Halaman

Jumat, 08 Januari 2010

PO Aah

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
 Dalam ilmu management, seorang manager harus mengetahui perilaku individu. Dimana setiap individu ini tentu saja memiliki karakteristik individu yang menentukan terhadap perilaku individu. Yang pada akhirnya menghasilkan sebuah motivasi individu. Individu berperilaku dengan cara tertentu yang didasarkan tidak pada cara lingkungan luar yang sebenarnya tetapi, lebih pada apa yang mereka lihat. Yakni pandangan individu terhadap situasi yang menjadi dasar perilakunya.. Sama halnya isu – isu seperti upah yang adil untuk pekerjaan yang dilakukan, kesahihan penilaian kinerja, dan memadainya kondisi kerja tidak dipertimbangkan oleh individu, juga tidak dapat dijamin bahwa individu akan menafsirkan kondisi mengenai pekerjaan mereka dengan cara yang menguntungkan. Oleh karena itu agar mampu mempengaruhi produktifitas, maka perlu untuk menilai cara para pekerja itu memahami pekerjaan mereka untuk mencapai kepuasan kerja. Bisa kita lihat contoh seorang guru sebagai individu yang mengabdikan dirinya demi bangsa maupun kepuasan dalam hal keprofesionalan menjadi seorang guru. Sekarang-sekarang ini seorang guru dapat dikatan professional sebagai bukti nyata adalah guru tersebut harus memiliki sertifikat yang lebih dikenal dengan nama sertifikasi.
I.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana dasar-dasar perilaku individu?
2. Bagaimana Nilai, sikap dan kepuasan kerja individu?
3. Bagaimana profesionalisme guru sebagai bagian dari seorang individu?
I.3. Tujuan 
Adapun yang menjadi tujuan dari makalah ini adalah sebagi berikut:
1. Untuk menjelaskan dasar-dasar perilaku individu
2. Untuk menjelaskan Nilai, sikap dan kepuasan kerja individu
3. Untuk mengetahui sejauh mana profesionalisme guru sebagai bagian dari seorang individu
BAB II
ISI
2.1. Konsep Diri (Individu)
Diri adalah inti dari keberadaan seseorang dengan sadar. Kewaspadan diri diartikan sebagai konsep diri seseorang. Sosiolog Viktor Gecas mendefinisikan konsep diri (self concept) sebagai “konsep yang dimiliki oleh individu atas dirinya sendiri sebagai suatu makhluk fisik, sosial, dan spiritual atau moral”. Dengan kata lain karena anda memiliki konsep diri, maka anda mengenali diri anda sendiri sebagai manusia yang berbeda. Suatu konsep diri tidak akan mungkin ada tanpa kapasitas untuk berfikir. Ini membawa kita pada peran dari kognisi. Kognisi mewakili “setiap pengetahuan, pendapat, atau keyakinan mengenai lingkungan, mengenai diri sendiri, atau mengenai perilaku orang lain”.
Individu yang unik Bentuk ekspresi diri


  sikap
 kemampuan
 emosi
Gambar 1
 Model konseptual untuk mempelajari perbedaan individual 
dalam perilaku organisasi
a. Self Esteem (penghargaan diri)
  Self esteem adalah suatu keyakinan nilai dari diri sendiri berdasarkan evaluasi diri secara keseluruhan. Self esteem diukur dengan menanyakan kepada para responden yang survei untuk menentukan kesepakatan atau ketidaksepakatan baik dengan pernyataan positif maupun negatif. Pernyataan positif misal “saya merasa bahwa saya adalah seseorang yang berarti, seperti orang lainnya”. Sedangkan pernyataan negatif misal “saya merasa bahwa saya tidak memiliki banyak hal untuk dibanggakan”.
b. Self efficacy (Kemanjuran diri)
  Self efficacy adalah keyakinan seseorang mengenai peluangnya untuk berhasil mencapai tugas tertentu. Menurut seorang penulis perilaku organisasi, self efficacy muncul secara lambat laun melalui pengalaman kemampuan-kemampuan kognitif, social, bahasa, dan/atau fisik yang rumit”. Pengalaman masa kanak-kanak memiliki suatu dampak yang kuat pada self efficacy.
c. Self Monitoring (Pemantauan diri)
  Self Monitoring adalah lingkup dimana seseorang mengamati perilaku ekspresifnya dan menyesuaikannya dengan situasi. Para ahli dalam bidang ini menjelaskan: individu-individu yang memiliki self monitoring tinggi mengatur penampilan diri merekayang ekspresif untuk penampilan publik yang diinginkan, dan oleh karena itu sangat peka terhadap isyarat sosial dan isyarat antarpribadi dari penampilan yang secara situasional sesuai. Para individu yang rendah self monitoringnya dianggap kurang mampu atau tidak termotivasi untuk mengatur penampilan ekspresif diri sendiri. Perilaku ekspresif mereka, sebaliknya dianggap secara fungsional mencerminkan keadaan dalam diri mereka diri sendiri yang berjalan lama dan sejenak, termasuk sikap, ciri dan perasaan mereka. (Robert Kreitner&Angelo Kinicki 162-172)
Mengapa manusia itu berbeda dalam bertindak diantaranya adalah :
1. Manusia berbeda karena berbeda kemampuannya. Setiap manusai memiliki perbedaan dalam berperilaku karena teori pertama menyatakan perbedaan itu dibawanya sejak lahir, teori kedua karena proses penyerapan informasi yang berbeda dari individu tersebut. bahkan kedua teori tersebut mempengaruhi perilaku seseorang dalam bertindak. 
2. Manusia berbeda perilakunya karena adanya perbedaan kebutuhan. Hal ini merupakan bagian dari teori motivasi yang di temukan oleh para ilmuwanpsikologi seperti, Maslow, Mcleland,,McGregor, dll. yang pasti kebutuhan manusia menjadi motif secara intrinsik individu tersebut dalam berperilaku
3. Manusia Berbeda karena mempunyai lingkungan yang berbeda dalam mempengaruhinya.
Faktor lingkungan sangat berpengaruh pada manusia, suatu keputusan yang di buat oleh individu dapat dipengaruhi dengan apa yang terjadi di luar dari dirinya dengan kata lain motivasi exsternal berperan disini. lingkungan membentuk manusiam menjadi baik kah atau menjadi jahat, ramah atau sombong,dll.
4. Manusia berbeda mempunyai masa depan sehingga cara berpikirnya pun berbeda.
Setiap mimpi yang dibuat oleh manusia mempengaruhi bagaimana individu tersebut berpikir dalam aktivitas kesehariannya dan bagaiman individu tersebut bertindak untuk mencapai tujuan jangka pendek atau jangka panjangnya
5. Faktor Like or Dislike with Something.
Percaya atau tidak faktor ini juga mempengaruhi seseorang dalam berperilaku, apabila seseorang tidak suka pada atasannya dalam memimpin, maka apapun yang dikatakan atasan hanya merupakan masukan tidak langsung di lakukan.
6. Faktor X
Faktor X ini terjadi diluar kemampuan manusia artinya bahwa segal perilaku akan berubah oleh karena faktor alam yang tidak dapat di identifikasi penyebabnya. maka apabila ada perubahan perilaku manusia dan tidak dapat di pahami penyebabnya hal itu terjadi karena segala sesuatu telah di tentukan oleh Allah SWT. 
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa manusia itu unik dan berbeda, dari perbedaan itu pula yang menyebabkan adanya interkasi sosial diantara manusia. Terkadang manusia merasa nyaman dengan perbedaan tetapi ada juga yang tidak merasa nyaman dalam perbedaan yang ada. Hal ini adalah Sunnatulloh karena telah digariskan oleh Allah SWT. Telah di gambarkan dalam Al-Quran Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan kamuberbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Al-Hujurat: 13).Ayat ini dapat di tafsirkan bahwa manusia berbeda amaldengan adanya perbedaan tersebut diharapakan kitasemua dapat menjaga satu sama lain dalam tali persaudaraan. Ilmu yang kontemporer di kembangkan saat ini mengenaimulkultarisme dimana ilmu tersebut mempelajari bagaimana memanage perbedaan antara manusia 
Variabel – variabel yang mempengaruhi Perilaku individu
Kelompok variabel individu terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi dan demografis. 
Menurut Gibson (1987) : 
Variabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. 
Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. 
Variabel ini menurut Gibson (1987) :
Banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. 
Kelompok variabel organisasi menurut Gibson (1987) terdiri dari : 
Variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. 
Menurut Kopelman (1986), variabel imbalan akan berpengaruh terhadap variabel motivasi, yang pada akhirnya secara langsung mempengaruhi kinerja individu. 
Penelitian Robinson dan Larsen (1990) :
Terhadap para pegawai penyuluh kesehatan pedesaan di Columbia menunjukkan bahwa pemberian imbalan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap kinerja pegawai dibanding pada kelompok pegawai yang tidak diberi.  
Menurut Mitchell dalam Timpe (1999), motivasi bersifat individual, dalam arti bahwa setiap orang termotivasi oleh berbagai pengaruh hingga berbagai tingkat. 
Jadi dapat kita simpulkan setiap orang memuliki variabel yang mempengaruhi seorang individu berbeda sesuai dengan karakter masing-masing.


II.1 Dasar-dasar Perilaku Individu
1. Karakteristik Biografis
Menurut Stephen Robbins (47-51) Perbedaan karakteristik biografis (karakteristik pribadi yang objektif, misalnya usia, jenis kelamin, status kawin, banyaknya tanggungan, masa kerja) pada diri individual sering dikaitkan dengan kinerja seseorang dalam organisasi. Banyak yang meyakini bahwa ada hubungan-hubungan yang berkaitan dengan, misalnya, tingkat kepuasan kerja, tingkat absensi, keinginan untuk maju, dan lain sebagainya. Berikut adalah karakteristik-karakteristi biografis dari seorang individu dilihat dari kinerja pada saat bekerja:
a. Usia
Hubungan antara usia dan kinerja pekerjaan kemungkinan adalah isu yang semakin penting dalam dekade mendatang. Mengapa? Sekurang-kurangnya karena tiga alasan. Pertama, terdapat keyakinan meluas bahwa kinerja merosot dengan meningkatnya usia. Tak peduli apakah itu benar atau tidak, banyak orang meyakininya dan bertindak atas dasar keyakinan itu. Kedua, adalah realita bahwa angkatan kerja telah menua. Misalnya, pekerja usia 55 tahun dan yang lebih tua merupakan sektoryang berkembang paling cepat dari angkatan kerja dewasa ini. Alasan ketiga adalah perundang-undangan Amerika yang baru-baru ini menyatakan bahwa, dengan maksud dan tujuan apapun, melarang perintah pensiun. Sebagian besar pekerja dewasa ini tidak lagi harus pensiun pada usia 70 tahun.
Apa persepsi terhadap pekerja yang sudah tua? Bukti menunjukkan bahwa para majikan mempunyai perasaan yang campur aduk. Mereka melihat sejumlah kualitas positif yang dibawa orang tua ke dalam pekerjaan mereka: khususnya, pengalaman, pertimbangan, etika kerja kuat, dan komitmen terhadap mutu. Namun pekerjaan orang tua dianggap kurang luwes dan menolak teknologi baru. Dan suatu pada suatu saat ketika organisasi mencari individu-idividu yang dapat menyesuaikan diri dan terbuka terhadap perubahan, hal-hal negative yang terkait dengan usia jelas mengganjal dalam seleksi awal atas karyawan tua dan meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan dibiarkan pergi selama perampingan organisasi. Sekarang mari kita mengkaji bukti tersebut. Dampak apakah yang sebenarnya ditimbulkan oleh usia pada pengunduran diri, keabsenan, produktivitas, dan kepuasan?
Semakin tua Anda, maka akan semakin kecil kemungkinan anda berhenti dari pekerjaan. Itulah kesimpulan yang seringkali ditari berdasarkan studi-studi mengenai hubungan antara usia dan pengunduran diri karyawan. Tentu saja kesimpulan ini akan tidak terlalu mengejutkan. Dengan makin tuanya para pekerja, makin sedikit peluang pekerjan alternatif bagi mereka. Disamping itu, pekerja yang lebih tua berkemungkinan kecil untuk berhenti karena masa kerja mereka yang lebih panjang cenderung memberikan tingkat upah yang lebih tinggi kepada mereka, liburan ditanggung perusahaan yang lebih panjang, dan tunjangan pensiun yang lebih menarik.
Cukup menggoda untuk mengasumsikan bahwa usia juga berbanding terbalik dengan keabsenan. Bagaimanapun juga, pekerja yang lebih tua berkemungkinan lebih kecil untuk berhenti bekerja, tidakkah mareka juga menunjukkan kemantapan yang lebih tinggi dengan masuk kerja secara lebih teratur? Tidak selalu! Kebanyakan studi memang menunjukkan suatu hubungan terbalik, tetapi pengujian penelitian yang lebih cermat menemukan bahwa hubungan usia-keabsenan sebagian merupakan fungsi apakah kemangkiran itu dapat dihindari atau tidak. Umumnya, karyawan tua mempunyai tingkat keabsenan dapat dihindari lebih rendah dibandingkan dengan karyawan angkatan yang lebih muda. Meski demikian, mereka mempunyai tingkat kemangkiran tak terhindarkan lebih tinggi, mungkin karena kesehatan yang memburuk karena penuaan dan lebih lamanya waktu pemulihan yang diperlukan pekerja tua bila cedera.
Bagaimana usia mempengaruhi produktivitas? Terdapat satu keyakinan meluas bahwa produktivitas merosot dengan makin bertambahnya usia sesorang. Sering diandaikan bahwa keterampilan individu terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan, dan kordinasi menurun seiring dengan berjalannya waktu, dan bahwa kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut dan kurangnya ransangan intelektual semuannya menyumbang pada berkurangnya produktivitas. Namun bukti menentang keyakinan dan asumsi tersebut. Misalnya, dalam jangka waktu 3 tahun, satu jaringan toko peralatan mengisi salah satu gerainya hanya dengan karyawan yang usianya diatas 50 dan membandingkan hasil yang diperoleh dengan lima toko lain yang diisi dengan karyawan yang lebih muda. Kesimpulan alamiahnya adalah bahwa tuntutan dari sebagian pekerjaan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang yang mensyaratkan kerja otot yang berat, tidak cukup besar terpengaruh oleh kemerosotan ketermpilan fisik akibat usia yang berdampak pada produktivitas, atau jika terjadi kemerosotan Karen usia, sering diimbangi oleh keunggulan pengalaman.
Perhatian terakhir kita adalah hubungan antara usia dan kepuasan kerja. Terhadap isu ini, bukti-bukti yang ada bercampur aduk. Sebagian besar penelitian menunjukkan hubungan positif antar usia dan kepuasan, sekurang-kurangnya sampai 60 tahun. Namun studi lain, menunjukkan hubungan yang berbentuk –U. Beberapa penjelasan dapat menjernihkan hasil temuan ini, yang paling masuk akal adalah bahwa studi ini mencampuradukan karyawan professional dan tak professional. Jika kedua tipe itu dipisah, kepuasan cenderung terus-menerus meningkat pada para professional dengan bertambahnya usia mereka, sedangkan pada nonprofesinal kepuasan itu merosot selama usia stengah baya dan kemudian naik lagi pada tahun-tahun berikutnya.
Intinya adalah sebagai berikut:
• hubungan Umur - Turnover = umur meningkat maka tingkat turnover menurun. Alasannya karena alternatif pekerjaan (option) yang semakin sedikit, penghasilan lebih tinggi yang telah diperoleh, dan tunjangan pensiun yang lebih menarik. 
• Hubungan Umur - Absensi = Umur meningkat, maka ketidakhadiran yang disengaja menurun, dan ketidakhadiran yang tidak disengaja meningkat pula. Mengingat umur yang bertambah berarti adanya keluarga yang harus dibina. ketidakhadiran yang disengaja jarang sekali dilakukan, karena melihat pada nilai gaji yang terpotong bila tidak masuk kerja. Dan ketidakhadiran yang tidak disengaja meningkat pula, contoh : bila ada salah satu anaknya yang sakit. 
• Hubungan Umur - Produktivitas = umur meningkat, maka produktifitas menurun. Alasan : menurunnya kecepatan, kecekatan, dan kekuatan. Juga meningkatnya kejenuhan atau kebosanan, dan kurangnya rangsangan intelektual. Namun ada juga study yang mengemukakan bahwa hubungan umur dengan produktifitas ternyata tidak ada hubungannya sama sekali. Dengan alasan : menurunnya ketrampilan jasmani tidak cukup ekstrem bagi menurunnya produktifitas. Dan meningkatnya umur biasanya diimbangi dengan meningkatnya pengalaman. 
• hubungan umur - kepuasan kerja = 
o bagi karyawan profesional : umur meningkat, kepuasan kerja juga meningkat 
o karyawan non-profesional : kepuasan merosot selama usia tengah baya dan kemudian naik lagi dalam tahun-tahun selanjutnya. Bila digambarkan dalam bentuk kurva, akan berbentuk kurva U ("U" curve).
b. Jenis Kelamin 
Bukti menunjukkan bahwa tempat terbaik untuk memulai pembahasan kali ini adalah dengan pengakuan bahwa terdapat hanya sedikit, jika ada perbedaan penting antara pria dan wanita yang akan mempegaruhi kinerja mereka. Misalnya, tidak terdapat perbedaan yang konsisten pada pria dan wanita dalam hal kemampuan memecahkan masalah belajar. Penelitian-penelitian psikologis menunjukkan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang dan pria lebih agresif dan berkemungkinan lebih besar daripada wanita untuk memiliki harapan atas keberhasilan, namun perbedaan-perbedaan itu tidak besar. Dengan perubahan-perubahan significant yang berlangsung dalam 30 tahun terakhir ini dalam hal peningkatan partisipasi wanita dalam dunia kerja dan memikirkan kembali apa yang membentuk peran pria dan wanita yakni dengan asumsi bahwa tidak ada perbedaan berarti dalam produktivitas pekerjaan, karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa jenis kelamin karyawan mempengaruhi kepuasan kerja.
Satu isu yang tampaknya membedakan dalam hal jenis kelamin, khususnya saat karyawan mempunyai anak-anak berusia pra-sekolah, adalah pemilihan jadwal kerja. Ibu-ibu yang bekerja berkemungkinan lebih besar untuk memilih pekerjaan paruh waktu, jadwal kerja yang fleksibel, dan menyelesaikan pekerjaan kantor di rumahagar bisa memenuhi tanggung jawab mereka terhadap keluarga. Dalam masalah tingkat pengunduran diri karyawan, bukti menunjukkan bahwa tidak terdapt perbedaan yang mencolok dalam hal itu. Tingkat pengunduran diri wanita sama dengan pria. Akan tetapi penelitian tentang keabsenan, secara konsisten menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat keabsenan yang lebih tinggi daripada pria. Penjelasan yang paling logis untuk temuan ini adalah bahwa riset itu dilakukan di Amerka Utara, dan budaya Amerika Utara secara historis menempatakn tanggung jawab rumah tangga dan keluarga pada wanita. Jika ada anak yang sakit atau seeseorang harus tinggal di rumah untuk menunggui tukang ledeng, maka wanitalah yang secara tradisional libur dari pekerjaannya. Tetapi tidak diragukan lagi riset ini terikat dengan waktu. Peran historis wanita dalam perawatan anak dan sebagai pencari nafkah sekunder sudah sangat berubah dalam generasi terakhir, dan sebagain besar pria dewasa ini senang dengan pengasuhan anak dan masalah-masalah yang terkait dengan perawatan anak paad umumnya seperti juga wanita. Intinya adalah sebagai berikut:
• tidak ada beda yang signifikan / bermakna dalam produktifitas kerja antara pria dengan wanita. 
• tidak ada bukti yang menyatakan bahwa jenis kelamin karyawan memperngaruhi kepuasan kerja. 
• hubungan gender - turnover = beberapa studi menjumpai bahwa wanita mempunyai tingkat keluar yang lebih tinggi, dan studi lain menjumpai tidak ada perbedaan antara hubungan keduanya. 
• hubungan gender - absensi = wanita mempunyai tingkat absensi yang lebih tinggi (lebih sering mangkir). dengan alasan : wanita memikul tanggung jawab rumah tangga dan keluarga yang lebih besar, juga jangan lupa dengan masalah kewanitaan.
c. Status perkawinan 
Tidak terdapat cukup banyak penelitian untuk menarik kesimpulan tentang dampakstatus perkawinan pada produktivitas. Namun riset secara konsisten menunjukkan bahwa karyawan yang akan menikah lebih rendah tingkat keabsenannya, mempunyai tingkat pengunduran diri yang lebih rendah, dan lebih puas dengan pekerjaan mereka daripada rekan sekerjanya yang tidak menikah. Pernikahan menuntut tanggung jawab lebih besar yang mungkin membuat pekerjaan tetap lebih berharga dan penting. Tetapi pertanyaan tentang alasannya tidaklah jelas. Sangat mungkin bahwa karayawan yang tekun dan puas berkemungkinan lebih besar untuk menikah. Intinya adalah sebagai berikut:
• tidak ada studi yang cukup untu menyimpulkan mengenai efek status perkawinan terhadap produktifitas. 
• karyawan yang menikah lebih sediki absensinya, pergantian yang lebih rendah, dan lebih puas dengan pekerjaannya
d. Masa Kerja
Jika kita mendefinisikan senioritassebagai masa kerja seseorang pada pekerjaan tertentu, kita dapat menagtakn bahwa bukti paling baru menunjukkan suatu hubungan positif antar senioritas dan produktivitas pekerjaan. Jika demikian masa kerja, yang diekspresikan sebagai pengaalamn kerja, tampaknya menjadi dasar perkiraan yang baik terhadap produktivitas karyawan.
Riset yang menghubungkan masa kerja dengan keabsenan sangatlah tegas. Secara konsisten penelitian-penelitian menunjukkan bahwa senioritas berkaitan negative dengan keabsenan. Faktanya dalam hal frekuensi keabsenan maupun dalam total hari yang hilang pada saat bekerja, masa kerja merupakan variable penjelas tunggal yang paling penting. Masa kerja juga merupakan variable penting dalakm menjelaskan tingkat pengunduran diri karyawan. Semakin lama seseorang berada dalam pekerjaan, semakin kecil kemungkinan ia akan mengundurkan diri. Lagi pula, konsisten dengan penelitian yang menunjukkan bahwa perilaku masa lalu merupakan indikator . Intinya adalah sebagai berikut:
• tidak ada alasan bahwa karyawan yang lebih lama bekerja (senior) akan lebih produktif dari pada yang junior. 
• senioritas / masa kerja berkaitan secara negatif dengan kemangkiran dan dengan tingkat turnover.
1. masa kerja tinggi , tingkat absensi dan turnover rendah 
2. masa kerja rendah, tingkat absensi dan turnover tinggi
  Keduanya hal di atas berkaitan secara negatif
1. masa kerja tinggi, kepuasan kerja tinggi 
2. masa kerja rendah, kepuasan kerja rendah
  kedua hal di atas berkaitan secara positif
2. Kemampuan
yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.
• kemampuan intelektual. merupakan kemampuan yang diperlukan untuk mengerjakan kegiatan mental. misalnya : berpikir,menganalisis, memahami. yang mana dapat diukur dalam berbrntuk tes (tes IQ). Dan setiap orang punya kemampuan yang berbeda. 
• kemampuan fisik. merupakan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang menuntut stamina, kecekatan dan kekuatan.
Ada 7 dimensi yang membentuk kemampuan intelektual seseorang, yaitu : kemahiran berhitung, pemahaman verbal, kecepatan perceptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang, dan ingatan. Tes atas semua dimensi diatas akan menjadi predictor yang tepat untuk menilai kinerja keseluruhan karyawan.
Setelah kemampuan intelektual, ada yang disebut kemampuan fisik, yaitu adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan , kekuatan, dan ketrampilanm fisik lainnya. Kemampuan fisik ini tentu saja disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dijalankan. Seorang manajer dapat menilai seberapa banyak kemampaun intelektual dan fisik yang harus dimiliki karyawannya. Ada 9 kemampuan fisik dasar yang porsinya dimiliki secara berbeda-beda oleh tiap individu. Tentu saja, porsi yang dituntut oleh tiap jenis pekerjaan juga berbeda-beda. Kemampuan fisik dasar tersebut adalah : kekuatan dinamis, kekuatan tubuh, kekuatan statis, kekuatan, keluwesan extent, keluwesan dinamis, koordinasi tubuh, keseimbangan, dan stamina.
Agar kinerja yang baik dapat dicapai, kesesuaian antara pekerjaan dengan kemampuan yang dimiliki karyawan sangat penting. Apabila karyawan kekurangan kemampuan yang disyaratkan, kemungkinan besar mereka akan gagal. Jika karyawan memiliki kemampuan tambahan yang tidak disyaratkan dalam pekerjaan, tentu hal tersebut dapat menjadi nilai tambah. Namun jika jumlah kelebihan jauh melampaui apa yang dibutuhkan pekerjaan, akan ada ketidakefisienan organisasional dan kepuasan karyawan mungkin merosot. Manajer juga mungkin perlu membayar upah yang lebih tinggi atas kelebihan tersebut.
• Kepribadian
merupakan cara individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. kepribadian terbentuk dari faktor keturunan, juga lingkungan (budaya, norma keluarga dan pengaruh lainnya), dan juga situasi.
ciri dari kepribadian adalah :
merupakan karakteristik yang bertahan, yang membedakan perilaku seorang individu, seperti sifat malu, agresif, mengalah, malas, ambisius, setia.
Pengertian Kepribadian 
Kepribadian (personality) bukan sebagai bakat kodrati, melainkan terbentuk oleh proses sosialisasi Kepribadian merupakan kecenderungan psikologis seseorang untuk melakukan tingkah laku social tertentu, baik berupa perasaan, berpikir, bersikap, dan berkehendak maupun perbuatan. Definisi Kepribadian menurut beberapa ahli antara lain sebagai berikut : 
a. Yinger 
Kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seorang individu dengan system kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian instruksi. 
b. M.A.W Bouwer 
Kepribadian adalah corak tingkah laku social yang meliputi corak kekuatan, dorongan, keinginan, opini dan sikap-sikap seseorang. 
c. Cuber 
Kepribadian adalah gabungan keseluruhan dari sifat-sifat yang tampak dan dapat dilihat oleh seseorang. 
d. Theodore R. Newcombe 
Kepribadian adalah organisasi sikap-sikap yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku. (Dalam :http://budakbangka.blogspot.com) 
4.Proses belajar (pembelajaran)
adalah bagaimana kita dapat menjelaskan dan meramalkan perilaku, dan pahami bagaimana orang belajar. 
• belajar melibatkan perubahan (baik ataupun buruk) 
• perubahan harus relatif permanen 
• belajar berlangsung jika ada perubahan tindakan / perilaku 
• beberapa bentuk pengalaman diperlukan untuk belajar. pengalaman dapat diperoleh lewat pengamatan langsung atau tidak langsung (membaca) atau lewat praktek
Setelah kesesuaian antara pekerjaan-kemampuan tercapai, setiap karyawan perlu memahami konsep pembelajaran, yaitu setiap perubahan yang relative permanen dari perilaku yang terjadi sebagai hasil pengalaman.
Ada beberapa teori pembelajaran :
- Pengkondisian klasik : suatu tupe pengkondisian dimana seorang individu menanggapi beberapa rangsangan yang tidak akan selalu menghasilkan respon yang sama.
- Pengkondisian operan : suatu tipe pengkondisian dimana perilaku sukarela yang diinginkan menyebabkan suatu penghargaan atau mencegah suatu hukuman.
- Pembelajaran sosial : yaitu bahwa orang dapat belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsung. Sering juga disebut teori pembelajaran sosial, ada proses-proses yang harus dialami didalamnya agar pembelajaran berlangsung baik, yaitu : proses perhatian, proses penahanan, proses reproduksi motor, proses penguatan.
Selain pembelajaran seperti diatas, manajer juga perlu melakukan pembentukan perilaku karyawan sebagai suatu alat manajerial. Karyawan harus berperilaku dengan cara-cara yang paling memberi manfaat bagi organisasi.
Ada 4 metode pembentukan perilaku, yaitu :
- Penguatan positif : bila suatu respon diikuti dengan sesuatu yang menyenangkan, misalnya pujian.
- Penguatan negatif : bila suatu respon diikuti oleh dihentikannya atau ditarik kembalinya sesuatu yang tidak menyenangkan, misalnya berpura-pura bekerja lebih rajin sangat pengawas berkeliling.
- Hukuman : mengakibatkan suatu kondisi yang tidak enak dalam suatu usaha untuk menyingkirkan perilaku yang tidak diinginkan. Misalnya : Penskorsan
- Pemunahan : menyingkirkan penguatan apa saja yang mempetahankan perilaku. Misalnya tidak mengabaikan masukan dari bawahan akan menghilangkan keinginan mereka untuk menyumbangkan pendapat.
Dari hasil riset, didapati bahwa melalui penguatan akan didapati hasil yang lebih mengesankan dibandingkan melalui hukuman dan pemunahan.
Didalam pelaksanaannya, ada beberapa jenis jadwal penguatan yang dapat dipilih, yaitu :
- Penguatan berkesinambungan : perilaku yang dinginkan diperkuat tiapkali perilaku itu diperagakan,
- Penguatan terputus-putus : perilaku yang dinginkan diperkuat cukup sering untuk emmbuatnya berharga untuk diulang, tetapi tidak setiap kali diperagakan perilaku itu diperkuat.
- Jadwal interval pasti : ganjaran-ganjaran yang didistribusikan pada selang waktu yang seragam.
- Jadwal interval variabel : ganjaran didistribusikan menurut waktu sedemikian sehingga penguatan tidak dapat diramalkan.
- Jadwal rasio pasti : ganjaran diberikan setelah sejumlah respon yang jumlahnya pasti.
- Jadwal rasio-variabel : ganjaran beraneka sehubungan dengan perilaku individu.
Ada beberapa penerapan organisasional yang spesifik lainnya yang dapat diterapkan di organisasi untuk membentuk perilaku karyawan yang sesuai, diantaranya : menggunakan lotere untuk mengurangi kemangkiran, tunjangan sehat vs. tunjangan sakit, disiplin karyawan, mengembangkan program pelatihan, menciptakan program mentor, dan swa-manajemen.


II.2 Nilai, Sikap dan Kepuasan Kerja
1. Nilai
 Nilai mencerminkan keyakinan-keyakinan dasar bahwa “bentuk khusus perilaku atau bentuk akhir keberadaan secara pribadi atau social lebih dipilih dibandingkan dengan bentuk perilaku atau bentuk akhir keberadaan perlawanan atau kebalikan.Nilai mengandung unsure pertimbangan yang mengemban gagasan-gagasan seorang individu mengenai apa yang benar, baik, atau diinginkan. Nilai mempunyai baik atribut isi maupun intensitas. Atribut isi mengatakan bahwa bentuk perilaku atau bentuk akhir keberadaan adalah penting. 
 Nilai penting nilai untuk mempelajari perilaku organisasi karena nilai menjadi dasar untuk memahami sikap dan motivasi serta karena nilai mempengaruhi persepsi kita. Individu-individu memasuki organisasi dengan gagasan yang dikonsepkan sebelumnya mengenai apa yang “seharusnya” dan “tidak seharusnya”. Tentu saja dengan gagasan-gagasan itu sendiri tidaklah bebas nilai. Sebaliknya, gagasan tersebut mengandung penafsiran tentang benar dan asalah. Lebih jauh, gagasan itu menyiratkan bahwa perilaku-perilaku atau hasil tertentu lebih disukai daripada yang lain. Akibatnya, nilai memperkeruh objektifitas dan rasionalitas.
Nilai-nilai antar kebudayaan
Kerabngka kerja Hofstede pengkajian kebudayaan merupakan salah satu pendekatan secara global yang paling banyak dirujuk untuk menganalisis variasi-variasi diantara kebudayaan-kebudayaan berbeda dialikan oleh Geert Hofstede. Ia melakuakan survey lebih drai 116.000 karyawan IBM di 40 negara tentang nilai yang berhubungan dengan pendekatan mereka. Dia menemukan bahwa para manajer dan karyawan berbeda-beda berdasarkan lima dimensi nilai budaya nasional. Nilai-nilai tersebut adalah:
• Jarak kekuasaan. Sampai pada tingkat manakah orang-orang di sebuah neagar menerima bahwa kekuasaan dalam institusi dan organissai itu didistribusikan secara tidak sama. Berkisar dari yang relative sama (jarak kekuasaan rendah) sampai ke yang sangat tidak merata (jaak kekuasaan tinggi)
• Individualisme versus kolektivisme. Individualisme adalah tingkat diaman orang-orang di sebuah Negara lebih suka bertindak sebagai individu disbanding sebagai anggota kelompok. Kolektivisme ekuivalen dengan individualism yang rendah. 
• Kuantitas kehidupan versus kualitas kehidupan. Kuantitas kehiduapn adalah samapai tingkat mana nilai-nilai seperti keberanian, perolehan uang dan barang materi serta persaingan itu mendominasi. Kualitas kehidupan adalah sampai tingkat mana orang lain menghargai hubungan, dan memperlihatkan kepekaan dan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain.
• Penghindaran ketidak pastian. Sampai tingkat manakah orang-orang dalam satu Negara menyukai situasi terstruktur daripada tidak terstrukur. Dinegara yang skornya tinggi dalam penghindaran ketidakpastian orang-orang mengalami peningkatan kecemasan, yang menjelma diri menjadi sikap gugup, stress, dan agrsivitas yang lebih besar.
• Orientasi jangka panjang. Orang-orang hidup dalam kebudayaan dengan orientasi jangka panjang melihat ke masa depan dan menghargai penghematan dan ketekunan.
Apa yang disimpulkan oleh riset Hofstede? Disini terdapat beberapa pokok yang disoroti. China dan Afrika Barat memiliki skor yang tinggi dalam jarak kekuasaan; Amerika Serikat dan Belanda memiliki skjor yang rendah. Sebagin besar Negara Asia lebih bersifat kolektivis daripada individualistis, Amerika Serikat berperingkat paling tinggi diantara semua Negara pada bidang individualism. Jerman dan Hongkong berperingkat tinggi pada kuantitas hidup; Rusia dan Belanda berperingkat rendah pada bidang ketidakpastian, Perancis dan Rusia tinggi, Hongkong dan AS rendah. An China serta Hongkong memiliki orientasi jangka panjang sementara Perancis dan AS meniliki orientasi jangka pendek.



2.Sikap
adalah pernyataan atau pertimbangan evaluatif (menguntungkan atau tidak menguntungkan) mengenai objek, orang dan peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan mengenai sesuatu. 
Dalam perilaku organisasi, pemahaman atas sikap penting, karena sikap mempengaruhi perilaku kerja. komponen sikap : 
 kognitif, segmen pendapat atau keyakinan dari suatu sikap 
 afektif, segmen emosional dari suatu sikap 
 perilaku,suatu maksud untuk perilaku dalam suatu cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu.
3. Kepuasan kerja
adalah suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. atau persaan senang atau tidak senang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja mempengaruhi sikap.
  Menurut Herwan Parwiyanto dalam artikel Perilaku Organisasi Newstrom : mengemukakan bahwa “job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with employes view their work”. Kepuasan kerja berarti perasaan mendukung atau tidak mendukung yang dialami pegawai dalam bekerja 
  Wexley dan Yukl : mengartikan kepuasan kerja sebagai “the way an employee feels about his or her job”. Artinya bahwa kepuasan kerja adalah cara pegawai merasakan dirinya atau pekerjaannya. dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan maupun kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upaya, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lain, penempatan kerja, dan struktur organisasi. Sementara itu, perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara lain berupa umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan. 
  Handoko : Keadaan emosional yang menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini dampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. 
  Stephen Robins : Kepuasan itu terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan dikaitkan dengan Pegawai; merupakan sikap umum yang dimiliki oleh Pegawai yang erat kaitannya dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan sebuah pengorbanan. Apabila dilihat dari pendapat Robin tersebut terkandung dua dimensi, pertama, kepuasan yang dirasakan individu yang titik beratnya individu anggota masyarakat, dimensi lain adalah kepuasan yang merupakan sikap umum yang dimiliki oleh pegawai 
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
  Schemerhorn mengidentifikasi lima aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja, yaitu 
1. Pekerjaan itu sendiri (Work It self),Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja. 
2. Penyelia (Supervision), Penyelia yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, penyelia sering dianggap sebagai figur ayah/ibu dan sekaligus atasannya. 
3. Teman sekerja (Workers), Merupakan faktor yang berhubungan dengan sebagai pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya. 
4. Promosi (Promotion),Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama bekerja. 
5. Gaji/Upah (Pay), Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak. 
  Aspek-aspek lain yang terdapat dalam kepuasan kerja disebutkan oleh Stephen Robins : 
1. Kerja yang secara mental menantang, Karyawan cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalamai kesenangan dan kepuasan. 
2. Ganjaran yang pantas, Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak kembar arti, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Tentu saja, tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci yang manakutkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan; yang lebih penting adalah persepsi keadilan. Serupa pula karyawan berusaha mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu-individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka. 
3. Kondisi kerja yang mendukung,Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan. Temperatur (suhu), cahaya, kebisingan, dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak esktrem (terlalu banyak atau sedikit). 
4. Rekan kerja yang mendukung, Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar ke kepuasan kerja yang meningkat. Perilaku atasan seorang juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi mendapatkan bahwa kepuasan karyawan ditingkatkan bila penyelia langsung bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka. 
5. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan, Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut, dan karena sukses ini, mempunyai kebolehjadian yang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari dalam kerja mereka. 
Kepuasan kerja yang rendah, mengakibatkan keluhan, absensi, dan tingkat turnover tinggi. Namun membuat tingkat produktifitas rendah juga.
Cara pengungkapan ketidakpuasan
• Keluar: perilaku diarahkan ke meninggalkan organissai, yang meliputi mencari posisi baru sekaligus mengundurkan diri
• Suara: secara aktif dan konsktruktif berupaya memperbaiaki kondisi, yangmeliputi menyarankan perbaikan, mendiskusuikan masalah dengan atasan, dan sebagain bentuk kegiatan perserikatan
• Kesetiaan: secara pasif namun optimis perbaiakan kondisi, yang meliputi membela organissai dari kritikan eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk “melakauakn hal yang benar”
• Pengabaian: secar pasif membiarkan keadaan nmemburuk, yang meliputi keabsenan atau keterlambatan kronis, penurunan usaha, dan peningkatan tingkat kesalahan.

II.3 Kaitannya Dasar Perilaku Individu, nilai, dan kepuasan kerja individu dengan sertifikasi dan profesionalisme guru 
A. Konsep Dasar Sikap dan Perilaku
Thursthoen dalam Walgito (1990: 108) menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Berkowitz, dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek.
Struktur sikap siswa terhadap konselor terdiri dari tiga komponen yang terdiri atas:
1. Komponen kognitif
Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan tentang objek. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap.
2. Komponen afektif
Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap sikap. Perasaan tersebut dapat berupa rasa senang atau tidak senang terhadap objek, rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.. komponen ini menunjukkan ke arah sikap yaitu positif dan negatif. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap (Azwar, 2000:26), secara umum komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.
3. Komponen konatif
Komponen ini merupakan kecenderungan seseorang untuk bereaksi, bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen-komponen tersebut di atas merupakan komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan tersebut apabila seseorang menghadapi suatu objek tertentu, maka melalui komponen kognitifnya akan terjadi persepsi pemahaman terhadap objek sikap. Hasil pemahaman sikap individu mengakui dapat menimbulkan keyakinan-keyakinan tertentu terhadap suatu objek yang dapat berarti atau tidak berarti. Dalam setiap individu akan berkembang komponen afektif yang kemudian akan memberikan emosinya yang mungkin positif dan mungkin negatif. Bila penilaiannya positif akan menimbulkan rasa senang, sedangkan penilaian negatif akan menimbulkan perasaan tidak senang. Akhirnya berdasarkan penilaian tersebut akan mempengaruhi konasinya, melalui inilah akan mendapat diketahui apakah individu ada kecenderungan bertindak dalam bertingkah laku, baik hanya secara lisan maupun bertingkah laku secara nyata.
Katz (dalam Walgito, 1990:110) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai empat fungsi, yaitu:
1. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian, atau fungsi manfaat.
Fungsi ini berkaitan dengan sarana tujuan. Di sini sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Orang memandang sampai sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana dalam mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Demikian sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap tersebut. Fungsi ini juga disebut fungsi manfaat, yang artinya sampai sejauh mana manfaat objek sikap dalam mencapai tujuan. Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi penyesuaian, artinya sikap yang diambil seseorang akan dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap sekitarnya.
2. Fungsi pertahanan ego
Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya. Sikap diambil seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam dalam keadaan dirinya atau egonya, maka dalam keadaan terdesak sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego.
3. Fungsi ekspresi nilai
Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil nilai sikap tertentu, akan dapat menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan.
4. Fungsi pengetahuan
Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk ingin tahu. Dengan pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut objek sikap yang bersangkutan.
Proses timbulnya atau terbentuknya sikap dapat dilihat pada factor sikap berikut ini:
Faktor Internal
-Fisiologis
- PsikologisObjek Sikap
Sikap
FaktorEksternal
-Pengalaman
- Situasi
- Norma-norma
- Hambatan
- Pendorong
Sikap yang ada pada diri seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis serta faktor eksternal. Faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-norma yang ada dalam masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat. Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada diri seseorang.
Sementara itu reaksi yang diberikan individu terhadap objek sikap dapat bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat negatif. Sikap yang diambil pada diri individu dapat diikuti dalam bagan berikut ini: 
• Keyakinan 
• Proses Belajar 
• Cakrawala 
• Pengalaman 
• Pengetahuan 
• Objek Sikap 
• Persepsi 
• Faktor- Faktor lingkungan yang berpengaruh 
• Kepribadian 
• Kognisi 
• Afeksi 
• Konasi 
• Sikap 
Factor eksternal Perseps dikutip dari Mar’at (1982:23) dengan perubahan.
Dilihat dari faktor di atas dapat dijelaskan bahwa sikap akan dipersepsi oleh individu dan hasil persepsi akan dicerminkan dalam sikap yang diambil oleh individu yang bersangkutan. Dalam persepsi objek sikap individu akan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, keyakinan, proses belajar, dan hasil proses persepsi ini akan merupakan pendapat atau keyakinan individu mengenai objek sikap dan ini berkaitan dengan segi kognisi. Afeksi akan mengiringi hasil kognisi terhadap objek sikap sebagai aspek evaluatif, yang dapat bersifat positif atau negatif. Hasil evaluasi aspek afeksi akan mengait segi konasi, yaitu merupakan kesiapan untuk memberikan respon terhadap objek sikap, kesiapan untuk bertindak dan untuk berperilaku. Keadaan lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap objek sikap maupun pada individu yang bersangkutan.
Bringham dalam Azwar menjelaskan tipe ukuran sikap yang paling sering dipakai adalah questioner self-report yang disebut skala sikap dan biasanya meliputi respon setuju atau tidak dalam beberapa kelompok-kelompok. Ukuran self-report mudah digunakan namun ukuran itu dapat memiliki sifat kemenduaan (ambiguity) atau adanya ukuran lain. Sikap dari skala sikap ini adalah isi pernyataan yang berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukuran atau pernyataan tidak langsung yang kurang jelas untuk tujuan ukurannya bagi responden.
Mengukur sikap bukan suatu hal yang mudah sebab sikap adalah kecenderungan, pandangan pendapat, atau pendirian seseorang untuk meneliti suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya, dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek. Dalam penelitian sikap, tergantung pada kepekaan dan kecermatan pengukurannya. Perlu diperhatikan metode yang berhubungan dengan pengukuran sikap, bagaimana instrumen itu dapat dikembangkan dan digunakan untuk mengukur sikap. Azwar (2000:90) menjelaskan bahwa, metode yang bisa digunakan untuk pengungkapan sikap yaitu:
1. Observasi perilaku
Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten (terulang) misalnya tidak pernah mau diajak nonton film Indonesia, bukanlah dapat disimpulkan bahwa ia tidak menyukai film Indonesia. Orang lain yang selalu memakai baju warna putih, bukankah dia memperlihatkan sikapnya terhadap warna putih. Perilaku tertentu bahkan kadang-kadang sengaja ditampakkan untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Dengan demikian, perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam kontek situasional tertentu, tetapi interpretasi sikap warna sangat berhati-hati apabila hanya didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku yang ditampakkan oleh seseorang.
2. Pertanyaan langsung
Asumsi yang mendasari metode pertanyaan langsung guna pengungkapan sikap, pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya.
3. Pengungkapan langsung
Suatu metode pertanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item tunggal maupun dengan menggunakan item ganda. Prosedur pengungkapan langsung dengan item ganda sangat sederhana. Responden diminta untuk menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian respondennya yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur. Pengukuran sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pengungkapan langsung yaitu dengan menggunakan skala psikologis yang diberikan pada objek.
B. Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional
Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi.
Latar belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam kenyataannya banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh guru dalam pembelajaran ada tujuh kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu antara lain:
1. mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, 
2. menunggu peserta didik berperilaku negatif, 
3. menggunakan destruktif discipline, 
4. mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik, 
5. merasa diri paling pandai di kelasnya, 
6. tidak adil (diskriminatif), serta 
7. memaksakan hak peserta didik (Mulyasa, 2005:20). 
Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dosen dan Guru, yakni:
1. kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik,
2. kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik,
3. kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam,
4. kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik buruk, positif negati, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2000: 15).
Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi. Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya.
Menurut penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang dalam dunia pendidikan dapat hindari, diantaranya: Pertama, menyiapakan tenaga pendidik yang benar-benar profesional yang dapat menghormati siswa secara utuh. Kedua, guru merupakan key succes factor dalam keberhasilan budi pekerti. Dari guru siswa mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang diberikan. Guru sebagai panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan berperilaku. Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah. Kempat, adanya kerjasama dan interaksi yang erat antara siswa, guru (sekolah), dan orang tua.
Terkait dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 % dari sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-lain adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimiliki (Ronnie, 2005:62).
Namun sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi primadona dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini. Bahkan kompetensi teknis ini dijadikan basis utama dari proses belajar mengajar. Jelas hal ini bukan solusi, bahkan akan membuat permasalahan semakin menjadi. Semakin menggelembung dan semakin sulit untuk diatasi.
Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain:
1. kasih sayang, 
2. penghargaan, 
3. pemberian ruang untuk mengembangkan diri, 
4. kepercayaan, 
5. kerjasama, 
6. saling berbagi, 
7. saling memotivasi, 
8. saling mendengarkan, 
9. saling berinteraksi secara positif, 
10. saling menanamkan nilai-nilai moral, 
11. saling mengingatkan dengan ketulusan hati, 
12. saling menularkan antusiasme, 
13. saling menggali potensi diri, 
14. saling mengajari dengan kerendahan hati, 
15. saling menginsiprasi, 
16. saling menghormati perbedaan. 
Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar pembangunan karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.
C. Faktor Penyebab Sikap dan Perilaku Guru Menyimpang
Pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilaksanakan walapun belum menunjukkan hasil yang optimal. Pendidikan tidak bisa lepas dari siswa atau peserta didik. Siswa merupakan subjek didik yang harus diakui keberadaannya. Berbagai karakter siswa dan potensi dalam dirinya tidak boleh diabaikan begitu saja. Tugas utama guru mendidik dan mengembangkan berbagai potensi itu.
Jika ada pendidik (guru) yang sikap dan perilakunya menyimpang karena dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, adanya malpraktik (meminjam istilah Prof Mungin) yaitu melakukan praktik yang salah, miskonsep. Guru salah dalam menerapkan hukuman pada siswa. Apapun alasannya tindakan kekerasan maupun pencabulan guru terhadap siswa merupakan suatu pelanggaran.
Kedua, kurang siapnya guru maupun siswa secara fisik, mental, maupun emosional. Kesiapan fisik, mental, dan emosional guru maupun siswa sangat diperlukan. Jika kedua belah pihak siap secara fisik, mental, dan emosional, proses belajar mengajar akan lancar, interaksi siswa dan guru pun akan terjalin harmonis layaknya orang tua dengan anaknya.
Ketiga, kurangnya penanaman budi pekerti di sekolah. Pelajaran budi pekerti sekarang ini sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada sifatnya hanya sebagai pelengkap, lantaran diintegrasikan dengan berbagai mata pelajaran yang ada. Namun realitas di lapangan pelajaran yang didapat siswa kabanyakan hanya dijejali berbagai materi. Sehingga nilai-nilai budi pekerti yang harus diajarkan justru dilupakan.
Selain dari ketiga faktor di atas, juga dipengaruhi oleh tipe-tipe kejiwaan seperti yang diungkapkan Plato dalam “Tipologo Plato”, bahwa fungsi jiwa ada tiga, yaitu: fikiran, kemauan, dan perasaan. Pikiran berkedudukan di kepala, kemauan berkedudukan dalam dada, dan perasaan berkedudukan dalam tubuh bagian bawah. Atas perbedaan tersebut Plato juga membedakan bahwa pikiran itu sumber kebijakasanaan, kemauan sumber keberanian, dan perasaan sumber kekuatan menahan hawa nafsu.
Jika pikiran, kemauan, perasaan tidak sinkron akan menimbulkan permasalahan. Perasaan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, akibatnya kemauan tidak terkendali dan pikiran tidak dapat berpikir bijak. Agar pendidikan di Indonesia berhasil, paling tidak pendidik memahami faktor-faktor tersebut. Kemudian mampu mengantisipasinya dengan baik. Sehingga kesalahan-kesalahan guru dalam sikap dan perilaku dapat dihindari.
Bagaimanapun juga kualitas pendidikan di Indonesia harus mampu bersaing di dunia internasional. Sikap dan perilaku profesional seorang pendidik akan mampu membawa dunia pendidikan lebih berkualitas. Dengan demikian diharapkan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya
D.Sertifikasi dan Profesionalisme Guru
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan pada Desember 2005, sertifikasi menjadi istilah yang sangat populer dan menjadi topik pembicaraan yang hangat pada setiap pertemuan, baik di kalangan akademisi, guru maupun masyarakat. Dengan diberlakukan UUGD minimal memiliki tiga fungsi. Pertama sebagai landasan yuridis bagi guru dari perbuatan semena-mena dari siswa, orang tua dan masyarakat. Kedua untuk meningkatkan profesionalisme guru. Ketiga untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Baik yang berstatus sebagai pegawai negeri (PNS) ataupun non PNS.
Kerangka pikir dan landasan peningkatan mutu pendidikan sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia diwajibkan memenuhi tiga persyaratan seperti dijelaskan oleh Muchlas Samani (2006:7), yaitu kualifikasi pendidikan minimum, kompetensi, dan sertifikasi pendidik. Ketiga persyaratan untuk menjadi guru sesuai dengan Pasal 1 butir (12) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikat pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Sementara itu, pada Pasal 11 ayat (1) juga disebutkan bahwa sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Untuk itu, guru dapat memperoleh sertifikat pendidik jika telah memenuhi dua syarat, yaitu kualifikasi pendidikan minimum yang ditentukan (diploma-D4/sarjana S1) dan terbukti telah menguasai kompetensi tertentu. Untuk itu, sebenarnya syarat untuk menjadi guru bila dicermati lebih dalam hanya ada dua, yaitu kualifikasi akademik minimum (ijazah D4/S1) dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat di atas, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru.
kenyataan menunjukkan bahwa kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualitas pendidikan minimal. Data dari Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat 991.243 (45,96%) guru SD, SMP dan SMA yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal.
Sebagai gambaran rinci keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di Indonesia sebagai berikut: Guru TK yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 119.470 (78,1%) dengan sebagian besar 32.510 orang berijazah SLTA. Di tingkat SD, guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 (34%) yang meliputi sebanyak 378.740 orang berijazah SMA dan sebanyak 12.767 orang berijazah D1. Di tingkat SMP, jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 317.112 (71,2%) yang terdiri atas 130.753 orang berijazah D1 dan 82.788 orang berijazah D2. Begitu juga di tingkat SMA, terdapat 87.133 (46,6%) guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal, yakni sebanyak 164 orang berijazah D1, 15.589 orang berijazah D2, dan 71.380 orang berijazah D3.
  Gambaran jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal tersebut akan semakin besar persentasenya bila dilihat dari persyaratan kualifikasi pendidikan minimal guru yang dituntut oleh PP No. 19/2005 tentang SNP. Di samping itu, pada Pasal 28 PP tersebut, juga mempersyaratkan seorang guru harus memenuhi kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah. Kompetensi sebagai agen pembelajaran ini meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Isi Pasal 1 butir (11) UUGD menyebutkan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen. Tentu saja dengan logika bahwa yang bersangkutan terbukti telah menguasai kedua hal yang dipersyaratkan di atas (kualifikasi pendidikan minimum dan penguasaan kompetensi guru). Untuk kualifikasi pendidikan minimum, buktinya dapat diperoleh melalui ijazah (D4/S1). Namun sertifikat pendidik sebagai bukti penguasaan kompetensi minimal sebagai guru harus dilakukan melalui suatu evaluasi yang cermat dan komprehensif dari aspek-aspek pembentuk sosok guru yang kompeten dan profesional. Tuntutan evaluasi yang cermat dan komprehensif ini berlandaskan pada isi Pasal 11 ayat (3) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Jadi sertifikasi guru dari sisi proses akan berbentuk uji kompetensi yang cermat dan komprehensif. Jika seorang guru/calon guru dinyatakan lulus dalam uji kompetensi ini, maka dia berhak memperoleh sertifikat pendidik.
Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan tingkat kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi. Adapun manfaat uji sertifikasi sebagai berikut. Pertama, melindungi profesi guru dari praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri. Keduai, melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang akan menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumberdaya manusia di negeri ini. Ketiga, menjadi wahana penjamin mutu bagi LPTK yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan. Keempat, menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
Bentuk uji kompetensi dalam pelaksanaan sertifikasi guru. Wacana yang berkembang dalam penyusunan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Guru, uji kompetensi tersebut terdiri atas dua bagian, yaitu: (1) ujian tertulis dan (2) ujian kinerja. Untuk melengkapi kedua jenis tersebut, peserta sertifikasi juga akan diminta untuk menyusun self appraisal dan portofolio.
  Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Untuk meyakinkan bahwa guru sebagai pekerjaan profesional maka syarat pokok pekerjaan profesional menurut Wina Sanjaya (2005:142-143): (1) pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah; (2) suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalm bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas; (3) tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya, semakin tinggi pula tingkat keahliannya dengan demikian semakin tinggi pula tingkat penghargaan yang diterimanya; (4) suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesinya. Sebagai suatu profesi, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan.
Melalui sertifikasi diharapkan dapat dipilah mana guru yang profesional mana yang tidak sehingga yang berhak menerima tunjangan profesi adalah guru profesional yang bercirikan berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa dan menguasai bidang yang ditekuninya. Semoga. 
E.Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru 
Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik.
Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Mereka harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).
Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut:
 (1) Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya.
(2) Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. (3) Penghasilan tidak ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. 
Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru. Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif.
(4) Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model.
Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Hal-hal yang dapat dilakukan di antaranya:
 (1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme adalah kompetensi. Sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada lain dengan pelatihan.
(2) Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penelitian-penelitian manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. 
(3) Penciptaan waktu luang. Waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat", dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal). 
(4) Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup. 
Penulis, guru SMP Negeri 3 Kota Bogor, pemenang II lomba penulisan yang diselenggarakan AGP-PGRI Jawa Barat 2007/2008.
Dari pembahasan jurnal dan artikel diatas dapat kita simpulkan bahwa keprofesionalan seorang guru dapat dilihat melalaui sertifikasi. Adapun kaitannya denagn perilaku individu adalah bahwa seorang guru memiliki karkteristik-karakteristik dasar sebagai individu daalm pencapaiannya menjadi guru professional sehingga kepuasan kerja pun tercapai baik dari sisi pengabdiannya sebagai guru maupun dalam kapsitas ia dalam pekerjaannya. 








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
 Dari malakah diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. dasar-dasar perilaku individu
1. karakteristik biografis
yaitu karakteristik pribadi seperti umur, jenis kelamin, dan status kawin yang objektif dan mudah diperoleh dari rekaman pribadi.
Umur (age)
• hubungan Umur - Turnover = umur meningkat maka tingkat turnover menurun. Alasannya karena alternatif pekerjaan (option) yang semakin sedikit, penghasilan lebih tinggi yang telah diperoleh, dan tunjangan pensiun yang lebih menarik. 
• Hubungan Umur - Absensi = Umur meningkat, maka ketidakhadiran yang disengaja menurun, dan ketidakhadiran yang tidak disengaja meningkat pula. Mengingat umur yang bertambah berarti adanya keluarga yang harus dibina. ketidakhadiran yang disengaja jarang sekali dilakukan, karena melihat pada nilai gaji yang terpotong bila tidak masuk kerja. Dan ketidakhadiran yang tidak disengaja meningkat pula, contoh : bila ada salah satu anaknya yang sakit. 
• Hubungan Umur - Produktivitas = umur meningkat, maka produktifitas menurun. Alasan : menurunnya kecepatan, kecekatan, dan kekuatan. Juga meningkatnya kejenuhan atau kebosanan, dan kurangnya rangsangan intelektual. Namun ada juga study yang mengemukakan bahwa hubungan umur dengan produktifitas ternyata tidak ada hubungannya sama sekali. Dengan alasan : menurunnya ketrampilan jasmani tidak cukup ekstrem bagi menurunnya produktifitas. Dan meningkatnya umur biasanya diimbangi dengan meningkatnya pengalaman. 
• hubungan umur - kepuasan kerja = 
o bagi karyawan profesional : umur meningkat, kepuasan kerja juga meningkat 
o karyawan non-profesional : kepuasan merosot selama usia tengah baya dan kemudian naik lagi dalam tahun-tahun selanjutnya. Bila digambarkan dalam bentuk kurva, akan berbentuk kurva U ("U" curve).

Jenis kelamin (gender)
• tidak ada beda yang signifikan / bermakna dalam produktifitas kerja antara pria dengan wanita. 
• tidak ada bukti yang menyatakan bahwa jenis kelamin karyawan memperngaruhi kepuasan kerja. 
• hubungan gender - turnover = beberapa studi menjumpai bahwa wanita mempunyai tingkat keluar yang lebih tinggi, dan studi lain menjumpai tidak ada perbedaan antara hubungan keduanya. 
• hubungan gender - absensi = wanita mempunyai tingkat absensi yang lebih tinggi (lebih sering mangkir). dengan alasan : wanita memikul tanggung jawab rumah tangga dan keluarga yang lebih besar, juga jangan lupa dengan masalah kewanitaan.
Status pernikahan (martial status)
• tidak ada studi yang cukup untu menyimpulkan mengenai efek status perkawinan terhadap produktifitas. 
• karyawan yang menikah lebih sediki absensinya, pergantian yang lebih rendah, dan lebih puas dengan pekerjaannya.
Masa kerja
• tidak ada alasan bahwa karyawan yang lebih lama bekerja (senior) akan lebih produktif dari pada yang junior. 
• senioritas / masa kerja berkaitan secara negatif dengan kemangkiran dan dengan tingkat turnover.
1. masa kerja tinggi , tingkat absensi dan turnover rendah 
2. masa kerja rendah, tingkat absensi dan turnover tinggi
  Keduanya hal di atas berkaitan secara negatif
1. masa kerja tinggi, kepuasan kerja tinggi 
2. masa kerja rendah, kepuasan kerja rendah
  kedua hal di atas berkaitan secara positif
2. Kemampuan
yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.
• kemampuan intelektual. merupakan kemampuan yang diperlukan untuk mengerjakan kegiatan mental. misalnya : berpikir,menganalisis, memahami. yang mana dapat diukur dalam berbrntuk tes (tes IQ). Dan setiap orang punya kemampuan yang berbeda. 
• kemampuan fisik. merupakan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang menuntut stamina, kecekatan dan kekuatan.
3. Kepribadian
merupakan cara individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. kepribadian terbentuk dari faktor keturunan, juga lingkungan (budaya, norma keluarga dan pengaruh lainnya), dan juga situasi.
ciri dari kepribadian adalah :
merupakan karakteristik yang bertahan, yang membedakan perilaku seorang individu, seperti sifat malu, agresif, mengalah, malas, ambisius, setia.
4. Proses belajar (pembelajaran)
adalah bagaimana kita dapat menjelaskan dan meramalkan perilaku, dan pahami bagaimana orang belajar.
belajar adalah : setiap perubahan yang relatif permanen dari perilaku yang terjadi sebagai hasil pengalaman.
• belajar melibatkan perubahan (baik ataupun buruk) 
• perubahan harus relatif permanen 
• belajar berlangsung jika ada perubahan tindakan / perilaku 
• beberapa bentuk pengalaman diperlukan untuk belajar. pengalaman dapat diperoleh lewat pengamatan langsung atau tidak langsung (membaca) atau lewat praktek
2. Nilai, sikap dan kepuasan kerja individu?
1.Nilai
 Nilai mencerminkan keyakinan-keyakinan dasar bahwa “bentuk khusus perilaku atau bentuk akhir keberadaan secara pribadi atau social lebih dipilih dibandingkan dengan bentuk perilaku atau bentuk akhir keberadaan perlawanan atau kebalikan.Nilai mengandung unsure pertimbangan yang mengemban gagasan-gagasan seorang individu mengenai apa yang benar, baik, atau diinginkan. Nilai mempunyai baik atribut isi maupun intensitas. Atribut isi mengatakan bahwa bentuk perilaku atau bentuk akhir keberadaan adalah penting. 
2. Sikap
adalah pernyataan atau pertimbangan evaluatif (menguntungkan atau tidak menguntungkan) mengenai objek, orang dan peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan mengenai sesuatu. Dalam perilaku organisasi, pemahaman atas sikap penting, karena sikap mempengaruhi perilaku kerja.
komponen sikap :
• kognitif, segmen pendapat atau keyakinan dari suatu sikap 
• afektif, segmen emosional dari suatu sikap 
• perilaku,suatu maksud untuk perilaku dalam suatu cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu
3. kepuasan kerja
adalah suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. atau persaan senang atau tidak senang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja mempengaruhi sikap.
apa yang menetukan kepuasan kerja ?
• kerja yang secara mental menantang. kesempatan menggunakan ketrampilan / kemampuan, tugas yang beragam, kebebasan, dan umpan balik. 
• ganjaran yang pantas. sistem upah dan kebijakan promosi yang adil. 
• kondisi kerja yang mendukung. lingkungan kerja yang aman, nyaman, fasilitas yang memadai. 
• rekan kerja yang mendukung. rekan kerja yang ramah dan mendukung, atasan yang ramah, memahami, menghargai dan menunjukan keberpihakan kepada bawahan. 
• kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan. bakat dan kemampuan karyawan sesuai dengan tuntutan pekerjaan.
kepuasan kerja yang rendah, mengakibatkan
4. Profesionalisme guru sebagai bagian dari seorang individu
keprofesionalan seorang guru dapat dilihat melalui sertifikasi. Adapun kaitannya denagn perilaku individu adalah bahwa seorang guru memiliki karkteristik-karakteristik dasar sebagai individu daalm pencapaiannya menjadi guru professional sehingga kepuasan kerja pun tercapai baik dari sisi pengabdiannya sebagai guru maupun dalam kapsitas ia dalam pekerjaannya.  














Tidak ada komentar: