengan berkembangnya industri dalam negeri, maka kesempatan kerja diharapkan terbuka lebih luas
• Dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor, yang berarti juga mengurangi defisit saldo neraca perdagangan dan menghemat cadangan devisa.
Sedangkan strategi promosi ekspor dikenal juga dengan istilah “orientasi ke luar” atau outward looking strategy ialah strategi industrialisasi yang mengutamakan pengembangan jenis-jenis industri yang menghasilkan produk-produk untuk diekspor. Strategi promosi ekspor biasanya ditempuh sebagai kelanjutan dari strategi subtitusi impor. Dalam proses industrialisasi bisa saja strategi promosi ekspor dijalankan tanpa harus didahului dengan subtitusi impor. Hal itu bergantung antara lain pada potensi relatif pasar dalam negeri di negara yang bersangkutan. Agar penerapan strategi promosi ekspor membawa hasil yang baik adalah jika:
• Pasar harus menciptakan signal harga yang benar, yang sepenuhnya merefleksikan kelangkaan dari barang yang bersangkutan, baik di pasar output maupun di pasar input
• Tingkat proteksi dari impor harus rendah
• Nilai tukar mata uang harus realistis, sepenuhnya merefleksikan keterbatasan uang asing yang bersangkutan
• Lebih penting lagi harus ada intensif untuk meningkatkan ekspor
Berdasarkan tujuan dari pembangunan industri nasional baik jangka menengah maupun jangka panjang, ditujukan untuk mengatasi permasalahan dan kelemahan baik di sektor industri maupun untuk mengatasi permasalahan secara nasional, yaitu (1) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja industri; (2) Meningkatkan ekspor Indonesia dan pember-dayaan pasar dalam negeri; (3) Memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian; (4) Mendukung perkembangan sektor infrastruktur; (5) Meningkatkan kemampuan teknologi; (6) Meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk; dan (7) Meningkatkan penyebaran industri. (Fahmi Idris:2007)
Adapun arah perubahan kebijakan industri dari masa soeharto hingga SBY-JK, dapat dilihat dalam tabel 2.23



 
Jenis kebijakan Periode rehabilitasi dan stabilitasi
(1967-1972) Periode boom minyak (1973-1961) Periode penurunan harga minyak (1982-1985) Periode penurunan harga minyak (1986-1996) Periode krisis dan pemulihan (1997-2004) Pemulihan dan pengembangan 
(2005-2009)
industri Pengembangan subtitusi impor • Pengembangan subtitusi impor dengan pedalaman & pemantapan struktur industri
• Pengembangana industri melalui penguasaan teknologi di beberapa bidang • Pengembangan subtitusi impor dengan pedalaman & pemantapan struktur industri
• Pengembangana industri melalui penguasaan teknologi di beberapa bidang
• Pengembangan industri orientasi ekspor • Revitalisasi, konsolidasi & restrukturitasi industri • Revitalisasi, konsolidasi & restrukturitasi industri
• Perkembangan indusri berkeunggulan kompetitif dengan pendekatan Kluster
orientasi Inward looking outward looking Inward & outward looking
2.9 DAMPAK INDUSTRI
 Dari adanya pembangunan industri, tentunya menuai dampak bagi masyarakat. Dampak dari industri ini dapat dikelompokan menjadi dua yaitu dampak positif dan negative.
Manfaat yang bersifat positif bagi masyarakat setempat, yaitu membuka isolasi daerah yang tadinya tertutup menjadi daerah yang lancar dalam segala urusan. Kemudian perusahaan membuka kesempatan untuk bekerja sebagai karyawan. Kesempatan seperti ini belum dimanfaatkan oleh penduduk setempat. 
Di lain pihak dengan adanya industri di daerah itu setidak-tidaknya mempengaruhi pola kehidupan atau sistem nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Hal ini cenderung merubah pola hidup masyarakat dari pola hidup tradisional kepada sikap hidup yang dinamis dan realistis.
Selanjutnya pola kehidupan masyarakat sebagai akibat pertumbuhan industri untuk lebih jelasnya dapat disimpulkan dalam klasifikasi pandangan masyarakat terhadap industri lapangan kerja, pendidikan, serta pandangan masyarakat sebagai berikut :
• Perubahan dalam lapangan pekerjaan sebelum dan sesudah masuknya industri:
 Mata pencaharian penduduk yang sebagian besar masih petani Semenjak adanya industri, masyarakat tidak atau jarang mencari pekerjaan sampingan ke desa-desa lain lagi. Mereka bekerja di pabrik industri sebagai tenaga harian atau bulanan.
 Bagi masyarakat pedesaan, bekerja sebagai karyawan pabrik industri belumlah dapat diandalkan untuk menghidupi anggota keluarganya sebab selama ini pembayaran gajinya belum stabil/ lancar.
• Perubahan dalam pendidikan, baik formal maupun informal :
 Secara berangsur-angsur pendidikan formal semakin meningkat baik dari tingkat SD sampai dengan tingkat SMP, khususnya di tingkat SD swasta, sarana dan fasilitasnya sudah memadai dibandingkan dengan sebelum adanya industri.
 Sebelum masuknya industri, pendidikan non formal difokuskan pada individu seperti bela diri/pencak silat. Sekarang pendidikan nonformal mengarah kepada keterampilan belajar menyetir mobil ataupun keterampilan lain yang dihasilkan dari industri setempat. 
• Pandangan masyarakat terhadap industri 
 Masyarakat yang sudah berpandangan luas dan mengerti akan arti dan fungsi industri, merasa bangga dengan adanya industri di daerah mereka. Secara langsung memang tidak terasa betul manfaatnya industri itu bagi masyarakat setempat, tetapi semenjak adanya industri, hubungan desa dengan daerah dan kota lain sudah lancar. Kelancaran hubungan itu sangat menentukan perkembangan daerah setempat, baik dari segi moril, maupun materil.
 Masyarakat yang merasa dirugikan baik secara individual maupun keseluruhan akibat adanya industri tentu saja merasa kecewa. Kekecewaan secara umum misalnya, dengan adanya pelayangan kayu yang mengakibatkan terkikisnya pinggiran sungai sebelah utara. 
 Dari segi negatifnya, terutama hubungan antara pemuda dan pemudi semenjak masuknya industri pergaulan tampaknya bertambah bebas disebabkan masuknya pengaruh dari luar.

Adapun akibat dari industri terhadap lingkungan yaitu diantara lain:
1. Air buangan (efluen) atau limbah buangan dari pengolahan pangan dengan Biological Oxygen Demand ( BOD) tinggi dan mengandung polutan seperti tanah, larutan alkohol, panas dan insektisida. Apabila efluen dibuang langsung ke suatu perairan akibatnya menganggu seluruh keseimbangan ekologik dan bahkan dapat menyebabkan kematian ikan dan biota perairan lainnya.
2. Industri fermentasi seperti alkohol disamping bisa membahayakan pekerja apabila menghirup zat dalam udara selama bekerja apabila tidak sesuai dengan Threshol Limit Valued (TLV) gas atau uap beracun dari industri juga dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat sekitar.
3. Kegiatan lain sektor ini yang mencemari lingkungan adalah industri yang menggunakan bahan baku dari barang galian seperti batako putih, genteng, batu kapur/gamping dan kerajinan batu bata. Pencemaran timbul sebagai akibat dari penggalian yang dilakukan terus-menerus sehingga meninggalkan kubah0kubah yang sudah tidak mengandung hara sehingga apabila tidak dikreklamasi tidak dapat ditanami untuk ladang pertanian.
4. Debu, dapat menyebabkan iritasi, sesak nafas 
5. Kebisingan, mengganggu pendengaran, menyempitkan pembuluh darah, ketegangan otot, menurunnya kewaspadaan, kosentrasi pemikiran dan efisiensi kerja. 
6. Karbon Monoksida (CO), dapat menyebabkan gangguan serius, yang diawali dengan napas pendek dan sakit kepala, berat, pusing-pusing pikiran kacau dan melemahkan penglihatan dan pendengaran. Bila keracunan berat, dapat mengakibatkan pingsan yang bisa diikuti dengan kematian. 
7. Karbon Dioksida (CO2), dapat mengakibatkan sesak nafas, kemudian sakit kepala, pusing-pusing, nafas pendek, otot lemah, mengantuk dan telinganya berdenging. 
8. Belerang Dioksida (SO2), pada konsentrasi 6-12 ppm dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan, peradangan lensa mata (pada konsentrasi 20 ppm), pembengkakan paru-paru/celah suara. 
9. Minyak pelumas, buangan dapat menghambat proses oksidasi biologi dari sistem lingkungan, bila bahan pencemar dialirkan keseungai, kolam atau sawah dan sebagainya. 
10. Asap, dapat mengganggu pernafasan, menghalangi pandangan, dan bila tercampur dengan gas CO2, SO2, maka akan memberikan pengaruh yang nenbahayakan seperti yang telah diuraikan diatas.



Pembahasan Menurut Kelompok
Dari penjabaran mengenai perkembangan sector industri di Indonesia, ternyata kontribusi dari tiap sector industri memainkan peranannya untuk dapat meningkatkan pertumbuhan sector industri dan secara langsung meningkatkan pendapatan nasional. Meski masih banyak pula PR bagi pemerintah dan pihak terkait untuk dapat memperhatikan sector industri ini, karena selain hubungannya dengan pertumbuhan nasional, dengan adanya industri tentu dapat membantu mengsi ketenagakerjaan yang vacuum bekerja (menganggur) dan mengurangi kemiskinan. 
Namun seperti hal-nya pembangunan Indonesia, dalam perkembangan sector industri ini selalu terjadi pasang surut. Hal tersebut dikarenakan oleh :
1. Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. 
Kemunduran yang terjadi pada Indonesia dikarenakan oleh kondisi ekonomi Indonesia yang pernah menurun yang disebabkan adanya krisis ekonomi, dan struktur ekonomi Negara dan disertai fundamental Negara yang rapuh membuat Indonesia terpuruk, dan imbasnya hingga sekarang untuk mengatasi permasalahan di bidang ekonomi (industri) masih agak rentan untuk dilakukan, namun pemerintah harus tatap mempedulikan sector ekonomi yang mampu mendorong kembalinya kenaikan ekonomi Negara. 
2. Besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat pendapatan nasional riil perkapita. 
Jumlah populasi Indonesia semakin tahunnya itu semakin meningkat, sehingga seberapa besar pun pertumbuhan ekonomi Indonesia jika jumlah populasinya begitu tinggi maka akan terlihat belum sepadan dengan kondisi yang ada. Namun terkadang dengan peningkatan populasi ini seharusnya dapat meningkatkan pula pendapatan nasional melalui pendapatan per kapita masyarakat. Namun bagaimana bisa, kebanyakan populasi Indonesia tersebut menganggur, dan adapun yang bekerja namun pendapatannya rendah, lagipula kebanyakan dari mereka pendapatannya tersebut dupergunakan untuk menjadi bagian konsumsinya sendiri. 
Hal ini pun diperkuat oleh Mudrajat Kuncoro, dalam penyataannya menyebutkan bahwa dengan adanya industri, baik itu industri tekstil, garmen, dan sepatu berperanan penting dalam menyerap tenaga kerja dan ekspor nonmigas. Seperti pada industri TPT, yang banyak menyerap tenaga kerja hingga mencapai 3,2 juta. Tak berlebihan bila ada yang menyebut industri ini sebagai primadona ekspor nonmigas dan penyedia lapangan kerja Indonesia.
(Mudrajad Kuncoro; Industri Indonesia Di Persimpangan Jalan )
3. Keberadaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia.
95% bahan baku masih harus diimpor (harga bahan baku produksi dalam negeri tidak lebih murah ketimbang impor). Ketergantungan impor belum diimbangi dengan upaya pengembangan bahan baku lokal. Selain karena memerlukan biaya investasi yang tingi, daya dukung peralatan juga masih belum memadai serta kemampuan SDM pun masih belum bisa mengikuti peningkatan teknologi modern.
Hal Hill (1997: 18), guru besar Australian National University, tegas mengatakan bahwa Indonesia menempuh kebijakan intervensi industri yang salah arah. Alasannya, sektor perusahaan besar milik negara, secara tidak efisien menggunakan sumber daya yang seharusnya dapat dipergunakan dengan lebih produktif di tempat lain; komitmen yang besar terhadap industri berteknologi tinggi (walaupun tidak transparan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan), sementara perluasan industri-industri dasar dan jasa-jasa pendukung mengalami kekurangan sumber daya; sistem peraturan dan perijinan yang berbelit-belit yang seolah-olah dirancang untuk mencapai tujuan nasional; dan program pengembangan perusahaan-perusahaan kecil dan program subkontrak yang diwajibkan selama lebih dari 20 tahun telah mengakibatkan dampak yang kecil dalam efisiensi atau pemerataan.
4. Kebijakan atau strategi pemerintah yang ditetapkan, termasuk instrumen-instrumen dari kebijakan yang digunakan dan cara implementasinya.
Dalam “The Economics of Industrial Agglomeration and Clustering, 1976-1996: The Case of Indonesia (Java)”, mudrajad kuncoro menegaskan pentingnya perspektif baru dalam kebijakan "targeting" industri. Perdebatan yang terus berlangsung dalam kebijakan industri adalah mengenai efektifitas intervensi pemerintah yang selektif dalam membantu pertumbuhan industri (misal: Grant, 1995; Pack, 2000). Secara umum, kebijakan industri dapat diklasifikasikan ke dalam upaya sektoral dan horisontal (Cowling, 1999). Upaya sektoral terdiri dari berbagai macam tindakan yang dirancang untuk mentargetkan industri-industri atau sektor-sektor tertentu dalam perekonomian. Upaya horisontal dimaksudkan untuk mengarahkan kinerja perekonomian secara keseluruhan dan kerangka persaingan di mana perusahaan-perusahaan melaksanakan usahanya.
Menurut Fahmi Idris untuk mengatasi permasalahan dan kelemahan di sektor industri yaitu dengan (1) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja industri; (2) Meningkatkan ekspor Indonesia dan pember-dayaan pasar dalam negeri; (3) Memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian; (4) Mendukung perkembangan sektor infrastruktur; (5) Meningkatkan kemampuan teknologi; (6) Meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk; dan (7) Meningkatkan penyebaran industri.
(Fahmi Idris; Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri Nasional; 2007)

Dengan pertumbuhan sector industri seperti yang telah dibahas, ternyata untuk bersaing dengan Negara luar masih belum mampu. Bahkan daya saing industri nasional hingga tahun lalu masih memprihatinkan. Indonesia masih berada di peringkat 69, sementara dua tetangga dekat Indonesia, Thailand dan Malaysia masing-masing berada pada peringkat 34 dan 31. Padahal beberapa tahun sebelumnya, Indonesia justru mampu mengungguli kedua negara tersebut. Oleh karenanya, saat ini Indonesia harus berjuang keras agar bisa meningkatkan daya saing industri nya di dunia. Menteri Perindustrian, Andung A. Nitimihardja, mengungkapkan bahwa peringkat daya saing Indonesia ditargetkan akan menyamai atau bahkan melebihi Malaysia dan Thailand pada tahun 2009 nanti. Untuk itu, pemerintah menargetkan industri nasional bisa tumbuh 8,9 persen per tahun hingga 2009. 
(Industri Indonesia Ungguli Malaysia Pada Tahun 2009; Kamis, 19 Mei 2005)
Sebenarnya untuk mengungguli kedua negara tersebut, Indonesia masih memiliki kesempatan yang besar. Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam kebijakan itu adalah dengan memfokuskan peningkatan produksi pada sejumlah industri yang dinilai mampu bersaing, baik itu pada beberapa komoditi unggulan Indonesia, antara lain adalah industri tekstil, alas kaki, agro, produk berbasis kayu, produk berbasis CPO, elektronik, otomotif dan lain sebagainya. 
 
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan tentang perkembangan sektor industri dan pertanian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
• Industri adalah salah satu sektor ekonomi di dalamnya terdapat kegiatan produktif. Di Indonesia, sektor industri disiapkan untuk mampu menjadi motor yang menggerakan kemajuan-kemajuan sektor lain, diharapkan bisa jadi sektor yang memimpin, itulah sebabnya industrialisasi senantiasa mewarnai perjalanan pembangunan ekonomi. 
• Perkembangan sektor industri di Indonesia sejak orde baru, atau tepatnya semasa pembangunan jangka panjang tahap pertama, sangat mengesankan. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai ukuran perbandingan seperti, jumlah unit usaha atau perusahaan, jumlah tenaga kerja yang diserap, nilai keluaran yang dihasilkan (output), sumbangan dalam perolehan devisa, kontribusi dalam pendapatan nasional, serta tingkat pertumbuhannya. 
• Faktor yang mendorong/mempengaruhi tingkat industrialisasi di indonesia, diantaranya adalah pengembangan teknologi dan inovasi serta laju pertumbuhan pendapatan nasional perkapita. Selain factor tersebut, ada beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi proses industrialisasi di Indonesia. Faktor-faktor itu diantaranya: 
1. Kondisi dan struktur awal ekonomi Indonesia. 
2. Besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat pendapatan nasional riil perkapita. 
3. Keberadaan Sumber Daya Alam (SDA).
4. Kebijakan atau strategi pemerintah yang ditetapkan, termasuk instrumen-instrumen dari kebijakan yang digunakan dan cara implementasinya.
• Perkembangan sektor industrialisasi di Indonesia sejak awal penelitian hingga 2007 mengalami perkembangan yang fluktuatif, dapat dilihat dari jumlah perusahaan dan jumlah tenaga kerja. Jumlah perusahaan mengalami perkembangan yang cukup baik, namun Pada masa krisis moneter tahun 1998, jumlah perusahaan di Indonesia mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan pada waktu itu, kondisi perekonomian di Indonesia tidak stabil. Sedangkan jumlah tenaga kerja dari tahun 1970 hingga tahun 2007 mengalami peningkatan, apabila dibandingkan dengan sektor industri pun merupakan sektor yang paling banyak dalam hal penyerapan tenaga kerja. Kontribusi yang diberikan sektor indutri terhadap PDB cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan PDB di Indonesia. Setiap tahunnya sektor industri merupakan sektor terbesar dalam memebrikan sumbangsihnya terhadap perkembangan PDB.
• Masalah yang paling krusial dari industrialisasi di Indonesia adalah keterbatasan teknologi dan rendahnya kulitas Sumber Daya Manusia (SDM). Selain dana yang disediakan pemerintah sangat terbatas, keterbatasan teknologi dan rendahnya kualiats SDM di negara sedang berkembang (Indonesia) juga perusahaan swasta yang memiliki sendiri lembaga penelitian dan pengembangan.
• Berdasarkan tujuan dari pembangunan industri, maka kebijakan yang dapat diterapkan di Negara Indonesia, yaitu : (1) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja industri; (2) Meningkatkan ekspor Indonesia dan pember-dayaan pasar dalam negeri; (3) Memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian; (4) Mendukung perkembangan sektor infrastruktur; (5) Meningkatkan kemampuan teknologi; (6) Meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk; dan (7) Meningkatkan penyebaran industri.




4.2 SARAN
Adapun saran-saran yang dapat penulis rekomendasikan adalah sebagai berikut :
• Agar pembangunan ekonomi Negara dapat kembali pada posisi yang stabil yaitu ketika tingkat pertumbuhan PDB Negara meningkat, pemerintah dapat menambahkan industri-industri di setiap tingkat daerah (tidak perlu dipusatkan di pulau jawa), agar kesempatan untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesempatan kerja dapat tercapai, sehingga perekonomian pun kembali pada posisi semula atau bahkan meningkat. 
• Pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan perkembangan sektor industri terutama untuk jumlah perushaannya. Karena hal tersebut merupakan salah satu penanggulangan pengangguran. Dan para produsen perusahaan sekiranya menekan biaya produksi agar dapat mempertahankan kestabilan harga yang ditawarkan oleh tiap perusahaan dengan harga pasarnya dan atau dapat mengendalikan harga jualnya.
• Dengan penyediaan sumber-sumber yang dimiliki oleh Negara Indonesia, terutama dengan persediaan sumber daya alam serta sumber daya manusia, sebenarnya pemerintah dapat mengambil kebijakan dimana menekan laju ketenagakerjaan dan dengan sumber daya alam-nya yang berlimpah pemerintah dapat memaksimalkan pendapatannya dengan meningkatkan sector perindustrian itu sendiri. 







DAFTAR PUSTAKA

Basri, Faisal. (2002). Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia. Jakarta: Erlangga
Basu Swastha & Ibnu Sukotjo. (1993). Pengantar Bisnis Modern (Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern). Edisi Ketiga. Yogyakarta: Liberty.
Djojohadikusumo, Sumitro. (1991). Perdagangan dan Industri dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES
Dr. Imamudin Yuliadi,Se.M.Si. (2009) Perekonomian Indonesia; Masalah dan Implementasi Kebijakan. Yogyakarta ; Unit Penerbitan Fakultas Ekonomi (UPFE-UMY)
Lincolin Arsyad. (2004). Ekonomi Pembangunan,Edisi ke-4. Yogyakarta : Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN. 
Mubyarto. (1994). Sistem Moral dan Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES
Mulyadi, A Julius. (1992). Keberhasilan Industrialisasi di Asia Timur. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Suyadi, Prawirosentono. (2002). Pengantar Bisnis Modern. Studi Kasus Indonesia dan Analisis Kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara.
. . . . . . . . . . .
Badan Pusat Statistik. Statistik Industri Besar dan Sedang. Berbagai Tahun Terbitan. 
Laporan Tahunan Bank Indonesia. Berbagai Tahun Terbitan
. . . . . . . . . . .
http://www.dephut.go.id/Halaman/Bukubuku/2004/Stat2003/informasi/STATISTIK/2001/BAP_01_N.htm
http://www.djmbp.esdm.go.id/modules/news/index.php?_act=detail&sub=news_minerbapabum&news_id=1018
http://www.dephut.go.id/Halaman/Buku buku/2004/Stat2003/informasi/STATISTIK/2001/BAP_01_N.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Industri
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(7)%20soca-priyarsono-inv%20sektor%20pert(1).pdf
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0708/22/opi01.html
http://www.mudrajad.com/upload/Indonesia%20Bangkit%202008.pdf
http://kadin-indonesia.or.id/id/doc/LaporanEkonomiEdisiJanuari08.pdf
http://www.depperin.go.id/Content5.aspx?kd4dg=0515
http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=215
http://www.depperin.go.id/IND/Publikasi/RPJM/Potret.pdf
http://www.depperin.go.id/IND/Publikasi/Ijepa/struktur.pdf 
http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Ekonomi&id=88907 
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=8220&Itemid=827 
http://aliciakomputer.blogspot.com/2009/03/analisis-industri-dan-persaingan.html
http://www.detikfinance.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/tgl/23/time/170644/idnews/844156/idkanal/4
http://ramakertamukti.wordpress.com/2009/01/09/14-subsektor-dalam-industri-kreatif-indonesia/
http://www.scribd.com/doc/19196057/dampak-pembangunan-industri-PT-Maju-Jaya-Raya-Timber-terhadap-perubahan-pola-kehidupan-masyarakat-di-desa-Pulau-Baru-Kecamatan-Mukomuko-Kabupaten-B?autodown=doc